Apresiasi Puisi: Malam Lebaran, Karya Sitor Situmorang - Indra Intisa
oleh Indra Intisa
MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
(Sitor Situmorang)
Puisi pendek yang paling sering dibahas dan didebatkan oleh para pakar di Indonesia adalah puisi Malam Lebaran, karya Sitor Situmorang. Puisi ini semacam ilmu andalannya dari penyair senior tersebut. Sekalipun beliau mempunyai banyak puisi lain yang tidak kalah hebatnya, tetapi tetap saja puisi pendek ini yang dikenal sebagai ikonik dari penyair ini. Seperti halnya puisi “Aku” karya Chairil Anwar.
Puisi-puisi yang bersifat prismatis, tentu akan mampu menyihir pembaca dan penikmat dengan pelbagai tafsiran. Layaknya cahaya yang memancar ke mana-mana. Bisa ke dinding, ke sofa, ke jendela, dan ke mana saja yang mampu dilewati oleh angin dan arah sinar. Berbeda dengan puisi diafan yang cenderung telanjang dan tegas. Atau berbeda pula dengan puisi gelap yang cenderung sulit ditangkap dan diintai smbol yang ada pada puisi tersebut.
Sapardi Djoko Damono pernah berkata bahwa puisi yang baik akan terus terasa nikmat ketika dibaca dan disimak di lain waktu. Ia tetap terasa seolah-olah baru. Tidak seperti prosa yang cenderung nikmat dibaca sekali saja. Joko Pinurbo pun pernah berkata bahwa ia sendiri sering membaca ulang puisi yang pernah ia buat pada puluhan tahun sebelumnya, anggap saja puisi “Celana”. Ketika dibaca dan disimak ulang, maka ia akan kembali mentelaah apa-apa maksud yang pernah ia sampaikan sebelumnya. Bisa saja ia menangkapnya berbeda. Tetapi bukan berarti salah dari tujuan puisi yang ingin disampaikan sebelumnya. Puisi bisa saja layaknya teka-teki. Tetapi pada hakikatnya bukan teka-teki. Ia hanya menggelinding layaknya bola ke sana ke mari. Ketika mengenai lemari, bukan berarti ia hanya ingin menjangkau lemari. Begitu seterusnya.
Sebagai umat kristiani, sebenarnya sedikit aneh ketika Sitor Situmorang membicarakan dengan dalam apa pesan yang tertangkap dari umat di luar keyakinannya. Beliau berbicara sebuah keadaan dari ibadah umat muslim dari sudut pandang dirinya sebagai umat kristiani. Saya pribadi tidak akan membahas kenapa dan alasan-alasan lain yang mungkin berpengaruh kepada makna satir pemeluk agama. Tetapi lebih kepada inti permasalahan yang ia wadahi dalam bentuk puisi. Kali ini saya ingin mengapresiasi puisi ini dari sisi magis yang terkandung di dalamnya. Bukan dari sisi teks yang terkandung di dalamnya—sebagaimana umumnya ketika kita membahas puisi secara teksbook.
Zaman dahulu, manusia cenderung belajar dari apa-apa yang terjadi pada alam. Kebiasaan hewan, tumbuhan dan bentuk-bentuk cuaca dijadikan sebuah ramalan dan analisis yang kemudian dipercaya akan menimbulan dampak terhadap sesuatu. Keadaan yang terdengar—bunyi-bunyi hewan (perlbagai tipe suara dalam keadaan tertentu), tingkah-laku hewan, perubahan cuaca, dst., mereka jadikan sebagai simbol dan lambang yang memungkinkan sebuah kejadian. Kebiasan dan perilaku tersebut terus merasuk ke dalam seni lisan dan doa. Seni lisan dan bentuk pengharapan, doa-doa dalam bentuk mantra, merupakan sugesti tertentu yang menimbulkan efek yang tidak terukur. Orang Minang bilang, kita harus belajar kepada alam “Alam Takambang Jadi Guru”. Pelajaran-pelajaran yang terdapat pada alam merupakan ilmu tafsir simbol yang pertama sebelum ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang tertulis dan diakui secara logis.
Dalam puisi, pemanfaatan unsur simbol merupakan ruh paling utama. Pemanfaatan itu bisa dimasukkan dalam banyak citraan. Pemanfaatan citraan gambar yang mengajak pembaca untuk melihat dan merasakan sesuatu tentu diharapkan mampu memunculkan pesan yang tidak disampaikan secara lugas. Begitu juga dengan citraan suara, gerak, penciuman dan rasa. Ke semua citraan ini tentu akan berperan dengan baik jika diletakkan pada posisi yang tepat. Jika tidak, tentu pesan yang disampaikan tidak akan sampai dengan sempurna. Layaknya kita memanah sebuah bulatan titik. Tetapi kita arahkan ke posisi lain. Bagaimana mungkin bisa sampai dan mengenai sasaran?
Puisi “Malam Lebaran” sangat kuat memanfaatkan sugesti emosi dari citraan penglihatan. Pemanfaatan citraan ini tentu diharapkan mampu mensugesti pembaca ke arah penyair inginkan. Kita bisa mengingat ketika guru di sekolah sedang memarahi kita hanya melalui tatapan, gerak-gerik tangan, dst., tanpa dijelaskan dengan perkataan. Sebagai murid kita bisa menangkap apa pesan dari guru tersebut. Puisi “Malam Lebaran” tentu juga membawa pembaca ke posisi tesebut.
Apa yang kita bayangkan ketika mengingat “Malam”, “lebaran” “kuburan”? Tiga kata konkret ini merupakan simbol besar yang ada di puisi ini. Untuk memahami puisi pendek, kita perlu mentelaah kata perkata supaya simbol besarnya bisa ditangkap. Hal ini tentu berbeda ketika kita membaca puisi panjang dalam bentuk naratif. Kata “Malam”, mengingatkan kita keadaan gelap—yang bukan siang. Dan “Lebaran” adalah hari raya umat muslim yang terkenal ramai dan harunya. Ada dua hari lebaran dalam umat muslim, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Kemudian simbol berikutnya adalah “Kuburan” tempat bersemayam mayat—manusia yang telah mati. Kita tentu bisa merasakan kengerian, keseraman, kehilangan, dan hal-hal lain yang keterbalikan dari makna lebaran sebelumnya.
Secara umum, pembaca akan menafsirkan lebaran yang dimaksud adalah Idulfitri—hari kemenangan—setelah sebulan penuh berpuasa. Lalu bagaimana dengan keadaan bulan? Adakah bulan muncul di saat lebaran?—tanggal 1 Sawal? Tentu tidak. Penanggalan bulan umat muslim tentu berbeda dengan bulan tahun masehi. Bulan memang dihitung dari perjalanan bulan—perputaran bulan. Sedangkan masehi berdasarkan masehi. Lalu, bukankah ini kontradiksi? Para penikmat, tetap saja memaksa menafsirkan puisi ini sekalipun kontradiksi. Bagaimana jika yang dimaksud bukan Idulfitri?
Iduladha terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah. Tentu saja lebaran haji lebih masuk akal jika disandingkan dengan simbol bulan. Tanggal 10 memungkinkan bulan muncul ketika malam. Sekalipun tidak dalam bentuk penuh—purnama. Bukankah lebaran haji lebih masuk akal dan tidak kontradiksi ketika dihubungkan dengan judul dan isi puisi? Bagaimana bisa banyak orang bisa luput dari simbol yang dimaksud?
Sebenarnya kontradiksi ini terjadi karena niat dari penyairnya sendiri. Pertama penyair bukan orang muslim, tentu ia menangkap lebaran secara umum adalah idulfitri. Kemudian ketika ia membuat puisi ini juga bukan karena disengaja—ditelaah lama-lama hari. Tetapi hadir seketika. Ceritanya, suatu ketika ia pernah ditanya terkait simbol ini, “’’Kok bisa ‘malam Lebaran bulan di atas kuburan.' Malam Lebaran enggak ada bulan lho?" Ketika ditanya begitu, beliau menjawab bahwa tentang niatnya berlebaran ke rumah seorang kawan. Momennya bukan persis saat Lebaran tiba, yang biasanya ditandai dengan bulan yang masih berbentuk segaris sabit. Kunjungan Sitor itu terjadi beberapa hari setelah Hari Raya umat Muslim tiba.
Kawan Sitor itu rumahnya di dekat pemakaman Karet. Untuk menuju ke sana, ia harus melewati kuburan. Saat itu masih gelap, belum ada penerangan listrik. Mendadak bulan muncul dari balik awan. Lalu terlihat area kuburan. Kejadian tersebut melekat sampai ia pulang. Lalu ia buatlah, 'malam Lebaran, bulan di atas kuburan' sebagai sebuah puisi."
Jika ditelisik dari alasan penyair menulis puisi ini, tentu bulan yang muncul bukan pada saat lebaran tiba. Tetapi setelah momen lebaran Idulfitri berlangsung—momen yang ketika bulan telah memancar—menampakkan diri di atas langit. Bisa saja kisaran tanggal 10. Jadi, tidak salah pula jika lebaran yang dimaksud adalah lebaran Idulfitri. Sekalipun puisi ini lebih sesuai ketika dikatakan lebaran IdulAdha. Begitulah, jika dikaji-kaji, ketidakadilan menghargai sebuah puisi karya seseorang, tentu berbeda antara senior dan junior. Para pengamat akan mati-matian mencari maksud lebih dari puisi yang dibuat penyair. Berbeda dengan para junior. Sekalipun lebih, para pengamat akan terus mencari-cari celah kekurangan dan puisi tersebut. Seperti puisi “Malam Lebaran” yang sangat sederhana—dari proses buat yang terkesan instan—bisa menjadi puisi yang luar biasa. Tetapi, tidaklah salah. Momen menangkap kejadian dari alam memang tidak bisa dibuat-buat. Orang-orang terdahulu sering melakukan hal serupa. Momen penangkapan ini mengingatkan kita pada puisi pendek Jepang, Haiku. Apakah puisi ini juga terinspirasi dari puisi Haiku? Tetapi saya tidak sedang mengkritisi sebuah puisi. Tidak dalam artian sebagai kritikus sastra—yang menimbang baik-buruknya sebuah karya. Tetapi ke apresiasi puisi saja.
Untuk memaknakan puisi sesuai dengan penyair aslinya, tentu tidak akan bisa sama persis. Kecuali puisi tersebut dalam bentuk telanjang. Puisi diafan ketersampaian maksud bisa mencapai 90-100 persen. Sedangkan puisi prismatis dan puisi gelap tentu bisa jauh di bawahnya. Orang bisa saja berkata puisi yang tidak sampai—tidak sama persis dengan maksud penyairnya adalah puisi gagal. Padahal tidak. Puisi adalah karya sastra istimewa. Keterluasan isi yang terus memancar adalah bagian dari istimewanya. Seni inilah yang membuat puisi menjadi tinggi derajatnya dibandingkan karya sastra lain.
Kembali ke puisi, coba kita resapi dalam-dalam melalui citraan penglihatan kita (lupakan terkait proses pembuatan, keganjilan puisi), apa yang bisa kita tangkap pada tiga simbol konkret sebelumnya? Malam, lebaran dan kuburan? Ada beberapa paradoks yang bentrok dalam alam pikir kita. Kemenangan, kegembiraan dari suasana lebaran menjadi terbalik ketika mendapati suasana sunyi, kematian, keheningan dan kehilangan dari kuburan.
Bayangkan sebuah kuburan di tengah malam, kemudian ada sinar bulan yang memantul di atasnya. Sebuah efek psikologis yang kadang sulit untuk diceritakan. Begitulah puisi ini menyihirkan maksud. Sugesti-sugesti citraan visual menjadikan puisi ini hidup dalam daya pikir pembaca. Berbeda dengan puisi mantra yang mendengungkan citraan bunyi sebagai simbol sugesti magis. Bunyi yang beruntun dalam suara tertentu bisa memunculkan sebuah pesan yang menggaung-gaung di pikiran. Berbeda pula dengan puisi konkret yang menjadikan bentuk visual sebagai pesan lain. Bentuk visual dari puisi konkret adalah pada wajah atau tifografi puisi itu sendiri, seperti halnya puisi Sutardji, Tragedi Winka dan Sihka. Visual puisi Malam Lebaran bukan pada bentuk tifografinya. Tetapi daya hayal yang timbul dari kata atau kalimat yang dimaksud.
Sekalipun begitu, sebenarnya puisi Malam Lebaran juga tanpa sangka juga memberikan sugesti bunyi tertentu. Bunyi gumam dari vocal “am” dan “an” menjadikannya semakin menyayat. Perhatikan rima beruntun: mal(am), lebar(an), kubur(an). Secara kasat mata, bunyi “am” dan “an” terdengar sama. Pemakaian tiruan bunyi-bunyian yang terkesan mirip ini merupakan nyanyian mantra yang disengaja untuk mensugesti pembaca. Sekalipun mungkin penyair menulis puisi ini tanpa menyadari. Begitulah, puisi kadang hidup lebih dari keinginan penulisnya. Ia seperti bernyawa, beranak-pinak, dan hidup di pelbagai alam yang tidak disangka-sangka.
Berhubung saya tidak sedang mengapresiasi puisi berdasarkan maknanya, maka pemaknaan selanjutnya saya serahkan kepada pembaca. Karena ruang imajinasi sugesti—menjangkau alam psikologis telah saya paparkan sebelumnya. Tinggal pembaca melanjutkan apa-apa yang Anda rasakan dari hasil citraan yang merasuk ke diri Anda. Efek sugesti terhadap manusia bisa saja berbeda-beda. Itulah sebabnya mantra para hipnotis tidak sepenuhnya berhasil pada semua manusia. Ada yang sukses. Ada yang tidak. Dan ada pula butuh waktu yang sangat lama. Hal ini bisa terkait dari hati dan emosi pembaca itu sendiri. Wassalam.
Pulau Punjung, Maret 2017
Indra Intisa, Pengamat dan Pemerhati Puisi.
MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
(Sitor Situmorang)
Puisi pendek yang paling sering dibahas dan didebatkan oleh para pakar di Indonesia adalah puisi Malam Lebaran, karya Sitor Situmorang. Puisi ini semacam ilmu andalannya dari penyair senior tersebut. Sekalipun beliau mempunyai banyak puisi lain yang tidak kalah hebatnya, tetapi tetap saja puisi pendek ini yang dikenal sebagai ikonik dari penyair ini. Seperti halnya puisi “Aku” karya Chairil Anwar.
Puisi-puisi yang bersifat prismatis, tentu akan mampu menyihir pembaca dan penikmat dengan pelbagai tafsiran. Layaknya cahaya yang memancar ke mana-mana. Bisa ke dinding, ke sofa, ke jendela, dan ke mana saja yang mampu dilewati oleh angin dan arah sinar. Berbeda dengan puisi diafan yang cenderung telanjang dan tegas. Atau berbeda pula dengan puisi gelap yang cenderung sulit ditangkap dan diintai smbol yang ada pada puisi tersebut.
Sapardi Djoko Damono pernah berkata bahwa puisi yang baik akan terus terasa nikmat ketika dibaca dan disimak di lain waktu. Ia tetap terasa seolah-olah baru. Tidak seperti prosa yang cenderung nikmat dibaca sekali saja. Joko Pinurbo pun pernah berkata bahwa ia sendiri sering membaca ulang puisi yang pernah ia buat pada puluhan tahun sebelumnya, anggap saja puisi “Celana”. Ketika dibaca dan disimak ulang, maka ia akan kembali mentelaah apa-apa maksud yang pernah ia sampaikan sebelumnya. Bisa saja ia menangkapnya berbeda. Tetapi bukan berarti salah dari tujuan puisi yang ingin disampaikan sebelumnya. Puisi bisa saja layaknya teka-teki. Tetapi pada hakikatnya bukan teka-teki. Ia hanya menggelinding layaknya bola ke sana ke mari. Ketika mengenai lemari, bukan berarti ia hanya ingin menjangkau lemari. Begitu seterusnya.
Sebagai umat kristiani, sebenarnya sedikit aneh ketika Sitor Situmorang membicarakan dengan dalam apa pesan yang tertangkap dari umat di luar keyakinannya. Beliau berbicara sebuah keadaan dari ibadah umat muslim dari sudut pandang dirinya sebagai umat kristiani. Saya pribadi tidak akan membahas kenapa dan alasan-alasan lain yang mungkin berpengaruh kepada makna satir pemeluk agama. Tetapi lebih kepada inti permasalahan yang ia wadahi dalam bentuk puisi. Kali ini saya ingin mengapresiasi puisi ini dari sisi magis yang terkandung di dalamnya. Bukan dari sisi teks yang terkandung di dalamnya—sebagaimana umumnya ketika kita membahas puisi secara teksbook.
Zaman dahulu, manusia cenderung belajar dari apa-apa yang terjadi pada alam. Kebiasaan hewan, tumbuhan dan bentuk-bentuk cuaca dijadikan sebuah ramalan dan analisis yang kemudian dipercaya akan menimbulan dampak terhadap sesuatu. Keadaan yang terdengar—bunyi-bunyi hewan (perlbagai tipe suara dalam keadaan tertentu), tingkah-laku hewan, perubahan cuaca, dst., mereka jadikan sebagai simbol dan lambang yang memungkinkan sebuah kejadian. Kebiasan dan perilaku tersebut terus merasuk ke dalam seni lisan dan doa. Seni lisan dan bentuk pengharapan, doa-doa dalam bentuk mantra, merupakan sugesti tertentu yang menimbulkan efek yang tidak terukur. Orang Minang bilang, kita harus belajar kepada alam “Alam Takambang Jadi Guru”. Pelajaran-pelajaran yang terdapat pada alam merupakan ilmu tafsir simbol yang pertama sebelum ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang tertulis dan diakui secara logis.
Dalam puisi, pemanfaatan unsur simbol merupakan ruh paling utama. Pemanfaatan itu bisa dimasukkan dalam banyak citraan. Pemanfaatan citraan gambar yang mengajak pembaca untuk melihat dan merasakan sesuatu tentu diharapkan mampu memunculkan pesan yang tidak disampaikan secara lugas. Begitu juga dengan citraan suara, gerak, penciuman dan rasa. Ke semua citraan ini tentu akan berperan dengan baik jika diletakkan pada posisi yang tepat. Jika tidak, tentu pesan yang disampaikan tidak akan sampai dengan sempurna. Layaknya kita memanah sebuah bulatan titik. Tetapi kita arahkan ke posisi lain. Bagaimana mungkin bisa sampai dan mengenai sasaran?
Puisi “Malam Lebaran” sangat kuat memanfaatkan sugesti emosi dari citraan penglihatan. Pemanfaatan citraan ini tentu diharapkan mampu mensugesti pembaca ke arah penyair inginkan. Kita bisa mengingat ketika guru di sekolah sedang memarahi kita hanya melalui tatapan, gerak-gerik tangan, dst., tanpa dijelaskan dengan perkataan. Sebagai murid kita bisa menangkap apa pesan dari guru tersebut. Puisi “Malam Lebaran” tentu juga membawa pembaca ke posisi tesebut.
Apa yang kita bayangkan ketika mengingat “Malam”, “lebaran” “kuburan”? Tiga kata konkret ini merupakan simbol besar yang ada di puisi ini. Untuk memahami puisi pendek, kita perlu mentelaah kata perkata supaya simbol besarnya bisa ditangkap. Hal ini tentu berbeda ketika kita membaca puisi panjang dalam bentuk naratif. Kata “Malam”, mengingatkan kita keadaan gelap—yang bukan siang. Dan “Lebaran” adalah hari raya umat muslim yang terkenal ramai dan harunya. Ada dua hari lebaran dalam umat muslim, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Kemudian simbol berikutnya adalah “Kuburan” tempat bersemayam mayat—manusia yang telah mati. Kita tentu bisa merasakan kengerian, keseraman, kehilangan, dan hal-hal lain yang keterbalikan dari makna lebaran sebelumnya.
Secara umum, pembaca akan menafsirkan lebaran yang dimaksud adalah Idulfitri—hari kemenangan—setelah sebulan penuh berpuasa. Lalu bagaimana dengan keadaan bulan? Adakah bulan muncul di saat lebaran?—tanggal 1 Sawal? Tentu tidak. Penanggalan bulan umat muslim tentu berbeda dengan bulan tahun masehi. Bulan memang dihitung dari perjalanan bulan—perputaran bulan. Sedangkan masehi berdasarkan masehi. Lalu, bukankah ini kontradiksi? Para penikmat, tetap saja memaksa menafsirkan puisi ini sekalipun kontradiksi. Bagaimana jika yang dimaksud bukan Idulfitri?
Iduladha terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah. Tentu saja lebaran haji lebih masuk akal jika disandingkan dengan simbol bulan. Tanggal 10 memungkinkan bulan muncul ketika malam. Sekalipun tidak dalam bentuk penuh—purnama. Bukankah lebaran haji lebih masuk akal dan tidak kontradiksi ketika dihubungkan dengan judul dan isi puisi? Bagaimana bisa banyak orang bisa luput dari simbol yang dimaksud?
Sebenarnya kontradiksi ini terjadi karena niat dari penyairnya sendiri. Pertama penyair bukan orang muslim, tentu ia menangkap lebaran secara umum adalah idulfitri. Kemudian ketika ia membuat puisi ini juga bukan karena disengaja—ditelaah lama-lama hari. Tetapi hadir seketika. Ceritanya, suatu ketika ia pernah ditanya terkait simbol ini, “’’Kok bisa ‘malam Lebaran bulan di atas kuburan.' Malam Lebaran enggak ada bulan lho?" Ketika ditanya begitu, beliau menjawab bahwa tentang niatnya berlebaran ke rumah seorang kawan. Momennya bukan persis saat Lebaran tiba, yang biasanya ditandai dengan bulan yang masih berbentuk segaris sabit. Kunjungan Sitor itu terjadi beberapa hari setelah Hari Raya umat Muslim tiba.
Kawan Sitor itu rumahnya di dekat pemakaman Karet. Untuk menuju ke sana, ia harus melewati kuburan. Saat itu masih gelap, belum ada penerangan listrik. Mendadak bulan muncul dari balik awan. Lalu terlihat area kuburan. Kejadian tersebut melekat sampai ia pulang. Lalu ia buatlah, 'malam Lebaran, bulan di atas kuburan' sebagai sebuah puisi."
Jika ditelisik dari alasan penyair menulis puisi ini, tentu bulan yang muncul bukan pada saat lebaran tiba. Tetapi setelah momen lebaran Idulfitri berlangsung—momen yang ketika bulan telah memancar—menampakkan diri di atas langit. Bisa saja kisaran tanggal 10. Jadi, tidak salah pula jika lebaran yang dimaksud adalah lebaran Idulfitri. Sekalipun puisi ini lebih sesuai ketika dikatakan lebaran IdulAdha. Begitulah, jika dikaji-kaji, ketidakadilan menghargai sebuah puisi karya seseorang, tentu berbeda antara senior dan junior. Para pengamat akan mati-matian mencari maksud lebih dari puisi yang dibuat penyair. Berbeda dengan para junior. Sekalipun lebih, para pengamat akan terus mencari-cari celah kekurangan dan puisi tersebut. Seperti puisi “Malam Lebaran” yang sangat sederhana—dari proses buat yang terkesan instan—bisa menjadi puisi yang luar biasa. Tetapi, tidaklah salah. Momen menangkap kejadian dari alam memang tidak bisa dibuat-buat. Orang-orang terdahulu sering melakukan hal serupa. Momen penangkapan ini mengingatkan kita pada puisi pendek Jepang, Haiku. Apakah puisi ini juga terinspirasi dari puisi Haiku? Tetapi saya tidak sedang mengkritisi sebuah puisi. Tidak dalam artian sebagai kritikus sastra—yang menimbang baik-buruknya sebuah karya. Tetapi ke apresiasi puisi saja.
Untuk memaknakan puisi sesuai dengan penyair aslinya, tentu tidak akan bisa sama persis. Kecuali puisi tersebut dalam bentuk telanjang. Puisi diafan ketersampaian maksud bisa mencapai 90-100 persen. Sedangkan puisi prismatis dan puisi gelap tentu bisa jauh di bawahnya. Orang bisa saja berkata puisi yang tidak sampai—tidak sama persis dengan maksud penyairnya adalah puisi gagal. Padahal tidak. Puisi adalah karya sastra istimewa. Keterluasan isi yang terus memancar adalah bagian dari istimewanya. Seni inilah yang membuat puisi menjadi tinggi derajatnya dibandingkan karya sastra lain.
Kembali ke puisi, coba kita resapi dalam-dalam melalui citraan penglihatan kita (lupakan terkait proses pembuatan, keganjilan puisi), apa yang bisa kita tangkap pada tiga simbol konkret sebelumnya? Malam, lebaran dan kuburan? Ada beberapa paradoks yang bentrok dalam alam pikir kita. Kemenangan, kegembiraan dari suasana lebaran menjadi terbalik ketika mendapati suasana sunyi, kematian, keheningan dan kehilangan dari kuburan.
Bayangkan sebuah kuburan di tengah malam, kemudian ada sinar bulan yang memantul di atasnya. Sebuah efek psikologis yang kadang sulit untuk diceritakan. Begitulah puisi ini menyihirkan maksud. Sugesti-sugesti citraan visual menjadikan puisi ini hidup dalam daya pikir pembaca. Berbeda dengan puisi mantra yang mendengungkan citraan bunyi sebagai simbol sugesti magis. Bunyi yang beruntun dalam suara tertentu bisa memunculkan sebuah pesan yang menggaung-gaung di pikiran. Berbeda pula dengan puisi konkret yang menjadikan bentuk visual sebagai pesan lain. Bentuk visual dari puisi konkret adalah pada wajah atau tifografi puisi itu sendiri, seperti halnya puisi Sutardji, Tragedi Winka dan Sihka. Visual puisi Malam Lebaran bukan pada bentuk tifografinya. Tetapi daya hayal yang timbul dari kata atau kalimat yang dimaksud.
Sekalipun begitu, sebenarnya puisi Malam Lebaran juga tanpa sangka juga memberikan sugesti bunyi tertentu. Bunyi gumam dari vocal “am” dan “an” menjadikannya semakin menyayat. Perhatikan rima beruntun: mal(am), lebar(an), kubur(an). Secara kasat mata, bunyi “am” dan “an” terdengar sama. Pemakaian tiruan bunyi-bunyian yang terkesan mirip ini merupakan nyanyian mantra yang disengaja untuk mensugesti pembaca. Sekalipun mungkin penyair menulis puisi ini tanpa menyadari. Begitulah, puisi kadang hidup lebih dari keinginan penulisnya. Ia seperti bernyawa, beranak-pinak, dan hidup di pelbagai alam yang tidak disangka-sangka.
Berhubung saya tidak sedang mengapresiasi puisi berdasarkan maknanya, maka pemaknaan selanjutnya saya serahkan kepada pembaca. Karena ruang imajinasi sugesti—menjangkau alam psikologis telah saya paparkan sebelumnya. Tinggal pembaca melanjutkan apa-apa yang Anda rasakan dari hasil citraan yang merasuk ke diri Anda. Efek sugesti terhadap manusia bisa saja berbeda-beda. Itulah sebabnya mantra para hipnotis tidak sepenuhnya berhasil pada semua manusia. Ada yang sukses. Ada yang tidak. Dan ada pula butuh waktu yang sangat lama. Hal ini bisa terkait dari hati dan emosi pembaca itu sendiri. Wassalam.
Pulau Punjung, Maret 2017
Indra Intisa, Pengamat dan Pemerhati Puisi.