Emi Suy dan terapi Sunyi - Salimi Ahmad
oleh Salimi Ahmad
Banyak orang percaya, puisi adalah sebentuk kontemplasi dari seorang penyair terhadap situasi yang dirasakannya, baik yang terjadi di dalam dirinya sendiri, maupun apa yang dipandang, diserap, dan dinikmati di luar dirinya. Pada Emi Suy Emi, bentuk-bentuk kontemplasi itu dilaluinya bersama sunyi, sebagaimana banyak terbaca di dalam puisi-puisi karyanya yang telah dibukukan di bawah judul Alarm Sunyi.
Buku ini memuat 65 puisi, tanpa titimangsa yang menandai kapan puisi-puisi ini diciptakannya. Namun membaca jejak kepenyairannya, saya menduga, buku ini berisi puisi-puisi yang ditulis sejak awal dia menggeluti bidang kepenyairannya (buku puisi pertamanya terbit tahun 2011, biodata penyair) sampai sekarang, tentu dengan beragam pilihan dan pertimbangan yang dibantu sahabatnya Sofyan RH Zaid sebagai kurator, atas puisi-puisi yang dilahirkannya.
Lalu mengapa Emi mengambil tema “Sunyi” yang dipadu dengan awal kata “Alarm”?
Membaca bagian-bagian puisi yang diciptakannya, saya teringat kerja orang-orang terdahulu dalam menyelesaikan tugas-kerjanya. Seorang mpu pembuat keris, misalnya, sebelum bekerja, dia melewati sunyi dalam tapa-brata, mencoba menarik dialog batin untuk menyerap bahasa Alam. Bicara dan membaca arah angin, musim yang sedang berjalan, dan segala pernak pernik hitungan waton, bila tepatnya memulai pekerjaan. Ada tanda-tanda khusus yang mereka baca, ada simbol tersembunyi yang mereka terapkan dalam karya. Ada satuan-satuan, bahkan lusinan yang mereka sematkan dalam karya mereka, yang semata merupakan hasil dialog yang mereka lakukan di dalam sunyi. Intensitas dalam penyatuan yang melampaui kepekaan ini, mereka yakini dapat membimbing mereka menghasilkan karya yang melewati jamannya.
Sunyi bagi Emi, mungkin baru sebatas terapi pada kesunyian itu sendiri. Tapi keberaniannya menelaah sunyi dan mengakrabinya sebagai obat di dalam perjalanannya merintis dunia kepenyairannya, patut diapresiasi. Hal inilah yang menurut saya, keunggulan buku ini dan menjadi sangat unik ketika langsung dipadu-padankannya dengan kata Alarm. Sebuah sinyal yang senantiasa memberi bunyi, yang seolah berperan sebagai peletak ingatan untuk selalu ‘eling’. Terlebih ketika luka, pedih, rindu, kerap muncul sebagai gangguan, seperti ditulisnya pada “Sunyi” /diam mematung/ rindu terhuyung/ lesap ditelan senyap/ lelap dipeluk harap/... sebagai puisi pembuka di kumpulan ini, atau di “Catatan Penghabisan” yang di salah satu baitnya berbunyi, /ada seorang perempuan tersesat/ digigil rindu menjerat/ ia mengikat dirinya sendiri/ menikam nadi dengan duri/
Sebagai terapi, sunyi bagi Emi adalah /jika napas puisiku adalah catatan tentang kita/ kekallah kau dalam ingatan yang tersusun rapi di rak bukuku/ suatu saat jika aku mati, kau akan tersenyum/ sebab aku telah mengabadikanmu diam-diam//(Monumen Momen). Jika saja kontemplasi ini terus dilatih dan dipertajam dengan kepekaan dan ketrampilan muatan atas “dialog batin”, tentu ia akan membuahkan hasil yang jauh lebih benderang sebagai seorang mpu. Artinya, ia (puisi itu) tak lagi sekedar karnaval kata-kata yang memberi parade hiburan kemeriah di dalam kegembiraan semata, namun juga meninggalkan kesan yang mendalam atas peristiwa kemeriahan yang dapat dinikmati oleh pembacanya.
Sebelum saya tutup, dari sejumlah puisi yang termuat di Alarm Sunyi, saya membaca ada satu puisi yang rada berbeda. Teks lengkapnya saya salin sebagai berikut:
PENYAIR PEREMPUAN
pada selembar kertas yang basah air mata
seorang perempuan menulis puisi dengan tinta api
ia menulis hanya satu kata:
cemburu!
Yang ditutupnya dengan tanda seru (!). Bagi saya, puisi ini sungguh menarik, seolah “terpental” sendiri, karena sangat berbeda dengan puisi-puisi yang ditulisnya di dalam buku ini. Ia seolah berdiam di dalam sunyi yang paling sunyi. Terasa sangat berbeda tarikan napas kesunyiannya. Salam.
Banyak orang percaya, puisi adalah sebentuk kontemplasi dari seorang penyair terhadap situasi yang dirasakannya, baik yang terjadi di dalam dirinya sendiri, maupun apa yang dipandang, diserap, dan dinikmati di luar dirinya. Pada Emi Suy Emi, bentuk-bentuk kontemplasi itu dilaluinya bersama sunyi, sebagaimana banyak terbaca di dalam puisi-puisi karyanya yang telah dibukukan di bawah judul Alarm Sunyi.
Buku ini memuat 65 puisi, tanpa titimangsa yang menandai kapan puisi-puisi ini diciptakannya. Namun membaca jejak kepenyairannya, saya menduga, buku ini berisi puisi-puisi yang ditulis sejak awal dia menggeluti bidang kepenyairannya (buku puisi pertamanya terbit tahun 2011, biodata penyair) sampai sekarang, tentu dengan beragam pilihan dan pertimbangan yang dibantu sahabatnya Sofyan RH Zaid sebagai kurator, atas puisi-puisi yang dilahirkannya.
Lalu mengapa Emi mengambil tema “Sunyi” yang dipadu dengan awal kata “Alarm”?
Membaca bagian-bagian puisi yang diciptakannya, saya teringat kerja orang-orang terdahulu dalam menyelesaikan tugas-kerjanya. Seorang mpu pembuat keris, misalnya, sebelum bekerja, dia melewati sunyi dalam tapa-brata, mencoba menarik dialog batin untuk menyerap bahasa Alam. Bicara dan membaca arah angin, musim yang sedang berjalan, dan segala pernak pernik hitungan waton, bila tepatnya memulai pekerjaan. Ada tanda-tanda khusus yang mereka baca, ada simbol tersembunyi yang mereka terapkan dalam karya. Ada satuan-satuan, bahkan lusinan yang mereka sematkan dalam karya mereka, yang semata merupakan hasil dialog yang mereka lakukan di dalam sunyi. Intensitas dalam penyatuan yang melampaui kepekaan ini, mereka yakini dapat membimbing mereka menghasilkan karya yang melewati jamannya.
Sunyi bagi Emi, mungkin baru sebatas terapi pada kesunyian itu sendiri. Tapi keberaniannya menelaah sunyi dan mengakrabinya sebagai obat di dalam perjalanannya merintis dunia kepenyairannya, patut diapresiasi. Hal inilah yang menurut saya, keunggulan buku ini dan menjadi sangat unik ketika langsung dipadu-padankannya dengan kata Alarm. Sebuah sinyal yang senantiasa memberi bunyi, yang seolah berperan sebagai peletak ingatan untuk selalu ‘eling’. Terlebih ketika luka, pedih, rindu, kerap muncul sebagai gangguan, seperti ditulisnya pada “Sunyi” /diam mematung/ rindu terhuyung/ lesap ditelan senyap/ lelap dipeluk harap/... sebagai puisi pembuka di kumpulan ini, atau di “Catatan Penghabisan” yang di salah satu baitnya berbunyi, /ada seorang perempuan tersesat/ digigil rindu menjerat/ ia mengikat dirinya sendiri/ menikam nadi dengan duri/
Sebagai terapi, sunyi bagi Emi adalah /jika napas puisiku adalah catatan tentang kita/ kekallah kau dalam ingatan yang tersusun rapi di rak bukuku/ suatu saat jika aku mati, kau akan tersenyum/ sebab aku telah mengabadikanmu diam-diam//(Monumen Momen). Jika saja kontemplasi ini terus dilatih dan dipertajam dengan kepekaan dan ketrampilan muatan atas “dialog batin”, tentu ia akan membuahkan hasil yang jauh lebih benderang sebagai seorang mpu. Artinya, ia (puisi itu) tak lagi sekedar karnaval kata-kata yang memberi parade hiburan kemeriah di dalam kegembiraan semata, namun juga meninggalkan kesan yang mendalam atas peristiwa kemeriahan yang dapat dinikmati oleh pembacanya.
Sebelum saya tutup, dari sejumlah puisi yang termuat di Alarm Sunyi, saya membaca ada satu puisi yang rada berbeda. Teks lengkapnya saya salin sebagai berikut:
PENYAIR PEREMPUAN
pada selembar kertas yang basah air mata
seorang perempuan menulis puisi dengan tinta api
ia menulis hanya satu kata:
cemburu!
Yang ditutupnya dengan tanda seru (!). Bagi saya, puisi ini sungguh menarik, seolah “terpental” sendiri, karena sangat berbeda dengan puisi-puisi yang ditulisnya di dalam buku ini. Ia seolah berdiam di dalam sunyi yang paling sunyi. Terasa sangat berbeda tarikan napas kesunyiannya. Salam.