Ada Satu Syarat untuk Menjadi Pemimpin yang Hebat
KAWACA.COM | Banyak lelaki (suami) meraih kesuksesan berkat peran wanita (istri) di belakangnya. Dalam suatu ungkapan; there is a great woman behind great man. Akan tetapi, tak sedikit pula kepemimpinan seseorang (lelaki) menjadi lemah, kehilangan wibawa, dilecehkan dan tidak diikuti bawahan, karena perilaku istri, anak, atau orang-orang terdekat yang menyebabkan dia menyalahgunakan kedudukannya sebagai pemimpin.
Godaan yang melemahkan kepemimpinan semakin besar menyertai orang-orang yang berjiwa besar. Namun, bukan orang yang berjiwa besar namanya apabila mudah terhempas begitu saja oleh godaan yang jelas-jelas dapat menghempaskan dirinya. Seperti batu karang yang kokoh berdiri di lautan, hempasan ombak bertubi-tubi dan terus-menerus tak mampu merobohkannya.
Menjadi baik saja ternyata belum cukup. Orang yang baik mestinya juga kuat atau tidak
lemah (tobekind butnot weak). Dalam kepemimpinan, bersikap baik tapi tidak “lemah” berbanding lurus dengan ketegasan dan berkomitmen. Banyak pemimpin yang pada dasarnya baik namun lemah dalam mencontohkan praktik-praktik kepemimpinan teladan. Lemahnya keteladanan terbentuk karena karakternya yang memang lemah atau terpengaruh keinginan atau bujukan negatif/destruktif orang-orang terdekat.
Seorang pribadi atau pemimpin untuk menjadi baik dan kuat, maka dia harus berlaku adil dalam segalanya. Itu syaratnya! Adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya secara tepat. Pemimpin yang adil, mengetahui dan memahami sikap yang tepat dalam memutuskan sesuatu karena bersandar pada sesuatu yang tepat. Pemimpin yang adil, selain baik juga tidak lemah. Dikatakan tidak lemah, karena dirinya mampu bersikap tegas dalam menjalankan praktik-praktik kepemimpinan. Begitu tinggi, luas dan mendalamnya makna adil, ada yang mengatakan, pemimpin adil merupakan representasi dari kepemimpinan Tuhan (Al-Adl) di muka bumi.
Kecenderungannya, setiap orang ingin diperlakukan secara adil. Namun, tidak semua
orang –termasuk pemimpinnya– mau berlaku secara adil. Malah, banyak sekali pemimpin yang ingin diperlakukan istimewa secara hukum, misalnya, ketika tuntutan berlaku adil semakin mendesak dari sebagian masyarakatnya.
Berlaku adil termasuk praktik kepemimpinan yang banyak dicontohkan oleh Muhammad. Keadilan yang dicontohkannya menjadi teladan bagi kepemimpinan manusia saat ini. Sejarawan Amerika, Washington Irving (1783-1859), menuliskan; “Dalam urusan pribadinya dia (Muhammad) bersikap adil. Dia memperlakukan kawan dan orang asing, orang kaya dan orang miskin, orang kuat dan orang lemah, dengan cara yang adil. Dia dicintai oleh rakyat jelata karena dia menerima mereka dengan kebaikan hati dan mendengarkan keluhan-keluhan mereka” (Washington Irving (1783-1859), dalam Life of Mahomet, London, 1889, h. 192-3, 199).
Itu sebabnya, Fahmi Huwaydi, pernah menuliskan, “Seandainya kita mencari padanan kata yang praktis, ringkas dan konprehensif dalam satu kata dari segala yang dikandung syariah, kita tidak akan menemukan padanan selain ‘keadilan’. Jika tauhid merupakan penyangga aqidah, maka keadilan adalah penyangga syariah. Praktik keislaman yang benar, tidak akan tuntas, apabila dua sisi tersebut tidak saling menguatkan.”
Sekali lagi ingat, menjadi pemimpin itu penting, tetapi John Cassis, mengatakan, “It’s nice to be important, but it’s more important to be nice”, bahwa menjadi orang baik itu lebih penting dibandingkan dengan menjadi orang penting sekalipun, misalnya pemimpin!