Negeri Asap - Marlina
oleh Marlina
Tubuhku membesar, melar bagai karet. Kalau aku sedang murka, akan lebih ganas dibandingkan dengan bercinta. Bagai ribuan tentakel, api-api mungilku menggeliat, menjangkau setiap hal yang mampu disentuh. Kubakar habis apapun yang ada di hadapanku: kebun sawit, rumah penduduk. Semuanya kubabat sampai tak tersisa suatu apa pun yang dimiliki oleh makhluk-makhluk tamak tersebut. Dengan tangan jinggaku, menjadi abulah mereka. Panas tubuhku memberontak. Menghajar segalanya (“Keluh Kesah”, cerpen karya Novri Kumbara, dalam Kumpulan Cerpen Negeri Asap Riau Pos 2014).
Penggalan cerpen “Keluh Kesah” di atas menggambarkan kondisi kebakaran hutan yang sedang terjadi di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan sebagian wilayah timur Indonesia, beberapa waktu lalu. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika stasiun Pekanbaru sejak 30 Juli 2015 telah mengungkapkan bahwa di wilayah Riau terdapat 186 titik api yang tersebar di berbagai kabupaten. Kebakaran hutan ini terjadi juga di Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi. Hal ini menyebabkan hampir tiga bulan wilayah Riau dan wilayah-wilayah lainnya di Pulau Sumatera diselimuti asap tebal.
Kabut asap yang menyelimuti Riau telah dirasakan masyarakat sejak tahun 1997. Sejak saat itu, asap telah menjadi bencana tahunan yang melanda Bumi Lancang Kuning ini (www.riauonline. co.id/2015/07/12). Kondisi masyarakat Riau yang memprihatinkan inilah yang diangkat dengan sangat apik oleh Novri Kumbara ke dalam cerpennya. Cara pengungkapannya yang sangat nyastra, membuat cerpen ini menjadi menarik untuk dibaca.
Ketika kabut asap sedang melanda, matahari menjadi hal yang amat dirindukan oleh makhluk yang ada di bumi ini. kepada daun: maafkan aku untuk sebulan terakhir, aku tak bisa menemuimu, mengurungmu dalam jeruji kerinduan, memberimu harapan pada penantian yang tak tahu akan berhenti kapan. –Matahari. Ungkapan matahari kepada daun mewakili kerinduan masyarakat Riau akan sinar matahari pagi. Berbulan-bulan tidak menyaksikan sinar matahari.
Satu sindiran pengarang yang cukup menarik adalah ungkapan matahari yang mengatakan bahwa ia amat tidak suka dengan Riau. Menurutnya atmosfer di Riau sangat tipis, terlalu banyak polusi yang merusak lapisan ozon, membuat penghuninya gerah dan hampir mati. Manusia yang ada di Riau selalu mengeluh betapa panasnya tempat tinggal mereka, tetapi di sisi lain, mereka tidak mau menanggulanginya dengan menanam pohon. Mereka malah mendinginkannya dengan pendingin ruangan yang makin memperparah lapisan ozon.
Kepada kabut: sampaikan salamku untuknya, napasku sesak dan aku sebentar lagi akan mati, ketika keadaan kembali seperti semula, ku tak mau ia linglung saat menyadari aku sudah tak lagi ada –Daun. Lewat daun, Novri mencoba mengungkapkan apa yang sebenarnya yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat Riau. Daun pun mengatakan, “Sebenarnya aku sadar kalau kehadiranmu akan membuat diriku gugur, terjatuh, terhempas hingga menyatu dengan tanah. Dimulai dari keluargaku yang sulit bernapas dan sinar matahari tak bisa lagi untuk menyampaikan kasih sayangnya dengan sempurna. Kau tahu, matahari tak bisa menangis lagi. Itu sebabnya aku menguning dan rapuh.” Ungkapan daun pada kabut begitu mengiris hati. Seperti itu jugalah yang sedang dirasakan oleh masyarakat Riau. Asap akan membunuh mereka pelan-pelan.
Udara yang dihirup masyarakat di Riau sudah sangat berbahaya. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Pekanbaru mencapai 500 PSI atau di level berbahaya. Ispa dan asma pun menjadi penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat Riau. Untuk Kota Pekanbaru mencapai 11.803 kasus (Riau Pos, 23 Oktober 2015). Tepatlah ketika kabut berkata kepada angin: Ibu, kau telah menciptakan monster pembunuh. Ibu, kenapa kau melahirkanku? Ibu, aku tak mau hadir di dunia ini–Kabut. Asap memang akan membunuh manusia secara perlahan-lahan.
Angin pun berkata kepada api: berhentilah bercinta! Kau membuat kabut terluka–Angin. Ternyata kabut pun sedih dengan keberadaannya yang telah menyengsarakan daun dan pohon-pohon. Apilah yang telah membakar dan menghanguskan semuanya. Menghanguskan ribuan hektar hutan, termasuk juga hutan bakau yang akan menjadi penyeimbang ekosistem. Semua musnah, meninggalkan asap pekat yang tak berkesudahan.
Api tentu tak mau dipersalahkan. Kepada ummat manusia: janganlah pernah menjadi serakah, hidupmu di dunia hanya sementara, tak ada gunanya kau menjarah harta, dalam akhirat hanya amal yang akan kau bawa, ibadah yang mampu menyelamatkan nyawa –Api. Pesan api ini tentu untuk semua manusia yang ada di bumi ini. Betapa manusia telah diciptakan dengan amat sempurna, diutus ke muka bumi untuk menjadi khalifah (pemimpin makhluk), akan tetapi kenapa manusia justru merusak bumi? Dengan sadarnya telah menyakiti makhluk lainnya.
Karya sastra sebagai cerminan budaya masyarakat tempat karya itu muncul, terlihat jelas dalam cerpen “Keluh Kesah” ini. Cerpen ini telah mewakili kondisi masyarakat Riau yang porakporanda karena asap. Asap yang telah berbulan-bulan menetap di Bumi Lancang Kuning ini tidak saja telah mengahancurkan kesehatan masyarakatnya, tetapi juga menghancurkan pendidikan dan perekonomian masyarakat Riau. Hampir dua bulan anakanak di Riau tidak bersekolah.
Rasakan, manusia! Rasakan kerakusanmu, ketamakan, dan kebodohanmu mengejar dunia! Inilah keserakahanmu pada alam! Yang di Atas murka! Aku murka! Hanya karena keserakahan segelintir orang, ribuan masyarakat lainnya harus merasakan dampaknya. Tentu sangat tidak adil. Akan tetapi, masihkah ada keadilan di muka bumi ini? Selama penguasanya tidak berpihak pada rakyat.
Negeri Asap, inilah kisah dan deritamu.***