Menemui Sunyi Emi - Dedy Tri Riyadi
(Catatan Pembacaan atas Alarm Sunyi karya Emi Suy)
oleh Dedy Tri Riyadi
Emi Suy namanya. Ia baru saja menerbitkan kumpulan puisi berjudul Alarm Sunyi. 65 judul puisi tersusun di dalamnya. Buku ini dipengantari Joko Pinurbo, ditutup oleh uraian Arif Gumantia. Di sampul belakang diberi kata-kata oleh enam orang yang namanya kerap menghiasi surat kabar di halaman puisi. Dari judulnya saja, Alarm Sunyi mengandung suatu kontradiksi bagaimana bisa sebuah alarma yang harusnya memberikan kita tanda bersiap atau waspada tapi ternyata untuk mengingatkan pada suatu sunyi.
Joko Pinurbo memberi judul pengantarnya – Sunyi adalah Kunci – dengan penegasan bahwa sunyi akan menciptakan daya hidup yang indah setelah kita menerimanya dengan ikhlas. Sementara Arif Gumantia, dalam epilognya – Membaca Emi, Menyelami Sunyi – beranggapan bahwa Emi melalui puisi-puisinya berhasil menciptakan metafora-metafora yang hidup dan indah dalam kumpulan puisinya ini. Namun yang menggelitik saya adalah sebenarnya sunyi menurut Emi itu sunyi yang bagaimana? Tepatnya seperti apakah pengertian sunyi menurut Emi Suy ini?
Buku ini dibuka dengan puisi berjudul “Sunyi” di mana sunyi menurut Emi punya dimensi ruang yaitu lapang. Namun pada akhir puisi ini, Emi menulis “kata berarak / sunyi pun beranak pinak” dengan begitu, sunyi adalah ruang yang bisa berkembang, dan perkembangan dari sunyi ini adalah karena banyaknya kata-kata (kata berarak) yang mungkin secara harfiah adalah sebuah perenungan, atau percakapan, atau memang makin banyak orang di tempat di mana penyair itu berada.
Pada puisi “Penjahit Luka” sunyi adalah sesuatu yang bisa dirangkai di antara potongan-potongan kain perca artinya sunyi adalah objek yang bisa disentuh. Pada puisi “Pasir Waktu” sepi (nama lain dari sunyi) bisa mengantuk. Hal ini berarti sunyi itu hidup. Pada puisi “Aku Cemburu pada Cangkir” sepotong sepi bisa dirayakan. Sepi juga bisa dipecahkan dan ditinggalkan pada dahan denting dawai kecapi (Ayat-Ayat Kopi), sepi bisa terdampar di langit kamar (bagian 10 dari puisi Ayat-Ayat Kita), sunyi adalah rahim yang melahirkan anak-anak diksi ( bagian 16 masih dari puisi Ayat-Ayat Kita). Sunyi adalah peran dari aku lirik dalam puisi “Sebagai Aku” yang (bisa) merayakan sepi dengan diam.
Sepi adalah kawan dari lengang (puisi Tarian Hujan) yang dipeluk pepohonan dalam diam (puisi Menyimak Hutan, Menyibak Padang), sepi juga harapan yang berjuta-juta di dada kiri (puisi Kedalaman Mata), sunyi adalah kondisi di mana ada salju turun dan rindu yang diawetkan waktu dan akan membuat aku lirik menggigil (puisi Musim Tangis), sepi adalah bilik (berbentuk kotak, puisi Memintal Hujan), sunyi adalah sesuatu yang bisa dipecahkan di dalam secangkir kopi, sekaligus sebuah lagu (puisi Jauh di Luar Pintu), sepi juga bisa berjajar panjang di deretan bangku di stasiun (puisi Gerbong Kereta, dan puisi Kereta Malam, atau di deretan kursi saja seperti di puisi Larut Malam), sunyi juga bisa diperjualbelikan (puisi Wujud Waktu).
Sunyi bisa dipecahkan di dalam kamar (puisi Suatu Hari Nanti), kesepian adalah apa yang tidak pernah diasingkan oleh senja (puisi Langit yang Sama), sunyi bisa tertikam dan berkeping-keping jika dibidik tatap yang tajam (puisi Betapa Rindu), sepi punya tubuh dan bersifat basah (puisi Episode Sunyi), sunyi (itu bisa) berpasangan (puisi Sepasang Sunyi), sunyi bisa dituang (puisi Poci), dan pada akhirnya sunyi mati sendiri (puisi Sunyi Mati Sendiri).
Sungguh sangat sah jika seorang penyair memetaforakan sesuatu dan itu bisa ditafsirkan macam-macam oleh para pembacanya. Namun dalam kasus ini, Emi Suy sepertinya malah tidak berusaha menjejakkan dengan kuat metafora dari apakah sunyi atau sepi itu. Kalau definisi-definisi sunyi atau sepi di atas digabungkan kemungkinan besar yang paling mendekati adalah sunyi adalah kehidupan itu sendiri. Mungkin Emi Suy telah mengidentikkan dirinya dengan sunyi atau sepi itu.
Jika memang dirinya identik dengan kesunyian atau kesepian, dengan cara apakah ia ingin mengisi atau menghiasi bahkan menjadikan dirinya ramai? Saya melihat puisi “Sesekali Menengoklah ke Arahku” adalah jawabannya, di sini Emi menunggu seperti daun yang bertahan di tangkai. Meminta angin ramah.
…sesekali menolehlah ke arahkusemoga daun yang bertahanbukan karena angin yang ramah
Setelah ditengok, apa yang ingin ia tunjukkan? Dalam puisi Penyair Perempuan, hal pertama yang ingin ditunjukkan adalah kecemburuan. Jika orang lain bisa, kenapa ia tidak?
…ia menulis hanya satu kata:cemburu
Cemburu itu menyimpan harapan. Karenanya pada puisi “Suatu Hari Nanti” Emi menginginkan adanya suatu keakraban. Timbul suatu keakraban apabila kedua belah pihak merasa sejajar,
suatu hari nantiaku ingin hanya kitaduduk di bangku kosong itudi halaman rumah tanpa pagar
Ada harapan besar di sana, meskipun Emi pun tak tahu seperti apa dan bagaimana nanti jika harapannya terwujud sehingga ia metaforakan begini;
sebab malam menunggu kitamenjadi sepasang kunang-kunang.
Malam. Penuh kegelapan. Tak bisa kita melihat dengan baik. Jadi, baiklah, tidak apa tak bisa menjadi bintang di langit, jadi kunang-kunang pun cukup. Mereka mirip dengan bintang.
Lalu ada kepasrahan. Jelas sekali terbaca pada puisi Nafsu yang pada larik-larik akhirnya terlihat ambigu;
…mari mandi bersamaku atau berenang menuju hu
Larik pertama seolah mengajak pembaca menyelami dunia Emi semakin dalam, sedang larik terakhir seolah membiarkan saja pembaca mengerjakan pekerjaannya sendiri yang lebih penting dengan frasa “menuju hu” yang berarti mengharap kemurah-hatian Tuhan.
Bahkan pada akhirnya, Emi tahu batasan dari sebuah usaha yaitu cinta tak lain dan tak bukan adalah penerimaan. “Cinta itu / hati yang menerima,“ begitu tulisnya dalam puisi “Cinta Itu.” Sebagai akhir, meskipun berjeda cukup lama dengan buku pertamanya, agaknya persiapan buku ke dua ini terasa masih tergesa-gesa. Selain ada beberapa saltik, pengefektifan kata dalam puisi pun masih terasa kurang pertimbangan, contohnya pada puisi Penjahit Luka di sana disebut potongan kain perca, padahal perca adalah potongan-potongan kain.
Jakarta, November 2017
oleh Dedy Tri Riyadi
Emi Suy namanya. Ia baru saja menerbitkan kumpulan puisi berjudul Alarm Sunyi. 65 judul puisi tersusun di dalamnya. Buku ini dipengantari Joko Pinurbo, ditutup oleh uraian Arif Gumantia. Di sampul belakang diberi kata-kata oleh enam orang yang namanya kerap menghiasi surat kabar di halaman puisi. Dari judulnya saja, Alarm Sunyi mengandung suatu kontradiksi bagaimana bisa sebuah alarma yang harusnya memberikan kita tanda bersiap atau waspada tapi ternyata untuk mengingatkan pada suatu sunyi.
Joko Pinurbo memberi judul pengantarnya – Sunyi adalah Kunci – dengan penegasan bahwa sunyi akan menciptakan daya hidup yang indah setelah kita menerimanya dengan ikhlas. Sementara Arif Gumantia, dalam epilognya – Membaca Emi, Menyelami Sunyi – beranggapan bahwa Emi melalui puisi-puisinya berhasil menciptakan metafora-metafora yang hidup dan indah dalam kumpulan puisinya ini. Namun yang menggelitik saya adalah sebenarnya sunyi menurut Emi itu sunyi yang bagaimana? Tepatnya seperti apakah pengertian sunyi menurut Emi Suy ini?
Buku ini dibuka dengan puisi berjudul “Sunyi” di mana sunyi menurut Emi punya dimensi ruang yaitu lapang. Namun pada akhir puisi ini, Emi menulis “kata berarak / sunyi pun beranak pinak” dengan begitu, sunyi adalah ruang yang bisa berkembang, dan perkembangan dari sunyi ini adalah karena banyaknya kata-kata (kata berarak) yang mungkin secara harfiah adalah sebuah perenungan, atau percakapan, atau memang makin banyak orang di tempat di mana penyair itu berada.
Pada puisi “Penjahit Luka” sunyi adalah sesuatu yang bisa dirangkai di antara potongan-potongan kain perca artinya sunyi adalah objek yang bisa disentuh. Pada puisi “Pasir Waktu” sepi (nama lain dari sunyi) bisa mengantuk. Hal ini berarti sunyi itu hidup. Pada puisi “Aku Cemburu pada Cangkir” sepotong sepi bisa dirayakan. Sepi juga bisa dipecahkan dan ditinggalkan pada dahan denting dawai kecapi (Ayat-Ayat Kopi), sepi bisa terdampar di langit kamar (bagian 10 dari puisi Ayat-Ayat Kita), sunyi adalah rahim yang melahirkan anak-anak diksi ( bagian 16 masih dari puisi Ayat-Ayat Kita). Sunyi adalah peran dari aku lirik dalam puisi “Sebagai Aku” yang (bisa) merayakan sepi dengan diam.
Sepi adalah kawan dari lengang (puisi Tarian Hujan) yang dipeluk pepohonan dalam diam (puisi Menyimak Hutan, Menyibak Padang), sepi juga harapan yang berjuta-juta di dada kiri (puisi Kedalaman Mata), sunyi adalah kondisi di mana ada salju turun dan rindu yang diawetkan waktu dan akan membuat aku lirik menggigil (puisi Musim Tangis), sepi adalah bilik (berbentuk kotak, puisi Memintal Hujan), sunyi adalah sesuatu yang bisa dipecahkan di dalam secangkir kopi, sekaligus sebuah lagu (puisi Jauh di Luar Pintu), sepi juga bisa berjajar panjang di deretan bangku di stasiun (puisi Gerbong Kereta, dan puisi Kereta Malam, atau di deretan kursi saja seperti di puisi Larut Malam), sunyi juga bisa diperjualbelikan (puisi Wujud Waktu).
Sunyi bisa dipecahkan di dalam kamar (puisi Suatu Hari Nanti), kesepian adalah apa yang tidak pernah diasingkan oleh senja (puisi Langit yang Sama), sunyi bisa tertikam dan berkeping-keping jika dibidik tatap yang tajam (puisi Betapa Rindu), sepi punya tubuh dan bersifat basah (puisi Episode Sunyi), sunyi (itu bisa) berpasangan (puisi Sepasang Sunyi), sunyi bisa dituang (puisi Poci), dan pada akhirnya sunyi mati sendiri (puisi Sunyi Mati Sendiri).
Sungguh sangat sah jika seorang penyair memetaforakan sesuatu dan itu bisa ditafsirkan macam-macam oleh para pembacanya. Namun dalam kasus ini, Emi Suy sepertinya malah tidak berusaha menjejakkan dengan kuat metafora dari apakah sunyi atau sepi itu. Kalau definisi-definisi sunyi atau sepi di atas digabungkan kemungkinan besar yang paling mendekati adalah sunyi adalah kehidupan itu sendiri. Mungkin Emi Suy telah mengidentikkan dirinya dengan sunyi atau sepi itu.
Jika memang dirinya identik dengan kesunyian atau kesepian, dengan cara apakah ia ingin mengisi atau menghiasi bahkan menjadikan dirinya ramai? Saya melihat puisi “Sesekali Menengoklah ke Arahku” adalah jawabannya, di sini Emi menunggu seperti daun yang bertahan di tangkai. Meminta angin ramah.
…sesekali menolehlah ke arahkusemoga daun yang bertahanbukan karena angin yang ramah
Setelah ditengok, apa yang ingin ia tunjukkan? Dalam puisi Penyair Perempuan, hal pertama yang ingin ditunjukkan adalah kecemburuan. Jika orang lain bisa, kenapa ia tidak?
…ia menulis hanya satu kata:cemburu
Cemburu itu menyimpan harapan. Karenanya pada puisi “Suatu Hari Nanti” Emi menginginkan adanya suatu keakraban. Timbul suatu keakraban apabila kedua belah pihak merasa sejajar,
suatu hari nantiaku ingin hanya kitaduduk di bangku kosong itudi halaman rumah tanpa pagar
Ada harapan besar di sana, meskipun Emi pun tak tahu seperti apa dan bagaimana nanti jika harapannya terwujud sehingga ia metaforakan begini;
sebab malam menunggu kitamenjadi sepasang kunang-kunang.
Malam. Penuh kegelapan. Tak bisa kita melihat dengan baik. Jadi, baiklah, tidak apa tak bisa menjadi bintang di langit, jadi kunang-kunang pun cukup. Mereka mirip dengan bintang.
Lalu ada kepasrahan. Jelas sekali terbaca pada puisi Nafsu yang pada larik-larik akhirnya terlihat ambigu;
…mari mandi bersamaku atau berenang menuju hu
Larik pertama seolah mengajak pembaca menyelami dunia Emi semakin dalam, sedang larik terakhir seolah membiarkan saja pembaca mengerjakan pekerjaannya sendiri yang lebih penting dengan frasa “menuju hu” yang berarti mengharap kemurah-hatian Tuhan.
Bahkan pada akhirnya, Emi tahu batasan dari sebuah usaha yaitu cinta tak lain dan tak bukan adalah penerimaan. “Cinta itu / hati yang menerima,“ begitu tulisnya dalam puisi “Cinta Itu.” Sebagai akhir, meskipun berjeda cukup lama dengan buku pertamanya, agaknya persiapan buku ke dua ini terasa masih tergesa-gesa. Selain ada beberapa saltik, pengefektifan kata dalam puisi pun masih terasa kurang pertimbangan, contohnya pada puisi Penjahit Luka di sana disebut potongan kain perca, padahal perca adalah potongan-potongan kain.
Jakarta, November 2017