Puisi-Puisi B.B. Soegiono
SAJAK UNTUK WIJI THUKUL
wiji....
kau masih hidup....
kau masih hidup....
kau masih hidup....
masih hidup dengan kegelapan kata-kata
yang mencuci otak-otak kami yang kotor
dan miskin informasi dan sejarah
wiji....
kau tidak mati....
kau tidak mati....
kau tidak mati....
tidak mati dalam pikiran orang-orang
yang peduli kebenaran
bahkan menjadi darah dan daging
menyusup di saraf-saraf yang tidak ‘kan putus
digunting kebusukan orang-orang zalim
nyawamu yang hilang ditelan militer
tubuhmu yang pergi dimakan rekayasa
sajak-sajakmu yang berjuang telah selesai tugas
menjadi anak-anak panah yang bertumpukan
menunggu untuk dipakai lagi
melawan senapan
dan todongan pistol
wiji....
kau masih hidup
kau masih utuh
tidak ‘kan mati
tidak ‘kan remuk
ditikam sutradara
dalam permainan drama
yang mengotak-ngatik
hak-hak
peran-peran
orang lain
dari atas kursi kedudukan yang empuk.
Singaraja, Maret 2019
ORANG-ORANG
semangat pagi Wiji Thukul.
pasti kau masih gelisah,
melihat orang-orang waras
kini sudah jadi pencuri beras,
jika tidak ada,
gabah dicarinya,
jika tidak ada,
orang-orang mencuri tanah
orang-orang yang katanya berhasil,
orang-orang yang katanya sukses ;
banyak pengetahuan, banyak pengalaman,
banyak uang, dan banyak korban
yang ditindak secara sepihak,
tanpa keterangan dan dalil kesalahan
tanah hilang, rumah hilang, orangnya juga hilang,
raib secara gaib
katanya orang-orang ditelan
perut-perut buncit orang-orang lapar
yang terus merasa lapar
akibatnya, hutan-hutan juga dilahapnya, dilalapnya,
dan orang-orang hanya melihatnya dari jauh
tidak berani lebih dekat
takut dengan mata pistol yang terus mengintai.
ingin membobol dada
yang macam-macam
yang sedari tempo diinjak-injak
diperlakukan tidak enak
namun musti bagaimana lagi?
tuhan murah kasih kepada mereka
orang-orang yang bersembunyi di balik jubahnya.
Singaraja, April 2019
NENEK
sewaktu pagi ketika masih dibangunkan
sewaktu sore ketika masih dicari
sewaktu malam ketika masih dijaga
aku ingat!
hari waktu itu.
yang kini terhimpit masa lalu
yang padam dalam tanah kuburan
dan sebongkah batu saksi
atas sesuatu yang pergi
tanpa pamit dan permisi
pada ibu dan paman
hanya kabar dari tetangga,
terdengar ke dalam telinga yang tuli
tidak ingin mendengarkan apa-apa
dari siapa-siapa
hanya terus menangis
tidak henti-henti
dari belakang pintu
dari atas ranjang
dengan gerai seprei
yang kotor dengan kencingnya
ibu berkata:
"tuhan mencabut kasih orang tua
tuhan merebut begitu saja
dengan tega, pada kami yang masih
membutuhkan pangku peluknya."
setelah itu!
hari-hari menjadi kejam
keranda-keranda yang digotong
tanah-tanah yang digali,
dipertanyakan
"siapa yang mati?
siapa yang dikuburkan?"
orang-orang tidak menjawabnya
menyangkanya telah sakit
depresi dianggap telah mencekam
dalam otak dan diri
semenjak nenek tiada
berbaring di atas ranjang
berpindah ke dalam tanah
makam depan rumah.
Probolinggo, 2016