Nilai-nilai Kekeluargaan dalam Novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya - David Filbert Pradipta
oleh David Filbert Pradipta
Sastra atau kesusatraan merupakan sarana pengungkapan fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (Mursal Esten, 1978:9). Pada umumnya, karya sastra dibuat berdasarkan fenomena yang ada di sekitar sang pengarang. Fenomena tersebut dapat berupa kenangan dan pengalaman pribadi pengarang maupun berbagai ide-ide lain. Dalam membuat karya sastra, pengarang dituntut menuangkan kreativitasnya untuk menyampaikan gagasangagasan yang ada berdasarkan hasil perenungan.
Novel merupakan salah satu karya sastra yang sangat menarik untuk dibaca. Dengan membaca novel, sang pembaca dapat ikut terjun ke dalam dunia yang ada di dalam novel tersebut. Karena keunikannya, novel dapat membuat para pembaca berimajinasi lebih jauh. Saat ini novel juga telah hadir dalam berbagai genre sehingga dapat dibaca oleh berbagai kalangan dan bersifat lebih universal. Dengan berbagai keunikannya, penulis menganggap bahwa novel merupakan hal yang menarik untuk dibahas dan diteliti secara lebih lanjut.
Adhitya Mulya sebagai penulis novel Sabtu Bersama Bapak ingin menyampaikan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat ber manfaat bagi para pembaca. Nilai-nilai kekeluargaan tersebut disampaikan oleh sang pengarang novel melalui serangkaian jalan cerita yang tersusun dari berbagai unsur intrinsik novel yang dipadukan. Paparan ini ingin menjawab “apa nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan berkeluarga yang terdapat dalam novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya?”
Novel dan Keluarga
Panuti Sudjiman menyebut novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara tersusun. Novel, sebagai karya imajinatif, mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan serta nilai-nilai moral dalam kehidupan ini dan mengarahkan pembaca tentang budi pekerti yang luhur.
Ketika menyoroti nilai kekeluargaan dalam novel, di dalamnya menyangkut suatu konsep mengenai baik buruknya segala hal yang berhubungan dengan kehidupan suatu keluarga. Keluarga merupakan suatu bagian yang sangat penting di dalam kehidupan seseorang. Ketika seorang anak terlahir ke dunia, ia akan lahir dalam suatu keluarga dan menjalani kehidupan bersama di dalamnya. Dari dalam keluarga itu pula nilai-nilai kekeluargaan yang ada akan diterima oleh setiap anggota keluarga. Nilai-nilai kekeluargaan yang ada dalam suatu keluarga sangatlah beragam. Mulai dari nilai-nilai yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti tidak berkata kasar kepada orang tua, tidak bicara saat makan, bertindak dan bersikap jujur kepada sesama, hingga nilai-nilai yang dapat berguna bagi masa depan, seperti cara bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat, cara menjadi kepala keluarga, dan sebagainya.
Novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya menceritakan tentang perjuangan Ibu Itje yang harus membesarkan kedua anaknya, yaitu Satya dan Cakra atau yang biasa dipanggil Saka. Pak Gunawan, Ayah mereka sudah lama meninggal karena mengidap penyakit kanker. Setiap hari Sabtu, mereka menghabiskan waktu untuk menonton video yang berisi pesan-pesan kehidupan yang telah dipersiapkan oleh sang Ayah sebelum beliau meninggal.
Waktu pun berlalu. Satya dan Saka sudah tumbuh menjadi sosok pria dewasa. Satya telah menikah dan dikaruniai 3 orang anak dan tinggal di luar negeri. Satya menjalani hubungan jarak jauh dengan keluarganya karena ia bekerja di kilang minyak dan hanya pulang setiap akhir pekan. Sementara itu Saka, sang adik yang sudah berumur 30 tahun masih tak kunjung menemukan jodohnya meskipun ia tergolong lelaki yang sudah mapan.
Pada suatu hari Cakra yang sudah cukup lama melajang akhirnya jatuh cinta pada salah satu staf di kantornya yang sangat cantik yang bernama Ayu. Di sisi lain, Salman yang merupakan salah satu rekan kerja Cakra juga jatuh cinta pada Ayu. Dalam mendekati Ayu, Salman telah selangkah lebih maju dibanding Saka. Salman merupakan seseorang yang memiliki penampilan yang menarik dan mudah bergaul dengan orang lain terutama dengan wanita. Cakra pun pasrah karena merasa cintanya bertepuk sebelah tangan.
Ibu Itje yang tidak tega melihat sang anak yang tidak kunjung menemukan jodohnya memberikan saran pada Saka untuk bertemu dengan anak dari temannya yang bernama Retna. Ibu Itje pun menceritakan segala hal tentang Retna kepada Saka. Ibu Itje menggambarkan Retna sebagai sosok wanita cantik yang taat beragama. Saka merasa tertarik dan memutuskan untuk menerima saran dari sang Ibu. Saka pun membuat janji untuk bertemu dengan Retna di depan museum Fatahillah.
Sesampainya di depan museum Cakra pun terkejut karena yang dia temui adalah Ayu. Cakra baru mengetahui bahwa Ayu memiliki nama lengkap Ayu Retnaningtyas sehingga dipanggil Retna di lingkungan keluarganya. Ayu pun merasa terkejut setelah mengetahui Cakra memiliki nama kecil Saka. Pertemuan ini lah yang akhirnya membuat Ayu menyadari sifat dan kepribadian Cakra yang sebenarnya. Cakra yang biasanya bersifat kaku dan tidak humoris di hadapan Ayu berubah total menjadi seorang lelaki yang ramah, bijaksana, dan menyenangkan. Melalui pertemuan itu lah perjalanan cinta mereka dimulai.
Nilai-Nilai Kekeluargaan dalam Novel Sabtu Bersama Bapak
Pertama, nilai komitmen. Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, setiap anggota keluarga harus memiliki komitmen dalam menjalankan perannya masing-masing. Komitmen dibentuk sebagai perwujudan tanggung jawab setiap anggota keluarga. Dalam novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya, jalan cerita diawali dengan ‘adegan’ saat Pak Gunawan merekam serangkaian video yang berisi tentang berbagai nasihat-nasihat untuk menuntun kedua anaknya dalam menjalani hidup.
“Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian. Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian. Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian. Ingin tetap dapat mengajari kalian.” (SBB, 5)
Pak Gunawan menunjukkan komitmen dan tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dalam membimbing dan memberikan pengetahuan kepada sang anak. Pak Gunawan menyadari bahwa umurnya sudah tidak lagi panjang setelah divonis memiliki kanker. Untuk mewujudkan rasa tanggung jawabnya, Pak Gunawan membuat video tersebut sehingga ia tetap dapat mendampingi Satya dan Cakra dalam proses mereka bertumbuh menjadi dewasa.
Selain itu dalam menjalani kehidupan berkeluarga, seorang pria harus memiliki komitmen bahkan sejak ia memilih untuk hidup bersama dengan seorang wanita yang dicintainya. Ikatan perkawinan tanpa adanya komitmen tentu saja akan berujung pada permasalahan.
“Ka, istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat.”
“Iya, sih. Tapi Mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat. Mamah tahu itu. Bapak juga gitu, dulu.” (SBB, 17)
Cakra sebagai anak bungsu Pak Gunawan yang masih melajang sedang bercengkrama dengan Ibu Itje. Sebagai seorang ibu tentu saja Ibu Itje merasa sedih melihat sang anak tidak kunjung mencari jodoh. Karena keprihatinannya itu, Ibu Itje pun mencari cara agar Cakra mau untuk mulai mencari jodoh. Untuk meyakinkan Cakra, Ibu Itje berkata bahwa istri yang baik tidak akan keberatan untuk hidup melarat bersama suaminya. Meski begitu Cakra adalah seorang pria dewasa yang tumbuh bersama nilai-nilai yang diberikan oleh sang bapak. Cakra pun dapat membalas pernyataan ibunya dengan berkata bahwa suami yang baik pasti tidak akan mengajak istrinya hidup melarat.
Kalimat yang dilontarkan oleh Cakra menunjukkan betapa pentingnya komitmen dalam mejalani kehidupan berkeluarga. Sebelum memutuskan untuk menikah, seorang pria harus siap secara mental maupun materi untuk memimpin keluarganya. Kesiapan diri secara materi finansial tentunya sangat diperlukan karena ketika seorang pria memutuskan untuk berkeluarga, ia tidak dapat hanya memikirkan kebutuhan hidupnya seorang. Saat memulai kehidupan berkeluarga, seorang pria juga harus memikirkan kebutuhan hidup seluruh anggota keluarganya. Akan tetapi, kesiapan tersebut juga tidak serta merta hanya hadir dari satu pihak. Dalam mengawali kehidupan berkeluarga kesiapan dan komitmen tentunya harus hadir dari kedua pihak baik sang pria maupun wanita. Maka dari itu, mempersiapkan diri untuk menabung demi kehidupan yang layak setelah pernikahan sangatlah penting.
Kedua, nilai saling-memahami. Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, sudah sepantasnya setiap anggota keluarga saling memahami satu sama lain, bukan hanya menuntut atas dasar egoisme semata. Betapa pentingnya prinsip saling memahami di dalam keluarga.
“Kami berempat selalu menyambut orang yang sering marahmarah. Kami kangen sama Kakang, tapi setiap Kakang pulang, selalu ada yang salah.
Masakan saya salah. Rumah kurang rapi.
Kenapa Dani belum bisa berenang. Kenapa Miku masih ngompol.
Kenapa Ryan jelek terus Matematikanya.” (SBB, 26)
Satya sedang bersitegang dengan Rissa, sang istri. Satya merasa bahwa selama ini ia sudah bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ia merasa bahwa segala masalah yang ada di dalam keluarganya merupakan masalah remeh. Oleh karena itu, ia terus menuntut setiap anggota keluarganya untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Satya menjadi sosok bapak yang terlalu fokus pada pekerjaannya. Ia merasa bahwa dengan memberikan kecukupan materi kepada keluarganya, keluarganya akan baik-baik saja. Padahal sebenarnya hal-hal yang berhubungan dengan materi saja tidaklah cukup. Rissa dan ketiga anaknya membutuhkan sesosok suami dan bapak yang dapat memahami mereka, bukan hanya menuntut. Rissa juga mengharapkan perhatian dan waktu yang cukup untuk berbincang dengan Satya. Adegan tersebut menjelaskan bahwa dalam suatu keluarga harus ada hubungan timbal balik dalam memberi dan menerima. Jangan sampai ada pihak yang terlalu banyak menuntut dan meminta daripada memahami dan memberi.
Ketiga, penghargaan pada nilai akademis. Saat ini banyak orang yang berpendapat bahwa prestasi akademik tidaklah penting dalam hidup. Banyak orang yang beranggapan bahwa soft skill dan attitude merupakan hal yang terpenting. Bahkan, saat ini semakin banyak orang yang mulai menjadikan tokoh-tokoh besar yang putus sekolah. seperti Abraham Lincoln, Bill Gates, dan Steve Jobs sebagai contoh untuk mempertegas bahwa prestasi akademik tidaklah penting. Namun, pada kenyataannya prestasi akademis sangatlah penting. Kutipan ‘adegan’ berikut ini akan menjelaskan pentingnya nilai akademis sebagai bekal hidup.
“Mereka benar bahwa semua ini tidak ada sekolahnya.
Tapi, yang mereka salah adalah bilang bahwa prestasi akademis itu gak penting.
Attitude baik kalian tidak akan terlihat oleh perusahaan karena mereka sudah akan membuang lamaran kerja kalian jika prestasi buruk.
Prestasi akademik yang baik bukan segalanya. Tapi, memang membukakan lebih banyak pintu untuk memperlihatkan kualitas kita yang lain.” (SBB, 51)
Dalam kutipan tersebut Pak Gunawan menyampaikan pesan kepada kedua anaknya bahwa prestasi akademik merupakan hal yang sangat menentukan jalan hidup seseorang terutama dalam dunia kerja. Meskipun soft skill dan attitude tidak kalah pentingnya, akan tetapi prestasi akademik merupakan salah satu bukti fisik yang dapat menggambarkan pribadi seseorang dan membentuk kesan pertama terhadap pribadi tersebut saat ia mulai terjun ke dunia kerja. Oleh karena itu, prestasi akademik bukanlah aspek yang dapat dikesampingkan.
Keempat, tetap menjadi diri sendiri. Meskipun setiap orang pasti ingin menjadi yang terbaik bagi pasangannya, banyak pula orang yang berusaha untuk menjadi apa yang diinginkan pasangannya sehingga meninggalkan jati dirinya sendiri. Novel Sabtu Bersama Bapak juga membahas mengenai hal ini. Berikut kutipan yang menyinggung tentang menjadi diri sendiri.
“Saran teteh… Jangan lupa untuk memasukkan diri kamu juga dalam setiap masakan.
It is you, that he loves.” (SBB, 267)
Rissa sedang memberikan nasihat kepada Ayu tentang masakannya. Meskipun Ayu memang pandai dalam memasak makanan, Rissa menyadari bahwa masakan yang dimasak oleh Ayu belum mencerminkan dirinya. Ayu membuat makanan itu semirip mungkin dengan masakan Ibu Itje. Ayu tahu bahwa Cakra sangat menyukai masakan ibunya. Karena ingin memberikan yang terbaik pada Cakra, maka Ayu berusaha sebisa mungkin untuk menirukan masakan Ibu Itje. Namun, yang terjadi ialah Ayu melupakan ciri khas masakannya sendiri. Rissa pun menyadari bahwa meskipun lezat, namun masakan itu tidak mewakili kepribadian Ayu. Rissa pun memberikan saran agar Ayu tidak melupakan bahan-bahan yang dapat mewakili dirinya dalam setiap masakan.
Belajar Lewat Novel
Nilai-nilai kekeluargaan yang terdapat dalam novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya layak menjadi inspirasi bagi pembacanya. Beberapa nilai-nilai tersebut adalah nilai mengenai komitmen dalam hidup berkeluarga, bukan hanya menuntut tapi memahami satu sama lain, pentingnya prestasi akademik, dan pentingnya menjadi diri sendiri.
Membangun budaya positif dalam keluarga pun dapat ditempuh dengan membaca dan memperhatikan tentang nilai-nilai positif yang terdapat di dalam suatu novel. Hal ini meyakinkan kita bahwa kegiatan membaca novel menjadi suatu kegiatan yang berguna bagi para pembacanya. Dengan mengetahui nilai-nilai positif yang terdapat dalam suatu novel, para pembaca karya sastra juga dapat menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.
Daftar Pustaka
Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.
Mulya, Adhitya. 2016. Sabtu Bersama Bapak. Jakarta: Gagas Media.
Sastra atau kesusatraan merupakan sarana pengungkapan fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (Mursal Esten, 1978:9). Pada umumnya, karya sastra dibuat berdasarkan fenomena yang ada di sekitar sang pengarang. Fenomena tersebut dapat berupa kenangan dan pengalaman pribadi pengarang maupun berbagai ide-ide lain. Dalam membuat karya sastra, pengarang dituntut menuangkan kreativitasnya untuk menyampaikan gagasangagasan yang ada berdasarkan hasil perenungan.
Novel merupakan salah satu karya sastra yang sangat menarik untuk dibaca. Dengan membaca novel, sang pembaca dapat ikut terjun ke dalam dunia yang ada di dalam novel tersebut. Karena keunikannya, novel dapat membuat para pembaca berimajinasi lebih jauh. Saat ini novel juga telah hadir dalam berbagai genre sehingga dapat dibaca oleh berbagai kalangan dan bersifat lebih universal. Dengan berbagai keunikannya, penulis menganggap bahwa novel merupakan hal yang menarik untuk dibahas dan diteliti secara lebih lanjut.
Adhitya Mulya sebagai penulis novel Sabtu Bersama Bapak ingin menyampaikan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat ber manfaat bagi para pembaca. Nilai-nilai kekeluargaan tersebut disampaikan oleh sang pengarang novel melalui serangkaian jalan cerita yang tersusun dari berbagai unsur intrinsik novel yang dipadukan. Paparan ini ingin menjawab “apa nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan berkeluarga yang terdapat dalam novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya?”
Novel dan Keluarga
Panuti Sudjiman menyebut novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara tersusun. Novel, sebagai karya imajinatif, mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan serta nilai-nilai moral dalam kehidupan ini dan mengarahkan pembaca tentang budi pekerti yang luhur.
Ketika menyoroti nilai kekeluargaan dalam novel, di dalamnya menyangkut suatu konsep mengenai baik buruknya segala hal yang berhubungan dengan kehidupan suatu keluarga. Keluarga merupakan suatu bagian yang sangat penting di dalam kehidupan seseorang. Ketika seorang anak terlahir ke dunia, ia akan lahir dalam suatu keluarga dan menjalani kehidupan bersama di dalamnya. Dari dalam keluarga itu pula nilai-nilai kekeluargaan yang ada akan diterima oleh setiap anggota keluarga. Nilai-nilai kekeluargaan yang ada dalam suatu keluarga sangatlah beragam. Mulai dari nilai-nilai yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti tidak berkata kasar kepada orang tua, tidak bicara saat makan, bertindak dan bersikap jujur kepada sesama, hingga nilai-nilai yang dapat berguna bagi masa depan, seperti cara bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat, cara menjadi kepala keluarga, dan sebagainya.
Novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya menceritakan tentang perjuangan Ibu Itje yang harus membesarkan kedua anaknya, yaitu Satya dan Cakra atau yang biasa dipanggil Saka. Pak Gunawan, Ayah mereka sudah lama meninggal karena mengidap penyakit kanker. Setiap hari Sabtu, mereka menghabiskan waktu untuk menonton video yang berisi pesan-pesan kehidupan yang telah dipersiapkan oleh sang Ayah sebelum beliau meninggal.
Waktu pun berlalu. Satya dan Saka sudah tumbuh menjadi sosok pria dewasa. Satya telah menikah dan dikaruniai 3 orang anak dan tinggal di luar negeri. Satya menjalani hubungan jarak jauh dengan keluarganya karena ia bekerja di kilang minyak dan hanya pulang setiap akhir pekan. Sementara itu Saka, sang adik yang sudah berumur 30 tahun masih tak kunjung menemukan jodohnya meskipun ia tergolong lelaki yang sudah mapan.
Pada suatu hari Cakra yang sudah cukup lama melajang akhirnya jatuh cinta pada salah satu staf di kantornya yang sangat cantik yang bernama Ayu. Di sisi lain, Salman yang merupakan salah satu rekan kerja Cakra juga jatuh cinta pada Ayu. Dalam mendekati Ayu, Salman telah selangkah lebih maju dibanding Saka. Salman merupakan seseorang yang memiliki penampilan yang menarik dan mudah bergaul dengan orang lain terutama dengan wanita. Cakra pun pasrah karena merasa cintanya bertepuk sebelah tangan.
Ibu Itje yang tidak tega melihat sang anak yang tidak kunjung menemukan jodohnya memberikan saran pada Saka untuk bertemu dengan anak dari temannya yang bernama Retna. Ibu Itje pun menceritakan segala hal tentang Retna kepada Saka. Ibu Itje menggambarkan Retna sebagai sosok wanita cantik yang taat beragama. Saka merasa tertarik dan memutuskan untuk menerima saran dari sang Ibu. Saka pun membuat janji untuk bertemu dengan Retna di depan museum Fatahillah.
Sesampainya di depan museum Cakra pun terkejut karena yang dia temui adalah Ayu. Cakra baru mengetahui bahwa Ayu memiliki nama lengkap Ayu Retnaningtyas sehingga dipanggil Retna di lingkungan keluarganya. Ayu pun merasa terkejut setelah mengetahui Cakra memiliki nama kecil Saka. Pertemuan ini lah yang akhirnya membuat Ayu menyadari sifat dan kepribadian Cakra yang sebenarnya. Cakra yang biasanya bersifat kaku dan tidak humoris di hadapan Ayu berubah total menjadi seorang lelaki yang ramah, bijaksana, dan menyenangkan. Melalui pertemuan itu lah perjalanan cinta mereka dimulai.
Nilai-Nilai Kekeluargaan dalam Novel Sabtu Bersama Bapak
Pertama, nilai komitmen. Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, setiap anggota keluarga harus memiliki komitmen dalam menjalankan perannya masing-masing. Komitmen dibentuk sebagai perwujudan tanggung jawab setiap anggota keluarga. Dalam novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya, jalan cerita diawali dengan ‘adegan’ saat Pak Gunawan merekam serangkaian video yang berisi tentang berbagai nasihat-nasihat untuk menuntun kedua anaknya dalam menjalani hidup.
“Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian. Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian. Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian. Ingin tetap dapat mengajari kalian.” (SBB, 5)
Pak Gunawan menunjukkan komitmen dan tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dalam membimbing dan memberikan pengetahuan kepada sang anak. Pak Gunawan menyadari bahwa umurnya sudah tidak lagi panjang setelah divonis memiliki kanker. Untuk mewujudkan rasa tanggung jawabnya, Pak Gunawan membuat video tersebut sehingga ia tetap dapat mendampingi Satya dan Cakra dalam proses mereka bertumbuh menjadi dewasa.
Selain itu dalam menjalani kehidupan berkeluarga, seorang pria harus memiliki komitmen bahkan sejak ia memilih untuk hidup bersama dengan seorang wanita yang dicintainya. Ikatan perkawinan tanpa adanya komitmen tentu saja akan berujung pada permasalahan.
“Ka, istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat.”
“Iya, sih. Tapi Mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat. Mamah tahu itu. Bapak juga gitu, dulu.” (SBB, 17)
Cakra sebagai anak bungsu Pak Gunawan yang masih melajang sedang bercengkrama dengan Ibu Itje. Sebagai seorang ibu tentu saja Ibu Itje merasa sedih melihat sang anak tidak kunjung mencari jodoh. Karena keprihatinannya itu, Ibu Itje pun mencari cara agar Cakra mau untuk mulai mencari jodoh. Untuk meyakinkan Cakra, Ibu Itje berkata bahwa istri yang baik tidak akan keberatan untuk hidup melarat bersama suaminya. Meski begitu Cakra adalah seorang pria dewasa yang tumbuh bersama nilai-nilai yang diberikan oleh sang bapak. Cakra pun dapat membalas pernyataan ibunya dengan berkata bahwa suami yang baik pasti tidak akan mengajak istrinya hidup melarat.
Kalimat yang dilontarkan oleh Cakra menunjukkan betapa pentingnya komitmen dalam mejalani kehidupan berkeluarga. Sebelum memutuskan untuk menikah, seorang pria harus siap secara mental maupun materi untuk memimpin keluarganya. Kesiapan diri secara materi finansial tentunya sangat diperlukan karena ketika seorang pria memutuskan untuk berkeluarga, ia tidak dapat hanya memikirkan kebutuhan hidupnya seorang. Saat memulai kehidupan berkeluarga, seorang pria juga harus memikirkan kebutuhan hidup seluruh anggota keluarganya. Akan tetapi, kesiapan tersebut juga tidak serta merta hanya hadir dari satu pihak. Dalam mengawali kehidupan berkeluarga kesiapan dan komitmen tentunya harus hadir dari kedua pihak baik sang pria maupun wanita. Maka dari itu, mempersiapkan diri untuk menabung demi kehidupan yang layak setelah pernikahan sangatlah penting.
Kedua, nilai saling-memahami. Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, sudah sepantasnya setiap anggota keluarga saling memahami satu sama lain, bukan hanya menuntut atas dasar egoisme semata. Betapa pentingnya prinsip saling memahami di dalam keluarga.
“Kami berempat selalu menyambut orang yang sering marahmarah. Kami kangen sama Kakang, tapi setiap Kakang pulang, selalu ada yang salah.
Masakan saya salah. Rumah kurang rapi.
Kenapa Dani belum bisa berenang. Kenapa Miku masih ngompol.
Kenapa Ryan jelek terus Matematikanya.” (SBB, 26)
Satya sedang bersitegang dengan Rissa, sang istri. Satya merasa bahwa selama ini ia sudah bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ia merasa bahwa segala masalah yang ada di dalam keluarganya merupakan masalah remeh. Oleh karena itu, ia terus menuntut setiap anggota keluarganya untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Satya menjadi sosok bapak yang terlalu fokus pada pekerjaannya. Ia merasa bahwa dengan memberikan kecukupan materi kepada keluarganya, keluarganya akan baik-baik saja. Padahal sebenarnya hal-hal yang berhubungan dengan materi saja tidaklah cukup. Rissa dan ketiga anaknya membutuhkan sesosok suami dan bapak yang dapat memahami mereka, bukan hanya menuntut. Rissa juga mengharapkan perhatian dan waktu yang cukup untuk berbincang dengan Satya. Adegan tersebut menjelaskan bahwa dalam suatu keluarga harus ada hubungan timbal balik dalam memberi dan menerima. Jangan sampai ada pihak yang terlalu banyak menuntut dan meminta daripada memahami dan memberi.
Ketiga, penghargaan pada nilai akademis. Saat ini banyak orang yang berpendapat bahwa prestasi akademik tidaklah penting dalam hidup. Banyak orang yang beranggapan bahwa soft skill dan attitude merupakan hal yang terpenting. Bahkan, saat ini semakin banyak orang yang mulai menjadikan tokoh-tokoh besar yang putus sekolah. seperti Abraham Lincoln, Bill Gates, dan Steve Jobs sebagai contoh untuk mempertegas bahwa prestasi akademik tidaklah penting. Namun, pada kenyataannya prestasi akademis sangatlah penting. Kutipan ‘adegan’ berikut ini akan menjelaskan pentingnya nilai akademis sebagai bekal hidup.
“Mereka benar bahwa semua ini tidak ada sekolahnya.
Tapi, yang mereka salah adalah bilang bahwa prestasi akademis itu gak penting.
Attitude baik kalian tidak akan terlihat oleh perusahaan karena mereka sudah akan membuang lamaran kerja kalian jika prestasi buruk.
Prestasi akademik yang baik bukan segalanya. Tapi, memang membukakan lebih banyak pintu untuk memperlihatkan kualitas kita yang lain.” (SBB, 51)
Dalam kutipan tersebut Pak Gunawan menyampaikan pesan kepada kedua anaknya bahwa prestasi akademik merupakan hal yang sangat menentukan jalan hidup seseorang terutama dalam dunia kerja. Meskipun soft skill dan attitude tidak kalah pentingnya, akan tetapi prestasi akademik merupakan salah satu bukti fisik yang dapat menggambarkan pribadi seseorang dan membentuk kesan pertama terhadap pribadi tersebut saat ia mulai terjun ke dunia kerja. Oleh karena itu, prestasi akademik bukanlah aspek yang dapat dikesampingkan.
Keempat, tetap menjadi diri sendiri. Meskipun setiap orang pasti ingin menjadi yang terbaik bagi pasangannya, banyak pula orang yang berusaha untuk menjadi apa yang diinginkan pasangannya sehingga meninggalkan jati dirinya sendiri. Novel Sabtu Bersama Bapak juga membahas mengenai hal ini. Berikut kutipan yang menyinggung tentang menjadi diri sendiri.
“Saran teteh… Jangan lupa untuk memasukkan diri kamu juga dalam setiap masakan.
It is you, that he loves.” (SBB, 267)
Rissa sedang memberikan nasihat kepada Ayu tentang masakannya. Meskipun Ayu memang pandai dalam memasak makanan, Rissa menyadari bahwa masakan yang dimasak oleh Ayu belum mencerminkan dirinya. Ayu membuat makanan itu semirip mungkin dengan masakan Ibu Itje. Ayu tahu bahwa Cakra sangat menyukai masakan ibunya. Karena ingin memberikan yang terbaik pada Cakra, maka Ayu berusaha sebisa mungkin untuk menirukan masakan Ibu Itje. Namun, yang terjadi ialah Ayu melupakan ciri khas masakannya sendiri. Rissa pun menyadari bahwa meskipun lezat, namun masakan itu tidak mewakili kepribadian Ayu. Rissa pun memberikan saran agar Ayu tidak melupakan bahan-bahan yang dapat mewakili dirinya dalam setiap masakan.
Belajar Lewat Novel
Nilai-nilai kekeluargaan yang terdapat dalam novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya layak menjadi inspirasi bagi pembacanya. Beberapa nilai-nilai tersebut adalah nilai mengenai komitmen dalam hidup berkeluarga, bukan hanya menuntut tapi memahami satu sama lain, pentingnya prestasi akademik, dan pentingnya menjadi diri sendiri.
Membangun budaya positif dalam keluarga pun dapat ditempuh dengan membaca dan memperhatikan tentang nilai-nilai positif yang terdapat di dalam suatu novel. Hal ini meyakinkan kita bahwa kegiatan membaca novel menjadi suatu kegiatan yang berguna bagi para pembacanya. Dengan mengetahui nilai-nilai positif yang terdapat dalam suatu novel, para pembaca karya sastra juga dapat menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.
Daftar Pustaka
Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.
Mulya, Adhitya. 2016. Sabtu Bersama Bapak. Jakarta: Gagas Media.
____
Sumber: Menyelamatkan Bahasa Indonesia (Antologi Esai Karya Pemenang
dan Karya Pilihan Lomba Penulisan Esai bagi Remaja Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2017), Penyunting: Dwi
Atmawati, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Balai Bahasa Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2017.