Gemarame: Salah Satu Upaya Pemasyarakatan Sastra - Tirto Suwondo
oleh Tirto Suwondo
/1/
Sampai hari ini masih sering didengar keluhan tentang “krisis sastra di Indonesia.” Keluhan itu muncul akibat dari adanya kenyataan tentang rendahnya tingkat apresiasi masyarakat terhadap sastra. Rendahnya tingkat apresiasi masyarakat terhadap sastra itu disebabkan oleh beberapa komponen sosiologis, di antaranya situasi produksi, reproduksi, distribusi, daya beli, dan minat baca (resepsi) sastra yang masih rendah. Padahal, berbagai komponen sosiologis tersebut merupakan aspek yang memiliki peran penting dalam kehidupan dan perkembangan sastra (Escarpit, 2008). Atau, perkembangan sastra sangat ditentukan oleh berbagai komponen sosiologis tersebut, yaitu pengarang, penerbit, pengayom, dan pembaca (Tanaka, 1976). Karena itu, sekarang perlu dilakukan transformasi tatanan sastra di Indonesia (Budianta, 2008).
Sektor kreatif-produktif sebenarnya mulai terbangun dengan baik, tetapi karena sektor rekreatif-reseptif masih rendah — yang dipengaruhi juga oleh faktor sosial-ekonomi-politik-budaya—, keadaannya tetap tidak seimbang. Oleh karena itu, perlu ada pembenahan yang serius di sektor rekreatif-reseptif ini sehingga diharapkan sastra menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Pembenahan tersebut antara lain dapat dilakukan dengan cara atau upaya pemasyarakatan sastra secara intens dan sistemik. Artinya, dalam konteks tersebut perlu ada program yang bersistem dan program itu harus dijamin pula kontinyuitas atau keberlangsungannya.
Berkenaan dengan hal di atas, melalui paparan dalam tulisan ini diperkenalkan salah satu jenis kegiatan yang diberi nama Gemarame (Gemar Membaca Rajin Menulis) sebagai salah satu upaya pemasyarakatan sastra yang barangkali cukup memadai dan perlu dipraktikkan. Namun, sebelum hal tersebut dijelaskan, terlebih dahulu diuraikan beberapa upaya pemasyarakatan sastra yang telah diwacanakan dan juga telah dilakukan selama ini.
/2/
Sebenarnya usaha pemasyarakatan sastra di Indonesia sudah sering diwacanakan dan sekaligus dilakukan, tetapi sampai hari ini hasilnya tetap belum memuaskan. Beberapa upaya itu, misalnya, dilakukan melalui:
Pengkajian. Kalau ditelusuri, sampai saat ini telah ada ratusan bahkan mungkin ribuan hasil pengkajian (penelitian) sastra di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah dan swasta (perguruan tinggi, akademi, yayasan, organisasi profesi, dll.) (Soeratno, 1998). Hasil pengkajian (penelitian) itu antara lain berupa skripsi, tesis, disertasi, laporan untuk proyek, artikel untuk jurnal, dan sejenisnya. Namun, berbagai hasil pengkajian itu seolah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap karya sastra. Hal demikian barangkali akibat dari “tidak terbacanya” hasilhasil penelitian tersebut karena secara dominan hanya tersimpan rapi di perpustakaan.
Pertemuan. Kegiatan seperti diskusi, seminar, workshop, sarasehan, kongres, pertemuan ilmiah, dan pementasan sastra telah sering dilakukan di kampus-kampus, sekolah, komunitas, sanggar, dan seterusnya, tetapi usaha itu pun tampaknya hanya menjadi ajang silaturahmi sesaat yang hasilnya tidak meningkatkan jumlah masyarakat peminat karya sastra. Penyuluhan sastra kepada guru-guru bahasa juga tidak jarang dilakukan (Agusta, 1998), tetapi tampak bahwa hal itu tidak berdampak pada siswa untuk lebih aktif mengapresiasi karya sastra. Bahkan, berbagai pertemuan dan diskusi melalui berbagai model laboratorium, sanggar, atau workshop bagi siswa di sekolah juga sudah dicobapraktikkan (Endraswara, 2003), tetapi hasilnya sampai sekarang juga belum memuaskan. Terlebih lagi, berbagai model semacam itu umumnya tidak berumur panjang akibat dari ketiadaan sarana, prasarana, dan dukungan yang memadai dari civitas sekolah.
Pengajaran. Sejak SD hingga SMA seluruh siswa telah menerima pelajaran sastra (dalam pelajaran bahasa) dan mereka telah diperkenalkan karya-karya sastra Indonesia yang terbit sejak awal perkembangannnya hingga sekarang (Rahmanto, 1998). Namun, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah, yang gemar membaca karya sastra, dapat dihitung hanya dengan jari tangan. Sebagian terbesar dari mereka menganggap bahwa karya sastra hanya sebagai barang yang tidak penting bagi kehidupannya. Sementara itu, sistem pembelajaran di sekolah, termasuk pembelajaran sastra, secara periodik juga sudah dilakukan pembenahan melalui berbagai pergantian kurikulum, misalnya KBK (Mulyasa, 2002) dan terakhir KTSP. Akan tetapi, perubahan sistem tersebut ternyata tidak memiliki pengaruh yang berarti sehingga tingkat apresiasi masyarakat terhadap sastra belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Penerbitan. Di Indonesia terdapat ribuan penerbit. Akan tetapi, jumlah penerbit yang berminat menerbitkan sastra hanya beberapa gelintir saja. Alasan mereka tidak menerbitkan karya sastra adalah karena sastra tidak menjanjikan keuntungan finansial di pasar (Sumardi, 1998). Kalaupun ada beberapa penerbit yang tetap bersedia menerbitkan karya sastra, hal itu hanya semata karena dilandasi oleh idealisme tertentu saja; biasanya ini dilakukan oleh penerbit yang pemilik-(modal)-nya adalah sekaligus seniman, sastrawan, atau budayawan. Akibatnya, langsung ataupun tidak, hal ini juga berpengaruh pada sektor kreatif; karena buku tidak laku di pasaran, royalti bagi pengarang pun kemudian seret, dan ini mengurangi semangat berkarya para penulis/pengarang.
Media Massa. Koran mingguan dan majalah-majalah tertentu juga sudah sering memajang berbagai jenis karya sastra (puisi, cerpen, esai sastra, dll), tetapi yang terjadi sebagian terbesar pembaca koran dan majalah itu tidak menghiraukan karya sastra yang dipajang. Terlebih lagi, jika terjadi perubahan situasi ekonomi, tidak jarang media massa menghapus rubrik-rubrik sastra dan budaya dan menggantikannya dengan iklan-iklan. Kalaupun masih ada rubrik sastra dan budaya, yang hirau terhadap sastra di media itu umumnya hanya mereka para sastrawan dan peminat yang jumlahnya sangat terbatas. Demikian juga, radio dan televisi sudah sering menyiarkan acara sastra, tetapi umumnya acara-acara itu tidak membekas di benak dan hati pendengar (pemirsa). Apalagi saat ini radio dan televisi, terutama televisi, telah dikuasai sistem kapitalis yang lebih mengedepankan berbagai hiburan yang instan.
Pemberian Penghargaan. Penghargaan sastra sudah sering diberikan baik kepada pengarang maupun penerbit, juga kepada mereka yang telah memiliki jasa bagi dunia sastra. Bagi pengarang hal itu diharapkan dapat lebih kreatif lagi berkarya, dan bagi penerbit hal itu diharapkan dapat lebih rutin menerbitkan sastra. Namun, bertolak dari pengalaman memberikan penghargaan sastra di Yogyakarta selama 9 tahun terakhir, upaya tersebut seolah juga tidak berpengaruh apa-apa. Jumlah karya yang ditulis sastrawan dan jumlah terbitan buku sastra setiap tahun tidak mengalami peningkatan yang berarti padahal di Yogyakarta bermukim ratusan pengarang dan ada lebih dari 400 penerbit (yang tercatat sebagai anggota IKAPI hanya sekitar 90 penerbit).
Penerjemahan. Selama setahun, sebagai contoh tahun 2007, di Indonesia terbit buku sekitar 18 ribu judul. Hal ini berbeda jauh dengan di Amerika yang mencapai 600 ribu judul. Menurut laporan John MacGlynn (2008), orang Amerika yang ikut mendirikan Yayasan Lontar, dari jumlah itu hanya beberapa buku sastra saja yang diterjemahkan dan terbit di Amerika. Kendala utama sastra Indonesia tidak dikenal di luar negeri ialah karena kualitasnya jelek, ongkos penerbitan mahal, sikap pemerintah yang tidak mendukung, dan sikap orang Indonesia sendiri yang terlalu xenopobia terhadap orang asing (MacGlynn, 2008). Sebaliknya, buku-buku terjemahan dari bahasa (sastra) asing justru lebih dominan sehingga langsung atau tidak mengurangi minat baca masyarakat terhadap sastra Indonesia.
Pameran dan Bursa Buku. Pameran dan bursa buku sudah sangat sering diselenggarakan di Indonesia. IKAPI Yogyakarta, misalnya, dalam setahun bisa menyelenggarakan 6 sampai 12 kali pameran, baik regional maupun nasional. Namun, bukubuku sastra tidak menjadi favorit dalam pameran itu. Di tingkat internasional, di Frankfurt (Jerman), misalnya, penerbit Indonesia hanya menempati ruang 20 m2 dari total lokasi 164.000 m2, sementara penerbit Inggris dan Amerika menempati ruang 30.000 m2 dan Malaysia serta Singapura masing-masing 80 m2. Lagi pula, di berbagai pameran di luar negeri, buku-buku sastra Indonesia nyaris tidak ada karena terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa Inggris sangat jarang (minim).
Cara Lain-lain. Upaya lain, selain upaya di atas, yang telah dilakukan dalam rangka pemasyarakatan sastra masih cukup banyak, tetapi sebagai gambaran umum contoh di atas dianggap cukup. Intinya ialah bahwa memang antara usaha dan hasil tidak selalu identik atau sejalan, harapan sering tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga perlu ada upaya terobosan yang lebih baik agar sastra benar-benar menjadi sesuatu yang penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Bukankah karya sastra yang baik, menurut Darma (1982), selalu mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral sehingga karya sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral?
/3/
Dengan tidak mengabaikan berbagai upaya pemasyarakatan sastra seperti yang telah dijelaskan di atas, kegiatan Gemarame (Gemar Membaca Rajin Menulis) agaknya menjadi salah satu pilihan tepat bagi upaya menjadikan sastra sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia (masyarakat). Sesuai dengan namanya, yang sangat substansial dalam kegiatan ini adalah membaca dan menulis. Pada prinsipnya kegiatan jenis ini dapat dilakukan dengan sasaran siapa saja, tetapi yang paling tepat adalah untuk para siswa. Alasannya, siswa masih relatif memiliki kejernihan pikiran dan peluang untuk berkembang di (dan sekaligus menjadi penanggung jawab) masa depan.
Kegiatan jenis ini sebenarnya telah dicoba dilakukan oleh Balai Bahasa Yogyakarta dan hingga sekarang telah berlangsung hampir 20 tahun. Sementara kegiatan gemarame tersebut dinamai Bengkel Bahasa dan atau Bengkel Sastra, baik untuk bahasa dan sastra Indonesia maupun Jawa. Hanya sayangnya, dalam setahun hanya dapat dilakukan sekali (dalam 6—10 kali pertemuan setiap Minggu) dengan jumlah peserta 50—200 siswa (sesuai dengan dana yang tersedia). Dalam setiap kali pertemuan berlangsung praktik membaca dan menulis secara terus-menerus dengan seminimal mungkin teori dan semaksimal mungkin praktik. Sehari hanya memerlukan waktu sekitar 3—4 jam (pkl 09.00 hingga 12.00/13.00).
Peran tutor (pembimbing) dalam hal ini hanya membantu membuka jalan, membuka pikiran, membimbing cara membaca dan cara menangkap momen-momen kreatif atau puitik, dan setelah peserta menuangkannya ke dalam tulisan (karya), tutor bertugas memeriksa hasil karya mereka dan kemudian mendiskusikannya. Hal itu dilakukan setiap pertemuan, dari awal hingga akhir. Hasilnya ternyata cukup membanggakan. Kemudian, salah satu hasil karya mereka diantologikan dalam buku karya bersama dan diterbitkan. Selama berproses mereka dibiasakan membaca dan terus membaca yang diharapkan menjadi gemar membaca (gema), di samping terus berlatih menulis dengan harapan menjadi rajin menulis (rame).
Hanya persoalannya, kegiatan tersebut memerlukan waktu, tenaga, pikiran, dan dana (biaya) yang cukup. Oleh sebab itu, agar beban yang harus ditanggung tidak terlalu berat (besar), akan lebih cocok jika kegiatan Gemarame semacam ini diterapkan di sekolah. Metode, teknik, dan caranya pun perlu diubah dan disesuaikan. Motor penggeraknya tidak lain adalah semua guru, tidak terbatas pada guru bahasa Indonesia, dengan dukungan penuh dari kepala sekolah. Program kegiatan gemarame semacam ini perlu kesepakatan semua pihak (termasuk komite sekolah).
Berkenaan dengan hal tersebut, kiranya perlu ditiru apa yang telah dilakukan oleh Jakarta International School (JIS) di Jakarta. JIS didirikan pada tahun 1951 yang dipelopori oleh para pekerja PPB di Indonesia melalui kedutaan Inggris, Amerika, Australia, dan disusul Yugoslavia. Semula JIS bernama JES (Joint Embassy School), tetapi pada 1978 berubah menjadi JIS. Pada awalnya JIS hanya memiliki 5 orang siswa, tetapi sekarang, pada ulang tahunnya yang ke-60 (2011), telah memiliki 2400 siswa. Bahkan, sekarang JIS tidak hanya membuka kelas awal (PAUD dan SD), tetapi juga kelas menengah dan program pendidikan tinggi.
Berdasarkan laporan Taufiq Ismail, Jamal D. Rahman, dan Joni Ariadinata (Horison, Maret 2007), di JIS itu setiap kelas ratarata hanya 12 siswa. Setiap kelas dipegang oleh seorang guru (wali) kelas dan dua asisten yang bertugas mengetik dan membantu segala keperluan siswa. Menurutnya, di kelas 3 SD, dalam waktu 8 bulan setiap siswa telah membaca 120 judul buku. Judul-judul buku yang telah “diwajibkan dibaca” itu (dengan ketebalan 10 hingga 100 hlm) ditulis di white board dan dipampang di depan kelas, dan setiap hari jumlahnya terus bertambah. Selain telah membaca 120 judul, mereka rata-rata juga telah menulis 80— 100 karangan (puisi, cerpen, esai pendek, dll) yang dijilid rapi dan ditata di rak dengan identitas masing-masing.
Ketika ditanya bagaimana cara mengelola semua itu, guru kelas menjelaskan bahwa metode yang diterapkan adalah menyimak: 10 menit pagi hari sebelum pelajaran dimulai dan 10 menit saat menjelang pelajaran berakhir. Pada waktu 10 menit itu guru membacakan buku di depan kelas dan siswa menyimak dengan ikut membaca buku yang menjadi pegangan siswa. Hal itu dilakukan setiap hari, tidak bergantung apakah hari itu ada pelajaran bahasa Indonesia atau tidak. Bagi mereka semua hari harus dimulai dan diakhiri dengan membaca. Hal itulah yang menjadikan mereka akhirnya gemar membaca.
Sementara itu, dalam hal menulis, semua siswa diwajibkan menulis, yakni pada tengah hari (menjelang istirahat siang). Mereka biasanya dibagi ke dalam beberapa kelompok, karena setiap tulisan harus didiskusikan dalam kelompok. Untuk menulis ini juga tidak bergantung apakah ada mata pelajaran bahasa atau tidak, semua hari dimanfaatkan mereka untuk menulis. Oleh sebab itu, kegiatan menulis menjadi kebiasaan atau kegiatan rutin mereka. Kebiasaan demikian akhirnya juga berkembang dan terbangun di rumah.
Dapat dibayangkan betapa luas pengetahuan mereka (kelas 3 SD) yang telah membaca minimal 120 judul buku dan menulis 80 hingga 100 karangan. Hanya sayangnya, meskipun bersekolah di Jakarta, mereka bukan warga negara atau anak-anak Indonesia, melainkan anak-anak warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Dapat dibayangkan pula bagaimana hasilnya setelah mereka pulang dan membangun negaranya masing-masing. Mudah-mudahan, kita bisa memetik keuntungan karena kini JIS juga menerima siswa-siswa (anak) Indonesia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, negara model manakah yang dibangun oleh generasi-generasi cerdas seperti itu? Mungkinkah Indonesia dapat dan mampu menerapkan model pendidikan semacam itu? Jawabnya tentu mungkin. Sebab, diyakini bahwa di Indonesia masih banyak guru yang gelisah, masih banyak guru yang menyimpan kebahagiaan jika siswanya berhasil dan maju, dan masih banyak guru yang bertanggung jawab serta menyadari bahwa nasib bangsa ini kelak berada di pundak (anak-anak didik) mereka.
Persoalannya sekarang, bagaimana dengan sistem kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia? Apakah model pembelajaran (pendidikan) sebagaimana diterapkan di JIS itu dapat diterapkan pula di sekolah-sekolah kita? Jawabnya tentu dapat karena model pembelajaran dengan sistem gemarame (gemar membaca rajin menulis) itu tidak terlalu sulit diterapkan. Dapat dibayangkan betapa masa depan menjadi cemerlang jika di setiap kelas, di setiap sekolah di Indonesia, diterapkan model pembelajaran semacam itu. Dapat dibayangkan betapa indah jika semua komponen pendidikan (guru, kepala sekolah, komite, dll) mau dan berusaha menerapkan model kegiatan gemarame itu.
Sudah barang tentu, model pembelajaran semacam itu kelak tidak saja mampu menempatkan sastra sebagai bagian penting dalam kehidupan (manusia, masyarakat), tetapi juga mampu membangun manusia cerdas dan berkharakter serta mampu bersaing di tingkat global. Sebab, di dalam model pembelajaran tersebut tidak hanya tercermin tumbuhnya proses rekreatif-reseptif, tetapi juga terbangun proses kreatif-produktif, yang menjadi ciri utama kreativitas sastra. Apabila dikaitkan dengan upaya pemasyarakatan karya sastra, model kegiatan gemarame semacam tidak hanya akan menumbuhkan kegemaran membaca karya sastra, tetapi juga akan menumbuhkan kegemaran menulis karya sastra.
/4/
Kegiatan gemarame bukanlah satu-satunya model pembelajaran dan atau upaya menjadikan karya sastra (dan karya-karya lainnya) lebih memasyarakat, melainkan hanya merupakan salah satu dari sekian banyak model yang dapat ditemukan dan dikembangkan. Oleh sebab itu, model ini tidak mengklaim diri sebagai model yang terbaik. Hanya saja, untuk membuktikan apakah benar model ini mampu menciptakan generasi yang tidak hanya dapat menjadikan sastra sebagai bagian penting dalam hidupnya tetapi juga cerdas dan berkharakter, model ini perlu dicoba diterapkan di sekolah.
Pertanyaannya, guru manakah, atau sekolah manakah, yang berani mengawali dan mencoba model semacam ini? Sebagai salah satu dari sekian banyak cara atau upaya pemasyarakatan sastra, model dengan sistem ini pun agaknya masih perlu dimasyarakatkan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian guru-guru di sekolah dan diprakarsai oleh guru bahasa dan sastra.***