Alarm Sunyi Perempuan Penyair Emi Suy - Dimas Arika Mihardja
oleh Dimas Arika Mihardja
Selasa 22 Agustus sekira jam 15.30 sebuah paket berisi buku saya terima dari penyair Emi Suy bertajuk “Alarm Sunyi” (TareSI Publisher, Juli 2017; memuat Mukadimah Penyair, Prolog Joko Pinurbo, 65 puisi, Epilog Arif Gumantia; Dilengkapi endorsemen Adri Darmadji Woko, Salimi Ahmad, Hanna Fransisca, Tengsoe Tjahyono, Alexander Robert Nainggolan, dan Sofyan RH Zaid. Melalui kumpulan sajak ini diakui oleh Emi Suy cukup menegngkan, sebabnya seperti ucapan Sofyan RH Zaid “Prinsipnya menerbitkan buku puisi punya dua akibat; hidup seribu tahun lagi atau mati bunuh diri”. Agaknya, Emi Suy ingin seru,pa Chairil Anwar yang hidup seribu tahun. Hal ini dapat ditilik dari hadirnya kawan-kawan penyair-penyair yang turut membackapnya seperti Joko Pinurbo (Prolog), Arif Gumantia (epilog), serta dibentengi oleh endorsmen kawan-kawan penyair.
Sunyi menjadi kunci pembuka misteri sajak-sajak Emi Suy: sebagai sunyi aku merayakan sepi dengan diam/Meredam segala rasa, menggenggam semua karsa---(“Sebagai Aku, h. 15). Dua sinyal yang hadir setelah alarm berbunyi ialah “aku merayakan sepi dengan diam” dan “meredam segala rasa, menggenggam semua karsa”. Hening. Sebuah suasana yang sengaja diciptakan untuk melakukan perenungan, introspeksi, membaca diri, membaca alam, membaca peristiwa, membaca gejolak hati perempuan, merasakan diri sebagai ibu, berperan sebagai istri, dan bermetamorfosa menjadi apa saja—yang semuanya dilaakukan dengan diam: “merayakan sepi dengan diam”. Itu kata kunci pertama, yakni “merayakan sepi dengan diam”. Diam yang bernyanyi, diam yang gemuruh, yang luruh, karena banyak hal yang dipertaruhkan melalui sajak/puisi, sebabnya ialah: daun-daun duduk/mengemas suntuk/di bangku panjang/mengeja sunyi yang lapang//dua batang pohon tegeletak/saksi percakapan yang retak/angin menoleh/dingin menoreh//diam mematung/rindu terhuyung/lesap ditelan senyap/lelap di peluk harap//mengecup peluh di kening pilu/kenangan berserak/sunyi pun beranak pinak// (“Sunyi” h.1).
“Alarm Sunyi” mengisyaratkan adanya hal-hal yang patut direnungkan saat sunyi sendiri. Kesepian boleh memagut dan merenggut apa saja yang dirasa sebab ketika sunyi kita “meredam segala rasa, menggenggam semua karsa”. Ini kata kunci kedua yang secara implicit menjadi tema puisi-puisi Emi Suy: meredam segala rasa dn mengenggam segala karsa. Segala rasa terkait dengan perasaan manusia: rindu, kecewa, cemburu, cinta, benci, dan rasa-rasa lainnya. Segala karsa berkait dengan segala kehendak/keinginan/obsesi dan macam-macam keinginan lainnya.
Kegiatan meresepsi sastra dan kemudian ditindaklanjuti dengan menulis esai, kritik, opini, apresiasi dan seterusnya akan menciptakan tradisi intelektual yang responsif terhadap kehidupan intelektual seseorang. Setiap kali muncul karya baru, misalnya buku kumpulan puisi, buku kumpulan cerpen, novel, kumpulan esai, teori baru, ilmu baru, dan seterusnya akan memicu dan memacu gerak berpikir dan merespon secara positif. Aspek-aspek pokok kajian puisi adalah analisis, interpretasi, dan evaluasi atau penilaian.
Teks puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu ada analisis, yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Analisis itu merupakan salah satu sarana penafsiran atau interpretasi. Sebuah teks puisi itu berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, struktur rumit, serta ditulis dengan medium bahasa yang rumit pula. Oleh karena itu, teks puisi perlu ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Interpretasi adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra (Abrams, 1981:84).
Dalam arti sempitnya, interpretasi adalah penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya. Teks puisi adalah karya seni. Oleh karena itu, harus diterangkan sampai sejauh manakah nilai seni karya teks puisi itu. Analisis dan penafsiran teks puisi harus dihubungkan dengan penilaian (Wellek, 1989:156). Ketiga aktivitas kajian puisi tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena ketiganya saling erat hubungan dan saling menentukan.
Untuk menganalisis, menafsir, dan menilai teks puisi terdapat empat orientasi pendekatan yang menentukan arah atau corak kajian puisi. Orientasi pendekatan kajian puisi itu berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra, yakni: alam (kehidupan), pembaca, penulis, dan karya sastra. Berdasarkan hal itu ada empat orientasi, yaitu orientasi (1) mimetik, (2) pragmatik, (3) ekspresif, dan (4) objektif (Abrams, 1979:6; 1981:36—37).
Sebagai salah satu bentuk dan hasil ekspresi, kreasi, dan imajinasi sas¬trawan, bagaimanapun juga puisi merupakan simbol verbal. Simbol verbal puisi ini selanjutnya dapat dikaji sebagai (1) cara pemahaman (mode of comprehension), (2) cara komunikasi (mode of communication), dan (3) cara penciptaan (mode of creation). Tiga cara kajian yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo tersebut berkaitan dengan perspektif sejarah. Tiga cara pendekatan itu dapat dirunut dari model komunikasi sastra menurut Abrams (1976) yang telah disebut.
Model komunikasi sastra yang dikemukakan oleh Abrams itu secara sederhana menunjukkan empat wawasan dasar dalam mendekati sastra, yakni (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik.
“Alarm Sunyi” hakikatnya ialah tanda-tanda, isyarat, tentang sunyi. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketanda-an. Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan bahan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu, menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti . Seperti telah disebutkan bahwa arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna karya sastra oleh konvensi tambahan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna karya sastra, haruslah diketahui konvensi-konvensi tambahan yang memungkinkan diproduksinya makna. Konvensi-konvensi apa yang mendasari timbulnya makna ini dieksplisitkan dalam konkretisasi. Konvensi-konvensi sastra ini bermacam-macam.
Hal ini sesuai dengan sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jeniss-jenis sastra. Misalnya dalam puisi liris, di antaranya berupa ciri-ciri formal seperti enjambemen, sajak, metrum, dan ulangan-ulangan bunyi. Semuanya itu merupakan tanda-tanda yang menyumbangkan efek puitis sebagai maknanya. Konvensi puisi liris yang lain di antaranya seperti dikemukakan oleh Teeuw (1984:104—105) berasal dari Culler adalah tiga konvensi dasar: (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.
Pertama, jarak dan deiksis. Puisi itu karya rekaan, maka ucapan itu bukanlah pencatatan tindak ucapan yang empiris, maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, di sini ada “jarak” antara situasi si aku penulis dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik. Keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.
Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun, karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.
Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya (Teeuw, 1984:196). Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.
Di samping konvensi di atas, ada juga konvensi puisi yang lain, yang dapat dipergunakan untuk konkretisasi. Konvensi ini hendaknya dicari pembaca puisi berdasarkan keajegan puisi dari dulu hingga sekarang. Misalnya, konvensi puisi yang lain itu seperti dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1—2) bahwa puisi itu dari dulu hingga sekarang meskipun selalu berubah oleh konsep estetik dan evolusi selera yang selalu berubah, tetapi ada satu hal yang tinggal tetap, yaitu puisi yang menyatakan satu hal dan berarti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketak-langsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorsing of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjambemen, dan persejajaran baris (lihat Pradopo, 1987:209—222). Sebagai ungkapan verbal, “Alarm Sunyi” menyedikan tanda-tanda penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. tanda-tanda semiotic ini dapat dikaji secara terpisah dan tersendiri.
Jambi, 22 Agustus 2017
Referensi
Abrams, M.H. 1981. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. London-Oxford New York: Oxford University Press.
Pradopo, R.D. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, R.D. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, R.D. 2001. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik. Dalam Jabrohim (Ed.) Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Kerja sama PT Hanindita Graha Widia-Masyarakat Poetika Indonesia.
Riffaterre, M. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Segers, R.T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Terjemahan Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar ke Teori Sas¬tra. Jakarta: PT Pustaka Jaya.
Wellek, R. & Warren, A. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
---sebagai sunyi aku merayakan sepi dengan diam
Meredam segala rasa, menggenggam semua karsa---(“Sebagai Aku, h. 15)
Selasa 22 Agustus sekira jam 15.30 sebuah paket berisi buku saya terima dari penyair Emi Suy bertajuk “Alarm Sunyi” (TareSI Publisher, Juli 2017; memuat Mukadimah Penyair, Prolog Joko Pinurbo, 65 puisi, Epilog Arif Gumantia; Dilengkapi endorsemen Adri Darmadji Woko, Salimi Ahmad, Hanna Fransisca, Tengsoe Tjahyono, Alexander Robert Nainggolan, dan Sofyan RH Zaid. Melalui kumpulan sajak ini diakui oleh Emi Suy cukup menegngkan, sebabnya seperti ucapan Sofyan RH Zaid “Prinsipnya menerbitkan buku puisi punya dua akibat; hidup seribu tahun lagi atau mati bunuh diri”. Agaknya, Emi Suy ingin seru,pa Chairil Anwar yang hidup seribu tahun. Hal ini dapat ditilik dari hadirnya kawan-kawan penyair-penyair yang turut membackapnya seperti Joko Pinurbo (Prolog), Arif Gumantia (epilog), serta dibentengi oleh endorsmen kawan-kawan penyair.
Sunyi menjadi kunci pembuka misteri sajak-sajak Emi Suy: sebagai sunyi aku merayakan sepi dengan diam/Meredam segala rasa, menggenggam semua karsa---(“Sebagai Aku, h. 15). Dua sinyal yang hadir setelah alarm berbunyi ialah “aku merayakan sepi dengan diam” dan “meredam segala rasa, menggenggam semua karsa”. Hening. Sebuah suasana yang sengaja diciptakan untuk melakukan perenungan, introspeksi, membaca diri, membaca alam, membaca peristiwa, membaca gejolak hati perempuan, merasakan diri sebagai ibu, berperan sebagai istri, dan bermetamorfosa menjadi apa saja—yang semuanya dilaakukan dengan diam: “merayakan sepi dengan diam”. Itu kata kunci pertama, yakni “merayakan sepi dengan diam”. Diam yang bernyanyi, diam yang gemuruh, yang luruh, karena banyak hal yang dipertaruhkan melalui sajak/puisi, sebabnya ialah: daun-daun duduk/mengemas suntuk/di bangku panjang/mengeja sunyi yang lapang//dua batang pohon tegeletak/saksi percakapan yang retak/angin menoleh/dingin menoreh//diam mematung/rindu terhuyung/lesap ditelan senyap/lelap di peluk harap//mengecup peluh di kening pilu/kenangan berserak/sunyi pun beranak pinak// (“Sunyi” h.1).
“Alarm Sunyi” mengisyaratkan adanya hal-hal yang patut direnungkan saat sunyi sendiri. Kesepian boleh memagut dan merenggut apa saja yang dirasa sebab ketika sunyi kita “meredam segala rasa, menggenggam semua karsa”. Ini kata kunci kedua yang secara implicit menjadi tema puisi-puisi Emi Suy: meredam segala rasa dn mengenggam segala karsa. Segala rasa terkait dengan perasaan manusia: rindu, kecewa, cemburu, cinta, benci, dan rasa-rasa lainnya. Segala karsa berkait dengan segala kehendak/keinginan/obsesi dan macam-macam keinginan lainnya.
Kegiatan meresepsi sastra dan kemudian ditindaklanjuti dengan menulis esai, kritik, opini, apresiasi dan seterusnya akan menciptakan tradisi intelektual yang responsif terhadap kehidupan intelektual seseorang. Setiap kali muncul karya baru, misalnya buku kumpulan puisi, buku kumpulan cerpen, novel, kumpulan esai, teori baru, ilmu baru, dan seterusnya akan memicu dan memacu gerak berpikir dan merespon secara positif. Aspek-aspek pokok kajian puisi adalah analisis, interpretasi, dan evaluasi atau penilaian.
Teks puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu ada analisis, yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Analisis itu merupakan salah satu sarana penafsiran atau interpretasi. Sebuah teks puisi itu berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, struktur rumit, serta ditulis dengan medium bahasa yang rumit pula. Oleh karena itu, teks puisi perlu ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Interpretasi adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra (Abrams, 1981:84).
Dalam arti sempitnya, interpretasi adalah penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya. Teks puisi adalah karya seni. Oleh karena itu, harus diterangkan sampai sejauh manakah nilai seni karya teks puisi itu. Analisis dan penafsiran teks puisi harus dihubungkan dengan penilaian (Wellek, 1989:156). Ketiga aktivitas kajian puisi tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena ketiganya saling erat hubungan dan saling menentukan.
Untuk menganalisis, menafsir, dan menilai teks puisi terdapat empat orientasi pendekatan yang menentukan arah atau corak kajian puisi. Orientasi pendekatan kajian puisi itu berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra, yakni: alam (kehidupan), pembaca, penulis, dan karya sastra. Berdasarkan hal itu ada empat orientasi, yaitu orientasi (1) mimetik, (2) pragmatik, (3) ekspresif, dan (4) objektif (Abrams, 1979:6; 1981:36—37).
Sebagai salah satu bentuk dan hasil ekspresi, kreasi, dan imajinasi sas¬trawan, bagaimanapun juga puisi merupakan simbol verbal. Simbol verbal puisi ini selanjutnya dapat dikaji sebagai (1) cara pemahaman (mode of comprehension), (2) cara komunikasi (mode of communication), dan (3) cara penciptaan (mode of creation). Tiga cara kajian yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo tersebut berkaitan dengan perspektif sejarah. Tiga cara pendekatan itu dapat dirunut dari model komunikasi sastra menurut Abrams (1976) yang telah disebut.
Model komunikasi sastra yang dikemukakan oleh Abrams itu secara sederhana menunjukkan empat wawasan dasar dalam mendekati sastra, yakni (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik.
“Alarm Sunyi” hakikatnya ialah tanda-tanda, isyarat, tentang sunyi. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketanda-an. Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan bahan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu, menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti . Seperti telah disebutkan bahwa arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna karya sastra oleh konvensi tambahan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna karya sastra, haruslah diketahui konvensi-konvensi tambahan yang memungkinkan diproduksinya makna. Konvensi-konvensi apa yang mendasari timbulnya makna ini dieksplisitkan dalam konkretisasi. Konvensi-konvensi sastra ini bermacam-macam.
Hal ini sesuai dengan sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jeniss-jenis sastra. Misalnya dalam puisi liris, di antaranya berupa ciri-ciri formal seperti enjambemen, sajak, metrum, dan ulangan-ulangan bunyi. Semuanya itu merupakan tanda-tanda yang menyumbangkan efek puitis sebagai maknanya. Konvensi puisi liris yang lain di antaranya seperti dikemukakan oleh Teeuw (1984:104—105) berasal dari Culler adalah tiga konvensi dasar: (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.
Pertama, jarak dan deiksis. Puisi itu karya rekaan, maka ucapan itu bukanlah pencatatan tindak ucapan yang empiris, maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, di sini ada “jarak” antara situasi si aku penulis dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik. Keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.
Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun, karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.
Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya (Teeuw, 1984:196). Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.
Di samping konvensi di atas, ada juga konvensi puisi yang lain, yang dapat dipergunakan untuk konkretisasi. Konvensi ini hendaknya dicari pembaca puisi berdasarkan keajegan puisi dari dulu hingga sekarang. Misalnya, konvensi puisi yang lain itu seperti dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1—2) bahwa puisi itu dari dulu hingga sekarang meskipun selalu berubah oleh konsep estetik dan evolusi selera yang selalu berubah, tetapi ada satu hal yang tinggal tetap, yaitu puisi yang menyatakan satu hal dan berarti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketak-langsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorsing of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjambemen, dan persejajaran baris (lihat Pradopo, 1987:209—222). Sebagai ungkapan verbal, “Alarm Sunyi” menyedikan tanda-tanda penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. tanda-tanda semiotic ini dapat dikaji secara terpisah dan tersendiri.
Jambi, 22 Agustus 2017
Referensi
Abrams, M.H. 1981. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. London-Oxford New York: Oxford University Press.
Pradopo, R.D. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, R.D. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, R.D. 2001. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik. Dalam Jabrohim (Ed.) Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Kerja sama PT Hanindita Graha Widia-Masyarakat Poetika Indonesia.
Riffaterre, M. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Segers, R.T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Terjemahan Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar ke Teori Sas¬tra. Jakarta: PT Pustaka Jaya.
Wellek, R. & Warren, A. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.