Dua Jenis Teman
KAWACA.COM | INI masih soal sekolah. Masih tentang pendidikan. Tentang kegiatan belajar-mengajar. Di dalam kelas. Bagaimana menjaga suasana kelas tetap menyenangkan. Tidak ada siswa yang merasa minder –sekalipun ia tertinggal dari teman-temannya.
Peran guru sangat vital. Dalam kondisi guru harus sekaligus berperan sebagai orang tua. Seperti saya singgung di tulisan Man Nahnu sebelumnya: Guruku Inspirasiku, tugas guru memang berat. Bukan hanya mengajarkan ilmu. Lebih dari itu. Juga mendidik siswanya. Terutama menanamkan pendidikan karakter ke dalam jiwa para muridnya.
Ada yang bilang begini: para orang sukses (presiden, menteri, tentara, polisi, bos perusahaan, dan lain-lain) tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Tapi banyak orang gagal (dalam kehidupannya) juga dikaitkan dengan guru. Terutama dihubungkan dengan kegagalan guru membentuk jiwa dan karakter muridnya. Ketika mengenyam pendidikan di bangku sekolah dulu. Bila ditarik lebih ke dalam lagi: guru ”gagal” memperbaiki mental siswanya dan atau gagal mengangkat semangat serta mental siswanya yang kurang pandai dari keminderan.
Ada kisah menarik di grup WA (WhatsApp) Sastera Sahabat Kita. Saya cuplik untuk Anda semua. Alkisah, seorang guru bahasa Arab pengganti memasuki ruangan kelas di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Setingkat Sekolah Dasar. Ia menggantikan guru pelajaran itu. Sampai akhir semester.
Ia pun memulai pembelajaran di kelas itu. Ketika bertanya kepada seorang murid laki-laki yang duduk di bangku depan, ia bingung. Sebab tiba-tiba suasana kelas menjadi riuh. Murid-murid lainnya tertawa tanpa sebab. Si guru berusaha tetap tenang. Sambil mencari penyebabnya –tentu saja.
Akhirnya guru tadi memanfaatkan pengalaman mengajarnya. Ia mulai menganalisis: pasti ada sesuatu yang ditertawakan oleh anak-anak di kelas itu terkait diri siswa yang ia tanya tadi. Penyelidikan mulai ia lakukan. Hasilnya: ternyata anak laki-laki itu dikenal sebagai murid yang paling bodoh di kelas itu. Murid malang itu sering di-bully karena ”kebodohannya”. Teman-temannya begitu meremehkannya. Mereka sering mengolok-olok. Juga menertawakannya. Pokoknya sudah sangat keterlaluan. Simpul si guru.
Setelah tahu betul penyebabnya, guru baik hati itu mulai melancarkan strateginya. Menyelamatkan siswa yang jadi korban olok-olok. Suatu hari, seusai pelajaran ia panggil murid yang dianggap bodoh tadi. Tentu saja ia lakukan setelah seluruh teman-temannya pulang. Biar tidak menimbulkan kecurigaan. Ia sulurkan secarik kertas kepada si murid. ”Hafalkan bait-bait syair yang ada di kertas ini. Kamu harus hafal betul. Dan ingat, jangan beri tahu siapa pun. Terutama teman-temanmu di kelas!” katanya.
Murid itu mengangguk. Patuh. Ia terus menghafal syair yang diberikan gurunya. Berulang-ulang. Sampai hafal di luar kepala. Seperti pesan Pak Guru. Hari-hari berlalu begitu cepat. Sepekan kemudian, di luar kebiasaan, guru bahasa Arab tadi memberi pelajaran baru di dalam kelas. Ia menulis syair di papan tulis. Menerangkannya. Dan membacakan berulang-ulang. ”Nah, sekarang siapa yang hafal bait-bait syair ini?” tanyanya sambil perlahan tangan menghapus tulisan syair yang ada di papan tulis. Karena termasuk pelajaran baru,
tak seorang murid pun mengangkat tangan. Kecuali satu. Dialah murid yang dikenal bodoh oleh teman-temannya itu. Perlahan-lahan, sambil malu-malu ia berdiri dan membaca bait-bait syair yang telah dihapus oleh gurunya.
Hafalannya bagus dan ia baca dengan lancar sekali. Teman-temannya yang biasa mengolok-olok dan menertawakannya terkejut. Semua hanya bisa terdiam. Giliran gurunya memberi pujian (reward). Setelah itu ia menyuruh siswa lainnya bertepuk tangan. Memberi penghormatan.
Begitulah. Selanjutnya berulang kali guru bahasa Arab tersebut memberikan kertas hafalan-hafalan kepada si murid bodoh itu. Seiring perjalanan waktu, tertawaan dan cemoohan teman-temannya berubah menjadi kekaguman padanya. Hal itu mendorong perubahan besar pada jiwa si murid ”bodoh” itu. Ia mulai percaya diri dan meyakini bahwa dirinya tidaklah bodoh. Hebatnya, ia merasa mampu untuk bersaing dengan teman-teman sekelasnya. Perubahan itu mendorongnya untuk makin semangat dan bersungguh-sungguh belajar di semua mata pelajaran. Ketika ujian akhir tiba, murid ”bodoh” itu berhasil lulus untuk tiap mata pelajaran dengan nilai yang sangat memuaskan.
Kisah inspiratif itu pernah dimuat di sebuah koran. Sebagai bentuk pujian dan ungkapan terima kasih kepada gurunya.
Anda pernah mengalami hal seperti dalam kisah itu? Silakan jawab dalam hati saja. Pastinya, sehari-hari kita berada di tengah dua jenis orang dan teman. Yakni, orang yang membuka jalan kebaikan menutup jalan keburukan. Ia akan selalu memberi kita harapan, optimisme, menolong dan melapangkan jalan kita. Jenis kedua, orang membuka jalan keburukan menutup jalan kebaikan. Ia akan selalu memutus harapan dan cita-cita kita. Ia selalu menebar duri dan kerikil di jalan yang akan kita lalui berupa: pesimisme, putus asa, curiga, buruk sangka, dan berbagai hal yang memadamkan semangat kita berkarya.
Benarkah seperti itu. Hanya kita yang bisa merasakan. Seperti harapan dari penulis kisah yang saya nukil itu(*)