Bedanya Mengajar dan Mendidik - Samsudin Adlawi
oleh Samsudin Adlawi
KAWACA.COM | MENDIDIK dan mengajar. Dua kata yang berbeda tapi sering dianggap sama. Masih banyak orang yang terjebak dalam kerancuan. Salah kaprah. Mereka menganggap mendidik sama dengan mengajar. Dan ”pendidik” mereka samakan dengan ”pengajar”. Karena tak bisa membedakan, mereka tak peduli selama ini di sekolah anaknya ”diajar” saja atau ”dididik” juga.
Supaya gamblang, mari kita bersama-sama membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kalau belum punya KBBI tidak usah repot-repot beli ke toko buku. Kesuwen. Cukup buka gawai. Klik KBBI daring. Cari laman didik dan ajar. Dalam ’kitab suci’ bahasa Indonesia itu, kata kerja ”mendidik” yang berasal dari kata dasar ”didik” diartikan: ’memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntutan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran’. Sedangkan kata ”ajar” diartikan sebagai ’petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut)’. Maka, KBBI mengartikan laman ”mengajar” sebagai ’memberi pelajaran’. Guru sekadar menerangkan mata pelajaran. Itu saja. Misal, guru matematika hanya mengajarkan cara menghitung. Si guru tidak, misalnya, memberi pesan moral: jangan gunakan ilmu menghitung ini untuk ngakali orang lain, atau bahkan untuk menilep alias korupsi.
Dengan pengertian yang gamblang itu, mestinya seorang ”pendidik” juga bisa mengajar. Sebaliknya, seorang ”pengajar” belum tentu bisa mendidik. Nah, pertanyaan besarnya: apakah selama ini anak kita di sekolah mendapatkan pendidikan atau hanya pengajaran. Anak-anak kita ’ditangani’ oleh pendidik atau pengajar. Tentu saja, pembaca yang paling tahu. Kalau belum tahu mulai sepulang sekolah, coba ajak anak Anda diskusi.
Tanyakan pada anak Anda, selama mengikuti kegiatan belajar-mengajar di kelas apakah gurunya menyelipkan pesan-pesan moral dalam mata pelajaran yang diajarkannya. Guru yang canggih pasti tidak kesulitan melakukan hal seperti itu. Atau, guru anak Anda baru menyampaikan pesan-pesan moral –tentang pentingnya akhlak selain kecerdasan pikiran—setelah menuntaskan pelajaran.
Insya Allah, akan mengejutkan jawaban anak Anda. Silakan dicoba.
Alhamdulillah, saya sudah sering berdiskusi dengan buah cinta saya. Banyak sekali ceritanya. Yang pasti, selain guru agama anak saya nyaris tidak mendapatkan guru yang ”pendidik”. Sejak SMP sampai menjelang lulus SMA. Anak saya yang sudah kelas XII (SMA) saban hari hanya mendengarkan guru yang ”pengajar”.
Tapi saya merasa bersyukur telah menyekolahkan dia mulai PAUD, TK, sampai SD di sekolah Islam. Ilmu dasar-dasar agama yang dia peroleh selama di tiga sekolah Islam itu ternyata membekas di lipatan-lipatan otaknya. Hingga sekarang. Di saat dia sudah besar seperti saat ini. Saat di bangku sekolah menengah atas yang notabene sedang berada di usia kritis. Memasuki masa remaja. Di SMA yang siswanya berada pada fase pencarian jati diri seharusnya guru bisa menjadi panutan. Atau setidaknya guru menjadi pendidik yang mampu mengawal proses perubahan sikap dan tata laku dalam usaha mendewasakan siswanya. Guru tidak sekadar mengajarkan teori-teori. Dan, sekali lagi, guru agama dan atau BP saja tidak cukup.
Suatu ketika anak saya cerita. Tentang ulangan di kelasnya. Saya kaget bercampur bangga. Saya tahu, dia paling anti mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di kelas. Sampai larut malam pun dia tidak akan tidur. Sebelum PR-nya selesai. Istri saya sering mengingatkan jangan tidur terlalu malam. Karena merasa kasihan. Apalagi, teman-temannya banyak yang mengerjakan PR di sekolah. Dan sontek-sontekan. Tidak pakai mikir. Tinggal menyalin punya temannya. Tapi dia tetap keukeuh. ”PR harus dikerjakan di rumah. Sesuai namanya,” jawabnya tegas.
Pada kesempatan lain, dia bercerita tentang ulangan di kelasnya. Dia jujur mengakui tidak bisa dan ragu mengerjakan beberapa soal. Tapi dia memilih tidak nyontek pekerjaan temannya. Dia juga tidak mau bertanya kepada teman di sekitar tempat duduknya. Atau bahkan ngerepek. Padahal, semua kesempatan dan peluang untuk itu terbuka lebar. Gurunya kurang peduli terhadap situasi siswanya yang sedang mengerjakan ulangan. Dia pun menanggung konsekuensi tidak mau nyontek dan ngerepek. Nilai ulangannya tidak sebagus teman-temannya yang menghalalkan segala cara: ngerepek bin nyontek. Setelah dia cerita, langsung saya beri ucapan selamat. Sambil menahan air mata haru saya salami dia. Saya benar-benar kagum. Sekaligus mengucap syukur setelah mendengar ucapannya: lebih baik jujur dan mendapat nilai jelek, daripada dapat nilai bagus tapi tidak jujur.
Saya langsung teringat hasil tes sidik jari anaknya ketika SD dulu. Ternyata benar. Emosional spiritual-nya memang lebih menonjol dari IQ-nya. Setiap bulan dia sisihkan seperempat total uang sakunya untuk diinfakkan. Maaf, tulisan ini saya ketik dengan emosi yang meluap-luap. Itu semata karena ingin anak-anak para pembaca tumbuh menjadi anak-anak yang jujur dan berkepribadian yang baik. Apalagi, orang tua yang tidak punya banyak waktu untuk ngobrol dan menanamkan moral keagamaan kepada buah cintanya –karena kesibukan dan pekerjaan. Dalam kondisi seperti itu, pasti orang tua merindukan guru yang tak sekadar mengajar, tapi juga mendidik anaknya. Maaf, sekali lagi... (*)