Semarak Sastrawan Muda 2015: Peluncuran Pupulan Puisi Angripta Rum dan Novel Ki Baru Gajah - Puji Retno Hardiningtyas
oleh Puji Retno Hardiningtyas
Karya sastrawan muda Bali yang tergabung dalam Angripta Rum: Pupulan Puisi Bali Modern dan novel sejarah Ki Baru Gajah diluncurkan dan dibedah, Sabtu, 23 Mei 2015, di Auditorium Widya Shaba, Fakultas Sastra dan Budaya, Jalan Pulau Nias Nomor 13, Denpasar. Pembicara utama bedah buku tersebut adalah Ida Bagus Wayan Keniten mengetengahkan makalah berjudul “Potret Sosial Bali dalam Angripta Rum”. Sementara itu, Janardana Putra membawakan makalah berjudul “Novel Ki Baru Gajah: Rekonstruksi Sejarah yang Ditulis dalam Bentuk Novel dengan Jenis Komedi”. Peluncuran kedua karya sastra Bali modern tersebut dimoderatori oleh Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum., mengemas dialog dengan berbahasa Bali, terkadang seloroh lucu, semakin menambah semarak diskusi yang tengah berlangsung.
Potret Manusia dan Alam Bali: Angripta Rum
I.B. Wayan Keniten mengulas kumpulan puisi Angripta Rum dengan memfokuskan pada persoalan manusia dan alam Bali dan menguliti secara mendalam persiapan para sastrawan yang dianggap tergesa-gesa dalam melahirkan karyanya. Kumpulan puisi tersebut ditulis oleh 35 sastrawan muda Bali yang tergabung menjadi satu Angripta Rum: Pupulan Puisi Bali Modern, diterbitkan oleh Pusataka Ekspresi, Februari, 2015, dan tebal buku xii + 126 halaman. Kehadiran kumpulan puisi ini menjawab kekhawatiran perkembangan sastra Bali modern. Dengan diluncurkannya buku puisi Angripta Rum dapat dicatat sebagai peristiwa sejarah munculnya sastrawan muda di Bali pada tahun 2015.
Lahirnya Angripta Rum ‘mencipta keindahan’ dikumpulkan oleh I Gede Gita Purnama ini memberikan pesan dan filosofi bagi manusia Bali. Potret berulang yang menjadi perubahan mental manusia sekarang ini terwakili dalam puisi-puisi karya 35 sastrawan. Misalnya, puisi “Warsa Tanpa Tata ring Kali Sanghara” karya Ida Bagus Surya Matra Atmaja dijelaskan terperinci oleh I.B. Wayan Keniten bahwa manusia memiliki pilihan untuk menjalankan perintah dan larangan agama. Ungkapan “watek manusia kadi raksasa, sang kala nyusup ring angga…”(lihat hlm. 1—2)merupakan cerminan manusia sekarang ini. Manusia ibarat raksasa yang sudah hilang kendali, untuk menemukan karakter sebagai manusia ciptaan Tuhan tentu perlu penyadaran pada diri sendiri. Tidak dapat dimungkiri kehadiran manusia dalam sebuah karya puisi menjadi topik utama yang ditulis para sastrawan.
Konsep manusia lainnya, hubungan antara manusia dan pengetahuan juga dilahirkan oleh sastrawan Dewa Ayu Carma Citrawati. Puisi berjudul “Kaweruhané Maurip” menggambarkan betapa berharganya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia di bumi. Menurut I.B. Wayan Keniten, puisi tersebut termasuk dalam genre tutur. Seyogyanya manusia mampu menyadari hakikat jatidiri dengan kehadiran ilmu pengetahuan yang semakin berkemban, seperti kutipan “kawéruhane medal wletikkade gelas, …tutur pinutur katuturan, tedun San Hyang Aji maraga suci, ngurip sakancan tuna sida kanton paripurna”(lihat hlm. 20). Konsep manusia lainnya juga dihadirkan dalam puisi “Gending I Belog” (Luh Yesi Candrika, lihat hlm. 19), “Keni Sengsara” I Komang Darmawan (lihat hlm. 27), dan “Nayah sing Ja Layah” Made Reland Udayana (lihat hlm. 40). Puisi tersebut menggambarkan kekuatan kesucian manusia berawal dari hati. Perubahan manusia sekarang disebabkan oleh kerakusan memandang duniawi sehingga tidak lagi memikirkan kehidupannya di akhir zaman.
Alam Pulau Bali tetap terjaga keasriannya dan tidak rusak akibat kegiatan-kegiatan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam yang bersifat masif sehingga melampaui batas-batasyang dapat ditoleransi. Namun, tidak dalam puisi Angripta Rum, justru menghadirkan kerusakan dan keindahan alam Bali. Ekspresi verbal dalam puisi-puisi berbahasa Bali ini menekankan pentingnya menjagakeharmonisan antara manusia dengan lingkungannya. Tanah dan alam Bali yang telah berubah fungsi secara metaforis digulirkan dalam larik-larik yang mengkritisi kondisi senyatanya di Bali. Misalnya, puisi “Kangkang” karya I Wayan Kertayasa yang tidak memedulikan lingkungan, “/Bin pidan lakar éling? Luglig I alas/ I Sasih jani ngeling/Telah I Kayu, I Kedis milu paling/ujan, pasih, matan ai, buka mawangsit guminé ngeling/. Secara tersirat puisi tersebut mengingatkan manusia wajib beradaptasi dengan lingkungan sebisa mungkin agar alam asri tetap ada.
Diskusi tentang hubungan sastra Bali modern dan sastrwan, tepatnya karya puisinya, tentangmanusia, alam, dan Bali diperkaya oleh diskusi ekologi bahasa dan sastra dalam refleksi filsafati oleh Wahyu Sastrawan(Boe Doe) mengenai puisi “Tumpek Bubuh”, “Leluu” oleh Made Suar Timuhun, “Denpasar Ngacan Telah” oleh Tudekamatra, “Gumi Tuh Gaing” oleh Made Sugianto, “Uma” Jro Alit, dan “Pejalan di Gumine Tua” Ida Bagus Made WIsnu Parta, sangat kukuh mempersoalkan hubungan dialektis antara tradisionalitas dengan modernitas. Melalui puisipuisinya, entitas lingkungan sebagai unsur dasar kosmos adalah konsep yang diusung sebagai lokalitas masyarakat Bali yang punya citra Tri Hita Karana.
Pada puisi-puisi Angripta Rum, degradasi nilai-nilai tradisi serta realitas lingkungan alam merupakan akibat kontradiksi atas modernitas. Secara kritis, puisi-puisi ini mempersoalkan makin hilangnya eksistensi-habitat alam akibat penetrasi pembangunan dan industrialisai sebagai bentuk modernitas. Hal yang paling utama dari karya 35 sastrawan muda tersebut adalah pesan moralnya bahwa manusia mempunyai roh dan raga. Oleh karena itu, manusia wajib menjaga kelestarian alam agar sumber kehidupannya tidak habis.
Keris Puri Kediri: Ki Baru Gajah
Novel sejarah Ki Baru Gajah karya I Made Sugianto yang diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi, Maret 2015, dan tebal v + 151 halaman menjadi bahasan kedua setelah Angripta Rum. Novel ini
berlatar belakang sejarahkeris di Puri Kediri. Judul novel tersebut sesuai dengan nama keris di Puri Kediri, Ki Baru Gajah. Menurut Janardana Putra, novel Ki Baru Gajah adalah novel sejarah yang dikisahkan dengan menyusupkan komedi di beberapa dialog para tokohnya.
Tokoh fiksi, seperti Kaki Tan Paroang, raksasa Kala Bebau, raksasa Kala Jengkin, Patih Kuda Bawana, dan Patih Kebo Wangsul, yang memberikan warna unik di novel Ki Baru Gajah. Penyusunan novel sejarah ini, penulis, I Made Sugianto, melakukan riset sejarah dengan mendatangi sesepuh Puri Kediri. Narasumber Puri Kediri, I Gusti Ngurah Putra, menceritakan kepada I Made Sugianto, tepat hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, wuku Kuningan, keris Ki Baru Gajah diarak dari Puri Kediri menuju Pura Luhur Pakendungan, dekat Pura Tanah Lot. Warga setempat sangat mempercayai kekuatan magis dalam keris tersebut, yaitu sebagai tolak bala mengusir wabah gerubug.
Meskipun ada penambahan tokoh fiksinya, novel ini tidak menghilangkan tokoh sejarah yang melahirkan keris Ki Baru Gajah. Nama seperti Gusti Prabu, Ratu Permaisuri, Ki Bendesa Beraban, dan Ida Cokorda Tabanan menguatkannovel Ki Baru Gajah merupakan novel sejarah.Kilasan peristiwa dan latar Desa Beraban, Puri Puri Kediri, Puri Bebaling, dan Puri Agung Tabanan yang kuat menambah daftar data sebagai kekuatan novel Ki Baru Gajah. Di samping suguhan sejarah, novel ini pun menghadirkan cerita jenaka sehingga kompleksitas antara fiksi dan sejarah saling mengisi sebagai genre sastra Bali modern.
Kelebihan dari novel Ki Baru Gajah adalah memberikan informasi sejarah tentang kekayaan kearifan lokal dan tradisi yang dimiliki masyarakat Bali. Kemasan karya sastra modern seperti yang dilakukan oleh I Made Sugianto ini patut dicontoh untuk para sastrawan lainnya. Cerita sejarah di Bali, khususnya sastra Bali modern belum banyak ditemukan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk sastrawan muda mengenalkan sejarah kepada generasi muda tanpa disusahkan membuka babad atau lontar. Kesadaran ini dimaksudkan sebagai bentuk kecerdasan dan kepekaan reflektif terhadap dua potensi dinamika kebudayaan: tradisionalitas dan modernitas. Secara intelektual, manusia sebagai subjek kebudayaan harus rasional dalam menyikapi tradisinya yang menyejarah. Pun dalam gerak sejarah, ia harus selalu kritis dalam menyikapi segala macam kemudahan dan kenikmatan wujud modernitas melalui sastra Bali modern.
Peluncuran Buku Menyatukan Sastrawan Muda
Dialektika kebudayaan adalah arus panjang dari tegangan, konflik, kritik, ataupun penyangkalan berdasarkan sisi-sisi kemanusiaan, pengertianini untuk saling memajukan kualitas sejarah. Pada titik ini, hakikat kemajuan sastra Bali modern menjadi tanggung jawab bersama upaya melestarikan kebudayaan yang menunjuk manusia sebagai makhluk berkemungkinan untuk mencipta, mengolah dan menertibkan lingkunganalamnya menuntut untuk diaktualisasikan secara strategis. Sebelum kekuatan alam itu sendiri yang akan “menertibkan” manusianya, tampaknya kesadaran melestarikan budaya Bali mulai mencuat di permukaan. Dengan ajang pertemuan seperti yang digagas I Gede Gita Purnama menjadi media penting untuk para sastrawan bertemu dan mendiskusikan karya-karyanya.
Kegiatan bedah buku ini dihadiri oleh sastrawan yang menulis Angripta Rum, mahasiswa, sastrawan nasional—Oka Rusmini, penggiat sastra lisan tradisional—Made Taro, dosen dan kritikus sastra, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., dan tim Ensiklopedia dan Inventarisasi Sastra di Bali 2015—Puji Retno H., Ni Wayan Aryani, Ni Putu Asmarini, I Nyoman Suarjana, I Made Pasek Parwata, dan Ketut Mandala Puta—Balai Bahasa Provinsi Bali. Sebagai sastrawan yang sudah melalang buana, Oka Rusmini dan Made Taro sengaja dating untuk menyemangati pejuang budaya Bali, para sastrawan muda. Sementara itu, kedatangan tim dari Balai Bahasa Provinsi Bali sengaja mendata dan memantau peristiwa sastra—lahirnya sastrawan muda— yang sudah lama dinanti kemunculannya di panggung dunia sastra di Bali.
Perkembanan kehidupan sastra Bali modern terlihat dalam geliat para penulisnya yan lahir dari sarjana sastra, Universitas Udayana. Dengan bersatunya para sastrawan muda dapat diyakini bahwa proses kelahiran embrio penulis sastra Bali modern akan semakin semarak. Keberlanjutan penciptaan, penerbitan, dan kekompakan melakukan diskusi sastra yang terus-menerus akan mendukung keberadaan sastra Bali modern tumbuh dan berkemban dengan sempurna. Setelah melihat dan memperhatikan diskusi peluncuran dan bedah buku Angripta Rum dan Ki Baru Gajah dapat disimpulkan bahwa di awal abad ke-21 ini, sastra Bali modern menuju masa gemilang. Semoga sukses selalu sastrawan muda.***
___
Sumber: Kerling: Antologi Kritik/Esai Bahasa
dan Sastra, Penyunting: Dessy
Wahyuni, Medri Oesnoe, Agus Sri Danardana, dan Tirto Suwondo, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016