Memahami Kembali Lampu Lalu Lintas - Fenny Raharyanti
oleh Fenny Raharyanti
(Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ibnu
Khaldun, Bogor)
Indahnya sebuah kota, bukan hanya penuh dihiasi bunga di dalam taman, pepohonan yang menyejukkan dan sampah yang tersimpan rapi. Tetapi juga manakala tersusun rapi jalannya, lengkap dengan marka jalan yang sangat detil, plus perilaku berkendara yang terdidik dan terlatih. Tidak ada peraturan yang bermanfaat, kecuali ditaati dilaksanakan sepenuh hati.
Saat ini saya sedang berada di suatu tempat, di mana berkendara dengan kecepatan 120 km/jam merupakan suatu keharusan. Tentu saja hal ini berita gembira bagi para pembalap. Tapi apakah memang semudah itu tancap gas? Syarat dan ketentuan berlaku.
Di sebagian negara maju, fasilitas umum dalam kota berupa transportasi dalam bentuk kereta, bis ataupun bentuk kendaraan lainnya, menjadi solusi yang sangat membantu masyarakat untuk bepergian. Namun bagaimana halnya jika suatu negara tidak atau belum menyelenggarakan transportasi umum? Mau tidak mau penduduk di negeri itu memiliki ataupun menyewa mobil pribadi.
Memetik pelajaran yang baik dari sebuah negara, sebutlah Kesultanan Oman. Negeri ini luar biasa dilimpahi rezeki yang begitu tiada tara dari Sang Pencipta. Di bawah pimpinan seorang sultan yang dicintai oleh rakyat sedemikian rupa sehingga negara ini makmur, aman, sentosa dan juga dihiasi lukisan alam yang membuat hati tergetar untuk menikmatinya. Pembangunan infrastruktur yang begitu terencana, salah satunya jalan umum berkualitas tinggi, sehingga semua orang dapat merasakan manfaatnya.
Negeri ini mempunyai luas wilayah sekitar 309 km2 dengan populasi 4,7 juta penduduk. Mungkin saja dengan kemampuan daya beli masyarakatnya untuk moda transportasi sebagai kebutuhan penting, dan ketersediaan jalan yang memadai, menjadikan negara ini belum merasa perlu untuk menyediakan commuter line, kecuali bis dan taksi.
Bebas dalam menentukan merk mobil apa yang akan dimiliki, bukan berarti bebas juga dalam menggunakan jalan. Pihak kepolisian membuat suatu aturan, bagi siapa saja yang sudah mencukupi usia untuk menyetir, terlebih dahulu harus melakukan latihan di bawah bimbingan seorang instruktur sampai dinyatakan lulus pada saat tes untuk mendapatkan driving licence. Tes ini berlaku untuk mereka yang sama sekali belum dapat mengemudi sebelumnya, dan bagi para pendatang yang pemahaman aturan lalu lintasnya harus ada penyesuaian.
Bagi pendatang yang sistem lalulintasnya sudah setara, tinggal mengkonversi saja. Tujuannya adalah bukan sekedar formalitas, tapi untuk memberikan pemahaman bagi calon pengemudi supaya familiar dengan komunitas jalan dan aturannya.
Di Oman menggunakan stir kiri, tentu sangat berbeda kebiasaan dengan stir kanan. Belum lagi harus bertemu dengan bunderan atau round about, yaitu jalan searah memutar dengan dua atau tiga lajur, yang mana kita harus perhatikan betul ada di mana posisi kita, di lingkar luar atau dalamkah? Karena selama kita masih di jalan melingkar ini, posisi kita harus konsisten atau dilarang keras menyalip silang, karena rawan bersenggolan dengan kendaraan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan gangguan kemacetan. Selain juga kecepatannya harus dikurangi dari 60 km/jam menjadi 20-25 km/jam. Hal ini berlaku juga pada saat kita melewati tingkatan jalan yang berbeda.
Jika tertulis 40, 50, 60, 100 bahkan 120 km/jam, maka semua mobil hendaknya seirama untuk berkecepatan sesuai aturan. Jika tidak, akan membahayakan keselamatan mobil itu sendiri.
Tidak kalah pentingnya, patuh akan lampu lalu lintas. Jangan sampai tergoda karena jalan kosong meskipun lampu sedang merah, main terabas saja, karena kamera pengintai siap memotret Anda kapanpun. Kemungkinan terburuknya, jika si pengemudi seorang expat maka dipersilakan untuk kembali ke negaranya alias deportasi. Mengerikan, bukan?
Sekarang, mari bercermin pada perilaku berkendara kita di tanah air. Apa yang anda lakukan terhadap kendaraan yang dinaiki? baik mobil maupun motor, ketika lampu lalu lintas akan berubah antara hijau menuju merah? Bisa tekan gas, bisa juga mengerem untuk memperlambat laju kendaraan. Kebiasaan kita, mumpung masih hijau, daripada lama lagi kena warna merah, ingin cepat sampai, dan juga diklakson mobil belakang karena gemas dengan laju kita yang lambat, maka pada umumnya di antara kita lebih banyak yang menekan gas dibandingkan dengan mengerem.
Benarkah tindakan tersebut? Lampu lalu lintas tercantum dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu alat pemberi isyarat lalu lintas. Secara umum, bahkan sejak taman kanak-kanak, kita telah diperkenalkan bahwa lampu merah harus berhenti, lampu kuning berhati hati, dan lampu hijau harus berjalan.
Di beberapa lampu lalu lintas kini telah disertai pula waktu tunggu, biasanya terbilang mundur, agar pengguna jalan dapat mengetahui perkiraan perubahan perhentian maupun laju kembali kendaraan.
Dengan adanya timer tersebut, di saat lampu masih berwarna merah, seseorang akan bersiap mengatur persneling gigi 1 bagi manual ataupun berancang-ancang ke huruf D bagi matic. Sehingga pada saatnya warna hijau muncul, maka kendaraan dapat langsung melaju.
Begitupun halnya dengan perubahan dari warna hijau menuju merah, maka kendaraan dapat memperlambat lajunya untuk berhenti. Bisa juga perubahan antara lampu hijau menuju merah dapat ditandai dengan kedipan. Jadi, saat lampu hijau mendekati saat lampu merah, lampu hijau berkedip-kedip, yang memberikan sinyal kepada pengendara untuk siap-siap berhenti.
Pengguna jalan bukan hanya yang ada di dalam kendaraan, namun pejalan kaki pun berhak memperoleh keselamatan dan kenyamanan. Dengan prinsip yang sama, pengaturan lampu lalu lintas untuk pejalan kaki bersinergi dengan kendaraan. Itulah sebabnya, mengapa memperlambat kendaraan saat akan lampu merah lebih utama dibandingkan dengan tancap gas? Karena di persimpangan jalan sangat besar kemungkinan masih ada kendaraan di barisan belakang yang tersisa pada giliran lampu merah, begitupun bisa saja masih ada pengguna jalan yang masih melintas. Juga untuk memberikan ruang pejalan kaki yang melintas pada zebracross dengan leluasa.
Pada saat ini kita masih kurang memaksimalkan fungsi lampu kuning. Padahal, dengan memperlambat laju kendaraan pada saat lampu kuning, kendaraanpun dapat diatur jaraknya agar tidak melewati garis batas. Inilah fenomena yang terjadi, menyepelekan hal yang dianggap kecil namun dapat berakibat fatal. Sama halnya dengan peringatan tidak menggunakan telepon genggam saat berkendara, baik menelepon langsung ataupun menuliskan pesan.
Sangat beruntung saat ini pemerintah mulai menerapkan sistem perekaman di jalan raya, sehingga barang siapa yang melakukan pelanggaran, maka mereka tidak dapat lagi berkelit, karena bukti otentik sudah ada.
Peraturan bukan untuk ditakuti, tetapi ditaati, sehingga lambat laun akan mengubah kebiasaan kita menjadi lebih baik dan berperilaku terpuji untuk keselamatan diri dan juga keluarga.
Mulailah mematri diri bahwa keselamatan jiwa merupakan bentuk kasih sayang Anda pada keluarga. Bukan hanya kehilangan seseorang yang dicintai, tetapi juga berpengaruh pada kerugian materi, kehilangan tulang punggung keluarga, terlepas dari penjaminan asuransi.
Seat belt bukan untuk mengekang, tapi sebagai upaya proteksi mengalami benturan dari kejadian yang tidak diinginkan. Perilaku berkendara ini amat erat berkaitan dengan dua bidang kesehatan masyarakat, yaitu Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dan Promosi Kesehatan, dengan cakupannya adalah edukasi masyarakat dalam mengubah gaya hidup ke arah yang lebih baik.
Sebagai insan kesmas, tentu hal seperti ini wajib diperhatikan. Bukan saja bagi kehidupan pribadi, tapi juga disosialisasikan kepada masyarakat sehingga tumbuh kesadaran dalam berkendara lebih baik lagi.
Permasalahan kecelakaan lalu lintas, bahkan hingga memakan korban, dapat dicegah dengan perilaku berkendara yang baik dan benar. Tentu saja pembelajaran ini membutuhkan kesabaran. Dengan demikian, angka kejadian akibat kecelakaan lalu lintas dapat diminimalisasi.
Berdasarkan database KNKT, 31 Oktober 2016, persentase investigasi kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan tahun 2010-2016 karena tabrakan sebesar 68,29%, terguling 26,83% dan terbakar 4,88%. Sedang persentase faktor penyebab kecelakaan lalu lintas karena faktor manusia sebesar 69,70%, sarana 21,21%, dan prasarana 9,09%. Data ini menggambarkan bahwa perilaku manusia merupakan kendali utama dalam keselamatan.***
(Sumber: Gugus Opini Kesehatan Masyarakat #3, Editor: Agung Dwi Laksono, Health Advocacy & Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI), 2017)
(Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ibnu
Khaldun, Bogor)
Indahnya sebuah kota, bukan hanya penuh dihiasi bunga di dalam taman, pepohonan yang menyejukkan dan sampah yang tersimpan rapi. Tetapi juga manakala tersusun rapi jalannya, lengkap dengan marka jalan yang sangat detil, plus perilaku berkendara yang terdidik dan terlatih. Tidak ada peraturan yang bermanfaat, kecuali ditaati dilaksanakan sepenuh hati.
Saat ini saya sedang berada di suatu tempat, di mana berkendara dengan kecepatan 120 km/jam merupakan suatu keharusan. Tentu saja hal ini berita gembira bagi para pembalap. Tapi apakah memang semudah itu tancap gas? Syarat dan ketentuan berlaku.
Di sebagian negara maju, fasilitas umum dalam kota berupa transportasi dalam bentuk kereta, bis ataupun bentuk kendaraan lainnya, menjadi solusi yang sangat membantu masyarakat untuk bepergian. Namun bagaimana halnya jika suatu negara tidak atau belum menyelenggarakan transportasi umum? Mau tidak mau penduduk di negeri itu memiliki ataupun menyewa mobil pribadi.
Memetik pelajaran yang baik dari sebuah negara, sebutlah Kesultanan Oman. Negeri ini luar biasa dilimpahi rezeki yang begitu tiada tara dari Sang Pencipta. Di bawah pimpinan seorang sultan yang dicintai oleh rakyat sedemikian rupa sehingga negara ini makmur, aman, sentosa dan juga dihiasi lukisan alam yang membuat hati tergetar untuk menikmatinya. Pembangunan infrastruktur yang begitu terencana, salah satunya jalan umum berkualitas tinggi, sehingga semua orang dapat merasakan manfaatnya.
Negeri ini mempunyai luas wilayah sekitar 309 km2 dengan populasi 4,7 juta penduduk. Mungkin saja dengan kemampuan daya beli masyarakatnya untuk moda transportasi sebagai kebutuhan penting, dan ketersediaan jalan yang memadai, menjadikan negara ini belum merasa perlu untuk menyediakan commuter line, kecuali bis dan taksi.
Bebas dalam menentukan merk mobil apa yang akan dimiliki, bukan berarti bebas juga dalam menggunakan jalan. Pihak kepolisian membuat suatu aturan, bagi siapa saja yang sudah mencukupi usia untuk menyetir, terlebih dahulu harus melakukan latihan di bawah bimbingan seorang instruktur sampai dinyatakan lulus pada saat tes untuk mendapatkan driving licence. Tes ini berlaku untuk mereka yang sama sekali belum dapat mengemudi sebelumnya, dan bagi para pendatang yang pemahaman aturan lalu lintasnya harus ada penyesuaian.
Bagi pendatang yang sistem lalulintasnya sudah setara, tinggal mengkonversi saja. Tujuannya adalah bukan sekedar formalitas, tapi untuk memberikan pemahaman bagi calon pengemudi supaya familiar dengan komunitas jalan dan aturannya.
Di Oman menggunakan stir kiri, tentu sangat berbeda kebiasaan dengan stir kanan. Belum lagi harus bertemu dengan bunderan atau round about, yaitu jalan searah memutar dengan dua atau tiga lajur, yang mana kita harus perhatikan betul ada di mana posisi kita, di lingkar luar atau dalamkah? Karena selama kita masih di jalan melingkar ini, posisi kita harus konsisten atau dilarang keras menyalip silang, karena rawan bersenggolan dengan kendaraan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan gangguan kemacetan. Selain juga kecepatannya harus dikurangi dari 60 km/jam menjadi 20-25 km/jam. Hal ini berlaku juga pada saat kita melewati tingkatan jalan yang berbeda.
Jika tertulis 40, 50, 60, 100 bahkan 120 km/jam, maka semua mobil hendaknya seirama untuk berkecepatan sesuai aturan. Jika tidak, akan membahayakan keselamatan mobil itu sendiri.
Tidak kalah pentingnya, patuh akan lampu lalu lintas. Jangan sampai tergoda karena jalan kosong meskipun lampu sedang merah, main terabas saja, karena kamera pengintai siap memotret Anda kapanpun. Kemungkinan terburuknya, jika si pengemudi seorang expat maka dipersilakan untuk kembali ke negaranya alias deportasi. Mengerikan, bukan?
Sekarang, mari bercermin pada perilaku berkendara kita di tanah air. Apa yang anda lakukan terhadap kendaraan yang dinaiki? baik mobil maupun motor, ketika lampu lalu lintas akan berubah antara hijau menuju merah? Bisa tekan gas, bisa juga mengerem untuk memperlambat laju kendaraan. Kebiasaan kita, mumpung masih hijau, daripada lama lagi kena warna merah, ingin cepat sampai, dan juga diklakson mobil belakang karena gemas dengan laju kita yang lambat, maka pada umumnya di antara kita lebih banyak yang menekan gas dibandingkan dengan mengerem.
Benarkah tindakan tersebut? Lampu lalu lintas tercantum dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu alat pemberi isyarat lalu lintas. Secara umum, bahkan sejak taman kanak-kanak, kita telah diperkenalkan bahwa lampu merah harus berhenti, lampu kuning berhati hati, dan lampu hijau harus berjalan.
Di beberapa lampu lalu lintas kini telah disertai pula waktu tunggu, biasanya terbilang mundur, agar pengguna jalan dapat mengetahui perkiraan perubahan perhentian maupun laju kembali kendaraan.
Dengan adanya timer tersebut, di saat lampu masih berwarna merah, seseorang akan bersiap mengatur persneling gigi 1 bagi manual ataupun berancang-ancang ke huruf D bagi matic. Sehingga pada saatnya warna hijau muncul, maka kendaraan dapat langsung melaju.
Begitupun halnya dengan perubahan dari warna hijau menuju merah, maka kendaraan dapat memperlambat lajunya untuk berhenti. Bisa juga perubahan antara lampu hijau menuju merah dapat ditandai dengan kedipan. Jadi, saat lampu hijau mendekati saat lampu merah, lampu hijau berkedip-kedip, yang memberikan sinyal kepada pengendara untuk siap-siap berhenti.
Pengguna jalan bukan hanya yang ada di dalam kendaraan, namun pejalan kaki pun berhak memperoleh keselamatan dan kenyamanan. Dengan prinsip yang sama, pengaturan lampu lalu lintas untuk pejalan kaki bersinergi dengan kendaraan. Itulah sebabnya, mengapa memperlambat kendaraan saat akan lampu merah lebih utama dibandingkan dengan tancap gas? Karena di persimpangan jalan sangat besar kemungkinan masih ada kendaraan di barisan belakang yang tersisa pada giliran lampu merah, begitupun bisa saja masih ada pengguna jalan yang masih melintas. Juga untuk memberikan ruang pejalan kaki yang melintas pada zebracross dengan leluasa.
Pada saat ini kita masih kurang memaksimalkan fungsi lampu kuning. Padahal, dengan memperlambat laju kendaraan pada saat lampu kuning, kendaraanpun dapat diatur jaraknya agar tidak melewati garis batas. Inilah fenomena yang terjadi, menyepelekan hal yang dianggap kecil namun dapat berakibat fatal. Sama halnya dengan peringatan tidak menggunakan telepon genggam saat berkendara, baik menelepon langsung ataupun menuliskan pesan.
Sangat beruntung saat ini pemerintah mulai menerapkan sistem perekaman di jalan raya, sehingga barang siapa yang melakukan pelanggaran, maka mereka tidak dapat lagi berkelit, karena bukti otentik sudah ada.
Peraturan bukan untuk ditakuti, tetapi ditaati, sehingga lambat laun akan mengubah kebiasaan kita menjadi lebih baik dan berperilaku terpuji untuk keselamatan diri dan juga keluarga.
Mulailah mematri diri bahwa keselamatan jiwa merupakan bentuk kasih sayang Anda pada keluarga. Bukan hanya kehilangan seseorang yang dicintai, tetapi juga berpengaruh pada kerugian materi, kehilangan tulang punggung keluarga, terlepas dari penjaminan asuransi.
Seat belt bukan untuk mengekang, tapi sebagai upaya proteksi mengalami benturan dari kejadian yang tidak diinginkan. Perilaku berkendara ini amat erat berkaitan dengan dua bidang kesehatan masyarakat, yaitu Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dan Promosi Kesehatan, dengan cakupannya adalah edukasi masyarakat dalam mengubah gaya hidup ke arah yang lebih baik.
Sebagai insan kesmas, tentu hal seperti ini wajib diperhatikan. Bukan saja bagi kehidupan pribadi, tapi juga disosialisasikan kepada masyarakat sehingga tumbuh kesadaran dalam berkendara lebih baik lagi.
Permasalahan kecelakaan lalu lintas, bahkan hingga memakan korban, dapat dicegah dengan perilaku berkendara yang baik dan benar. Tentu saja pembelajaran ini membutuhkan kesabaran. Dengan demikian, angka kejadian akibat kecelakaan lalu lintas dapat diminimalisasi.
Berdasarkan database KNKT, 31 Oktober 2016, persentase investigasi kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan tahun 2010-2016 karena tabrakan sebesar 68,29%, terguling 26,83% dan terbakar 4,88%. Sedang persentase faktor penyebab kecelakaan lalu lintas karena faktor manusia sebesar 69,70%, sarana 21,21%, dan prasarana 9,09%. Data ini menggambarkan bahwa perilaku manusia merupakan kendali utama dalam keselamatan.***
(Sumber: Gugus Opini Kesehatan Masyarakat #3, Editor: Agung Dwi Laksono, Health Advocacy & Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI), 2017)