Kritik Sosial Cerpen “Pengantin Hamil” Karya Marhalim Zaini - Imelda Mondra
oleh Imelda Mondra
Cerpen pendek “Pengantin Hamil” menggambarkan kekecewaan yang dialami oleh seorang perempuan yang bernama Suri. Suri sebagai tokoh utama dalam cerita ini sangat menderita dan putus asa setelah ditinggalkan oleh kekasihnya. Sebelum berangkat, kekasihnya berjanji akan kembali ke pelukannya dan mereka akan bersanding di pelaminan. Cerpen ini terlihat biasa saja karena dalam kehidupan nyata kejadian seperti dalam penceritaan ini sering terjadi. Namun, di balik semua itu tergambar hal yang buruk langsung ditimpakan kepada perempuan itu. Cerpen “Pengantin Hamil” mengangkat tema perubahan tata nilai dalam kehidupan masyarakat kita. Peristiwa pada kumpulan cerpen, secara umum, disusun dengan alur yang linear bergerak maju. Akan tetapi, terlihat pula alur kilas balik atau flashback seperti tokoh utama yang bercerita tentang masa lalunya dengan kekasihnya.
Suri terlihat serius dengan penuh perasaan membaca sepucuk surat dari kekasihnya. Surat itu merupakan surat yang pertama dan terakhir diterimanya. Dia membacanya berulang kali, sehingga dia ingat kata demi kata yang tertulis di kertas tersebut. Akan tetapi, untaian kalimat yang tertulis tersebut tidak pernah menjadi kenyataan. Karena sudah tujuh bulan penantiannya terasa hampa dan sia-sia belaka, kenyataan tersebut tergambar dalam kalimat berikut.
“Bibir Suri tak pernah bisa berhenti untuk terus membaca sekeping surat lusuh di tangannya. Surat pertama yang telah ia terima, seminggu setelah kepergian kekasihnya, sampai kini setelah genap tujuh bulan, surat yang lain tak kunjung datang. Suri menanti sembari terus membaca surat pertama berkali-kali. Suri menanti, sembari merasakan perutnya makin lama makin berisi. Ada bayi yang terus meronta meminta hak hidupnya dijaga. Bayi yang tak dipinta hasil persetubuhan cinta yang liar, (Amuk Tun Teja, hal. 45).
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Suri sangat mengharapkan kedatangan kekasihnya. Namun, penantian panjang tersebut hanya sia-sia belaka. Suri akhirnya menanggung aib dan malu sendiri akibat perbuatan yang telah mereka lakukan bersama. Dia semakin tersiksa ketika membaca isi surat kekasihnya yang menjanjikan mereka akan segera menikah seperti terlihat pada kalimat berikut.
“Kita akan bersanding, sayang. Duduk di atas pelaminan seperti raja dan permaisuri. Daun inai yang diracik halus akan menghiasi jemari tangan dan kaki kita dengan getah merahnya. Beras pulut beraroma kuning kunyit, akan ditabur oleh sanak saudara di atas kepala kita, sebagai tanda restu doa telah diberi. Maka hati kita pun bernyanyi, diiringi berzanji yang melantun dari mulut gadis-gadis kampung yang molek. Rampak pukulan kompang dari tangan-tangan pemuda yang belia semakin menggetarkan kita bahwa saat itu, dunia menjadi milik kita berdua. Tunggulah aku sayang. Abang akan pulang”, (Amuk Tun Teja, hal. 45).
Permintaan kekasihnya agar Suri bersabar dan tetap menanti kedatangannya merupakan hal yang membahagiakan. Dia yakin bahwa kekasihnya itu akan datang dan segera melamarnya. Hal tersebut tergambar pada kutipan di atas. Jika sudah waktunya mereka akan segera menikah dan bersanding di pelaminan bagaikan raja dan permaisuri. Namun, semua itu tidak pernah terwujud karena sang kekasih tak pernah kembali. Sebagai seorang perempuan, Suri sangat rapuh dan mudah terpengaruh. Kalau saja dia pandai menjaga diri dengan baik, penderitaan yang dirasakannya itu tidak akan dialaminya.
Penyesalan selalu datangnya terlambat, sekarang apa yang harus dilakukannya selain pasrah kepada Tuhan dan menerima nasib. Setiap hari dia dihantui perasaan berdosa dan bersalah, terutama kepada Sang Pencipta karena sudah mengabaikan larangannya. Rasa malu dan bersalah tidak dapat dielakkannya apalagi dengan orang tuanya. Sebenarnya Suri seorang anak yang saleh dan pandai mengaji. Akan tetapi, semua yang dimilikinya itu akhirnya sirna akibat rayuan seorang lelaki yang telah menjadi pacarnya. Suri terpukul sekali dengan kejadian itu, sehingga dia memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Dia tidak ingin kedua orang tuanya mengetahui kehamilannya tersebut sehingga dia memutuskan untuk pergi dari rumah pada suatu malam, kepergiannya secara diam-diam terlihat dalam kalimat berikut.
…Ketika ia diam-diam suatu malam yang pekat terpaksa meninggalkan rumah orang tuanya, pergi ke hutan durian ujung kampung dan tinggal sendiri di sebuah pondok bekas, Suri tidak menangis. Suri takut, jika sampai orang tuanya tahu tentang kehamilannya sebelum menikah, jelas akan menimbulkan tangis banyak orang, dia tidak mau melihat orang menangis. (Amuk Tun Teja, hal. 47).
Dari kutipan di atas terlihat penyesalan Suri atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dia sengaja pergi mengasingkan dirinya ke tengah hutan sebelum kehamilannya tercium oleh orang tuanya dan penduduk kampung. Namun, persembunyiannya itu diketahui juga oleh seorang penduduk yang mencari kayu bakar. Orang tersebut menyampaikan kepada orang tuanya, sehingga Suri dijeput dan dibawa pulang ke rumah.
Selain itu pengarang juga menggambarkan tentang kekecewaanya terhadap pelaku adat istiadat. Hal ini merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan oleh setiap perempuan yang tinggal di Desa Teluk Gambut, yang menjadi latar dalam cerita ini. Pada umumnya, setiap perempuan yang akan bersanding di pelaminan, mengalami hal yang sama dengan Suri. Mereka duduk di pelaminan dalam keadaan perut yang sudah berisi bayi. Pemandangan seperti itu merupakan hal yang lumrah dan wajar di desa itu. Beberapa kritik sosial tergambar dalam cerpen ini. Berkurangnya tata nilai agama dalam diri seseorang, sehingga sesuatu yang dilarang sudah menjadi kebiasaan. Norma-norma agama tidak dihiraukan lagi karena sudah menjadi kebiasaan dan tradisi di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
…Sejak peristiwa itu, hampir setiap bulannya, gadis-gadis kampung hamil sebelum menikah. Dan hampir setiap bulan pula kita dapat menyaksikan sepasang pengantin yang ganjil (sebab dalam pengantin perempuannya telah tersimpan seorang bayi) dengan pakaian adat kampung Teluk Gambut, diarak di sepanjang jalan, dengan janur dan bunga manggar yang berseri-seri. Rupanya mimpi Suri telah menjadi mimpi setiap pemuda danpemudi. Mimpi yang direstui. Mimpi bersanding di atas pelaminan sebagai Pengantin Hamil, (Amuk Tun Teja, hal. 50).
Dari kutipan di atas terlihat pemandangan yang lazim dan sudah biasa ketika seorang pengantin perempuan duduk di pelaminan dalam keadaan hamil. Sebuah potret terjadinya perubahan tata nilai dalam kehidupan masyarakat kita. Hamil sebelum nikah telah dianggap sebagai sesuatu yang lazim, bahkan di pihak laki-laki atau perempuan, atau bahkan keduanya. Kehamilan merupakan senjata untuk mewujudkan pesta perkawinan. Kritik sosial terhadap adat istiadat pada masing-masing kampung terutama di Desa Teluk Gambut terlihat jelas dalam cerpen ini. Setiap kampung mempunyai kepala adat atau pemuka adat. Seharusnya mereka tidak membiarkan hal itu terjadi di kampung mereka. Sebagai seseorang yang disegani serta dipercaya, mereka harus bertanggung jawab dan menegakkan kebenaran. Salah satunya dengan memberikan hukuman atau denda yang telah disepakati oleh adat setempat kepada keluarga yang telah mencemari kampung mereka. Peran dan fungsi Pemuka Adat sangat penting, agar kampung mereka bersih dan terhindar dari laknat Allah. Apabila pemuka adat menjalankan perannya, niscaya di kemudian hari tidak akan ada lagi pengantin hamil seperti tergambar dalam cerpen ini.
Cerpen ini menggambarkan kerisauan dan kegundahan pengarang terhadap masyarakat Melayu yang telah melanggar nilai atau pun ajaran Islam. Padahal Islam dan Melayu tidak dapat dipisahkan. Karena Melayu itu identik dengan Islam, maka masyarakat Melayu adalah masyarakat yang ketat mempraktikkan ajaran Islam pada umumnya (Jan Van Der Putten). Melalui cerpen ini, pengarang ingin menumpahkan segala permasalahan yang telah melanda negeri yang sangat dicintainya. Pengarang ingin mengembalikan kehidupan masyarakat Melayu yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Akan tetapi, dalam realitasnya, generasi muda Melayu Riau justru telah terpengaruh dalam pergaulan bebas. Dalam kaitan ini, perlu dikutip pernyataan Nofrianto sebagai berikut.
“Mereka begitu mudah memasuki tempat-tempat khusus orang dewasa, apalagi malam minggu. Pelakunya bukan hanya kalangan SMA, bahkan sudah merambat di kalangan SMP. ‘’Banyak kasus remaja putri yang hamil karena kecelakan padahal mereka tidak mengerti dan tidak tahu apa resiko yang akan dihadapinya, (http:// www.pekanbaruriau.com, diakses 2 Desember 2012).
Dari kutipan di atas, terlihat pergaulan bebas di kalangan remaja di Riau sangat memprihatinkan, karena telah merambat di kalangan SMP. Mereka sudah berani melakukan perbuatan maksiat. Sebagai umat yang beragama Islam, berzina adalah perbuatan dosa besar dan haram dilakukan oleh pasangan yang belum menikah. Namun, kenyataannya perbuatan zina begitu sering kita dengar seorang gadis yang hamil di luar nikah. Rasa malu bagi keluarga yang mengalami hal demikian tidak bisa ditutup-tutupi. Akan tetapi, jika ada seseorang yang mau menikahinya maka hilanglah kesedihan dan rasa malu itu. Bahkan tidak sedikit keluarga yang memeriahkan pesta pernikahan anaknya ketika perutnya telah membuncit. Hal ini menunjukkan bahwa kebingungan dan rasa malu mereka bukan karena anak gadisnya melakukan zina, tetapi karena anaknya hamil dan belum ada yang siap menjadi ayah bayi yang dikandungnya.
Selanjutnya komentar yang hampir sama disampaikan oleh Mahdini, ketua MUI Provinsi Riau.
‘’Saya meminta semua kalangan, baik para pendidik, orang tua, dan tokoh masyarakat agar memfungsikan tugas-tugas sosialnya. Banyaknya kalangan remaja yang melakukan s3ks bebas, lanjutnya diindikasikan ada jaringan tertentu yang menggiring anak-anak ke hal yang negatif. Oleh karena itu, MUI menghimbau untuk menutup tempat yang berbau maksiat. ‘’Menutup tempat maksiat itu jauh lebih penting demi generasi muda.’’
Di tingkat pergaulan dalam kondisi hari ini, anak-anak bisa saja berbohong. Oleh sebab itu, sambungnya pengawasan orang tua harus diperketat. Tentu saja contoh perilaku orang tua sangat berperan. Ia berharap, semua sekolah-sekolah tanpa terkecuali memperkuat kembali kehidupan beragama. ‘’Kita harus menanamkan nilai-nila agama sejak dini sehingga mereka memiliki kepribadian yang kuat. (http:/ /www.pekanbaruriau.com, diakses 2 Desember 2012).
Ia mengatakan bahwa semua pihak harus terlibat untuk mengatasi kenakalan remaja yang sudah mewabah di Provinsi Riau, seperti terlihat pada kutipan berikut.
Seorang perempuan Melayu harus mempunyai kepribadian yang baik dan berbudi pekerti yang baik. Dalam sebuah artikel risalah tentang perempuan yang baik Doddy Koesdijanto berpendapat bahwa beberapa ciri yang umum dari akhlak wanita pilihan Allah adalah berikut ini.
“Sebelum menikah, wanita sholehah akan selalu menjaga dirinya, ia tidak akan membuka satu hubungan khusus, kecuali jika ia mengetahui bahwa lelaki tersebut hendak meminang dirinya. Aqidah islam, kepahaman dan akhlaq calon suami, merupakan modal dasar dari kriterianya. Wanita sholehah tidak akan memperlihatkan auratnya pada kaum pria yang dilarang oleh syariat , dirinya tidak akan pula membiarkan bagian tubuhnya disentuh, walau hanya berjabat tangan oleh lelaki yang bukan muhrimnya dan yang tidak memiliki kepentingan. Dalam proses perkenalan atau ta’aruf ia tidak akan membiarkan dirinya berdua-duaan dengan kaum pria. Menjawab salam, tidak berbicara kecuali hal yang mengarah pada kebaikan. Tidak menjatuhkan kehormatan dan martabatnya dengan memberikan peluang kepada kaum pria untuk mempermainkan dirinya. Tidak meminta harta maupun barang apapun selain kesungguhan calon suami untuk mempercepat proses akad nikah (artikel New.drisalah .com, diakses 2 Desember 2012).
Dari uraian di atas tergambar bahwa perempuan yang baik itu menurut pandangan Islam adalah yang bisa menjaga dirinya dan tidak menjatuhkan kehormatan dan martabatnya dengan memberikan peluang kepada kaum pria untuk mempermainkan dirinya.
Cerita pendek “Pengantin Hamil” menggambarkan kegundahan serta kecemasan yang dirasakan oleh pengarang. Kenyataan pahit dan pesimis telah melanda negeri yang sangat dicintainya itu dengan maraknya perzinahan. Melalui tokoh utama, Suri, cerita dimulai dengan segala kebahagian sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara. Mereka lupa diri sehingga perzinahan tidak dapat dihindari. Potret kehidupan masyarakat yang mengabaikan larangan dalam agama serta hilangnya tata nilai kehidupan yang berakhlak dan berbudi pekerti yang baik. Melalui cerpen ini terdapat kritik sosial terhadap orang tua yang tidak bisa menjaga anak gadisnya. Kritik sosial terhadap pasangan yang melakukan perzinahan sebelum terikat pernikahan. Kritik terhadap pelaku adat istiadat yang tidak memberikan sangsi atau hukuman bagi pelaku.***
Sumber: Kerling: Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra, Penyunting: Dessy Wahyuni, Medri Oesnoe, Agus Sri Danardana, dan Tirto Suwondo, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016