Sunyi Emi Sunyi Impian - Hikmat Gumelar
Oleh Hikmat Gumelar
Sunyi itu seteru. Seteru tak berujud seperti hantu. Sang hantu ini mengisolasi, membelenggu dengan rasa terasing, memasung dengan rasa tak bernilai, mencengkeram dengan rasa frustasi. Pendek kata sunyi itu sumber patalogi.
Begitulah orang ramai memandang sunyi. Maka berlarianlah orang ramai menjauhi sunyi. Berlarian ke dalam kerja mekanis. Berlarian ke dalam perburuan simbol-simbol prestasi yang galib. Berlarian ke dalam kegiatan-kegiatan yang menjauhkan dari berada sendiri. Berlarian ke dalam semarak pusat-pusat perbelanjaan. Berlarian ke dalam meriah tempat-tempat hiburan. Berlarian ke dalam eksotisme tempat-tempat wisata. Berlarian ke dalam gairah arak, ganja, shabu-shabu, heroin, dan sebagainya. Pendek kata berlarian ke dalam gaya hidup yang oleh Erich Fromm disebut konformis,bahkan otomaton.
Emi Suy tak begitu. Emi tampak tak termasuk golongan orang ramai. Ia tampak lebih dekat ke Gao Xingjian, pemenang Nobel Sastra tahun 2000 asal Cina yang kini mukim di Prancis. Dalam sebuah wawancara dengan David Der-Wei Wang, di New York, 21 Februari 2001, Gao mengatakan, “Kesunyian adalah syarat bagi kebebasan. Kebebasan bergantung pada kemampuan refleksi, dan refleksi hanya dapat dimulai ketika seseorang sendirian.”
Refleksi memang bukan saja membedakan individu manusia dengan individu hewan dan individu tanaman, melainkan juga sang pemungkin individu manusia memanusia, yang berarti ia merdeka sebagai manusia.
Refleksi memungkinkan individu manusia melampaui tubuhnya. Dengannya individu manusia mampu melampaui nalurinya. Monyet, babi, atau kerbau makan, minum, kencing, berak, dan berhubungan s3ks seturut nalurinya. Mereka melakukannya kapa pun dan di mana pun naluri untuk itu menuntut. Individu manusia tak demikian. Individu manusia lebih dulu menundanya. Sebelum makan dan minum, individu manusia minimal lebih dulu mengolah bahan makanan dan minumannya. Sebelum kencing dan berak, minimal manusia lebih dulu mencari tempat khusus untuknya. Untuk berhubungan s3ks, para individu manusia minimal lebih dulu berpikir, berimajinasi dan berkomunikasi. Pemenuhan kebutuhan alamiah kita secara demikian tak pelak merupakan fase awal proses pembentukan kebudayaan.
Refleksi juga memungkinkan individu manusia melampaui interiotasnya. Kita tahu bahwa kita, manusia, bukan saja realitas eksternal, tetapi juga realitas internal. Kaum pemeluk teguh naturalisme radikal pun mengakui hal ini. Mereka tidak pernah terdengar menampik adanya realitas internal dari organisme. Apa yang sejak dahulu kala disebut “naluri”atau “insting”itu mereka akui adanya dalam setiap organisme. Pengakuan ini memang sepatutnya. Wong materi saja punya bagian dalam. Sila simak, misalnya, fisika dan kimia. Di situ kita bertemu dengan istilah “energi”. Itulah interoitas materi. Tidak heran jika Niklas Luhmann, yang populer dengan teori sistem, mengurai bahwa organisasi diri mekanis mencapai puncak kompleksitasnya ketika mengalami “lompatan evolusioner” yang dikata emergence. Emergence ini berarti munculnya suatu realitas baru yang melampaui organisasi diri. Untuk sistem saraf, misalnya, emergence itu ialah kesadaran. Maka bolehlah kita pun membilang bahwa apa yang galib dinamai “jiwa”itu identik dengan emergence atau pelampauan organisasi diri suatu organisme. Proses ini, proses pengendalian diri alamiah ini memungkinkan individu manusia menjadi punya batin yang kompleks, tidak simpleks sebagaimana individu manusia yang jatuh sebagai budak naluri-nalurinya sehingga hidupnya mirip hewan.
Mengenai “jiwa”, kita paham, sedemikian banyak sudah orang yang menjelaskannya. Dalam tradisi filsafat Barat, salah seorang pentolannya, Plato, sampai kini perkataannya mengenai jiwa itu masih laris dikutip dan dikuntit. Menurutnya, jiwa itu terdiri dari akal, kehendak, dan hasrat. Yang pertama, akal, dipahaminya sebagai sang pemimpin.Model Plato ini banyak dikembangkan sehingga banyak variannya. Misalnya, di abad pertengahan, Thomas Aquinas dan Agustinus mengembangkannya. Di awal modernitas, Descartes melakukan hal serupa. Kita ingat, Descartes populer dengan “cogito ergo sum”. Model jiwa psikonalisa Sigmund Freud tak kalah populer dan berpengaruh. Bangunan jiwa Freud terdiri dari id, ego, dan superego. Harus diakui bahwa bangunan jiwa Freud ini sudah melampaui semata kehidupan organis. Tetapi bangunan jiwa yang mengidealkan superego tersebut masih sangat dekat dengan insting, baik insting kehidupan maupun penghancuran, baik eros maupun thanatos, sehingga tak sedikit yang memandang jiwa Freudian tak lebih daripada seekor “hewan batiniah” di dalam realitas internal individu manusia.
Kaum penganut fsikologi humanis memandang miring hewan batiniah itu. Viktor Frankel memandang bukan hewan batiniah yang memungkinkan individu manusia mampu melampai jiwanya, tapi makna atau nilai. Frankel memandang bahwa individu manusia adalah mahluk yang mencari dan merealisasikan dirinya dengan menemukan makna. Dalam satu bukunya yang terbit pertama di tahun 1997, Frankel menulis, “Menjadi manusia mengacu melampaui dirinya sendiri pada sesuatu yang bukan dirinya, pada sesuatu atau seseorang; pada suatu makna yang mesti dipenuhi atau pada sesama manusia yang mesti ia temui.” Terang bagi Frankel bahwa pelampauan atau transendensi diri atau jiwa itu adalah dengan pencarian makna.
Transendensi diri ala Frankel tersebut melampaui transendensi jiwa Freudian. Transendesi diri ala Frankel berarti individu manusia bukan semata tak tunduk pada superego atau respon mekanis terhadap stimulus, tapi masuk lebih menyuruk ke interiotasnya. Namun, Max Weber bergerak lebih jauh lagi. Dengan bantuan filsafat Imanuel Kant, Weber mengeksplorasi roh sebagaimana pernah diolah oleh G.W.F.Hegel. Hegel dianggap membedakan jiwa dan roh. Baginya, jiwa masih lekat pada daging. Roh sudah melampauinya. Roh inilah yang mencari makna. Oleh karenanya, makna melebihi fsikis. Makna bersifat spiritual. Weber tegas menulis bahwa makna bersifat transendental. Makna bersifat demikian karena makna melampaui benda-benda. Ia ada di zona noumenal. Oleh karenanya, Weber menyatakan bahwa manusia mentransendensi dirinya sebagai objek atau mengatasi situasi benda-benda dengan berbicara, praktik mencari dan menyempaikan makna. Teori sistem dekat dengan itu. Dikatakan begitu karena terori sistem menganggap bahwa makna dan kesadaran merupakan emergence sistem organis dan sampai di posisi ‘lebih’ yang dinamai sistem semiotis. Dengan cara ungkap berbeda-beda, Hegel, Weber, Luhmann sama-sama memandang refleksi sebagai sang pemungkin transendensi ini.
Refleksi juga memungkinkan individu manusia melampaui kelompok. Memang manusia mustahil hidup di luar kelompok. Setiap individu manusia memiliki naluri-naluri sosial. Naluri-naluri ini memungkinkannya untuk hidup berkelompok. Inilah yang dianggap muasal dari Aristoteles menamai manusia sebagai zoon politikon. Jiwa individu manusia pun dianggap senantiasa terjalin dengan jiwa individu lain. Oleh karenanya, Gustave le Bon menamai jiwa kita sebagai jiwa kolektif. Jiwa yang senatiasa berkehendak menjalin relasi dan membentuk komunitas. Namun, atom tidak sama dengan molekul meski atom merupakan bagian dari molekul. Begitu pula dengan individu manusia. Meski individu manusia adalah bagian dari berbagai kelompok, tetap saja ia tidak sama dengan berbagai kelompoknya. Ada selalu dalam interioritas individu manusia yang bukan bagian dari berbagai komunitasnya. Jika semua yang ada dalam realitas internal individu manusia bersifat sosial, pasti tak ada yang namanya realitas individu manusia.
Maka, meski bisa dikata sudah otomatis individu manusia melampaui berbagai kelompoknya,menjadi kebutuhanlah baginya untuk bergerak melampaui itu. Pelampauan ini bertaut dengan kebutuhan terhadap pengenalan dan pertautan lebih mendalam dengan kompleksitas diri, dan untuk lebih jauh mengembangkannya. Selintas tampak kontradiktif. Seperti telah ditulis, setiap individu manusia memiliki naluri-naluri sosial dan jiwa kolektif. Kalau begitu, bagaimana mungkin individu manusia bisa melampau kelompok? Transendensi diri atas kelompok memang agak berbeda dengan transendensi diri atas naluri dan jiwa. Transendensi diri atas kelompok bisadikata merupakan pelampauan ganda. Gerak ini gerak keluar kelompok untuk masuk lebih jauh ke dalam realitas internal individu manusia dan sekaligus untuk kembali masuk ke dalam kelompok dengan diri yang baru. Buah darinya baik individu manusia maupun kelompok menjadi mungkin lebih mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kecuali itu semua, refleksi juga memungkin individu manusia mentransendensi roh. Di muka sudah ditulis bahwa roh itu sang pencari makna. Bahkan bisa merupakan makna itu sendiri. Dan dengan itu individu manusia melampaui naluri, melampaui seekor hewan batiniah. Namun, individu manusia bisa tergiur mengabsolutkan makna. Pengabsolutan makna ini berarti mengunci pintu diri. Menjadikannya terputus dengan kompleksitas realitas, baik realitas eksternal maupun realitas internal. Dan keterputusan ini memungkinkan individu manusia menjadi tiran dan terasing, termasuk bagi dan dengan dirinya. Memang mentrandensi roh dapat dikata berarti membatalkan (pencarian) makna-makna, berarti menihilkan nilai-nilai, berarti menjadikan individu manusia kosong. Namun, situasi begitu bukanlah kosong yang berarti hampa. Dalam tradisi Zen, seperti disampaikan D.T.Suzuki, kosong seperti itu justu penuh. Maka, kosong dalam pengertian begitu persis berkebalikan dengan atau bukan nihilisme.
Suzuki menyampaikan begitu karena refleksi-refleksi yang intensif dengan sepenuh diri itu tidak lain merupakan proses perenggutan dominasi intelek atas keberadaan individu manusia, dan sekaligus berarti kita membuka diri terhadap kompleksitas realitas-realitas. Kita membiarkan realitas-realitas hadir sebagaimana adanya sehingga kemudian terjadilah kita dan realitas-realitas berkelindan. Kondosi beginilah, menurut Suzuki, rahim yang melahirkan haiku sebenar-benar haiku.
Suzuki mengatakan itu antara lain ketika ia membicarakan haiku karya master haiku Matsuo Basho. Haiku Basho yang dibicarakannya ialah haiku tentang bunga nazuna:
Yoku mireba
Nazuna hana saku
Kakine kana
Saat cermat kuamati
Kulihat nazuna mekar
Di dekat pagar!
Dilihat selitas haiku tersebut bisa terkesan biasa. Tetapi tak begitu bagi Suzuki. Menurutnya, suatu saat Basho berjalan-jalan di sebuah jalan pedesaan. Tiba-tiba ia melihat sesuatu di dekat pagar bambu yang sudah rusak. Sesuatu itu terlihat tak ada yang mengacuhkan. Ia menghampirinya. Ia mengamati dengan cermat. Sesuatu itu ternyata nazuna liar. Ia menghampiri kian dekat dan mengamati kian cermat. Proses ini membawanya masuk ke dalam nazuna. Dan nazuna lalu masuk ke dalam dirinya. Kelopak-kelopaknya mengisahkan bagaimana ia kehujanan, kepanasan, perlahan kuncup, perlahan mekar, terus tak diindahkan orang-orang, tetapi ia tak berharap diperhatikan oleh siapa pun, dan seterusnya. Basho dan nazuna pun menyatu. Nazuna menjadi Basho. Basho menjadi nazuna.
Ketika mengekspresikannya, tambah Suzuki, Basho tak melakukannya dengan “perasaan puitis yang khusus kecuali barangkali pada dua suku kata terakhir yang dalam bahasa Jepang disebut kana. Butir ini, acap dilekatkan pada satu kata benda, atau kata sifat, atau kata keterangan, menadakan suatu perasaan kekaguman tertentu, atau pujian, atau penderitaan, atau kegirangan, dan kadang cukup tepat diterjemahkan ke dalambahasa Inggris sebagai tanda seru. Dalam haiku ini seluruh bait berakhir dengan tanda seru tersebut”.
Hal demikian, lanjut Suzuki, mungkin merupakan ungkapan kekaguman tulus Basho. Ia kagum pada pada “kerendahan hatinya, kemolekannya yang bersahaja”. Ini agaknya menjadikan Basho merasa bahwa nazuna itu “betapa lembutnya, betapa penuh kemuliaan atau kemegahan illahi, lebih gemilang daripada Sulaiman!”
Jadilah Basho sangat mungkin merasakan, tegas Suzuki, “misteri terdalam kehidupan atau keberadaan. Basho sendiri barangkali belum menyadarinya. Tetapi saya yakin bahwa di dalam hatinya pada saat itu ada getar perasaan yang kira-kira mirip dengan apa yang oleh orang Kristen disebut kasih surgawi, yang menjangkau relung-relung kehidupan kosmik yang paling dalam.
“Barisan pegunungan Himalaya dapat menggugah di dalam hati kita perasaan pesona agung; gelombang samudra Pasifik dapat mengesankan semacam ketiadabatasan.Tetapi jika pikiran kita terbuka secara puitis, atau mistis, atau religius seperti Basho, orang akan merasakan bahwa bahkan pada setiap helai rumput liar pun ada sesuatu yang melampaui semua perasaan manusia yang mendasar, yang mengangkat kita ke alam yang kemegahannya setara dengan Tanah Suci (Pure Land).”
Memang Alarm Sunyi tak memuat satu pun haiku. Namun, setidaknya untuk saya, puisi-puisi Emi di buku ini terasa benar ditulis dengan spirit haiku. Mungkin saja Emi sendiri tidak menyadarinya. Namun puisi-puisinya menghidupkan unsur-unsur alam dan benda-benda. Simak, misalnya, dua bait pertama Sunyi:
daun-daun duduk
mengemas suntuk
di bangku panjang
mengeja sunyi yang lapang
dua batang pohon tergeletak
saksi percakapan yang retak
angin menoleh
dingin menoreh
Dua bait tersebut lebih daripada sekadar memperlihatkan ketangkasan Emi mengoperasikan personifikasi. Juga lebih daripada rangkaian tanda yang menunjukkan bahwa Sunyi merupakan puisi lirik, satu jenis puisi yang secara sederhana dapat dikatakan menjadikan alam sebagai gambaran batin (penyair). Saya membaca itu merupakan buah dari sikap hormat Emi terhadap alam, serta pandangannya yang mendalam mengenainya.
Mudah kita menemukan sikap dan pandangan begitu pada puisi-puisi di Alarm Sunyi. Misalnya, aku menyukai hujan/seperti daun-daun menyukai rintiknya (ANAK KEHENINGAN); kali ini aku belajar pada pasir./jemarimu angin yang berdesir mengempas dan meremas/sebagian debu masuk ke mataku/tak ubahnya deru yang menyatukan bongkahan batu (RUANG RENUNG); dan bebatuan itu masih bisu,/lereng gunung kehilangan pucuk-pucuk menghijau,/tak pernah menjawab kegelisahan hujan./hutan tak kuasa menahan bah karena sudah gundul/air meluncur ke bawah, menadah rumah-rumah (MENYIMAK HUTAN, MENYIBAK PADANG).
Begitu pula sikap dan pandangan Emi terhadap benda-benda buatan manusia. Misalnya, puisi SETELAH dibuka dengan sapaan mesra: selamat malam, langit-langit kamar. Sapaan demikian terang menandakan keakraban Emi dengan langit-langit kamar. Mereka sangat mungkin acap saling menatap, acap bertukar, cakap, acap saling mengungkap dan menyerap perasaan-perasaan.
Hal-hal seperti itu tak syak mengandaikan kehadiran sunyi. Dengan kehadirannya, unsur-unsur alam dan benda-benda buatan manusia bermetamorfosa menjadi sebagaimana manusia. Mereka yang galib dibisu-tulikan, mereka yang galib dimatikan, mereka yang galib hanya dipandang dengan perspektif ilmu pengetahun dan ekonomi berubah menjadi mahluk-mahluk yang memiliki jiwa, pikiran, perasaan, bahasa, dan sebagainya. Karena itu, dengan mereka, kita pun bisa berbincang dan berdekapan misalnya.
Karena itu pula, sunyi Emi menjadi berbeda dengan sunyi sebagaimana galib dipandang oleh orang ramai. Sunyi Emi sunyi impian. Sunyinya dalam Alarm Sunyi terasa sebagai jalan menuju kosong sebagaimana yang disampaikan Suzuki. Dan ini berarti terbukanya berbagai kemungkinan. Tidak heran jika Gao mengucap, “Kesunyian adalah syarat bagi kebebasan.” Inilah, setidaknya untuk saya, salah satu kelebihan Alarm Sunyi.***
Sunyi itu seteru. Seteru tak berujud seperti hantu. Sang hantu ini mengisolasi, membelenggu dengan rasa terasing, memasung dengan rasa tak bernilai, mencengkeram dengan rasa frustasi. Pendek kata sunyi itu sumber patalogi.
Begitulah orang ramai memandang sunyi. Maka berlarianlah orang ramai menjauhi sunyi. Berlarian ke dalam kerja mekanis. Berlarian ke dalam perburuan simbol-simbol prestasi yang galib. Berlarian ke dalam kegiatan-kegiatan yang menjauhkan dari berada sendiri. Berlarian ke dalam semarak pusat-pusat perbelanjaan. Berlarian ke dalam meriah tempat-tempat hiburan. Berlarian ke dalam eksotisme tempat-tempat wisata. Berlarian ke dalam gairah arak, ganja, shabu-shabu, heroin, dan sebagainya. Pendek kata berlarian ke dalam gaya hidup yang oleh Erich Fromm disebut konformis,bahkan otomaton.
Emi Suy tak begitu. Emi tampak tak termasuk golongan orang ramai. Ia tampak lebih dekat ke Gao Xingjian, pemenang Nobel Sastra tahun 2000 asal Cina yang kini mukim di Prancis. Dalam sebuah wawancara dengan David Der-Wei Wang, di New York, 21 Februari 2001, Gao mengatakan, “Kesunyian adalah syarat bagi kebebasan. Kebebasan bergantung pada kemampuan refleksi, dan refleksi hanya dapat dimulai ketika seseorang sendirian.”
Refleksi memang bukan saja membedakan individu manusia dengan individu hewan dan individu tanaman, melainkan juga sang pemungkin individu manusia memanusia, yang berarti ia merdeka sebagai manusia.
Refleksi memungkinkan individu manusia melampaui tubuhnya. Dengannya individu manusia mampu melampaui nalurinya. Monyet, babi, atau kerbau makan, minum, kencing, berak, dan berhubungan s3ks seturut nalurinya. Mereka melakukannya kapa pun dan di mana pun naluri untuk itu menuntut. Individu manusia tak demikian. Individu manusia lebih dulu menundanya. Sebelum makan dan minum, individu manusia minimal lebih dulu mengolah bahan makanan dan minumannya. Sebelum kencing dan berak, minimal manusia lebih dulu mencari tempat khusus untuknya. Untuk berhubungan s3ks, para individu manusia minimal lebih dulu berpikir, berimajinasi dan berkomunikasi. Pemenuhan kebutuhan alamiah kita secara demikian tak pelak merupakan fase awal proses pembentukan kebudayaan.
Refleksi juga memungkinkan individu manusia melampaui interiotasnya. Kita tahu bahwa kita, manusia, bukan saja realitas eksternal, tetapi juga realitas internal. Kaum pemeluk teguh naturalisme radikal pun mengakui hal ini. Mereka tidak pernah terdengar menampik adanya realitas internal dari organisme. Apa yang sejak dahulu kala disebut “naluri”atau “insting”itu mereka akui adanya dalam setiap organisme. Pengakuan ini memang sepatutnya. Wong materi saja punya bagian dalam. Sila simak, misalnya, fisika dan kimia. Di situ kita bertemu dengan istilah “energi”. Itulah interoitas materi. Tidak heran jika Niklas Luhmann, yang populer dengan teori sistem, mengurai bahwa organisasi diri mekanis mencapai puncak kompleksitasnya ketika mengalami “lompatan evolusioner” yang dikata emergence. Emergence ini berarti munculnya suatu realitas baru yang melampaui organisasi diri. Untuk sistem saraf, misalnya, emergence itu ialah kesadaran. Maka bolehlah kita pun membilang bahwa apa yang galib dinamai “jiwa”itu identik dengan emergence atau pelampauan organisasi diri suatu organisme. Proses ini, proses pengendalian diri alamiah ini memungkinkan individu manusia menjadi punya batin yang kompleks, tidak simpleks sebagaimana individu manusia yang jatuh sebagai budak naluri-nalurinya sehingga hidupnya mirip hewan.
Mengenai “jiwa”, kita paham, sedemikian banyak sudah orang yang menjelaskannya. Dalam tradisi filsafat Barat, salah seorang pentolannya, Plato, sampai kini perkataannya mengenai jiwa itu masih laris dikutip dan dikuntit. Menurutnya, jiwa itu terdiri dari akal, kehendak, dan hasrat. Yang pertama, akal, dipahaminya sebagai sang pemimpin.Model Plato ini banyak dikembangkan sehingga banyak variannya. Misalnya, di abad pertengahan, Thomas Aquinas dan Agustinus mengembangkannya. Di awal modernitas, Descartes melakukan hal serupa. Kita ingat, Descartes populer dengan “cogito ergo sum”. Model jiwa psikonalisa Sigmund Freud tak kalah populer dan berpengaruh. Bangunan jiwa Freud terdiri dari id, ego, dan superego. Harus diakui bahwa bangunan jiwa Freud ini sudah melampaui semata kehidupan organis. Tetapi bangunan jiwa yang mengidealkan superego tersebut masih sangat dekat dengan insting, baik insting kehidupan maupun penghancuran, baik eros maupun thanatos, sehingga tak sedikit yang memandang jiwa Freudian tak lebih daripada seekor “hewan batiniah” di dalam realitas internal individu manusia.
Kaum penganut fsikologi humanis memandang miring hewan batiniah itu. Viktor Frankel memandang bukan hewan batiniah yang memungkinkan individu manusia mampu melampai jiwanya, tapi makna atau nilai. Frankel memandang bahwa individu manusia adalah mahluk yang mencari dan merealisasikan dirinya dengan menemukan makna. Dalam satu bukunya yang terbit pertama di tahun 1997, Frankel menulis, “Menjadi manusia mengacu melampaui dirinya sendiri pada sesuatu yang bukan dirinya, pada sesuatu atau seseorang; pada suatu makna yang mesti dipenuhi atau pada sesama manusia yang mesti ia temui.” Terang bagi Frankel bahwa pelampauan atau transendensi diri atau jiwa itu adalah dengan pencarian makna.
Transendensi diri ala Frankel tersebut melampaui transendensi jiwa Freudian. Transendesi diri ala Frankel berarti individu manusia bukan semata tak tunduk pada superego atau respon mekanis terhadap stimulus, tapi masuk lebih menyuruk ke interiotasnya. Namun, Max Weber bergerak lebih jauh lagi. Dengan bantuan filsafat Imanuel Kant, Weber mengeksplorasi roh sebagaimana pernah diolah oleh G.W.F.Hegel. Hegel dianggap membedakan jiwa dan roh. Baginya, jiwa masih lekat pada daging. Roh sudah melampauinya. Roh inilah yang mencari makna. Oleh karenanya, makna melebihi fsikis. Makna bersifat spiritual. Weber tegas menulis bahwa makna bersifat transendental. Makna bersifat demikian karena makna melampaui benda-benda. Ia ada di zona noumenal. Oleh karenanya, Weber menyatakan bahwa manusia mentransendensi dirinya sebagai objek atau mengatasi situasi benda-benda dengan berbicara, praktik mencari dan menyempaikan makna. Teori sistem dekat dengan itu. Dikatakan begitu karena terori sistem menganggap bahwa makna dan kesadaran merupakan emergence sistem organis dan sampai di posisi ‘lebih’ yang dinamai sistem semiotis. Dengan cara ungkap berbeda-beda, Hegel, Weber, Luhmann sama-sama memandang refleksi sebagai sang pemungkin transendensi ini.
Refleksi juga memungkinkan individu manusia melampaui kelompok. Memang manusia mustahil hidup di luar kelompok. Setiap individu manusia memiliki naluri-naluri sosial. Naluri-naluri ini memungkinkannya untuk hidup berkelompok. Inilah yang dianggap muasal dari Aristoteles menamai manusia sebagai zoon politikon. Jiwa individu manusia pun dianggap senantiasa terjalin dengan jiwa individu lain. Oleh karenanya, Gustave le Bon menamai jiwa kita sebagai jiwa kolektif. Jiwa yang senatiasa berkehendak menjalin relasi dan membentuk komunitas. Namun, atom tidak sama dengan molekul meski atom merupakan bagian dari molekul. Begitu pula dengan individu manusia. Meski individu manusia adalah bagian dari berbagai kelompok, tetap saja ia tidak sama dengan berbagai kelompoknya. Ada selalu dalam interioritas individu manusia yang bukan bagian dari berbagai komunitasnya. Jika semua yang ada dalam realitas internal individu manusia bersifat sosial, pasti tak ada yang namanya realitas individu manusia.
Maka, meski bisa dikata sudah otomatis individu manusia melampaui berbagai kelompoknya,menjadi kebutuhanlah baginya untuk bergerak melampaui itu. Pelampauan ini bertaut dengan kebutuhan terhadap pengenalan dan pertautan lebih mendalam dengan kompleksitas diri, dan untuk lebih jauh mengembangkannya. Selintas tampak kontradiktif. Seperti telah ditulis, setiap individu manusia memiliki naluri-naluri sosial dan jiwa kolektif. Kalau begitu, bagaimana mungkin individu manusia bisa melampau kelompok? Transendensi diri atas kelompok memang agak berbeda dengan transendensi diri atas naluri dan jiwa. Transendensi diri atas kelompok bisadikata merupakan pelampauan ganda. Gerak ini gerak keluar kelompok untuk masuk lebih jauh ke dalam realitas internal individu manusia dan sekaligus untuk kembali masuk ke dalam kelompok dengan diri yang baru. Buah darinya baik individu manusia maupun kelompok menjadi mungkin lebih mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kecuali itu semua, refleksi juga memungkin individu manusia mentransendensi roh. Di muka sudah ditulis bahwa roh itu sang pencari makna. Bahkan bisa merupakan makna itu sendiri. Dan dengan itu individu manusia melampaui naluri, melampaui seekor hewan batiniah. Namun, individu manusia bisa tergiur mengabsolutkan makna. Pengabsolutan makna ini berarti mengunci pintu diri. Menjadikannya terputus dengan kompleksitas realitas, baik realitas eksternal maupun realitas internal. Dan keterputusan ini memungkinkan individu manusia menjadi tiran dan terasing, termasuk bagi dan dengan dirinya. Memang mentrandensi roh dapat dikata berarti membatalkan (pencarian) makna-makna, berarti menihilkan nilai-nilai, berarti menjadikan individu manusia kosong. Namun, situasi begitu bukanlah kosong yang berarti hampa. Dalam tradisi Zen, seperti disampaikan D.T.Suzuki, kosong seperti itu justu penuh. Maka, kosong dalam pengertian begitu persis berkebalikan dengan atau bukan nihilisme.
Suzuki menyampaikan begitu karena refleksi-refleksi yang intensif dengan sepenuh diri itu tidak lain merupakan proses perenggutan dominasi intelek atas keberadaan individu manusia, dan sekaligus berarti kita membuka diri terhadap kompleksitas realitas-realitas. Kita membiarkan realitas-realitas hadir sebagaimana adanya sehingga kemudian terjadilah kita dan realitas-realitas berkelindan. Kondosi beginilah, menurut Suzuki, rahim yang melahirkan haiku sebenar-benar haiku.
Suzuki mengatakan itu antara lain ketika ia membicarakan haiku karya master haiku Matsuo Basho. Haiku Basho yang dibicarakannya ialah haiku tentang bunga nazuna:
Yoku mireba
Nazuna hana saku
Kakine kana
Saat cermat kuamati
Kulihat nazuna mekar
Di dekat pagar!
Dilihat selitas haiku tersebut bisa terkesan biasa. Tetapi tak begitu bagi Suzuki. Menurutnya, suatu saat Basho berjalan-jalan di sebuah jalan pedesaan. Tiba-tiba ia melihat sesuatu di dekat pagar bambu yang sudah rusak. Sesuatu itu terlihat tak ada yang mengacuhkan. Ia menghampirinya. Ia mengamati dengan cermat. Sesuatu itu ternyata nazuna liar. Ia menghampiri kian dekat dan mengamati kian cermat. Proses ini membawanya masuk ke dalam nazuna. Dan nazuna lalu masuk ke dalam dirinya. Kelopak-kelopaknya mengisahkan bagaimana ia kehujanan, kepanasan, perlahan kuncup, perlahan mekar, terus tak diindahkan orang-orang, tetapi ia tak berharap diperhatikan oleh siapa pun, dan seterusnya. Basho dan nazuna pun menyatu. Nazuna menjadi Basho. Basho menjadi nazuna.
Ketika mengekspresikannya, tambah Suzuki, Basho tak melakukannya dengan “perasaan puitis yang khusus kecuali barangkali pada dua suku kata terakhir yang dalam bahasa Jepang disebut kana. Butir ini, acap dilekatkan pada satu kata benda, atau kata sifat, atau kata keterangan, menadakan suatu perasaan kekaguman tertentu, atau pujian, atau penderitaan, atau kegirangan, dan kadang cukup tepat diterjemahkan ke dalambahasa Inggris sebagai tanda seru. Dalam haiku ini seluruh bait berakhir dengan tanda seru tersebut”.
Hal demikian, lanjut Suzuki, mungkin merupakan ungkapan kekaguman tulus Basho. Ia kagum pada pada “kerendahan hatinya, kemolekannya yang bersahaja”. Ini agaknya menjadikan Basho merasa bahwa nazuna itu “betapa lembutnya, betapa penuh kemuliaan atau kemegahan illahi, lebih gemilang daripada Sulaiman!”
Jadilah Basho sangat mungkin merasakan, tegas Suzuki, “misteri terdalam kehidupan atau keberadaan. Basho sendiri barangkali belum menyadarinya. Tetapi saya yakin bahwa di dalam hatinya pada saat itu ada getar perasaan yang kira-kira mirip dengan apa yang oleh orang Kristen disebut kasih surgawi, yang menjangkau relung-relung kehidupan kosmik yang paling dalam.
“Barisan pegunungan Himalaya dapat menggugah di dalam hati kita perasaan pesona agung; gelombang samudra Pasifik dapat mengesankan semacam ketiadabatasan.Tetapi jika pikiran kita terbuka secara puitis, atau mistis, atau religius seperti Basho, orang akan merasakan bahwa bahkan pada setiap helai rumput liar pun ada sesuatu yang melampaui semua perasaan manusia yang mendasar, yang mengangkat kita ke alam yang kemegahannya setara dengan Tanah Suci (Pure Land).”
Memang Alarm Sunyi tak memuat satu pun haiku. Namun, setidaknya untuk saya, puisi-puisi Emi di buku ini terasa benar ditulis dengan spirit haiku. Mungkin saja Emi sendiri tidak menyadarinya. Namun puisi-puisinya menghidupkan unsur-unsur alam dan benda-benda. Simak, misalnya, dua bait pertama Sunyi:
daun-daun duduk
mengemas suntuk
di bangku panjang
mengeja sunyi yang lapang
dua batang pohon tergeletak
saksi percakapan yang retak
angin menoleh
dingin menoreh
Dua bait tersebut lebih daripada sekadar memperlihatkan ketangkasan Emi mengoperasikan personifikasi. Juga lebih daripada rangkaian tanda yang menunjukkan bahwa Sunyi merupakan puisi lirik, satu jenis puisi yang secara sederhana dapat dikatakan menjadikan alam sebagai gambaran batin (penyair). Saya membaca itu merupakan buah dari sikap hormat Emi terhadap alam, serta pandangannya yang mendalam mengenainya.
Mudah kita menemukan sikap dan pandangan begitu pada puisi-puisi di Alarm Sunyi. Misalnya, aku menyukai hujan/seperti daun-daun menyukai rintiknya (ANAK KEHENINGAN); kali ini aku belajar pada pasir./jemarimu angin yang berdesir mengempas dan meremas/sebagian debu masuk ke mataku/tak ubahnya deru yang menyatukan bongkahan batu (RUANG RENUNG); dan bebatuan itu masih bisu,/lereng gunung kehilangan pucuk-pucuk menghijau,/tak pernah menjawab kegelisahan hujan./hutan tak kuasa menahan bah karena sudah gundul/air meluncur ke bawah, menadah rumah-rumah (MENYIMAK HUTAN, MENYIBAK PADANG).
Begitu pula sikap dan pandangan Emi terhadap benda-benda buatan manusia. Misalnya, puisi SETELAH dibuka dengan sapaan mesra: selamat malam, langit-langit kamar. Sapaan demikian terang menandakan keakraban Emi dengan langit-langit kamar. Mereka sangat mungkin acap saling menatap, acap bertukar, cakap, acap saling mengungkap dan menyerap perasaan-perasaan.
Hal-hal seperti itu tak syak mengandaikan kehadiran sunyi. Dengan kehadirannya, unsur-unsur alam dan benda-benda buatan manusia bermetamorfosa menjadi sebagaimana manusia. Mereka yang galib dibisu-tulikan, mereka yang galib dimatikan, mereka yang galib hanya dipandang dengan perspektif ilmu pengetahun dan ekonomi berubah menjadi mahluk-mahluk yang memiliki jiwa, pikiran, perasaan, bahasa, dan sebagainya. Karena itu, dengan mereka, kita pun bisa berbincang dan berdekapan misalnya.
Karena itu pula, sunyi Emi menjadi berbeda dengan sunyi sebagaimana galib dipandang oleh orang ramai. Sunyi Emi sunyi impian. Sunyinya dalam Alarm Sunyi terasa sebagai jalan menuju kosong sebagaimana yang disampaikan Suzuki. Dan ini berarti terbukanya berbagai kemungkinan. Tidak heran jika Gao mengucap, “Kesunyian adalah syarat bagi kebebasan.” Inilah, setidaknya untuk saya, salah satu kelebihan Alarm Sunyi.***