Ahlan wa Sahlan, Welcome Back to Kampung
oleh Samsudin Adlawi
AHLAN wa sahlan. Welcome back to Banyuwangi. Selamat mudik. Kembali ke udik. Kampung halaman. Tanah kelahiran. Rentetan ucapan itu layak kita ucapkan. Sebagai bentuk penghormatan. Untuk para pemudik. Wong Bumi Blambangan yang kembali dari rantau. Berlebaran bersama keluarga besar di Banyuwangi. Setelah setahun mengais rupiah. Di luar kota. Di luar pulau. Bahkan, di luar negeri.
Salam sambutan seperti itu harus dibudayakan. Sekecil apa pun, para pemudik itu sudah berjasa kepada kota The Sunrise of Java ini. Apa pun pekerjaan dan profesinya di rantau, pastilah mereka rutin kirim dana ke keluarganya di kampung. Sebulan sekali. Setengah tahun sekali. Bahkan, mungkin, ada juga yang seminggu sekali. Hanya pihak bank dan kantor pos yang tahu. Berapa pastinya remitensi yang masuk ke Banyuwangi.
Alasan kedua memberi sambutan kepada pemudik: mereka merupakan duta Banyuwangi. Secara langsung atau tidak, sadar atau tidak disadari, di tempatnya bekerja atau sekolah mereka sebenarnya memanggul nama Banyuwangi. Begitu sekali saja melakukan perbuatan negatif, nama Banyuwangi akan ikut tercoreng. Misal, ada berita berjudul: ‘’Perampok Asal Banyuwangi Tewas Dimassa’’. Dulu media di Bali sering sekali menulis berita aksi-aksi kejahatan dan asusila. Ketika pelakunya ber-KTP Banyuwangi, wartawannya menulis dengan gamblang identitas dan alamatnya. Sebaliknya, jika pelakunya orang Bali, identitas dan namanya dibuat inisial. Tidak adil, memang.
Mau apa lagi. Protes? Itu suka-suka medianya. Medianya pasti sangat fanatik terhadap daerahnya. Kalau mau menuntut keadilan dalam pemberitaan, cara ini cukup efektif: orang Banyuwangi di Bali (dan tempat lain) jangan berbuat kriminal! Sebaliknya, lakukanlah kegiatan-kegiatan yang positif. Bahkan, inspiratif. Pasti beritanya akan bagus-bagus.
Warga Banyuwangi harus mewarnai kehidupan sosial di tempatnya bekerja. Seperti yang dilakukan pekerja migran Banyuwangi di Malaysia. Lewat Ikawangi (Ikatan Keluarga Besar Banyuwangi) mereka membentuk sanggar jaranan buto. Meski baru seumur jagung, jaranan buto Banyuwangi di Malaysia itu sudah cukup populer. Undangan tanggapan terus mengalir. Bukan hanya dari warga biasa. Pejabat Malaysia yang menikahkan anaknya juga mulai nanggap jaranan buto Banyuwangi. Lebih hebat lagi, mereka juga beberapa kali mengisi acara-acara kenegaraan yang diinisiasi KBRI di Malaysia. Mewakili Indonesia, tentunya. Persisnya, mewakili Pak Arif Yahya (Menteri Pariwisata yang asli lare Oseng) mengampanyekan potensi pariwisata Indonesia, khususnya Banyuwangi, di Negeri Jiran. Kegiatan positif warga Kota Gandrung di rantau sangat efektif dijadikan corong. Mengenalkan potensi Banyuwangi kepada warga di tempatnya bekerja. Itu alasannya, kenapa mereka layak disebut duta daerah: Duta Banyuwangi.
Percayalah, tidak rugi menjadi duta Banyuwangi di mana pun Anda berada. Sebab, Banyuwangi kini sudah berubah. Maju pesat. Boleh jadi saat pulang kampung ke Banyuwangi, Anda akan pangling. Ketika Anda meninggalkan Kota Kopi ini setahun lalu, saat kembali hari ini sudah banyak yang berubah. Apalagi, bagi yang sudah bertahun-tahun tidak pulang. Mereka pasti akan berpikir lama sekali ketika disodori gambar Banyuwangi terkini. Persis seperti yang dialami para pekerja migran asal Banyuwangi di Malaysia. Ketika saya dan tim Ikawangi Malaysia mempresentasikan perkembangan Banyuwangi termutakhir di Selangor dua bulan lalu, raut muka mereka tampak serius. Sesekali kepalanya geleng-geleng. Puncaknya saat kami tampilkan di layar proyektor foto-foto destinasi wisata. Mereka benar-benar sudah pangling terhadap Pantai Boom dan Pulau Merah.
Kemajuan Banyuwangi bukan hanya di bidang kebersihan kotanya. Yang itu sudah lewat. Banyuwangi sudah tiga kali berturut-turut meraih piala Adipura. Sangat wajar kalau kotanya bersih. Jangankan pemudik, orang dari kabupaten tetangga, seperti Jember, saja terheran-heran melihat kota Banyuwangi yang bersih dan asri. Jadi, kalau ada pemudik yang masih terheran-heran melihat kebersihan tanah kelahirannya, berarti mereka sama dengan orang Jember. Tapi kalau mereka terkaget-kaget melihat beberapa ikon baru yang berdiri di Banyuwangi, itu baru pemudik. Apalagi, kalau merasakan enak dan leluasanya melintas di jalan raya Rogojampi—Banyuwangi.
Kini pemudik tidak hanya bisa merasakan jalur Banyuwangi—Rogojampi yang sangat lebar. Mereka sekarang juga tidak usah goyang Inul. Jalan menuju desanya sudah mulus. Hotmix (Korea) semua. Pemkab memang sudah membangun ratusan kilometer jalan di seluruh Banyuwangi. Jalan-jalan di pelosok desa kini sudah mulus semua. Kecuali yang pengerjaannya masuk anggaran tahun ini. Meski belum tuntas 100 persen, tapi sebagian besar jalan menuju desa pemudik sudah bagus.
Tahun depan, maaf ini saya bocorkan kepada pemudik, ketika Taman Blambangan sudah selesai di tingkat ke atas sekaligus ke bawah, para pemudik dijamin tambah pangling. Sebab, konsep pembangunan Taman Blambangan itu sangat futuristik. Modern. Dinding tingkat yang ke atas sekaligus akan berfungsi menjadi tribun keliling terbuka. Sedangkan tingkat ke bawahnya akan dijadikan ruang-ruang untuk aktivitas warga, mulai tempat latihan seni, ruang pamer, ruang display suvenir produk UMKM, ruang pertemuan, musala, perpustakaan, dll.
Wa ba’du. Banyuwangi sudah berubah. Perubahannya sangat luar biasa. Tapi, perubahan kota kita masih akan terus berjalan. Menuju kemajuan. Dan, kemajuan Banyuwangi akan makin cepat dengan peran serta para pemudik. Orang-orang Banyuwangi yang sukses di luar kota, luar provinsi, bahkan di luar negeri, sudah waktunya berperan serta membangun Banyuwangi. Investasikan modal atau, minimal, ide dan pikiran.***
AHLAN wa sahlan. Welcome back to Banyuwangi. Selamat mudik. Kembali ke udik. Kampung halaman. Tanah kelahiran. Rentetan ucapan itu layak kita ucapkan. Sebagai bentuk penghormatan. Untuk para pemudik. Wong Bumi Blambangan yang kembali dari rantau. Berlebaran bersama keluarga besar di Banyuwangi. Setelah setahun mengais rupiah. Di luar kota. Di luar pulau. Bahkan, di luar negeri.
Salam sambutan seperti itu harus dibudayakan. Sekecil apa pun, para pemudik itu sudah berjasa kepada kota The Sunrise of Java ini. Apa pun pekerjaan dan profesinya di rantau, pastilah mereka rutin kirim dana ke keluarganya di kampung. Sebulan sekali. Setengah tahun sekali. Bahkan, mungkin, ada juga yang seminggu sekali. Hanya pihak bank dan kantor pos yang tahu. Berapa pastinya remitensi yang masuk ke Banyuwangi.
Alasan kedua memberi sambutan kepada pemudik: mereka merupakan duta Banyuwangi. Secara langsung atau tidak, sadar atau tidak disadari, di tempatnya bekerja atau sekolah mereka sebenarnya memanggul nama Banyuwangi. Begitu sekali saja melakukan perbuatan negatif, nama Banyuwangi akan ikut tercoreng. Misal, ada berita berjudul: ‘’Perampok Asal Banyuwangi Tewas Dimassa’’. Dulu media di Bali sering sekali menulis berita aksi-aksi kejahatan dan asusila. Ketika pelakunya ber-KTP Banyuwangi, wartawannya menulis dengan gamblang identitas dan alamatnya. Sebaliknya, jika pelakunya orang Bali, identitas dan namanya dibuat inisial. Tidak adil, memang.
Mau apa lagi. Protes? Itu suka-suka medianya. Medianya pasti sangat fanatik terhadap daerahnya. Kalau mau menuntut keadilan dalam pemberitaan, cara ini cukup efektif: orang Banyuwangi di Bali (dan tempat lain) jangan berbuat kriminal! Sebaliknya, lakukanlah kegiatan-kegiatan yang positif. Bahkan, inspiratif. Pasti beritanya akan bagus-bagus.
Warga Banyuwangi harus mewarnai kehidupan sosial di tempatnya bekerja. Seperti yang dilakukan pekerja migran Banyuwangi di Malaysia. Lewat Ikawangi (Ikatan Keluarga Besar Banyuwangi) mereka membentuk sanggar jaranan buto. Meski baru seumur jagung, jaranan buto Banyuwangi di Malaysia itu sudah cukup populer. Undangan tanggapan terus mengalir. Bukan hanya dari warga biasa. Pejabat Malaysia yang menikahkan anaknya juga mulai nanggap jaranan buto Banyuwangi. Lebih hebat lagi, mereka juga beberapa kali mengisi acara-acara kenegaraan yang diinisiasi KBRI di Malaysia. Mewakili Indonesia, tentunya. Persisnya, mewakili Pak Arif Yahya (Menteri Pariwisata yang asli lare Oseng) mengampanyekan potensi pariwisata Indonesia, khususnya Banyuwangi, di Negeri Jiran. Kegiatan positif warga Kota Gandrung di rantau sangat efektif dijadikan corong. Mengenalkan potensi Banyuwangi kepada warga di tempatnya bekerja. Itu alasannya, kenapa mereka layak disebut duta daerah: Duta Banyuwangi.
Percayalah, tidak rugi menjadi duta Banyuwangi di mana pun Anda berada. Sebab, Banyuwangi kini sudah berubah. Maju pesat. Boleh jadi saat pulang kampung ke Banyuwangi, Anda akan pangling. Ketika Anda meninggalkan Kota Kopi ini setahun lalu, saat kembali hari ini sudah banyak yang berubah. Apalagi, bagi yang sudah bertahun-tahun tidak pulang. Mereka pasti akan berpikir lama sekali ketika disodori gambar Banyuwangi terkini. Persis seperti yang dialami para pekerja migran asal Banyuwangi di Malaysia. Ketika saya dan tim Ikawangi Malaysia mempresentasikan perkembangan Banyuwangi termutakhir di Selangor dua bulan lalu, raut muka mereka tampak serius. Sesekali kepalanya geleng-geleng. Puncaknya saat kami tampilkan di layar proyektor foto-foto destinasi wisata. Mereka benar-benar sudah pangling terhadap Pantai Boom dan Pulau Merah.
Kemajuan Banyuwangi bukan hanya di bidang kebersihan kotanya. Yang itu sudah lewat. Banyuwangi sudah tiga kali berturut-turut meraih piala Adipura. Sangat wajar kalau kotanya bersih. Jangankan pemudik, orang dari kabupaten tetangga, seperti Jember, saja terheran-heran melihat kota Banyuwangi yang bersih dan asri. Jadi, kalau ada pemudik yang masih terheran-heran melihat kebersihan tanah kelahirannya, berarti mereka sama dengan orang Jember. Tapi kalau mereka terkaget-kaget melihat beberapa ikon baru yang berdiri di Banyuwangi, itu baru pemudik. Apalagi, kalau merasakan enak dan leluasanya melintas di jalan raya Rogojampi—Banyuwangi.
Kini pemudik tidak hanya bisa merasakan jalur Banyuwangi—Rogojampi yang sangat lebar. Mereka sekarang juga tidak usah goyang Inul. Jalan menuju desanya sudah mulus. Hotmix (Korea) semua. Pemkab memang sudah membangun ratusan kilometer jalan di seluruh Banyuwangi. Jalan-jalan di pelosok desa kini sudah mulus semua. Kecuali yang pengerjaannya masuk anggaran tahun ini. Meski belum tuntas 100 persen, tapi sebagian besar jalan menuju desa pemudik sudah bagus.
Tahun depan, maaf ini saya bocorkan kepada pemudik, ketika Taman Blambangan sudah selesai di tingkat ke atas sekaligus ke bawah, para pemudik dijamin tambah pangling. Sebab, konsep pembangunan Taman Blambangan itu sangat futuristik. Modern. Dinding tingkat yang ke atas sekaligus akan berfungsi menjadi tribun keliling terbuka. Sedangkan tingkat ke bawahnya akan dijadikan ruang-ruang untuk aktivitas warga, mulai tempat latihan seni, ruang pamer, ruang display suvenir produk UMKM, ruang pertemuan, musala, perpustakaan, dll.
Wa ba’du. Banyuwangi sudah berubah. Perubahannya sangat luar biasa. Tapi, perubahan kota kita masih akan terus berjalan. Menuju kemajuan. Dan, kemajuan Banyuwangi akan makin cepat dengan peran serta para pemudik. Orang-orang Banyuwangi yang sukses di luar kota, luar provinsi, bahkan di luar negeri, sudah waktunya berperan serta membangun Banyuwangi. Investasikan modal atau, minimal, ide dan pikiran.***