Metafora dalam Rangkiang Yang Reyot - Nofel Nofiadri
oleh Nofel Nofiadri
Kemajuan peradaban hari ini secara global menjadikan jarak semakin dekat dan waktu semakin singkat. Dengan teknologi yang sangat memadai sebuah realitas yang berjarak ribuan kilo dapat disaksikan secara langsung melalui layar-layar LCD. Sebuah peristiwa di belahan dunia lain dapat diketahui lebih awal berkat kemajuan teknologi pemberitaan baik secara visual atau audio-visual. Kemajuan alat transportasi dan kemudahan yang diberikannya menjadikan kontak semakin tinggi dan keterpengaruhan merupakan suatu hal yang lumrah. Efektivitas dan efisiensi menjadi ukuran dari setiap tindakan. Jadilah bumi ini serasa kecil, tidak seperti dulu yang begitu luas rasanya. Dari pelabuah Teluk Bayur ke Tanjung Priok, dahulunya ditempuh selama dua hari satu malam atau lebih. Hari ini, dengan pesawat terbang, kita dapat berangkat pagi dan setelah urusan selesai, sorenya dapat kembali. Kemajuan peradaban ini atau perubahan zaman ternyata mempengaruhi bagaimana manusia beriteraksi terutama dalam menggunakan bahasa.
Bagaimana informasi dihasilkan, diteruskan, diolah, dan dianalisis merupakan hal penting yang diperhatikan pada kekinian globalisasi. Pada masa tradisional, informasi cenderung dikemas dalam bentuk oral atau lisan. Tentunya, informasi tersebut juga berkaitan dengan jenis konten apa saja yang mampu ditampung oleh lisan. Namun, tidak juga dikesampingkan bahwa banyak juga pada masa itu informasi ditampung dalam bentuk tulisan dan umumnya adalah buku atau kitab. Pada masa modern, terdapat keseimbangan informasi yang dikemas dalam bentuk lisan dan tulisan. Orang yang lebih banyak memproduksi dan mengolah informasi tulis dapat diidentifikasi sebagai golongan masyarakat lebih maju seperti di kantor, di sekolah, di perusahaan, dan di perpustakaan. Kaum buruh atau masyarakat yang berekonomi rendah teridentifikasi sebagai bagian yang tidak berpendidikan tinggi dan komunikasi lisan merupakan bentuk yang sangat lazim bagi mereka. Begitu juga dengan kepemilikan barang sumber informasi seperti majalah, surat kabar, dan televisi, orang yang mengakses sumber-sumber tersebut secara implisit diasosiasikan kepada mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih baik dan status sosial lebih tinggi.
Orang yang disebut intelek lebih banyak membaca daripada menonton. Kemudian, kehadiran internet memberikan pemicu perubahan yang sangat berarti dengan banyaknya pilihan atas informasi baik bentuk, sumber, maupun kualitasnya. Adanya mesin pencari (search engine) di internet mengakibatkan tidak terbatasnya persediaan informasi dan juga tidak ada filtrasi. Kehadiran beberapa media sosial menandai awal kematian wilayah privasi. Hukum juga kewalahan dalam menyikapi pola-pola baru yang dihasilkan oleh interaksi dunia maya. Orang lebih suka berkomunikasi menggunakan keypad daripada menggunakan suara.
Fenomena di atas merupakan realitas penggunaan bahasa sebagai alat pemberlangsung kehidupan sosial manusia hari ini. Suara lebih banyak terdengar dari alat elektronik ketimbang didengar dari mulut langsung seperti dalam siaran televisi atau dari video di internet. Ragam tulis merupakan bentuk yang lebih fungsional dibanding ragam lisan. Salah satu contohnya adalah aktivitas berbelanja di mal. Jika Anda pergi berbelanja dengan kendaraan pribadi seperti sepeda motor atau mobil, Anda akan memperhatikan tanda-tanda (rambu-rambu). Anda dituntun masuk ke parkiran dengan tulisan seperti tanda parkir dan tanda masuk. Di portal, Anda akan mengambil tiket dari mesin atau dari petugas yang ada di dalam kaca. Kembali Anda diberi kertas bertulisan. Sesampai di dalam toko, Anda juga dipandu oleh tulisan tanda kelompok barang-barang dan layanan. Sekali-sekali saja Anda perlu pelayan toko dan berbicara. Toko modern juga tidak menyediakan tawar-menawar tempat aktivitas lisan banyak terjadi. Waktu membayar di kasir pun, Anda tidak perlu bicara karena ada alat pindai dan monitor jumlah total tagihan. Jika Anda mampir ke warung makanan pun, pemandangan orang bercakap-cakap juga sedikit karena mereka sibuk dengan telepon genggamnya yang pintar. Di tempat lain seperti sekolah atau kampus, aktivitas berbicara juga dikurangi dengan adanya teknologi seperti proyektor dan sistem belajar mandiri. Komunikasi dengan menggunakan surat elektronik dan media sosial menunjukkan bahwa Anda lebih maju dan lebih intelek. Masyarakat posmo merupakan mereka yang lebih sedikit menggunakan bahasa lisan dan lebih banyak menggunakan bahasa tulis.
Kecendrungan hari ini mengakibatkan bahasa tulis dipandang lebih efektif dan efisien sebagai kelanjutan dari sikap masyarakat modern. Benar atau salah, sebagai sebuah nilai, lebih ditentukan dari hukum yang sifatnya tertulis seperti undangundang, surat kesepakatan, perjanjian, dan sumber-sumber bacaan. Anda tidak akan datang ke suatu pesta jika tidak diundang secara tertulis. Kebenaran itu lebih pasti jika didapat dari sumber tertulis seperti surat kabar, buku teks, hasil penelitian, dan media massa. Orang yang sering berbicara dan mengandalkan ragam lisan dianggap sebagai orang kolot dan kebenarannya diragukan. Ragam lisan seperti rundiang, petatah-petitih, kaba, dan sastra lisan lainnya dianggap kurang fungsional karena tidak efisien dan tidak efektif. Sebagai akibatnya, beberapa prosesi adat yang dianggap sebagai simbol tradisional dengan menggunakan banyak ragam lisan menjadi bagian yang tidak diinginkan adanya. Sederhana saja, itu tidak efektif dan tidak efisien.
Minangkabau sebagai suatu sistem nilai merupakan sebuah bentuk lokalitas yang mendapati dampak dari perubahan bagaimana bahasa difungsikan. Pada setiap prosesi, ritual, dan upacara di Minangkabau sangat dibutuhkan bentuk-bentuk lisan seperti rundiang dan petatah-petitih. Sebelum jamuan makan contohnya, pemuka adat akan melakukan perundingan atau penitahan dan itu berlangsung sekitar 15 menit atau lebih. Setelah makan juga ditutup dengan rundiang dengan durasi yang tidak jauh beda. Penyambutan pengantin dan prosesi perhelatan juga dipenuhi oleh rundiang. Begitu juga dalam prosesi kelahiran, kematian, dan ritual adat/agama, bentuk lisan adalah medium utama. Perubahan zaman tentu mengubah nilai dari bagianbagian tersebut. Generasi hari ini menganggap bahwa rundiang itu merupakan suatu hal yang mubazir dan berpanjang-panjang. Mungkin hal ini disebabkan bahwa mereka melihat esensi itu adalah hanya makan saja, rundiang adalah pelengkap. Di sini terlihat bahwa di balik perubahan fungsi bahasa, juga terdapat pergeseran nilai dari bentuk-bentuk aktivitas kultural Minangkabau sebagai unsur lokal.
Semakin kuat tekanan globalisasi terhadap lokalitas Minangkabau berakibat atas pergeseran nilai-nilai keminangkabauan yang tentunya berpengaruh terhadap identitas orang Minang. Rundiang sebagai bagian dari prosesi dipandang sebagai bagian yang tidak efektif sehingga dikurangi dan mungkin akan dihilangkan kemudian diganti dengan bentuk modern dengan tata cara umum “mari makan”, “silakan”, “terima kasih”, “semoga hidangannya dapat memuaskan”, dan seterusnya. Perlu diingat bahwa dalam rundiang tersebut terdapat banyak metafora yang kaya akan nilai-nilai keminangkabauan. Metafora sebagai kristalisasi nilai dan penuh akan pemikiran rasional kultural serta moralitas yang terhilangkan dalam prosesi adat, tentu bermakna penghilangan alat produksi nilai dalam kebudayaan Minangkabau dan juga dapat diartikan sebagai pelenyapan media pewarisan nilai-nilai luhur Minangkabau. Dalam setiap metafora itu tersimpan pandangan dasar emosi orang Minang terhadap dirinya dan terhadap alamnya karena metafora dalam rundiang merupakan realitas literal dan realitas emosional Minangkabau. Akhirnya tergambar sebuah kondisi bahwa memandang prosesi adat sebagai sebuah bentuk yang tidak efektif dan efisien ternyata sekaligus sebagai bentuk kedangkalan atas pemaknaan terhadap adat tradisional dan sastra tradisional.
Tentu tidak menarik juga jika mengatakan bahwa generasi hari ini melakukan pendangkalan terhadap nilai adat atau nilai keminangkabauan. Mungkin saja kenyataan hari ini sebagai sebab dari terjadinya keterputusan pewarisan. Bentuk tradisional seperti rundiang, pantun, dan kaba menjadi tidak menarik karena ada bentuk lain yang ditawarkan globalisasi kelihatan lebih menarik. Bisa juga dipahami bahwa pelaku adat seperti pemuka adat dan masyarakat adat itu juga tidak mampu membuktikan bahwa mereka menjadi penentu utama dalam mengatur kehidupan orang-orang Minangkabau. Kemungkinan lain, seperti kata orang Minang, “Jalan dialiah urang lalu, cupak diasak urang manggaleh”, budaya datang lebih dominan dalam mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau. Tentu banyak juga kemungkinan lain untuk menjelaskan akar permasalahan hari ini. Akan tetapi, hal yang menarik dilihat dari semua itu adalah bagaimana bahasa lisan difungsikan dengan kerangka bahwa bahasa adalah media berpikir; alat komunikasi; representasi realitas; cerminan bagaimana orang Minang melihat dunianya; dan representasi sistem nilai orang Minang. Hal lain yang juga menarik adalah mencari jawaban bagaimana seharusnya menyikapi tantangan globalisasi sesuai dengan status dan peran kita masing-masing. Jikok panjang dapek dikorek, jikok pendek dapek diuleh, jikok lebar dapat dibilai.***