Festival Monolog Pelajar Ternyata tidak Mendidik - Tanjung Files
oleh Tanjung Files
(Guru seni budaya di salah satu SMA, Madiun)
KAWACA.COM | Pukul 1.00 WIB dini hari saya tiba di Madiun, rumah kediaman saya. Usai perjalanan sekitar 4 jam dari Kota Batu, selama 3 hari mengikuti FLS2N, yang merupakan festival seni tingkat SMA yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Namun kali ini yang saya ikuti yang tingkat provinsi.
Alhamdulillah murid saya meraih juara 2 di cabang seni Vokal Solo Putri, berkat kerja kerasnya dalam berlatih dan karena bakat pribadinya. Ia dipilih dari ratusan anak yang ada di sekolah, yang punya bakat vokal terbaik dari yang ada, ia dipilih untuk dikirim mengikuti lomba tingkat provinsi tersebut. Tidak mudah untuk memilih siswa yang tepat dan memotivasinya agar punya rasa percaya diri yang kuat, demi memaksimalkan bakatnya di ajang kompetisi. Selain lomba vocal solo, ada banyak lagi cabang lomba seni lainnya, seperti desain poster, tari kreasi, seni kriya, baca puisi, cipta puisi, gitar solo, dan monolog.
Semua cabang seni tersebut benar-benar mengadu potensi bakat siswa secara personal, namun tidak demikian dalam cabang seni monolog, ada satu hal yang menurut saya janggal, dan perlu adanya perombakan aturan juknisnya.
Ketika lomba sedang berlangsung, saya mengamati tidak sedikit siswa yang punya bakal keaktoran yang baik dalam bermonolog, namun sangat disayangkan siswa-siswa berbakat tersebut tidak bisa menang dalam lomba monolog, karena juri monolog telah mengatakan “Menyukai, membolehkan, dan memberi nilai plus untuk peserta yang membawa tim pendukung ‘Sekampung’ guna keperluan tata setting dan musik pendukung, yang sudah tentu tidak sedikit jumlah personil dan anggarannya.”
Maka jelas ini bukan lagi ajang adu bakat siswa, tapi ajang persaingan anggaran artistik. Artinya sekolah yang punya anggaran besar untuk membawa tim artistik dan pemusik yang banyak, berpeluang besar untuk menang. Sedangkan sekolah yang hanya punya sedikit anggaran dengan setting minimalis, jangan berharap menang, walaupun bakat keaktoran siswanya sangat matang.
Hal ini sudah berlangsung lama, sejak tahun-tahun sebelumnya secara turun temurun sampai saat ini menjadi rujukan sekolah-sekolah agar bisa menang lomba. Inilah kejanggalan sistem yang menjadi kegelisahan saya, membuat saya terdorong untuk menulis opini ini. Apakah hal seperti ini patut dibenarkan dan dilanjutkan, atau sebaliknya juknis untuk tahun depan harus diubah demi keadilan bagi seluruh siswa peserta lomba monolog di FLS2N.
Saya jadi teringat ketika nonton pertunjukan monolog Putu Wijaya, atau Butet Kertarajasa, ketika melihat mereka bermonolog yang saya lihat adalah kualitas permainannya dari segi keaktorannya, bukan pernak-pernik setting panggungnya. Putu Wijaya yang bermonolog dengan properti dan setting yang minimalis, tetap bermain dahsyat dan tak membuat penonton beranjak pulang sebelum pertunjukan selesai. Di situlah kualitas aktor monolog yang sesungguhnya.
Benarkah anggaran lomba yang besar merupakan hal yang patut dibenarkan dan apakah sesuai dengan prinsip pendidikan? Sementara siswa yang semestinya dinilai bakatnya dalam bermonolog justru terabaikan, sebab juri telah terbius dekorasi setting panggung layaknya lomba mobil hias, bukan lomba monolog.
Alamat Jl Koperasi A08 Banjarejo, kec Taman, Kota Madiun.
Telp 628888710313 | fileski21@gmail.com
(Guru seni budaya di salah satu SMA, Madiun)
KAWACA.COM | Pukul 1.00 WIB dini hari saya tiba di Madiun, rumah kediaman saya. Usai perjalanan sekitar 4 jam dari Kota Batu, selama 3 hari mengikuti FLS2N, yang merupakan festival seni tingkat SMA yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Namun kali ini yang saya ikuti yang tingkat provinsi.
Alhamdulillah murid saya meraih juara 2 di cabang seni Vokal Solo Putri, berkat kerja kerasnya dalam berlatih dan karena bakat pribadinya. Ia dipilih dari ratusan anak yang ada di sekolah, yang punya bakat vokal terbaik dari yang ada, ia dipilih untuk dikirim mengikuti lomba tingkat provinsi tersebut. Tidak mudah untuk memilih siswa yang tepat dan memotivasinya agar punya rasa percaya diri yang kuat, demi memaksimalkan bakatnya di ajang kompetisi. Selain lomba vocal solo, ada banyak lagi cabang lomba seni lainnya, seperti desain poster, tari kreasi, seni kriya, baca puisi, cipta puisi, gitar solo, dan monolog.
Semua cabang seni tersebut benar-benar mengadu potensi bakat siswa secara personal, namun tidak demikian dalam cabang seni monolog, ada satu hal yang menurut saya janggal, dan perlu adanya perombakan aturan juknisnya.
Ketika lomba sedang berlangsung, saya mengamati tidak sedikit siswa yang punya bakal keaktoran yang baik dalam bermonolog, namun sangat disayangkan siswa-siswa berbakat tersebut tidak bisa menang dalam lomba monolog, karena juri monolog telah mengatakan “Menyukai, membolehkan, dan memberi nilai plus untuk peserta yang membawa tim pendukung ‘Sekampung’ guna keperluan tata setting dan musik pendukung, yang sudah tentu tidak sedikit jumlah personil dan anggarannya.”
Maka jelas ini bukan lagi ajang adu bakat siswa, tapi ajang persaingan anggaran artistik. Artinya sekolah yang punya anggaran besar untuk membawa tim artistik dan pemusik yang banyak, berpeluang besar untuk menang. Sedangkan sekolah yang hanya punya sedikit anggaran dengan setting minimalis, jangan berharap menang, walaupun bakat keaktoran siswanya sangat matang.
Hal ini sudah berlangsung lama, sejak tahun-tahun sebelumnya secara turun temurun sampai saat ini menjadi rujukan sekolah-sekolah agar bisa menang lomba. Inilah kejanggalan sistem yang menjadi kegelisahan saya, membuat saya terdorong untuk menulis opini ini. Apakah hal seperti ini patut dibenarkan dan dilanjutkan, atau sebaliknya juknis untuk tahun depan harus diubah demi keadilan bagi seluruh siswa peserta lomba monolog di FLS2N.
Saya jadi teringat ketika nonton pertunjukan monolog Putu Wijaya, atau Butet Kertarajasa, ketika melihat mereka bermonolog yang saya lihat adalah kualitas permainannya dari segi keaktorannya, bukan pernak-pernik setting panggungnya. Putu Wijaya yang bermonolog dengan properti dan setting yang minimalis, tetap bermain dahsyat dan tak membuat penonton beranjak pulang sebelum pertunjukan selesai. Di situlah kualitas aktor monolog yang sesungguhnya.
Benarkah anggaran lomba yang besar merupakan hal yang patut dibenarkan dan apakah sesuai dengan prinsip pendidikan? Sementara siswa yang semestinya dinilai bakatnya dalam bermonolog justru terabaikan, sebab juri telah terbius dekorasi setting panggung layaknya lomba mobil hias, bukan lomba monolog.
Alamat Jl Koperasi A08 Banjarejo, kec Taman, Kota Madiun.
Telp 628888710313 | fileski21@gmail.com