Memilih Frasa ”Tuah Uzlah” Tersebab Takut Pada Allah - Norham Abdul Wahab
oleh Norham Abdul Wahab
KAWACA.COM | Bismillah…AKHIRNYA, kitab puisi tunggal kami yang kedua ini hadir juga. Ia dapat terbit dalam bentuk buku dengan susah payah, dan semata-mata hanya tersebab pertolongan Allah subhaana wata’ala. Dan hampir sama dengan kitab puisi kami yang pertama, “Preman Simpang” (Taresi Publisher, Juni 2018, dan alhamdulillah terpilih sebagai “Buku Puisi Terpuji Anugerah HPI 2018”) proses penetapan judul untuk kitab puisi ini juga kurang lebih begitu. Sebelum ditetapkan, ia dilalui dengan banyak proses pilah-pilih, bongkar-pasang dan tukar-ganti. Ia dikecimpungkan dalam banyak diskusi, musyawarah, perenungan, pengendapan, sampai kepada ikhtiar meminta pertolongan Allah subhaana wata’ala.
Mulanya, kitab puisi ini diberi judul “Berebut Warisan”, dan sudah mulai disosialisasikan. Dan judul ini cukup lama bertahan. Hingga kemudian kurator kitab puisi ini, Buya Amien Wangsitalaja menghadang nama itu dengan satu pernyataan yang susah untuk diperbantahkan: “Bukan bermaksud hendak mementahkan rencana yang sudah matang, sahaya kok menemukan frasa “tuah uzlah”. Frasa ini menggetarkan dan bau melayu-islamnya sangat kuat sekali. Sekiranya seseorang menyodorkan kepada sahaya dua buku puisi sebagai hadiah, tetapi tak boleh ambil dua-duanya, yang satu berjudul “berebut warisan” yang satunya lagi berjudul “tuah uzlah”, sepertinya sahaya akan ambil yang “tuah uzlah”.”
Maka seluruh proses kelahiran puisi-puisi dalam kitab ini pun muncul bergantian di dalam minda, lalu-lalang dalam diskusi dan perbincangan yang terbuka, telanjang bulat dalam dedah waktu yang telah berlalu dan waktu yang akan dilalu. Dan simpulan dari semua itu, tak dapat didustakan, ia sememangnyalah sebuah proses “uzlah yang bertuah”, yang tak terbantah: sebuah proses “pengasingan” dari hidup dan hirup yang duniawi kepada hajat untuk selalu “mengingat” dan “merenung” Kemahaan Sang Pemberi.
Tidak hanya “pengasingan” secara zahir --dalam amalan dakwah wa tabligh disebut “khuruj fisabilillah”-- juga adalah “mengasingkan kata-kata”: ketika semua hal menjadi bagian dari upaya untuk mengingat dan merenung tentang Sang Pemberi, Sang Penolong, Allah subhaana wata’ala. Ya, begitulah. Maka “Tuah Uzlah” pun disepakati jadi pilihan untuk judul kitab ini. Tersebab hampir semua sajak dalam kitab ini berhasrat menuju ke arah Sang Pemberi. Semoga, insyaallah… Namun, bukankah semua karya puisi melalui lintas proses yang sama, “mengasing diri lewat kata”? Wallahu’alam…
Seperti juga “Preman Simpang”, semenjak awal, dalam proses penetapan judul buku, selalu ada pagar yang dipasang: konsepsi mewakili isi, mewakili objek-topik-tema sajak-sajak dalam kitab ini. Dan judul “Tuah Uzlah” ini dinilai mendekati apa yang diniatkan, yaitu ketika ianya berkisah tentang bertukarnya “tanjak” dengan “surban”; bertukarnya “seragam panglima” dengan “jubah hamba”; bertukarnya “amis darah” dengan “asma dan kalimah”; bertukarnya “pangkat jabatan” dengan “cinta dan kerinduan”. Demikianlah hendaknya “Tuah Uzlah”.
Ya, di laman itulah sesungguhya sajak-sajak dalam kitab puisi ini hendak menampakkan diri: upaya menyempurnakan “ketakutan” sehingga membuat diri dan hati berlari mendekat pada Sang Pemberi. Ia adalah proses “penyerahan” untuk mendapat catatan kebaikan. Karenanya, ia menjelma menjadi laman yang lebih besar dari dunia. Sekali waktu, ia memanjat-menembus langit dan bercerita tentang segala yang berada di atas sana. Sekali waktu, ia menggali tanah dan menembus bumi, dan berkisah tentang yang ada di bawahnya. Ia menjelma menjadi sebuah laman tempat lalu-lalang berbagai makna dan defenisi. Begitulah…
Dan agar kitab ini dapat tampil lebih sistematis, maka susun urut-tampil sajak-sajak di dalamnya dibuat sedemikian rupa, tidak berdasarkan susun abjad yang runtut-runut dari A menuju Z, sebagaimana halnya kitab puisi “Preman Simpang”. Tidak! Ia dibuat sedemikian rupa, sehingga terjadi pengelompokan-pengelompokan dalam urut-tampilnya. Semoga lebih mempermudah pembacaan.
Adalah ‘Penyair Sufi Gondrong Kriwil’ Amien Wangsitalaja yang betul-betul leguh-legah dan lenguh-lengah membaca-menanda, memilah-memilih ratusan sajak yang ada menjadi 72 judul sajak yang diterbitkan dalam kitab ini, plus satu sajak pembuka. Ia berlebih 20 judul sajak dari niat semula, yang hanya hendak menampilkan 53 judul sajak sahaja. Namun, ya begitu itulah keputusan Allah, tak dapat kita nak menyanggah.
Adalah ‘Penyair Luka Mata’ Hasan Aspahani yang membuat catatan pembacaan yang cair mengalir, berderai dan aduhai, membuat hati serasa dibelai-belai: sebuah catatan yang luar biasa, untuk sajak-sajak yang biasa-biasa sahaja dalam kitab ini. Tabik hormat kami kepada keluarbiasaan beliau.
Selain itu, juga ada banyak nama yang telah menaruh mata-hati dan tangan-jari dalam proses penerbitan kitab ini, di antaranya Abah ‘Batin Hitam’ Riza Pahlefi, ‘Pendekar Penyair Geliga’ Ramon Damora, juga ‘Penyair Temberang’ Husnizar Hood, yang telah menjadi kawan diskusi, dan ikut memijat-mengurut, mengecat-meraut. Mereka-merekalah yang telah menjadi ‘batu api’, yang membuat kami tunggang-langgang, berdarah-darah, dan menungging-mencelup dalam proses ini. Dan tabik hormat kami tak hingga kepada Datuk Sutardji Calzoum Bachri dan Datuk Rida K Liamsi yang telah memerun semangat kesusastraan yang hampir basi dalam darah kami: semangat datuk-datuk terus mengalir, dan semoga tak henti-henti menjadi dzikir.
Selain mereka, juga terimakasih kepada ‘Penyair Pagar Kenabian’ Sofyan RH Zaid dan Tarebooks (TareSI Publisher) Jakarta yang telah berlapang-dada dan sejuk-kepala bersedia menerbitkan kitab ini. Dan tak lupa kepada abang-adik-kakak yang berkenan memberikan seulas-dua catatan pendukung sebagai elu-eluan untuk kitab ini: Fakhrunnas MA Jabbar, Abdul Wachid BS dan Fitriani Um Salva.
Terselip doa, semoga kesemuanya akan mendapat catatan kebaikan di kitab catatan amal milik Allah subhaana wata’ala, yang kelak semoga akan diterima dengan tangan kanan. Juga dipohonkan doa, semoga kitab puisi ini dapat memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia, bernilai ibadah dan mendatangkan keberkahan dan ridha dari Allah subhaana wata’ala. Aamiin Allahuma aamiin…
Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tiada Illah selain Engkau. Dan aku memohon ampunan-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu.
Alhamdulillah…
MBoro, Juli 2019
Salam
Preman Simpang Tuah Uzlah
KAWACA.COM | Bismillah…AKHIRNYA, kitab puisi tunggal kami yang kedua ini hadir juga. Ia dapat terbit dalam bentuk buku dengan susah payah, dan semata-mata hanya tersebab pertolongan Allah subhaana wata’ala. Dan hampir sama dengan kitab puisi kami yang pertama, “Preman Simpang” (Taresi Publisher, Juni 2018, dan alhamdulillah terpilih sebagai “Buku Puisi Terpuji Anugerah HPI 2018”) proses penetapan judul untuk kitab puisi ini juga kurang lebih begitu. Sebelum ditetapkan, ia dilalui dengan banyak proses pilah-pilih, bongkar-pasang dan tukar-ganti. Ia dikecimpungkan dalam banyak diskusi, musyawarah, perenungan, pengendapan, sampai kepada ikhtiar meminta pertolongan Allah subhaana wata’ala.
Mulanya, kitab puisi ini diberi judul “Berebut Warisan”, dan sudah mulai disosialisasikan. Dan judul ini cukup lama bertahan. Hingga kemudian kurator kitab puisi ini, Buya Amien Wangsitalaja menghadang nama itu dengan satu pernyataan yang susah untuk diperbantahkan: “Bukan bermaksud hendak mementahkan rencana yang sudah matang, sahaya kok menemukan frasa “tuah uzlah”. Frasa ini menggetarkan dan bau melayu-islamnya sangat kuat sekali. Sekiranya seseorang menyodorkan kepada sahaya dua buku puisi sebagai hadiah, tetapi tak boleh ambil dua-duanya, yang satu berjudul “berebut warisan” yang satunya lagi berjudul “tuah uzlah”, sepertinya sahaya akan ambil yang “tuah uzlah”.”
Maka seluruh proses kelahiran puisi-puisi dalam kitab ini pun muncul bergantian di dalam minda, lalu-lalang dalam diskusi dan perbincangan yang terbuka, telanjang bulat dalam dedah waktu yang telah berlalu dan waktu yang akan dilalu. Dan simpulan dari semua itu, tak dapat didustakan, ia sememangnyalah sebuah proses “uzlah yang bertuah”, yang tak terbantah: sebuah proses “pengasingan” dari hidup dan hirup yang duniawi kepada hajat untuk selalu “mengingat” dan “merenung” Kemahaan Sang Pemberi.
Tidak hanya “pengasingan” secara zahir --dalam amalan dakwah wa tabligh disebut “khuruj fisabilillah”-- juga adalah “mengasingkan kata-kata”: ketika semua hal menjadi bagian dari upaya untuk mengingat dan merenung tentang Sang Pemberi, Sang Penolong, Allah subhaana wata’ala. Ya, begitulah. Maka “Tuah Uzlah” pun disepakati jadi pilihan untuk judul kitab ini. Tersebab hampir semua sajak dalam kitab ini berhasrat menuju ke arah Sang Pemberi. Semoga, insyaallah… Namun, bukankah semua karya puisi melalui lintas proses yang sama, “mengasing diri lewat kata”? Wallahu’alam…
Seperti juga “Preman Simpang”, semenjak awal, dalam proses penetapan judul buku, selalu ada pagar yang dipasang: konsepsi mewakili isi, mewakili objek-topik-tema sajak-sajak dalam kitab ini. Dan judul “Tuah Uzlah” ini dinilai mendekati apa yang diniatkan, yaitu ketika ianya berkisah tentang bertukarnya “tanjak” dengan “surban”; bertukarnya “seragam panglima” dengan “jubah hamba”; bertukarnya “amis darah” dengan “asma dan kalimah”; bertukarnya “pangkat jabatan” dengan “cinta dan kerinduan”. Demikianlah hendaknya “Tuah Uzlah”.
Ya, di laman itulah sesungguhya sajak-sajak dalam kitab puisi ini hendak menampakkan diri: upaya menyempurnakan “ketakutan” sehingga membuat diri dan hati berlari mendekat pada Sang Pemberi. Ia adalah proses “penyerahan” untuk mendapat catatan kebaikan. Karenanya, ia menjelma menjadi laman yang lebih besar dari dunia. Sekali waktu, ia memanjat-menembus langit dan bercerita tentang segala yang berada di atas sana. Sekali waktu, ia menggali tanah dan menembus bumi, dan berkisah tentang yang ada di bawahnya. Ia menjelma menjadi sebuah laman tempat lalu-lalang berbagai makna dan defenisi. Begitulah…
Dan agar kitab ini dapat tampil lebih sistematis, maka susun urut-tampil sajak-sajak di dalamnya dibuat sedemikian rupa, tidak berdasarkan susun abjad yang runtut-runut dari A menuju Z, sebagaimana halnya kitab puisi “Preman Simpang”. Tidak! Ia dibuat sedemikian rupa, sehingga terjadi pengelompokan-pengelompokan dalam urut-tampilnya. Semoga lebih mempermudah pembacaan.
Adalah ‘Penyair Sufi Gondrong Kriwil’ Amien Wangsitalaja yang betul-betul leguh-legah dan lenguh-lengah membaca-menanda, memilah-memilih ratusan sajak yang ada menjadi 72 judul sajak yang diterbitkan dalam kitab ini, plus satu sajak pembuka. Ia berlebih 20 judul sajak dari niat semula, yang hanya hendak menampilkan 53 judul sajak sahaja. Namun, ya begitu itulah keputusan Allah, tak dapat kita nak menyanggah.
Adalah ‘Penyair Luka Mata’ Hasan Aspahani yang membuat catatan pembacaan yang cair mengalir, berderai dan aduhai, membuat hati serasa dibelai-belai: sebuah catatan yang luar biasa, untuk sajak-sajak yang biasa-biasa sahaja dalam kitab ini. Tabik hormat kami kepada keluarbiasaan beliau.
Selain itu, juga ada banyak nama yang telah menaruh mata-hati dan tangan-jari dalam proses penerbitan kitab ini, di antaranya Abah ‘Batin Hitam’ Riza Pahlefi, ‘Pendekar Penyair Geliga’ Ramon Damora, juga ‘Penyair Temberang’ Husnizar Hood, yang telah menjadi kawan diskusi, dan ikut memijat-mengurut, mengecat-meraut. Mereka-merekalah yang telah menjadi ‘batu api’, yang membuat kami tunggang-langgang, berdarah-darah, dan menungging-mencelup dalam proses ini. Dan tabik hormat kami tak hingga kepada Datuk Sutardji Calzoum Bachri dan Datuk Rida K Liamsi yang telah memerun semangat kesusastraan yang hampir basi dalam darah kami: semangat datuk-datuk terus mengalir, dan semoga tak henti-henti menjadi dzikir.
Selain mereka, juga terimakasih kepada ‘Penyair Pagar Kenabian’ Sofyan RH Zaid dan Tarebooks (TareSI Publisher) Jakarta yang telah berlapang-dada dan sejuk-kepala bersedia menerbitkan kitab ini. Dan tak lupa kepada abang-adik-kakak yang berkenan memberikan seulas-dua catatan pendukung sebagai elu-eluan untuk kitab ini: Fakhrunnas MA Jabbar, Abdul Wachid BS dan Fitriani Um Salva.
Terselip doa, semoga kesemuanya akan mendapat catatan kebaikan di kitab catatan amal milik Allah subhaana wata’ala, yang kelak semoga akan diterima dengan tangan kanan. Juga dipohonkan doa, semoga kitab puisi ini dapat memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia, bernilai ibadah dan mendatangkan keberkahan dan ridha dari Allah subhaana wata’ala. Aamiin Allahuma aamiin…
Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tiada Illah selain Engkau. Dan aku memohon ampunan-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu.
Alhamdulillah…
MBoro, Juli 2019
Salam
Preman Simpang Tuah Uzlah