Membaca Puisi "Sebagai Penyair", Karya: Eko Windarto - Indra Intisa
oleh Indra Intisa
Di era modern, puisi bisa saja menjelma menjadi cerita yang lebih luas layaknya prosa. Gaya penuturan yang naratif dan bahkan penggunaan larik-bait yang serupa kalimat-paragraf memang terkesan lumrah. Ritme yang lebar, luas dan diksinya terkesan lurus dan datar layaknya prosa. Keadaan ini mengingatkan kita pada pepatah, "Srigala berbulu domba". Ia adalah srigala tetapi menyamar seperti domba. Bisa-bisa saja kita tertipu jika tidak segera berhati-hati.
Bertukarperannya antara prosa ke puisi menjadi prosa liris, dan puisi ke prosa menjadi puisi prosais tentu membingungkan para pembaca awam. Karena hakikatnya kita (awam) melihat dua karya sastra ini dari sisi bentuk (perwajahan), padahal perlu jua disimak unsur lain yang membangun dan membedakan keduanya. Itu seperti keadaan sebuah motor merk Honda Vario kita permak dan diberikan tampilan dan polesan motor yamaha merk Mio Z. Sekalipun tampilannya sudah bergaya Mio Z, tetapi tetap saja kendaarn tersebut adalah Vario. Bukan Mio Z.
Penyair Eko Windarto pun tidak kalah niatnya untuk mengubah puisinya menjadi bergaya prosa. Bahkan cenderung ekstrim--benar-benar membuat kita geleng-geleng kepala sambil berkata, "Kau keterlaluan, Tuan." Barangkali Eko Windarto akan menjawab, "Kopi jika hanya di isi air tanpa gula tentu tidak nikmat. Makin nikmat jika diampur susu." Nanti kita pun akan berpikir, "Itu kopi susu atau susu kopi?" Ia hanya tertawa serupa pepatah, "Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu". Mari kita simak puisinya:
SEBAGAI PENYAIR
Sangatlah lucu dan culun bila saya sebagai penyair hanya bisa menulis puisi saja. Sebab penyair sekarang dihadapkan pada zaman globalisasi yang begitu cepat menggiring kita pada situasi tidak menentu dan kadang sulit disimpulkan.
Oleh sebab itu kita sebagai manusia biasa atau penyair dituntut mencontoh keteladanan Nabi Muhammad SAW. Yang mana Nabi Muhamad SAW adalah seorang nabi yang makrifat, dan bisa mi'rod. Kita sebagai umat Nabi Muhamad SAW harusnya bisa makrifat dalam melihat sesuatu di sekeliling kita untuk diangkat menjadi sebuah tulisan. Semono ugo kita harusnya juga bisa mi'rod seperti Kanjeng Nabi Muhamad SAW. tinggal bagaimana kita bisa mengasah keilmuan untuk mencapai isro' sebelum sampai mencapai mi'rod dalam beribadah atau menulis.
Maka dari itu penyair butuh ruang yang luas dan hati pikiran yang lebar, demi mempertanggungjawabkan sebagai mahkluk Allah. Ya, paling tidak bertanggung jawab pada diri sendiri.
Saya menulis seperti ini tak luput dari getaran hati nurani, hingga tak bisa kubendung air mata.
Itulah sekelumit narasi saya sebagai manusia biasa yang dipilih Allah menjadi seorang penyair yang masih butuh banyak belajar dari sampean semua. Khususnya belajar dari ketidaktahuan saya dalam laku sinetron duniawi ini.
Sekarputih. 27.7.2016
Puisi di atas ditulis dalam bentuk prosa yang sangat lebar. Serupa argumen, curhatan dalam bentuk nasihat, dst. (boleh ditimpuk dengan pelbagai macam argumen). Puisi ini ditulis meminjam ide tuturan dan gaya pembukaan UUD 1945. Dan ketika mengingat isinya, tentu kita membayangkan tentang niat dan cita-cita bangsa. Kekuatan isinya menjadikan aku lirik untuk mengadopsi dan memasukkan nasihat baik-baik bagi penyair dalam menulis puisi. Hakikatnya puisi tidak ditulis begitu saja tanpa pertanggungjawaban. Ia punya jalan dan hidup sekalipun penyairnya telah mati. Keadaan itu tentu mengingatkan kita pada puisi Chairil Anwar, "Aku mau hidup seribu tahun lagi."
Pembukaan UUD yang diadopsi pada puisinya tentu bermaksud sebagai himbauan terhadap penyair sebelum masuk lebih jauh dalam puisi yang ditulis. Sebab, jika puisi telah ditulis dan hidup di hati banyak orang, bagaimana cara kita mempertanggungjawabkannya? Allah Swt., berfirman:
"Penyair-penyair itu di ikuti oleh orang-orang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap –tiap lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mampu mengerjakannya ,kecuali orang-orang beriman dan beramal soleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman,Dan kelak orang yang zalim itu akan mengetahui ketempat mana mereka kembali. " (Surat Assuara’a Ayat 224-227)
Semoga kita bisa menjadikan puisi kita sebagai ladang ibadah. Bukan sebagai ladang dosa yang akan membakar kita nantinya di neraka. Amin.
Pulau Punjung, 18 Maret 2017
Indra Intisa, Penikmat dan Pemerhati Puisi.
Di era modern, puisi bisa saja menjelma menjadi cerita yang lebih luas layaknya prosa. Gaya penuturan yang naratif dan bahkan penggunaan larik-bait yang serupa kalimat-paragraf memang terkesan lumrah. Ritme yang lebar, luas dan diksinya terkesan lurus dan datar layaknya prosa. Keadaan ini mengingatkan kita pada pepatah, "Srigala berbulu domba". Ia adalah srigala tetapi menyamar seperti domba. Bisa-bisa saja kita tertipu jika tidak segera berhati-hati.
Bertukarperannya antara prosa ke puisi menjadi prosa liris, dan puisi ke prosa menjadi puisi prosais tentu membingungkan para pembaca awam. Karena hakikatnya kita (awam) melihat dua karya sastra ini dari sisi bentuk (perwajahan), padahal perlu jua disimak unsur lain yang membangun dan membedakan keduanya. Itu seperti keadaan sebuah motor merk Honda Vario kita permak dan diberikan tampilan dan polesan motor yamaha merk Mio Z. Sekalipun tampilannya sudah bergaya Mio Z, tetapi tetap saja kendaarn tersebut adalah Vario. Bukan Mio Z.
Penyair Eko Windarto pun tidak kalah niatnya untuk mengubah puisinya menjadi bergaya prosa. Bahkan cenderung ekstrim--benar-benar membuat kita geleng-geleng kepala sambil berkata, "Kau keterlaluan, Tuan." Barangkali Eko Windarto akan menjawab, "Kopi jika hanya di isi air tanpa gula tentu tidak nikmat. Makin nikmat jika diampur susu." Nanti kita pun akan berpikir, "Itu kopi susu atau susu kopi?" Ia hanya tertawa serupa pepatah, "Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu". Mari kita simak puisinya:
SEBAGAI PENYAIR
Sangatlah lucu dan culun bila saya sebagai penyair hanya bisa menulis puisi saja. Sebab penyair sekarang dihadapkan pada zaman globalisasi yang begitu cepat menggiring kita pada situasi tidak menentu dan kadang sulit disimpulkan.
Oleh sebab itu kita sebagai manusia biasa atau penyair dituntut mencontoh keteladanan Nabi Muhammad SAW. Yang mana Nabi Muhamad SAW adalah seorang nabi yang makrifat, dan bisa mi'rod. Kita sebagai umat Nabi Muhamad SAW harusnya bisa makrifat dalam melihat sesuatu di sekeliling kita untuk diangkat menjadi sebuah tulisan. Semono ugo kita harusnya juga bisa mi'rod seperti Kanjeng Nabi Muhamad SAW. tinggal bagaimana kita bisa mengasah keilmuan untuk mencapai isro' sebelum sampai mencapai mi'rod dalam beribadah atau menulis.
Maka dari itu penyair butuh ruang yang luas dan hati pikiran yang lebar, demi mempertanggungjawabkan sebagai mahkluk Allah. Ya, paling tidak bertanggung jawab pada diri sendiri.
Saya menulis seperti ini tak luput dari getaran hati nurani, hingga tak bisa kubendung air mata.
Itulah sekelumit narasi saya sebagai manusia biasa yang dipilih Allah menjadi seorang penyair yang masih butuh banyak belajar dari sampean semua. Khususnya belajar dari ketidaktahuan saya dalam laku sinetron duniawi ini.
Sekarputih. 27.7.2016
Puisi di atas ditulis dalam bentuk prosa yang sangat lebar. Serupa argumen, curhatan dalam bentuk nasihat, dst. (boleh ditimpuk dengan pelbagai macam argumen). Puisi ini ditulis meminjam ide tuturan dan gaya pembukaan UUD 1945. Dan ketika mengingat isinya, tentu kita membayangkan tentang niat dan cita-cita bangsa. Kekuatan isinya menjadikan aku lirik untuk mengadopsi dan memasukkan nasihat baik-baik bagi penyair dalam menulis puisi. Hakikatnya puisi tidak ditulis begitu saja tanpa pertanggungjawaban. Ia punya jalan dan hidup sekalipun penyairnya telah mati. Keadaan itu tentu mengingatkan kita pada puisi Chairil Anwar, "Aku mau hidup seribu tahun lagi."
Pembukaan UUD yang diadopsi pada puisinya tentu bermaksud sebagai himbauan terhadap penyair sebelum masuk lebih jauh dalam puisi yang ditulis. Sebab, jika puisi telah ditulis dan hidup di hati banyak orang, bagaimana cara kita mempertanggungjawabkannya? Allah Swt., berfirman:
"Penyair-penyair itu di ikuti oleh orang-orang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap –tiap lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mampu mengerjakannya ,kecuali orang-orang beriman dan beramal soleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman,Dan kelak orang yang zalim itu akan mengetahui ketempat mana mereka kembali. " (Surat Assuara’a Ayat 224-227)
Semoga kita bisa menjadikan puisi kita sebagai ladang ibadah. Bukan sebagai ladang dosa yang akan membakar kita nantinya di neraka. Amin.
Pulau Punjung, 18 Maret 2017
Indra Intisa, Penikmat dan Pemerhati Puisi.