Membangun Garda Anti Hoax: - Rahmafari Fikra Maulida
:Remaja Pengguna Cerdas Media Sosial, Agen Pemberantas Hoax
oleh Rahmafari Fikra Maulida
Seberapa yakin Anda terhadap apa yang Anda baca di media sosial kini? Bila Anda mendapat berita aneh yang sedikit di luar nalar, ataupun tidak tercantum dalam koran dan situs web berita tepercaya, waspadalah. Bisa jadi berita yang Anda dapatkan adalah hoax. Di bawah ini merupakan salah satu contoh berita hoax yang beredar di media sosial Whats’app (WA). Berita tersebut berisi tentang larangan memakan coklat dan mi secara bersamaan karena dapat menyebabkan seseorang keracunan. Kenyataannya mi instan tidak mengandung arsenic, sehingga tidak bereaksi dengan coklat.
Nyatanya, suatu kebohongan dapat dipercaya dan diterima dengan begitu mudah hingga memunculkan kepanikan massal. Berita hoax merupakan salah satu pembodohan massal yang begitu mudah diterima oleh masyarakat. Hoax merupakan istilah internasional untuk menyebut berita palsu atau berita bohong. Dikutip dari laman liputan 6, Lynda Walsh dalam buku berjudul Sins Against Science menyatakan bahwa istilah hoax atau kabar bohong merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industri. Istilah ini, diperkirakan, pertama kali muncul pada 1808. Seperti dilansir dari Antara, Jumat 6 Januari 2016, asal kata ‘hoax’ diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni ‘hocus’ dari mantra ‘hocus pocus’. Frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa ‘sim salabim’.
Whatsapp
Salah satu berita hoax yang pemberitaannya paling menggemparkan dunia ialah berita kiamat suku maya pada tahun 2012. Saking hebat dan dipercaya sebagai kebenaran, berita hoax ini diangkat ke dalam film layar lebar berjudul “2012”. Banyak orang bunuh diri karena takut mengahdapi kiamat. Nyatanya? Pagi itu, 21 Desember 2012, yang diberitakan sebagai hari datangnya kiamat, saya bangun dan semua baik-baik saja. Sangat disayangkan, isu semacam itu sangat mudah menyulut kepercayaan pembaca. Padahal, tidak ada bukti ilmiah mengenai kedatangan kiamat.
Tak hanya menggemparkan dunia, berita hoax pun dapat mengancam perdamaian dunia dengan mengadu domba dua negara. Sebagaimana berita hoax yang beredar di antara Israel dan Pakistan. “Mengutip laporan CNN, Selasa (27/12/2016), dalam sebuah artikel yang diterbitkan AWDNews, Selasa 20 Desember 2016, mantan Menteri Pertahanan Israel Moshe Yaalon diberitakan telah mengancam akan menghancurkan Pakistan jika negara tersebut mengirimkan pasukan ke Suriah. “Kami akan menghancurkan mereka dengan serangan nuklir,” demikian ucapan Yaalon dalam artikel itu. Padahal, tak ada bukti bahwa Yaalon pernah mengucapkan kata-kata demikian.” (liputan 6)
Apa yang terjadi bila kedua negara benar-benar percaya pada berita hoax tersebut? Perang akan pecah begitu saja. Saat ini jurnalistik telah memasuki fase jurnalistik digital. Artinya, berita dapat disebarkan melalui internet, baik melaui web, blog, maupun media sosial. Jika dulu berita hoax menyebar dari mulut ke mulut, selebaran, pamflet, poster dan media cetak seperti koran, kini berita hoax menyebar melalui “copy-paste”. Semudah itu, dan berita hoax menyebar luas ke segala arah.
Namun, di antara web, blog, dan media sosial, memang yang paling dekat dengan hidup seseorang ialah media sosial. Media sosial merupakan tempat orang-orang berinteraksi di dunia maya. hampir seperti “berbincang” lewat kata. Mulai dari Facebook, media sosial dengan pengguna terbanyak di dunia, Instagram, Twitter, dan Path. Orang-orang kini begitu percaya dengan media sosial. Media sosial dengan pengguna terbanyak di dunia, Facebook, juga menjadi salah satu agen penyebarluasan berita hoax. Di Indonesia kebanyakan berita hoax disebarluaskan melalui media sosial seperti Facebook, Twitter dan sosial chat seperti Whatsapp. Dari grup ke grup, hoax menyebar lewat pesan Whatsapp.
Mengapa banyak orang dengan mudah memercayai berita hoax yang beredar di media sosial? Karena mayoritas berita hoax yang diedarkan melalui media sosial disusun dengan bahasa yang “rapi”. Di Indonesia contohnya, berita hoax yang beredar di media sosial kebanyakan ditulis dengan ejaan dan pilihan kata yang padu, membuatnya benar-benar meyakinkan untuk disebut berita. Tak main-main, kadang-kadang berita hoax turut menyeret namanama besar agar dapat dipercaya oleh para pembaca.
Pada umumnya berita hoax juga mengangkat topik-topik yang sedang hangat dan menyertakan embel-embel bahwa berita tersebut merupakan fakta dengan sumber informasi tepercaya, seperti pada contoh Gambar 2 di atas yang menggunakan nama mantan menteri sebuah instansi kementerian. Melihat hal tersebut, pembaca tanpa ragu-ragu mengedarkan berita hoax ke temantemannya.
Untuk mencapai kekayaan secara cepat dan instan tak jarang orang membuat berita hoax. Diduga pula, hal yang menyebabkan berita hoax tak ada habisnya di ranah peberitaan internasional ialah keberadaan pihak yang rela membayar mahal untuk menugasi seorang “jurnalis palsu” agar membuat berita hoax dengan tujuan kepentingan pribadi, menjatuhkan suatu pihak, memorakporandakan keadaan, memicu permusuhan, atau sekadar ingin menyebarkan keresahan di masyarakat.
Penyebab lain mengapa berita hoax terus berkembang di tanah air ialah kurangnya publikasi jurnal-jurnal ilmiah, sehingga kekosongan pengetahuan dari benak-benak haus informasi justru diisi dengan berita bohong, bukan hasil pemikiran ilmiah yang dituangkan oleh para ahli. “Budaya menulis masyarakatdi tanah air masih rendah. Hal itu terbukti dari jumlah jurnal internasional para akademisi di luar negeri yang masih tertinggal dari negara lain. Di Asia saja, Indonesia kalah dengan Malaysia dan Singapura.” (liputan 6)
Inilah hal yang sangat disayangkan. Mungkin, kini jumlah berita hoax yang beredar di masyarakat lebih banyak daripada jurnal ilmiah yang dipublikasikan di internet. Apakah Anda tidak heran melihat begitu banyaknya berita hoax yang menyebar, namun begitu sedikit berita dan jurnal ilmiah yang beredar di media sosial? Hal tersebut menandakan bahwa jurnal ilmiah yang telah ditulis oleh para ilmuwan belum berhasil mengedukasi masyarakat. Pasalnya, salah satu sebab mengapa berita hoax mudah dipercaya oleh masyarakat ialah tidak adanya informasi ilmiah yang tersedia mengenai suatu pokok bahasan, sehingga ruang tanya di dalam pikiran pengguna yang haus akan informasi justru diisi oleh jawaban-jawaban palsu dari berita hoax.
Lantas, bagaimana cara memerangi berita hoax di media sosial yang keberadaannya semakin meresahkan? Cara pertama yang dapat dilakukan ialah dengan membuat undang-undang yang mengatur hukuman untuk pembuat dan pengedar berita hoax. Pemerintah Indonesia, sebenarnya, telah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang berita hoax melalui undang-undang ITE pasal 28 ayat 1. Dalam pasal itu disebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar”. Namun, apakah itu saja sudah cukup? Tidak! Faktanya, hukum yang telah diberlakukan ini belum berhasil mengikat tangan-tangan para pencipta dan pencinta berita hoax.
Cara kedua ialah membangun garda anti-hoax. Apa itu garda anti-hoax? Indonesia yang tengah diterpa badai berita bohong membutuhkan sosok “pahlawan” yang mampu menyelamatkan pengguna internet atau yang kita kenal sebagai netizen dari berita hoax. Pahlawan yang cerdas dalam memanfaatkan internet. Mereka yang akan membebaskan otak-otak manusia dari kebohongan.
Remaja, adalah mereka yang dibesarkan oleh asuhan teknologi, pengguna terbesar media sosial, sasaran empuk pembodohan oleh berita hoax, selain pengguna dewasa. Merekalah wajahwajah calon penulis yang akan mengisi konten media sosial ke depannya, menjadi calon jurnalis yang akan terjun ke era jurnalistik digital, menjadi wajah-wajah yang mengedukasi Indonesia, bukan menyesatkannya. Oleh karena itu, sejak awal mereka harus dibekali dengan kemampuan untuk memerangi berita hoax agar ke depannya masyarakat tidak lagi dibodohi oleh berita palsu. Sejak dini, remaja haruslah kritis dalam menghadapi kondisi di sekitarnya. Pengguna media sosial yang cerdas tidak asal menelan mentah-mentah setiap informasi tanpa mempertanyakan kebenaran dari suatu berita. Budaya menulis yang terintegrasi dengan teknologi merupakan hal yang benar-benar dibutuhkan oleh remaja masa kini untuk membangun era jurnalistik yang lebih baik ke depan, yang bebas dari hoax-hoax.
Membangun Garda Antiberita Hoax
Saya tegaskan kembali, bahwa perlu dibentuk garda pemberantas berita hoax yang terdiri atas para remaja. Mengapa harus remaja? Bukan orang dewasa? Berdasarkan hasil survei Asosisasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerja sama dengan Pusat Kajian dan Komunikasi Universitas Indonesia, pengguna terbanyak internet berasal dari kelompok usia 18-25 tahun, yaitu sekitar 49% dari seluruh pengguna internet di Indonesia. Jumlah yang sangat banyak. Berdasarkan jumlah yang banyak inilah, wajah jurnalisme digital Indonesia ke depannya dikenal oleh dunia. Berikut ini kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk membangun garda antiberita hoax, yang tak lain adalah remaja Indonesia yang cerdas dalam menggunakan teknologi. Kelak, merekalah yang akan menyelamatkan dunia pemberitaan digital dari kekejaman berita palsu. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk menjadi seorang garda pemberantas hoax ialah sebagai berikut.
1. Mengenalkan Remaja tentang Bahaya Berita Hoax
Kebanyakan orang menganggap sepele berita hoax. Mereka hanya menganggapnya sebagai berita bohong yang mungkin lucu, menarik. Namun, sebenarnya, berita hoax begitu berbahaya. Bagi pembaca, berita hoax dapat benar-benar mengubah hidupnya. Mari kita ambil sebuah berita hoax tentang kesehatan yang berbahaya bila dipercaya: “Oleskan vaselin untuk mencegah mers”. Apa yang terjadi bila seseorang memercayai berita bohong itu dan hanya menggunakan vaselin di hidung untuk mencegah dirinya tertular virus mers? Nyawanya bisa terancam.
Bagi penulis berita hoax, bila terbukti menulis, mereka harus siap mendekam di bui. Begitu pula mereka yang menyebarkan, akan turut terseret dalam urusan hukum. Oleh karena itu, remaja harus waspada agar jangan sampai terseret dalam bahaya berita hoax.
2. Mampu Membedakan Berita Hoax dan Berita yang Sebenarnya
Sebenarnya, mudah untuk mengenali sebuah berita merupakan hoax atau bukan. Ciri-ciri umum berita yang tidak bisa dipungkiri ialah dalam penulisan berita haruslah berupa fakta yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Layaknya tulisan ilmiah, sebuah berita harus mencantumkan sumber data yang jelas. Nama wartawan atau penulis berita pun harus ditulis jelas di akhir berita, bukan dengan nama alias ataupun nama palsu. Apabila dalam berita terdapat data, sumber data tersebut harus jelas. Untuk berita yang beredar melaui media sosial, seharausnya disertai dengan tautan sumber berita. Laman yang menjadi acuan pengutipan juga harus merupakan laman asli atau benar-benar dikelola oleh jurnalis-jurnalis professional dengan berita yang dapat dipercaya, bukan laman palsu yang merupakan plesetan dari laman asli. Untuk mengetahui kredibilitas sebuah berita, cobalah menelusur di internet tentang penulis berita.
Apakah penulis bisa dipercaya ataukah tidak. Atau bila ada tautan yang disertakan, apakah benar tautan tersebut bukan berasal dari laman palsu. Dengan begitu kita dapat mengetahui benar atau tidaknya berita yang kita dapatkan di media sosial. Sayangnya, tidak banyak pengguna internet yang jeli tentang ciri-ciri berita hoax ini, sehingga menganggap berita yang beredar di media sosial sebagai berita yang benar.
3. Mengajari Remaja Cara Menyikapi Berita Hoax
Bila mendapat berita dengan bahasan menarik, kebanyakan pengguna media sosial akan “refleks” mengedarkan berita hoax tersebut. Stop mengedarkan berita hoax. Bila menemukan berita yang dicurigai sebagai berita hoax, segera tandai berita tersebut, catat judul berita. Dengan cara seperti ini secara tidak langsung kita telah menjadi agen “pemungut” berita hoax.
Yang dimaksud “pemungut” ialah remaja yang telah diberi pengertian tentang berita hoax serta sudah dapat membedakan mana yang hoax dan mana yang tidak. Setelah memiliki kemampuan membedakan berita ini, sudah selayaknya remaja menyaring berita yang ia dapatkan dari media sosial, menandai berita yang dianggap hoax dan memberitahukan pada orang tua mereka, ataupun sesama pengguna media sosial.
4. Membangun Minat Menulis Jurnal Ilmiah Digital
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu penyebab berkembangnya berita hoax adalah kurangnya jumlah dan publikasi jurnal-jurnal ilmiah di Indonesia. Indonesia memiliki banyak dosen-dosen cerdas dengan karya-karya yang luar biasa. Namun, perihal publikasi, Indonesia masih kalah dengan negara lain. Sebagai bukti, coba Anda mencari jurnal ilmiah di Internet tentang suatu topik khusus, tentu akan sangat sulit menemukan jurnal ilmiah dengan topik yang anda cari. Padahal, mungkin sebenarnya jurnal ilmiah yang Anda cari sudah ada di suatu perpustakaan, namun tidak dipublikasikan di internet.
Oleh karena itu, ke depannya, remaja yang akan menjadi calon-calon penulis jurnal imiah masa depan perlu mengubah animo masyarakat bahwa jurnal ilmiah hanya bersarang di perpustakaan. Sejak di sekolah menengah atas, sebaiknya, siswa dibekali dengan kemampuan menulis jurnal ilmiah yang diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa di sekolah, sekaligus dikenalkan dengan publikasi lewat media sosial. Dengan begitu, setelah lulus dari sekolah menengah atas, generasi penerus inilah yang akan memublikasikan jurnal-jurnal ilmiah mereka kepada publik lewat internet.
5. Membangun Pola Pikir Ilmiah
Pola pikir ilmiah perlu dimiliki oleh remaja agar mereka dapat diandalkan dalam memerangi berita hoax. Suatu berita, sebagaimana karya ilmiah harus ditulis berdasarkan fakta dan kebenaran, bukan berdasarkan praduga. Dengan memiliki pola pikir ilmiah, remaja akan kritis menangapi informasi yang ia dapatkan dari media sosial, bukan menelan mentah-mentah setiap informasi yang didapat. Remaja yang kritis dan berpola pikir ilmiah tentu akan menelaah kebenaran dari suatu berita dengan menelitinya. Sesuatu baru bisa disebut fakta apabila memenuhi kriteria.
Budaya Jurnalistik dan Garda Anti-hoax
Budaya jurnalistik merupakan hal yang perlu ditanamkan pada anak-anak usia remaja agar, ke depannya, dapat memerangi berita hoax dengan jurnal-jurnal ilmiah. Bila budaya menulis hoax yang berkembang beberapa tahun ke depan, media sosial akan dipenuhi oleh kebohongan, sehingga kebenaran sulit ditemukan. Beerita hoax yang merajalela akan mencoreng nama jurnalistik di Indonesia.
Semua pengguna internet wajib sadar akan bahaya berita hoax dan semua perlu mengetahui cara menyelamatkan negeri dari infeksi berita hoax. Berita hoax bukan sekadar berita bohong yang diciptakan untuk bahan bercanda. Ia adalah senjata yang diciptakan untuk memecah belah bangsa, mengadu domba, dan memorakporandakan. Namun, karena remaja lebih “melek IT” daripada orang dewasa dan memiliki pemikiran yang lebih kritis, remajalah yang paling cocok untuk memerangi maraknya penulisan hoax. Remaja inilah yang nantinya akan terjun ke dunia teknologi. Remaja-remaja ini pulalah yang akan mengedukasi masyarakat.
Daftar Pustaka
http://health.detik.com/healthypedia/40-broadcast-pesankesehatan-yang-ternyata-hoax/5476/lemon-lebih-hebatdari-kemoterapi
https://m.tempo.co/read/news/2016/11/20/063821644/ mabes-polri-penyebar-hoax-diancam-hukuman-6-tahunpenjara?epi=7%2CPAGEID10%2C2409669855
http://www.jawapos.com/read/2017/04/20/124856/baca-nihalasan-kenapa-budaya-menulis-hoax-tumbuh-subur-diindonesia
https://m.tempo.co/read/news/2016/11/20/063821644/ mabes-polri-penyebar-hoax-diancam-hukuman-6-tahunpenjara?epi=7%2CPAGEID10%2C2441016920
http://m.liputan6.com/news/read/2820443/darimana-asalusul-hoax
______
______
Sumber: Menyelamatkan Bahasa Indonesia (Antologi Esai Karya Pemenang
dan Karya Pilihan Lomba Penulisan Esai bagi Remaja Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2017), Penyunting: Dwi
Atmawati, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Balai Bahasa Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2017.