Alarm Sunyi: Suara dari Kesunyian - Weni Suryandari
Oleh: Weni Suryandari
Kehadiran buku kumpulan puisi Emi Suy dalam kancah perpuisian Indonesia, menambah satu lagi perempuan penyair yang konsisten mencipta sajak-sajaknya di tengah hiruk pikuk kesibukan sebagai ibu rumah tangga yang (juga) bekerja. Mencipta sajak selalu membutuhkan ruang sunyi dalam arti sesungguhnya, sehingga kesunyian menjadi amat mahal – bukan sesuatu yang gampang bagi penyair perempuan yang berperan ganda. Demikian pula konsistensi mencipta sajak bagi perempuan sibuk seringkali tenggelam dengan sendirinya, karena skala prioritas – mencari nafkah dan mengurus keluarga -- dalam hidupnya. Tapi tidak demikian pada Emi, dan mungkin pada beberapa penyair perempuan lainnya.
Saya mengenal Emi Suy sejak 6 – 7 tahun yang lalu. Kami bertemu di hampir semua kegiatan sastra, baik di TIM, di Bulungan, atau di mana pun tempat ketika sastra dirayakan. Ketertarikannya pada sastra; khususnya puisi, terasa menonjol beberapa tahun terakhir karena Emi seringkali menuliskan puisi-puisi dalam setiap status-statusnya di fesbuk (barangkali juga karena saya baru memperhatikan). Selanjutnya puisi-puisinya juga terbit di media cetak lokal dan nasional.
Bagi saya, kegiatan menuliskan bait-bait puisi di fesbuk adalah sebuah keberanian, karena jalinan interaksi dan kritik membangun mengalir secara langsung, suka atau tidak suka. Kejujuran secara terbuka dan spontan ini membuat para penyair menjadi banyak belajar. Karena di sana bermunculanlah kritik dan pujian, sebagai silang pendapat dan medan pembelajaran yang setengah serius (sebagaimana saya dulu berawal dari menulis puisi di blog dan catatan FB).
Bagaimana dengan puisi-puisi Emi Suy?
Alarm Sunyi yang merupakan judul buku puisi ini adalah ungkapan emosi jiwa seorang Emi Suy, yang menuliskan sunyi sebagai kekasih, kematian, puisi dan kerinduan. Kesunyian yang puitis dituliskan dalam beberapa judul puisi dan sebagian besar diksi dalam puisi-puisinya.
Kita lihat dalam sajak berjudul SUNYI: …mengeja sunyi yang lapang…/ sunyi pun beranak pinak/. Atau dalam sajak lainnya berjudul SEBAGAI AKU: /sebagai sunyi aku merayakan sepi dengan diam/ . Dalam sajaknya yang lain SENDIRI: menyeduh sepi di cangkir waktu/, juga dalam EPISODE SUNYI: …tentang perempuan hujan yang kuyup oleh sunyi/, SEPASANG SUNYI: …kita menjadi sepasang sunyi paling riuh/ dan banyak lagi metaphor-metaphor lain yang menjelaskan alasan Emi dalam pemilihan judul buku ini.
Sebagai pembaca, kita tidak diminta untuk mengernyit atau mengerutkan dahi untuk memahami dan memaknai puisi-puisi sunyi Emi, karena pilihan diksi dan tanda yang dituturkan dalam puisinya terasa wajar, logis dan dapat dicerna. Namun sebagai pembaca (lagi), saya mendapatkan bahwa puisi-puisi Emi yang bergaya naratif suasana ini membuat imajinasi saya sering terangkat. Sunyi, rindu, cinta dan duka lara mewarnai tema-tema sajak Emi. Sebagaimana lazimnya sajak-sajak yang ditulis oleh penyair perempuan, sajak-sajak dalam Alarm Sunyi terasa halus, lembut dan hati-hati.
Satu bait yang sangat saya suka terdapat dalam puisi “WUJUD WAKTU”,
“dimanakah tempat menjual duka?”
“yang aku tahu hanya sunyi,”
Jawabku
(WUJUD WAKTU, hal.52)
Pada bait itu, terasa sekali kesunyian Emi dalam menjajarkan duka maha duka sehingga harus dibeli oleh kesunyian sebagai obat paling mujarab untuk menyembuhkannya. Kesunyian sebagai sebuah ruang tempat melepas duka atas jarak dan kerinduan meluapkan puisi yang mendera-dera.
Keseriusan Emi dalam bersastra tidak main-main sebab diikuti dengan berbagai diskusi dan interaksi dengan penyair-penyair mapan Indonesia, selain membaca banyak buku puisi yang baik. Usaha Emi meninggalkan kemiskinan diksi, majas dan symbol dalam menulis telah cukup berhasil membuat sajak-sajak dalam buku ini lebih memiliki kedalaman estetis.
“…Para penyair amatir itu kering akan perbendaharaan pengetahuan yang baru, dan tidak mendapat perbendaharaan dari puisi-puisi yang baik, karena tidak sering membaca buku-buku puisi yang baik.” (Octavio Paz, The Other Voice, 157).
Kutipan esai Paz tersebut menyadarkan kita (khususnya saya) bahwa menulis puisi, bukan hanya memerlukan sisi kognitif, melainkan pengalaman sebagai fitrah kedua setelah pengetahuan (afektif). Pengetahuan diformulasikan menjadi pengalaman bagaimana mencipta puisi yang baik, dan itu dilakukan secara terus menerus, sambil membaca buku-buku yang baik. Begitulah proses!
Bagi saya, Emi Suy telah memilih medium yang tepat (puisi) untuk mengungkapkan sunyi, duka lara dan rindu. Di antara sajak-sajak suasananya, satu yang monumental adalah tentang perempuan:
“…mesti bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri.” (Penjahit Luka, hal. 2).
Saya membayangkan seandainya ada film tentang ketegaran perempuan yang telah terluka bertubi-tubi, larik ini bisa ditampilkan dalam layar lebar sebagai pamungkas sebuah cerita. Bravo Emi!
Bogor, 20 Agustus 2017
Kehadiran buku kumpulan puisi Emi Suy dalam kancah perpuisian Indonesia, menambah satu lagi perempuan penyair yang konsisten mencipta sajak-sajaknya di tengah hiruk pikuk kesibukan sebagai ibu rumah tangga yang (juga) bekerja. Mencipta sajak selalu membutuhkan ruang sunyi dalam arti sesungguhnya, sehingga kesunyian menjadi amat mahal – bukan sesuatu yang gampang bagi penyair perempuan yang berperan ganda. Demikian pula konsistensi mencipta sajak bagi perempuan sibuk seringkali tenggelam dengan sendirinya, karena skala prioritas – mencari nafkah dan mengurus keluarga -- dalam hidupnya. Tapi tidak demikian pada Emi, dan mungkin pada beberapa penyair perempuan lainnya.
Saya mengenal Emi Suy sejak 6 – 7 tahun yang lalu. Kami bertemu di hampir semua kegiatan sastra, baik di TIM, di Bulungan, atau di mana pun tempat ketika sastra dirayakan. Ketertarikannya pada sastra; khususnya puisi, terasa menonjol beberapa tahun terakhir karena Emi seringkali menuliskan puisi-puisi dalam setiap status-statusnya di fesbuk (barangkali juga karena saya baru memperhatikan). Selanjutnya puisi-puisinya juga terbit di media cetak lokal dan nasional.
Bagi saya, kegiatan menuliskan bait-bait puisi di fesbuk adalah sebuah keberanian, karena jalinan interaksi dan kritik membangun mengalir secara langsung, suka atau tidak suka. Kejujuran secara terbuka dan spontan ini membuat para penyair menjadi banyak belajar. Karena di sana bermunculanlah kritik dan pujian, sebagai silang pendapat dan medan pembelajaran yang setengah serius (sebagaimana saya dulu berawal dari menulis puisi di blog dan catatan FB).
Bagaimana dengan puisi-puisi Emi Suy?
Alarm Sunyi yang merupakan judul buku puisi ini adalah ungkapan emosi jiwa seorang Emi Suy, yang menuliskan sunyi sebagai kekasih, kematian, puisi dan kerinduan. Kesunyian yang puitis dituliskan dalam beberapa judul puisi dan sebagian besar diksi dalam puisi-puisinya.
Kita lihat dalam sajak berjudul SUNYI: …mengeja sunyi yang lapang…/ sunyi pun beranak pinak/. Atau dalam sajak lainnya berjudul SEBAGAI AKU: /sebagai sunyi aku merayakan sepi dengan diam/ . Dalam sajaknya yang lain SENDIRI: menyeduh sepi di cangkir waktu/, juga dalam EPISODE SUNYI: …tentang perempuan hujan yang kuyup oleh sunyi/, SEPASANG SUNYI: …kita menjadi sepasang sunyi paling riuh/ dan banyak lagi metaphor-metaphor lain yang menjelaskan alasan Emi dalam pemilihan judul buku ini.
Sebagai pembaca, kita tidak diminta untuk mengernyit atau mengerutkan dahi untuk memahami dan memaknai puisi-puisi sunyi Emi, karena pilihan diksi dan tanda yang dituturkan dalam puisinya terasa wajar, logis dan dapat dicerna. Namun sebagai pembaca (lagi), saya mendapatkan bahwa puisi-puisi Emi yang bergaya naratif suasana ini membuat imajinasi saya sering terangkat. Sunyi, rindu, cinta dan duka lara mewarnai tema-tema sajak Emi. Sebagaimana lazimnya sajak-sajak yang ditulis oleh penyair perempuan, sajak-sajak dalam Alarm Sunyi terasa halus, lembut dan hati-hati.
Satu bait yang sangat saya suka terdapat dalam puisi “WUJUD WAKTU”,
“dimanakah tempat menjual duka?”
“yang aku tahu hanya sunyi,”
Jawabku
(WUJUD WAKTU, hal.52)
Pada bait itu, terasa sekali kesunyian Emi dalam menjajarkan duka maha duka sehingga harus dibeli oleh kesunyian sebagai obat paling mujarab untuk menyembuhkannya. Kesunyian sebagai sebuah ruang tempat melepas duka atas jarak dan kerinduan meluapkan puisi yang mendera-dera.
Keseriusan Emi dalam bersastra tidak main-main sebab diikuti dengan berbagai diskusi dan interaksi dengan penyair-penyair mapan Indonesia, selain membaca banyak buku puisi yang baik. Usaha Emi meninggalkan kemiskinan diksi, majas dan symbol dalam menulis telah cukup berhasil membuat sajak-sajak dalam buku ini lebih memiliki kedalaman estetis.
“…Para penyair amatir itu kering akan perbendaharaan pengetahuan yang baru, dan tidak mendapat perbendaharaan dari puisi-puisi yang baik, karena tidak sering membaca buku-buku puisi yang baik.” (Octavio Paz, The Other Voice, 157).
Kutipan esai Paz tersebut menyadarkan kita (khususnya saya) bahwa menulis puisi, bukan hanya memerlukan sisi kognitif, melainkan pengalaman sebagai fitrah kedua setelah pengetahuan (afektif). Pengetahuan diformulasikan menjadi pengalaman bagaimana mencipta puisi yang baik, dan itu dilakukan secara terus menerus, sambil membaca buku-buku yang baik. Begitulah proses!
Bagi saya, Emi Suy telah memilih medium yang tepat (puisi) untuk mengungkapkan sunyi, duka lara dan rindu. Di antara sajak-sajak suasananya, satu yang monumental adalah tentang perempuan:
“…mesti bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri.” (Penjahit Luka, hal. 2).
Saya membayangkan seandainya ada film tentang ketegaran perempuan yang telah terluka bertubi-tubi, larik ini bisa ditampilkan dalam layar lebar sebagai pamungkas sebuah cerita. Bravo Emi!
Bogor, 20 Agustus 2017