Membaca Sunyi Emi Suy - Eko Windarto
oleh Eko Windarto
Membaca pendapat banyak orang tentang hasil karya puisi seorang penyair memang cukup menarik sebab pendapat orang lain berbeda-beda tergantung dari sisi mana menilainya. Semua pembaca berhak berpendapat dan menilai suatu karya puisi menurut kacamata pandangan masing-masing. Juga ketika membaca dan memasuki puisi SUNYI Emi Suy saya berusaha menangkap pahatan yang menyiratkan makna-makna sunyi yang terkandung dalam batang tubuh puisi sunyi yang tercurah bagai malam nglangut sangat sunyi sekali bagai musim hujan menyirami ladang-ladang dingin, sejuk dan menyegarkan.
Setelah membaca puisi SUNYI Emi Suy saya merasa memasuki kekuatan sunyi, ilusi, dan imajinasi yang menakjubkan seperti menggelantung di pelabuhan sunyi. Bagai orang yang sedang mendengar gaung suaranya dan merasakan relung hatinya paling dalam. Sepotong puisi bisa menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan hidup yang lebih luhur yang merupakan aplikasi bayang-bayang dari kemuliaan Allah. Coba kita simak puisi SUNYI yang begitu indah diksi-diksinya, maupun metafora-metaforanya.
SUNYI
Oleh: Emi Suy
daun-daun duduk
mengemas suntuk
di bangku panjang
mengeja sunyi yang lapang
dua batang pohon tergeletak
saksi percakapan yang retak
angin menoleh
dingin menoreh
diam mematung
rindu terhuyung
lesap ditelan senyap
lelap di peluk harap
mengecup keluh di kening pilu
kenangan berserak
kata berarak
sunyi pun beranak pinak
Emi Suy mencoba apa yang ia lihat seperti melihat dirinya sendiri seperti penggalan pada bait pertama /daun-daun duduk/ ketika melihat daun-daun berserakan di atas bangku, dia seperti merasakan sedang duduk sendiri tanpa ada teman atau saudaranya. Bahkan dia merasa sepi sunyi seperti daun-daun kering /mengemas suntuk/ di bangku panjang/ mengeja sunyi yang lapang/. Dia merasakan begitu panjang hatinya mengeja sunyi dalam jiwanya yang paling suntuk dan sunyi menanti datangnya bunyi gemerincing angin yang sejuk. Ternyata Emi Suy bisa merangkum dan merasakan sunyi yang begitu menggetarkan, menggoda jiwa kepekaannya. Luar binasa eh luar biasa.
Lagi-lagi sang penyair memperlihatkan kepiawaiannya dalam marangkum diksi dan merawat metafora yang terlihat seksi di bait dua /dua batang pohon tergeletak/ saksi percakapan yang retak/. Dari situ dia mencoba dan merasakan ada suatu percakapan yang dia rekam melalui rasa dan mata batinnya yang tajam seperti kamera tersembunyi saja. Sang penyair juga tak luput menyaring kesiur angin yang begitu sejuk merasuk dalam jiwanya yang paling dingin untuk dapat menangkap sesuatu yang tertoreh seperti dalam baris ini /angin menoleh/ dingin menoreh. Sesuatu pengamatan yang dirasakan oleh Emi Suy sendiri.
Setelah bisa merasakan angin dan menangkap percakapan yang retak dia kembali tertegun melihat sesuatu yang terhuyung sebelum hilang atau menelusup di antara harapan yang tidak bisa kita tebak dengan pasti karena hanya Allah dan dia saja yang paling tahu harapan sebenarnya. Coba kita renangi dan renungkan bait ke tiga ini /diam mematung/ rindu terhuyung/ lesap ditelan senyap/lelap di peluk harap/. Dalam bait tiga ini sang penyair betul-betul sendiri sunyi hingga dia diam mematung melihat atau merasakan rindu terhuyung penuh harap. Entah apa yang sebenarnya dia harapkan dari diamnya.
Di bait empat pun sang penyair masih dalam kumparan sunyi yang mengasyikkan. Dia mencoba membuka kenangan lewat kesunyiannya sendiri yang beranak pinak. Tidak seperti sunyi sebuah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang tidak dimanfaatkan dengan baik.
Batu Sekarputih, 1192017
Membaca pendapat banyak orang tentang hasil karya puisi seorang penyair memang cukup menarik sebab pendapat orang lain berbeda-beda tergantung dari sisi mana menilainya. Semua pembaca berhak berpendapat dan menilai suatu karya puisi menurut kacamata pandangan masing-masing. Juga ketika membaca dan memasuki puisi SUNYI Emi Suy saya berusaha menangkap pahatan yang menyiratkan makna-makna sunyi yang terkandung dalam batang tubuh puisi sunyi yang tercurah bagai malam nglangut sangat sunyi sekali bagai musim hujan menyirami ladang-ladang dingin, sejuk dan menyegarkan.
Setelah membaca puisi SUNYI Emi Suy saya merasa memasuki kekuatan sunyi, ilusi, dan imajinasi yang menakjubkan seperti menggelantung di pelabuhan sunyi. Bagai orang yang sedang mendengar gaung suaranya dan merasakan relung hatinya paling dalam. Sepotong puisi bisa menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan hidup yang lebih luhur yang merupakan aplikasi bayang-bayang dari kemuliaan Allah. Coba kita simak puisi SUNYI yang begitu indah diksi-diksinya, maupun metafora-metaforanya.
SUNYI
Oleh: Emi Suy
daun-daun duduk
mengemas suntuk
di bangku panjang
mengeja sunyi yang lapang
dua batang pohon tergeletak
saksi percakapan yang retak
angin menoleh
dingin menoreh
diam mematung
rindu terhuyung
lesap ditelan senyap
lelap di peluk harap
mengecup keluh di kening pilu
kenangan berserak
kata berarak
sunyi pun beranak pinak
Emi Suy mencoba apa yang ia lihat seperti melihat dirinya sendiri seperti penggalan pada bait pertama /daun-daun duduk/ ketika melihat daun-daun berserakan di atas bangku, dia seperti merasakan sedang duduk sendiri tanpa ada teman atau saudaranya. Bahkan dia merasa sepi sunyi seperti daun-daun kering /mengemas suntuk/ di bangku panjang/ mengeja sunyi yang lapang/. Dia merasakan begitu panjang hatinya mengeja sunyi dalam jiwanya yang paling suntuk dan sunyi menanti datangnya bunyi gemerincing angin yang sejuk. Ternyata Emi Suy bisa merangkum dan merasakan sunyi yang begitu menggetarkan, menggoda jiwa kepekaannya. Luar binasa eh luar biasa.
Lagi-lagi sang penyair memperlihatkan kepiawaiannya dalam marangkum diksi dan merawat metafora yang terlihat seksi di bait dua /dua batang pohon tergeletak/ saksi percakapan yang retak/. Dari situ dia mencoba dan merasakan ada suatu percakapan yang dia rekam melalui rasa dan mata batinnya yang tajam seperti kamera tersembunyi saja. Sang penyair juga tak luput menyaring kesiur angin yang begitu sejuk merasuk dalam jiwanya yang paling dingin untuk dapat menangkap sesuatu yang tertoreh seperti dalam baris ini /angin menoleh/ dingin menoreh. Sesuatu pengamatan yang dirasakan oleh Emi Suy sendiri.
Setelah bisa merasakan angin dan menangkap percakapan yang retak dia kembali tertegun melihat sesuatu yang terhuyung sebelum hilang atau menelusup di antara harapan yang tidak bisa kita tebak dengan pasti karena hanya Allah dan dia saja yang paling tahu harapan sebenarnya. Coba kita renangi dan renungkan bait ke tiga ini /diam mematung/ rindu terhuyung/ lesap ditelan senyap/lelap di peluk harap/. Dalam bait tiga ini sang penyair betul-betul sendiri sunyi hingga dia diam mematung melihat atau merasakan rindu terhuyung penuh harap. Entah apa yang sebenarnya dia harapkan dari diamnya.
Di bait empat pun sang penyair masih dalam kumparan sunyi yang mengasyikkan. Dia mencoba membuka kenangan lewat kesunyiannya sendiri yang beranak pinak. Tidak seperti sunyi sebuah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang tidak dimanfaatkan dengan baik.
Batu Sekarputih, 1192017