Raisa dan Hari Patah Hati Nasional - Ilham Akhsanu Ridlo
oleh Ilham Akhsanu Ridlo
(Staf Pengajar di Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.)
Acara gosip ataupun infotainment sekarang bertransformasi menjadi newstainment. Namun acara televisi yang demikian sudah lama sekali saya tinggalkan untuk dilihat. Bahkan kami sekeluarga sudah tidak pernah mengonsumsinya lagi. Jikapun kami mendengar kabar seputar selebritis, itu juga dari kicauan di timeline teman atau riuhnya portal berita online. Sekadar lewat dan melintas. Namun semua itu tidak cukup membendung berita gosip masuk telinga saya.
Berkaca dari beberapa kasus kehidupan artis yang menjadi konsumsi publik saat ini, sampai yang paling ‘panas’ minggu ini tentang pertunangan Raisa dan Hamish Daud. Beberapa hari kemarin bahkan menjadi #HariPatahHatiNasional karena para penggemar Raisa dan Hamish Daud bersiap menerima kenyataan bahwa mereka harus menjalani kisah yang sangat lumrah dalam kehidupan yaitu pertunangan dan beranjak ke pernikahan kelak.
Saya tidak menceritakan siapakah Raisa dan siapa juga Hamish Daud. Semua pasti tahu, dan mengorek informasi keduanya bukan barang sulit sama sekali. Lebih mudah mencari informasi tentang mereka daripada mencari jurnal ilmiah dengan topik spesifik. Sejujurnya saya tertarik untuk melihat sisi bagaimana bisa khalayak ramai bisa begitu hebohnya menyikapi kehidupan pribadi artis atau tokoh. Bahkan kehidupan privasi sekalipun. Pencarian saya mengenai fenomena ini berujung pada penemuan sebuah artikel ilmiah yang sangat lawas. Dalam sebuah jurnal yang sudah sangat lama dirilis muncul sebuah istilah yang dinamai dengan parasocial relationship. Istilah ini merujuk pada sebuah paper yang ditulis oleh Donald Horton dan Richard Wohl pada tahun 1956.
Judul artikel ilmiah itu adalah ‘Mass Communication and Para-social Interaction: Observations on Intimacy at a Distance’, Psychiatry 19: 215-29. Jurnal ilmiah ini berisi penjelasan tentang sebuah teori interaksi parasosial yang kala itu muncul akibat booming-nya layar kaca era itu. Khususnya pada program televisi yang memuat artis dan tokoh. Sebuah jurnal dan penelitian yang kekinian era itu. Richard Wohl sejatinya adalah seorang sosiolog yang kala konsen pada bidang kajian relationship khususnya dengan pendekatan media. Publikasi ilmiah yang kala itu fenomenal bertajuk parasocial interactions merupakan paper yang berpengaruh, bersama Donald Horton sebagai coauthor. Namun pada tahun 1957 Wohl meninggal dunia karena kanker.
Parasocial Relationship dijelaskan sebagai sebuah kedekatan 'jarak jauh' yang sebenarnya ‘semu’ sebagai hasil dari propaganda media. Salah satu karakter yang jelas dibuat oleh media massa, baik radio, televisi, dan film adalah menciptakan ilusi seolah-olah mereka sudah sering bertatap muka. Sehingga menimbulkan hubungan dan kedekatan, meski di satu sisi sang selebriti tidak mengenal sama sekali.
Gejala ini yang sekarang sudah menjadi sebuah epidemik massa khususnya di kajian sosial. Kita bisa sangat begitu kepo dengan kehidupan publik figur sebut saja artis, tokoh politik, sampai kehidupan persidangan kasus pembunuhan. Bahkan yang gak update bukan kekinian. Sosial media memegang peranan penting sebagai salah satu pembentuk gejala sosial demikian. Televisi sebagai penyedia konten, sedangkan ibarat perapian, sosial media sebagai kayu bakar yang diberi angin segar. Jadilah api yang cukup besar. Christine Phelps menjelaskan keterkaitan media sosial dengan gejala parasocial relationship dalam tesis ilmiah dengan judul “Parasocial Relationships and Social Media Usage”.
Bagai cinta bertepuk sebelah tangan gejala sosial ini sesungguhnya merupakan hubungan satu arah yang aneh, emosional karena individu merasa terikat di saat bersamaan individu yang dikagumi tidak mengenal dan tidak menyadari keberadaan mereka.
Horton dan Wohl dalam artikelnya yang saya bahas di paragraf sebelumnya menjelaskan, jika sebuah acara televisi favorit batal ditayangkan, seseorang akan kerap merasa seperti kehilangan teman. Duh, betapa kita ini ternyata sudah menderita sebuah kesendirian yang tidak kita sadari sedari dulu. Tahun 1956 gejala sosial ini sudah ada.
Dulu dalam kasus Brangelina (Brad Pitt dan Angelina Jolie) dan perceraiannya misalnya, para penggemarnya merasakan kesedihan yang mendalam, sedalam mereka yang sudah tahu kehidupan pribadinya sejak pacaran sampai sekarang. Kekuatan interaksi inilah yang membuat beberapa artis dan publik figur pada akhirnya sadar bahwa mereka adalah sebuah brand. Dengan kekuatan itu mereka dengan gampang membuat produk yang mereka labeli dengan nama mereka sendiri. Dan itu laris manis!
Akan banyak lagi peristiwa serupa dengan #HariPatahHatiNasional yang digelar para netizen kemarin, karena teman Raisa yang satunya masih belum bertunangan. Bukan tidak mungkin akan ada #HariPatahHatiNasional jilid 2 saat Isyana Sarasvati juga mendapatkan cincin melingkar di jari manisnya. Sepertinya gelaran Hari Patah Hati Nasional akan menjadi event tahunan, bahkan bulanan. Yang benar saja!***
(Sumber: Gugus Opini Kesehatan Masyarakat #3, Editor: Agung Dwi Laksono, Health Advocacy & Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI), 2017)
(Staf Pengajar di Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.)
Acara gosip ataupun infotainment sekarang bertransformasi menjadi newstainment. Namun acara televisi yang demikian sudah lama sekali saya tinggalkan untuk dilihat. Bahkan kami sekeluarga sudah tidak pernah mengonsumsinya lagi. Jikapun kami mendengar kabar seputar selebritis, itu juga dari kicauan di timeline teman atau riuhnya portal berita online. Sekadar lewat dan melintas. Namun semua itu tidak cukup membendung berita gosip masuk telinga saya.
Berkaca dari beberapa kasus kehidupan artis yang menjadi konsumsi publik saat ini, sampai yang paling ‘panas’ minggu ini tentang pertunangan Raisa dan Hamish Daud. Beberapa hari kemarin bahkan menjadi #HariPatahHatiNasional karena para penggemar Raisa dan Hamish Daud bersiap menerima kenyataan bahwa mereka harus menjalani kisah yang sangat lumrah dalam kehidupan yaitu pertunangan dan beranjak ke pernikahan kelak.
Saya tidak menceritakan siapakah Raisa dan siapa juga Hamish Daud. Semua pasti tahu, dan mengorek informasi keduanya bukan barang sulit sama sekali. Lebih mudah mencari informasi tentang mereka daripada mencari jurnal ilmiah dengan topik spesifik. Sejujurnya saya tertarik untuk melihat sisi bagaimana bisa khalayak ramai bisa begitu hebohnya menyikapi kehidupan pribadi artis atau tokoh. Bahkan kehidupan privasi sekalipun. Pencarian saya mengenai fenomena ini berujung pada penemuan sebuah artikel ilmiah yang sangat lawas. Dalam sebuah jurnal yang sudah sangat lama dirilis muncul sebuah istilah yang dinamai dengan parasocial relationship. Istilah ini merujuk pada sebuah paper yang ditulis oleh Donald Horton dan Richard Wohl pada tahun 1956.
Judul artikel ilmiah itu adalah ‘Mass Communication and Para-social Interaction: Observations on Intimacy at a Distance’, Psychiatry 19: 215-29. Jurnal ilmiah ini berisi penjelasan tentang sebuah teori interaksi parasosial yang kala itu muncul akibat booming-nya layar kaca era itu. Khususnya pada program televisi yang memuat artis dan tokoh. Sebuah jurnal dan penelitian yang kekinian era itu. Richard Wohl sejatinya adalah seorang sosiolog yang kala konsen pada bidang kajian relationship khususnya dengan pendekatan media. Publikasi ilmiah yang kala itu fenomenal bertajuk parasocial interactions merupakan paper yang berpengaruh, bersama Donald Horton sebagai coauthor. Namun pada tahun 1957 Wohl meninggal dunia karena kanker.
Parasocial Relationship dijelaskan sebagai sebuah kedekatan 'jarak jauh' yang sebenarnya ‘semu’ sebagai hasil dari propaganda media. Salah satu karakter yang jelas dibuat oleh media massa, baik radio, televisi, dan film adalah menciptakan ilusi seolah-olah mereka sudah sering bertatap muka. Sehingga menimbulkan hubungan dan kedekatan, meski di satu sisi sang selebriti tidak mengenal sama sekali.
Gejala ini yang sekarang sudah menjadi sebuah epidemik massa khususnya di kajian sosial. Kita bisa sangat begitu kepo dengan kehidupan publik figur sebut saja artis, tokoh politik, sampai kehidupan persidangan kasus pembunuhan. Bahkan yang gak update bukan kekinian. Sosial media memegang peranan penting sebagai salah satu pembentuk gejala sosial demikian. Televisi sebagai penyedia konten, sedangkan ibarat perapian, sosial media sebagai kayu bakar yang diberi angin segar. Jadilah api yang cukup besar. Christine Phelps menjelaskan keterkaitan media sosial dengan gejala parasocial relationship dalam tesis ilmiah dengan judul “Parasocial Relationships and Social Media Usage”.
Bagai cinta bertepuk sebelah tangan gejala sosial ini sesungguhnya merupakan hubungan satu arah yang aneh, emosional karena individu merasa terikat di saat bersamaan individu yang dikagumi tidak mengenal dan tidak menyadari keberadaan mereka.
Horton dan Wohl dalam artikelnya yang saya bahas di paragraf sebelumnya menjelaskan, jika sebuah acara televisi favorit batal ditayangkan, seseorang akan kerap merasa seperti kehilangan teman. Duh, betapa kita ini ternyata sudah menderita sebuah kesendirian yang tidak kita sadari sedari dulu. Tahun 1956 gejala sosial ini sudah ada.
Dulu dalam kasus Brangelina (Brad Pitt dan Angelina Jolie) dan perceraiannya misalnya, para penggemarnya merasakan kesedihan yang mendalam, sedalam mereka yang sudah tahu kehidupan pribadinya sejak pacaran sampai sekarang. Kekuatan interaksi inilah yang membuat beberapa artis dan publik figur pada akhirnya sadar bahwa mereka adalah sebuah brand. Dengan kekuatan itu mereka dengan gampang membuat produk yang mereka labeli dengan nama mereka sendiri. Dan itu laris manis!
Akan banyak lagi peristiwa serupa dengan #HariPatahHatiNasional yang digelar para netizen kemarin, karena teman Raisa yang satunya masih belum bertunangan. Bukan tidak mungkin akan ada #HariPatahHatiNasional jilid 2 saat Isyana Sarasvati juga mendapatkan cincin melingkar di jari manisnya. Sepertinya gelaran Hari Patah Hati Nasional akan menjadi event tahunan, bahkan bulanan. Yang benar saja!***
(Sumber: Gugus Opini Kesehatan Masyarakat #3, Editor: Agung Dwi Laksono, Health Advocacy & Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI), 2017)