Mengobati dengan Hati - Samsudin Adlawi
oleh Samsudin Adlawi
INI soal nurani. Urusan hati. Dari hati yang baik lahirlah hal-hal yang mulia. Tapi sebaliknya, banyak orang mati rasa karena hatinya beku. Mati rasa sengaja saya cetak tebal plus garis bawah. Karena mulai menggejala saat ini. Seperti virus. Agresif pergerakannya. Walhasil, banyak orang jadi korban. Mereka tidak peka sosial. Cuek terhadap lingkungan.
Mati rasa, salah satunya, akibat hati yang beku. Hatinya seperti secawan gelas penuh kotoran. Ketika dituang air tidak tampak kebeningan airnya. Mana mungkin gelas yang keruh bisa memantulkan cahaya.
Umumnya, keinginan membersihkan hati dialami mereka yang melewati usia 40 tahun. Ada yang di bawah 40 tahun sudah berhati mulia. Tapi tidak banyak. Maka, jangan heran jika mereka yang berusia 40 tahun lebih arif. Penuh perhitungan dalam menjalani hidup. Bukan hanya mempertimbangkan untung-rugi bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Menghitung sudah seberapa banyak menolong orang yang membutuhkan. Mengingat-ingat seberapa banyak dosa yang pernah dilakukan. Gejala seperti itu berlaku untuk semua latar belakang. Tidak pandang bulu. Apapun profesinya, kecenderungannya akan ke sana: menghitung untung-rugi bukan sekadar untuk hidup dunia, tapi juga sebagai bekal di akhirat.
Dibanding profesi yang lain, dokter merupakan profesi yang punya peluang paling besar menimbun kebaikan. Sebab, saban hari ia menolong orang. Menyembuhkan orang sakit. Terus terang saya iri. Karena bukan dokter, saya pun berandai-andai. Andai saya dokter maka akan membantu semua pasien saya. Terutama pasien miskin. Caranya:
mengobatinya sampai sembuh dengan biaya yang sewajarnya. Ukuran kewajaran berbeda setiap orang. Orang yang kaya tidak akan keberatan disuruh bayar mahal. Orang yang miskin tentu akan jatuh sakit lagi ketika disuruh membayar seperti orang kaya.
Kan biaya pengobatan standar. Kalau yang miskin disuruh bayar tidak sama dengan orang kaya, siapa yang akan nemblongi kekurangannya? Ya, dokternya dong. Dari koceknya sendiri dong. Masak dari kocek tetangga.
Saya bersyukur. Dipertemukan dengan beberapa dokter hebat. Hebat keilmuannya. Ya hebat hatinya. Mereka disenangi pasiennya. Karena alisa penyakitnya jitu. Kesembuhan pasien paling utama memang disebabkan kejituan analisa. Analisa yang tepat akan mendapatkan obat yang tepat. Pasien yang mengeluh perutnya sakit dan mual-mual harus diberi obat yang sesuai dengan keluhanya. Tentu saja setelah diperiksa. Bukan malah diberi obat yang menyebabkan mualnya makin menjadi-jadi. Soal tingkat kejituan itu masing-masing dokter berbeda. Sama dengan wartawan, selain tingkat kecerdasan, makin rajin belajar dan terus belajar maka makin mahir.
Saya bangga pada teman dokter yang hebat ilmu dan hatinya. Mereka bisa menakar. Banyak orang beranggapan: makin hebat dokternya makin mahal ongkosnya. Itu tidak berlaku bagi teman-teman saya. Berobat ke mereka memang mahal. Harus diakui. Tapi, tidak banyak yang tahu kalau sebenarnya tarif itu tidak berlaku untuk semua pasien. Mereka diam-diam suka menolong pasien yang tidak punya. Dia marah ketika ada pasien yang tidak disiplin kontrol gara-gara tidak punya uang. ‘’Soal tidak punya uang untuk bayar kontrol itu nomor dua. Jangan dipikir. Yang penting sembuh dulu,’’ tegasnya kepada pasien yang baru datang lagi tidak sesuai janjinya.
Kepada anaknya yang juga dokter, dia selalu menasihati agar jangan gemar membantu pasien tidak mampu. Dia bilang anaknya masih sangat muda. Dokter muda. Masih penuh perhitungan. Ketika ada pasien yang memerlukan tindakan khusus dan pasti biayanya tidak murah, dia selalu minta pertimbangan ayahnya. Dijawab oleh ayahnya yang lebih senior: sudah lakukan tindakan dulu. Soal biaya dipikir belakangan. Tolong dulu pasienmu.
‘’Tapi, biayanya mahal Pa?’’ si anak protes.
‘’Uang bisa dicari. Kalau kamu menolong orang uang akan datang sendiri,’’ nasihat si ayah.
Itulah beda orang tua dan anak muda. Dokter senior tinggi keilmuan dan hatinya. Dokter junior bisa jadi keilmuannya lebih tinggi daripada dokter senior. Tapi tidak dengan hatinya. Namun, meski tidak banyak, pasti juga ada dokter junior yang berilmu tinggi dan baik hati. Seperti teman dokter yang seusia saya. Pasiennya dari kalangan miskin sangat ngefans sama dia. Sebab, pasien itu disuruh bayar semampunya. Saking ngefansnya, ketika sudah sehat dan beraktivitas kembali si pasien bersilaturahim ke rumah teman dokter itu. Bukan membawa uang untuk bayar kekurangan biaya pengobatannya. Tapi membawa pisang dan hasil panen kebonan-nya. Sebagai ucapan terima kasih.
Dokter-dokter seperti itu layak jadi idola orang miskin. Mereka benar-benar melayani orang sakit dengan hatinya. Bukan dengan prinsip dagang: mana ada pedagang yang tidak mengejar keuntungan. Mengejar materi itu memang perlu. Apalagi saat kuliah kedokteran dulu menghabiskan banyak biaya. Tapi, meringankan biaya berobat orang miskin yang sakit saya kira juga bukan perbuatan tercela yang harus dihindari.
Kebetulan, saya kemarin mengantar istri ke tempat praktik dokter di Jalan Jagung Suprapto. Untuk memintakan surat rujukan ibu mertua yang baru opname di salah satu rumah sakit. Surat itu diperlukan untuk kontrol. Ternyata tidak secepat yang saya bayangkan. Untuk mendapatkan rujukan saja harus antre berjam-jam. Sesuai nomor urut antre pasien. Maksud si dokter itu baik. Membudayakan disiplin. Tapi tidak baiknya adalah kenapa antara pasien yang sakit dan yang hanya minta rujukan tidak dibedakan. Diklasifikasi. Yang hanya butuh surat rujukan kan tidak perlu diperiksa. Tidak butuh waktu selama yang sedang sakit. Atau pakai cara lain. Misal, khusus yang minta rujukan disuruh masuk bareng dan langsung dibuatkan rujukan. Atau diselang-seling. Setelah yang sakit dan berobat diselingi oleh yang hanya minta rujukan. Yang pasti, saya sama sekali tidak berani menyalahkan dokter itu. Yang layak disalahkan adalah BPJS. Kenapa sih untuk berobat saja rakyat dipersulit. Kenapa harus pakai rujukan segala. Toh di rumah sakit sudah ada dokternya. Terlalu berbelit-belit.
Wa ba’du. Mudah-mudahan sejawat kita yang punya profesi dokter senantiasa diberi hati emas. Mengobati dengan hati emas akan membuat pasien nyaman dan cepat sembuh. Setidaknya tidak stress memikirkan biaya yang akan dibayarkan.***
INI soal nurani. Urusan hati. Dari hati yang baik lahirlah hal-hal yang mulia. Tapi sebaliknya, banyak orang mati rasa karena hatinya beku. Mati rasa sengaja saya cetak tebal plus garis bawah. Karena mulai menggejala saat ini. Seperti virus. Agresif pergerakannya. Walhasil, banyak orang jadi korban. Mereka tidak peka sosial. Cuek terhadap lingkungan.
Mati rasa, salah satunya, akibat hati yang beku. Hatinya seperti secawan gelas penuh kotoran. Ketika dituang air tidak tampak kebeningan airnya. Mana mungkin gelas yang keruh bisa memantulkan cahaya.
Umumnya, keinginan membersihkan hati dialami mereka yang melewati usia 40 tahun. Ada yang di bawah 40 tahun sudah berhati mulia. Tapi tidak banyak. Maka, jangan heran jika mereka yang berusia 40 tahun lebih arif. Penuh perhitungan dalam menjalani hidup. Bukan hanya mempertimbangkan untung-rugi bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Menghitung sudah seberapa banyak menolong orang yang membutuhkan. Mengingat-ingat seberapa banyak dosa yang pernah dilakukan. Gejala seperti itu berlaku untuk semua latar belakang. Tidak pandang bulu. Apapun profesinya, kecenderungannya akan ke sana: menghitung untung-rugi bukan sekadar untuk hidup dunia, tapi juga sebagai bekal di akhirat.
Dibanding profesi yang lain, dokter merupakan profesi yang punya peluang paling besar menimbun kebaikan. Sebab, saban hari ia menolong orang. Menyembuhkan orang sakit. Terus terang saya iri. Karena bukan dokter, saya pun berandai-andai. Andai saya dokter maka akan membantu semua pasien saya. Terutama pasien miskin. Caranya:
mengobatinya sampai sembuh dengan biaya yang sewajarnya. Ukuran kewajaran berbeda setiap orang. Orang yang kaya tidak akan keberatan disuruh bayar mahal. Orang yang miskin tentu akan jatuh sakit lagi ketika disuruh membayar seperti orang kaya.
Kan biaya pengobatan standar. Kalau yang miskin disuruh bayar tidak sama dengan orang kaya, siapa yang akan nemblongi kekurangannya? Ya, dokternya dong. Dari koceknya sendiri dong. Masak dari kocek tetangga.
Saya bersyukur. Dipertemukan dengan beberapa dokter hebat. Hebat keilmuannya. Ya hebat hatinya. Mereka disenangi pasiennya. Karena alisa penyakitnya jitu. Kesembuhan pasien paling utama memang disebabkan kejituan analisa. Analisa yang tepat akan mendapatkan obat yang tepat. Pasien yang mengeluh perutnya sakit dan mual-mual harus diberi obat yang sesuai dengan keluhanya. Tentu saja setelah diperiksa. Bukan malah diberi obat yang menyebabkan mualnya makin menjadi-jadi. Soal tingkat kejituan itu masing-masing dokter berbeda. Sama dengan wartawan, selain tingkat kecerdasan, makin rajin belajar dan terus belajar maka makin mahir.
Saya bangga pada teman dokter yang hebat ilmu dan hatinya. Mereka bisa menakar. Banyak orang beranggapan: makin hebat dokternya makin mahal ongkosnya. Itu tidak berlaku bagi teman-teman saya. Berobat ke mereka memang mahal. Harus diakui. Tapi, tidak banyak yang tahu kalau sebenarnya tarif itu tidak berlaku untuk semua pasien. Mereka diam-diam suka menolong pasien yang tidak punya. Dia marah ketika ada pasien yang tidak disiplin kontrol gara-gara tidak punya uang. ‘’Soal tidak punya uang untuk bayar kontrol itu nomor dua. Jangan dipikir. Yang penting sembuh dulu,’’ tegasnya kepada pasien yang baru datang lagi tidak sesuai janjinya.
Kepada anaknya yang juga dokter, dia selalu menasihati agar jangan gemar membantu pasien tidak mampu. Dia bilang anaknya masih sangat muda. Dokter muda. Masih penuh perhitungan. Ketika ada pasien yang memerlukan tindakan khusus dan pasti biayanya tidak murah, dia selalu minta pertimbangan ayahnya. Dijawab oleh ayahnya yang lebih senior: sudah lakukan tindakan dulu. Soal biaya dipikir belakangan. Tolong dulu pasienmu.
‘’Tapi, biayanya mahal Pa?’’ si anak protes.
‘’Uang bisa dicari. Kalau kamu menolong orang uang akan datang sendiri,’’ nasihat si ayah.
Itulah beda orang tua dan anak muda. Dokter senior tinggi keilmuan dan hatinya. Dokter junior bisa jadi keilmuannya lebih tinggi daripada dokter senior. Tapi tidak dengan hatinya. Namun, meski tidak banyak, pasti juga ada dokter junior yang berilmu tinggi dan baik hati. Seperti teman dokter yang seusia saya. Pasiennya dari kalangan miskin sangat ngefans sama dia. Sebab, pasien itu disuruh bayar semampunya. Saking ngefansnya, ketika sudah sehat dan beraktivitas kembali si pasien bersilaturahim ke rumah teman dokter itu. Bukan membawa uang untuk bayar kekurangan biaya pengobatannya. Tapi membawa pisang dan hasil panen kebonan-nya. Sebagai ucapan terima kasih.
Dokter-dokter seperti itu layak jadi idola orang miskin. Mereka benar-benar melayani orang sakit dengan hatinya. Bukan dengan prinsip dagang: mana ada pedagang yang tidak mengejar keuntungan. Mengejar materi itu memang perlu. Apalagi saat kuliah kedokteran dulu menghabiskan banyak biaya. Tapi, meringankan biaya berobat orang miskin yang sakit saya kira juga bukan perbuatan tercela yang harus dihindari.
Kebetulan, saya kemarin mengantar istri ke tempat praktik dokter di Jalan Jagung Suprapto. Untuk memintakan surat rujukan ibu mertua yang baru opname di salah satu rumah sakit. Surat itu diperlukan untuk kontrol. Ternyata tidak secepat yang saya bayangkan. Untuk mendapatkan rujukan saja harus antre berjam-jam. Sesuai nomor urut antre pasien. Maksud si dokter itu baik. Membudayakan disiplin. Tapi tidak baiknya adalah kenapa antara pasien yang sakit dan yang hanya minta rujukan tidak dibedakan. Diklasifikasi. Yang hanya butuh surat rujukan kan tidak perlu diperiksa. Tidak butuh waktu selama yang sedang sakit. Atau pakai cara lain. Misal, khusus yang minta rujukan disuruh masuk bareng dan langsung dibuatkan rujukan. Atau diselang-seling. Setelah yang sakit dan berobat diselingi oleh yang hanya minta rujukan. Yang pasti, saya sama sekali tidak berani menyalahkan dokter itu. Yang layak disalahkan adalah BPJS. Kenapa sih untuk berobat saja rakyat dipersulit. Kenapa harus pakai rujukan segala. Toh di rumah sakit sudah ada dokternya. Terlalu berbelit-belit.
Wa ba’du. Mudah-mudahan sejawat kita yang punya profesi dokter senantiasa diberi hati emas. Mengobati dengan hati emas akan membuat pasien nyaman dan cepat sembuh. Setidaknya tidak stress memikirkan biaya yang akan dibayarkan.***