Puisi Adalah Jalan Asa - Indra Intisa
(Apresiasi Puisi "Terkoyak" Karya YS Sunaryo)
oleh Indra Intisa
Konon, saat menusia terjatuh, dirinya memiliki rasa emosional yang luar biasa. Bahkan bisa melebihi bentuk emosional saat manusia senang. Barangkali rasa tersebut hanya bisa dilawan dan disetarakan saat manusia jatuh cinta pertama kali, bahasa lainnya cinta monyet. Perasaan yang tidak bisa ditahan-tahan, dibuat-buat, dst.
Saat manusia terluka, jatuh, atau duduk dalam kecewa, muncul sejumlah gejolak yang tidak main-main. Kebuntuan atau hal yang tidak bisa dibolak-balikkan, menjadikan banyak asa dan keinginan-keinginan yang muncul dan menyesak di dada. Antara keinginan dan logika terus berpacu saling berlari, saling menyusul dan saling berperang tentang siapa yang menang, siapa yang pemilik, siapa yang memimpin.
Para penyair mampu berlindung dari ucapan-ucapan yang ia tuliskan dalam dinding-dinding puitik. Dinding itu terus bergetar setiap letupan-letupan yang terjadi pada diri penyair yang sedang emosional. Sesungguhnya, bahasa puisi adalah bahasa abstrak--adalah bahasa yang paling baik dan bijak yang dipilih para penyair untuk menyampaikan hal-hal yang ada dalam hati dan pikirannya.
Seperti pada penyair Y.S. Sunaryo, saat beliau sedang terbaring sakit. Secara kasat mata, kita bisa memandang kalau aku lirik sedang berjuang untuk melawan sakit yang sedang menghentikan gerak-tubuhnya. Padahal lebih dari pada itu. Peperangan antara asa, putus asa, keinginan, ketakutan, keberanian, kepasrahan, tampak terlihat pada puisinya yang memunculkan gerak-pikir dan gerak-harap. Mari kita simak:
TERKOYAK
Karya Y. S. Sunaryo
Angin buritan berhembus kencang
Menerjang gundahku terguncanggucang
Bergulingguling terbantingbanting
Terkepingkeping sisakan serpihan
Mengapa engkau mudah berpaling
Diamkan aku di rimba buas mengganas
Terhunus segala keputusasaan
Menjemput tanda-tanda kematian
Kematian yang dimustahilkan
Padahal sedekat engkau mendulang pengkhianatan
Memerah darah langit saga
Dalam tikaman terjal jalan percintaan
Oouw aku melihat engkau menggergaji nyawaku
Untuk sempurnakan derita yang kian kelam malam
Namun ketahuilah, aku bernapas di kedalaman jiwamu
Hingga matiku adalah punah hidupmu
Tak harus binasakan seluruh detakku
Cukup kau berlari ke ujung langit ketujuh
Dan aku memburu
Hingga terjatuh bersama tubuhmu
Bandung, 29 Juni 2017.
Kita percaya. Sakit adalah takdir. Sehat adalah takdir. Hidup adalah takdir. Dan kematian adalah takdir. Tetapi, jika kematian yang membuat kita berhenti, maka sia-sialah kita dilahirkan.
Solok, 08 Juli 2017
Indra Intisa, Penikmat Puisi
oleh Indra Intisa
Konon, saat menusia terjatuh, dirinya memiliki rasa emosional yang luar biasa. Bahkan bisa melebihi bentuk emosional saat manusia senang. Barangkali rasa tersebut hanya bisa dilawan dan disetarakan saat manusia jatuh cinta pertama kali, bahasa lainnya cinta monyet. Perasaan yang tidak bisa ditahan-tahan, dibuat-buat, dst.
Saat manusia terluka, jatuh, atau duduk dalam kecewa, muncul sejumlah gejolak yang tidak main-main. Kebuntuan atau hal yang tidak bisa dibolak-balikkan, menjadikan banyak asa dan keinginan-keinginan yang muncul dan menyesak di dada. Antara keinginan dan logika terus berpacu saling berlari, saling menyusul dan saling berperang tentang siapa yang menang, siapa yang pemilik, siapa yang memimpin.
Para penyair mampu berlindung dari ucapan-ucapan yang ia tuliskan dalam dinding-dinding puitik. Dinding itu terus bergetar setiap letupan-letupan yang terjadi pada diri penyair yang sedang emosional. Sesungguhnya, bahasa puisi adalah bahasa abstrak--adalah bahasa yang paling baik dan bijak yang dipilih para penyair untuk menyampaikan hal-hal yang ada dalam hati dan pikirannya.
Seperti pada penyair Y.S. Sunaryo, saat beliau sedang terbaring sakit. Secara kasat mata, kita bisa memandang kalau aku lirik sedang berjuang untuk melawan sakit yang sedang menghentikan gerak-tubuhnya. Padahal lebih dari pada itu. Peperangan antara asa, putus asa, keinginan, ketakutan, keberanian, kepasrahan, tampak terlihat pada puisinya yang memunculkan gerak-pikir dan gerak-harap. Mari kita simak:
TERKOYAK
Karya Y. S. Sunaryo
Angin buritan berhembus kencang
Menerjang gundahku terguncanggucang
Bergulingguling terbantingbanting
Terkepingkeping sisakan serpihan
Mengapa engkau mudah berpaling
Diamkan aku di rimba buas mengganas
Terhunus segala keputusasaan
Menjemput tanda-tanda kematian
Kematian yang dimustahilkan
Padahal sedekat engkau mendulang pengkhianatan
Memerah darah langit saga
Dalam tikaman terjal jalan percintaan
Oouw aku melihat engkau menggergaji nyawaku
Untuk sempurnakan derita yang kian kelam malam
Namun ketahuilah, aku bernapas di kedalaman jiwamu
Hingga matiku adalah punah hidupmu
Tak harus binasakan seluruh detakku
Cukup kau berlari ke ujung langit ketujuh
Dan aku memburu
Hingga terjatuh bersama tubuhmu
Bandung, 29 Juni 2017.
Kita percaya. Sakit adalah takdir. Sehat adalah takdir. Hidup adalah takdir. Dan kematian adalah takdir. Tetapi, jika kematian yang membuat kita berhenti, maka sia-sialah kita dilahirkan.
Solok, 08 Juli 2017
Indra Intisa, Penikmat Puisi