Ekspresi Puitis Aceh Menghadapi Musibah - L.K. Ara
oleh L.K. Ara
“Wowowo Redines Lukup Sabun kuine”. Baris ini merupakan pembuka nyanyian To’et dalam puisi yang berjudul “Redines”. Puisi ini menggambarkan tanah longsor di daerah perkebunan Lukup Sabun di dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Digambarkan dalam puisi itu, air tiba-tiba tercurah dengan deras lalu meluluh-lantakkan sekitarnya. Rumah-rumah roboh dan kebun kopi hancur. Dilukiskan juga secara detail bagaimana seorang petani Lukup Sabun ketika pulang dari kota terkejut menyaksikan bencana yang terjadi. Rumahnya hanyut, keluarga meninggal. Isyarat ini rupanya telah tergambar dalam mimpinya. Ia bersama istri naik perahu mengenakan kain putih lalu mendayung dan berputar-putar.
Penyair To’et mendendangkan puisi ini dalam bentuk seni didong, sebuah bentuk kesenian tradisi daerah Gayo. Dengan suara yang merdu, penyair kelahiran Kampong Gelelungi ini menangis panjang ketika membawakan nyanyiannya. Begitulah bait demi bait diluncurkan dalam tangis kesedihan. Namun, begitu tiba pada refrein yang dalam kesenian didong didendangkan banyak orang, suasana beralih sedikit pada suasana agak riang. To’et mempunyai tradisi yang dilakonkan sendiri ketika itu: menyanyikan puisinya dari rumah ke rumah. Gambaran bencana dilukiskan dengan ekspresi yang khas, To’et menggerakkan tangan, melenggokkan badan dari kampung ke kampung. Dalam suatu kesempatan, penyair berbadan kecil ini menyanyikan pula puisinya di Jakarta. Seperti yang dilakonkan, di kampung di Jakarta pun ia mementaskannya dari rumah ke rumah.
Begitulah ia berdendang di rumah penyair Rendra, Taufiq Ismail, PutuWijaya, dan Arifin C. Noer.
Sesuatu yang agak khas pula pada To’et dalam berdendang, ia tak membawa alat musik apa pun. Begitulah sekali waktu ketika akan tampil di rumah Aristides Katoppo, Teguh Karya yang menemaninya bertanya mengapa ia tak memakai alat musik. Mendengar itu, To’et meluncur ke ruang dapur. Ia muncul kembali dengan piring, baskom, sendok, dan gelas. Ketika berdendang To’et menggunakan “instrumen” yang baru dibawanya tadi. Kemudian, setelah beberapa minggu mentas di Jakarta, ada orang bermurah hati kepadanya memberikan hadiah akordion tua.
Ekspresi puitis Aceh yang ditampilkan To’et tentang bencana alam sebenarnya sudah lebih awal diberi semacam isyarat bahwa hutan jangan digunduli oleh penyair Sali Gobal. Dalam puisinya berjudul “Hutan (Uten)”, penyair kelahiran Kampong Kung ini menggambarkan suasana hutan. //Jatuh cabang rapuh pergi dilarikan badai/terhempas rubuh ke bumi yang rapuh patah dan patah//(detak cabang si rapuh beluh I sangkanan bade/berempastanyorku bumi si meringeberpoloken).
Simbol kehidupan manusia yang putus hubungan dengan keluarga lainnya digambarkan dengan amat sederhana, tetapi indah. Tergambar bagaimana kalau badai datang, pohon tercerabut dari akarnya, gempa menggoncang kayu perdu uyet e rengang retep jantan si kaul genyur jadi pempun gendonya menaos lagu atu taring pengalang bujur batang ari perdu deru eluh kin sapunen (Gempa menggoncang akar perdu pun renggang putus akar besar terbujur jadi tunggul dunia mencipta lakon batu jadi penghalang terbujur pohonan tinggal tangisan).
Selain pada seni didong, ekspresi puitis Aceh masih dapat ditemukan pada seni syair. Di daerah Gayo, seni syair juga cukup berkembang meski tak seluas seni didong. Dalam seni syair, yang biasa diungkapkah hal-hal berkenaan dengan agama Islam, riwayat Nabi dan para sahabat, dan juga tema budi.
Penyair religius, Tgk. Chalidin, yang juga seorang guru agama, menulis puisi tentang bencana alam gempa. Dalam puisi “Gempa”, penyair bercerita tentang bagaimana bumi berguncang bila gempa datang. Bumi dan tanahnya berguncang, alam seperti begoyang, semua jadi hiruk-pikuk. Gunung dan tebing beradu terantuk-antuk. Penyair melukiskan peringatan Tuhan seperti ini sudah sering terjadi untuk menguji iman semua makhluk, agar hati bersih di dalam badan dan jangan bercampur yang halal dan tak halal. //Allah ya Tuhanku Halikul Malik/tanah bergoncang dengan kuasa-Mu bergoncang/Gempa mengguncang menguji hati hamba/dan sang makhluk kini berbalik kepada Tuhan/Bila bumi berguncang dan berguncang/lalu cepatcepat salat/lalu teringat akan perilaku yang tak baik/Sementara itu, alam baka tampak sudah semakin dekat dan telah terbayang kuburan sudah digali//.
Pada 1999, penyair Din Saja yang juga pekerja seni, menggambarkan Serambi Mekah sebagai negeri yang kehilangan kapal, negeri yang penduduknya kehilangan rasa. Orang-orangnya saling silang sengketa dan nyawa manusia tidak ada nilainya. Din Saja menggambarkan lebih jauh, negeri Aceh kehilangan nakhoda. Untuk sebuah negeri, itu tentu sangat memilukan. Aang penyair berkata, //Aceh kehilangan jiwa/memandang Aceh/terbayang manusia/kehilangan harga//.
Nestapa yang berkepanjangan di Aceh juga digambarkan penyair wanita D. Kemalawati dalam puisinya “Kelu II”. Penyair kelahiran Meulaboh, Aceh Barat, ini menggambarkan orangorang yang meratap atau memuja sudah tidak ada artinya lagi. Di tengah kegalauan dan ketidakpastian, langkah yang diayun pun tanpa arah lagi. //Semak dan pepohonan darah/penyair yang melawan amarah//. Kegalauan dan keadaan tak menentu ini digambarkannya pula dalam puisi “Merajut Gundah Dalam Ribut Badai”. Kata si penyair, //tangan terus merajut/benang tak kunjung terkait/badai terus gemuruh/riuh tak kunjung berhenti/karam/telah karam di pusaran//.
Penyair Maskirbi dalam puisinya “Ulee Lheue” menggambarkan tak bersahabatnya lagi alam dengan manusia. Pasirpasir menjadi kering dan laut sering tak memberikan kenyamanan lagi. Laut telah berubah menjadi pencipta kegelisahan. Kata penyair yang kedua orang tuanya berasal dari Aceh Selatan ini, //melayari angin/di antara pepohonan bakau/di antara pasirpasir kering/lautnya gebalau/tak ada lagi penyeberangan itu/ dermaganya yang angkuh berkarat/seakan menenggelamkan pelabuhan/telah lenyap sebaris hikayat/dikubur ombak/lalu angin pun mabuk//.
Nestapa akibat perang digambarkan oleh penyair A.A. Manggeng dalam sejumlah puisinya. Salah satunya berjudul “Gejolak XXI” yang melukiskan penduduk negeri seperti harus mencari tempat hunian baru, sementara kampung halaman harus ditinggalkan. Dalam gaya bertanya, penyair menyebut //apakah kami harus berangkat mencari alamat baru/sementara di tempat kelahiran/kalian pisahkan persaudaraan kami//. Bukankah anak-anak yang nanti kehilangan orang tua harus tumbuh. Mereka kelak dewasa dan harus belajar. Mereka akan //membuka buku sejarah bahwa orang tuanya dihabisi/oleh peluru yang dibeli/dari hasil keringat anak-anak negeri//. Akan lebih sedih lagi bila anak negeri harus pergi dan mengalah dari kebiadaban. Bila mereka pergi akan //meninggalkan kebun-kebun airmata yang kami garap/bertahun-tahun lamanya//.
Nestapa seperti tak habis-habisnya menjadi tema untuk ekspresi puitis Aceh. Wiratmadinata, pembaca puisi dan penyair, menulis sejumlah puisi pula. Puisi “Surat XIII” menggambarkan kepedihan. Dalam gaya bertanya ia memulai baris puisinya dengan //apalagi yang harus aku serahkan/setelah segalanya/ air mata, darah dan kepedihan/tak habis-habis/tak habis-habis/ engkau meminta dan selalu kuserahkan/segala pengabdian segala kasih sayang/kesedihan untuk memberi dan berbagi/juga kesediaan untuk menerima/sekalipun ia bernama rasa sakit yang dalam//. Namun, apa yang terjadi setelah segalanya diberikan?
Rasa sakit itulah yang terus menerus tak henti-henti dikirimkan. Semua yang telah diberikan itu seperti tak memuaskan. Malah tak merasa seperti berutang budi, sedikit rasa keadilan yang sederhana pun tak diberikan. Bahkan //secuil pengertian yang bersahaja/sekedar belas kasih yang menghamba//. Puisi ini ditutup penyair dengan gaya bertanya pula, //Indonesia/ apa lagi yang harus aku berikan/setelah segalanya/setelah nyawa/setelah air mata/setelah darah/setelah kepedihan…//.
Pengalaman sebagai pekerja seni dan wartawan di Aceh ketika terjadi perlakuan tidak adil, penindasan, pemerkosaan, dan pembunuhan, serta kedekatan batin dengan masyarakat yang sedang menderita, penyair Fikar W. Eda melahirkan barisbaris yang pedih, tetapi juga mengandung protes.
Puisi-puisi yang bertema perlawanan itu dapat dilihat pada “Rencong”, “Biarkan Kami, Aceh”, dan “Seperti Belanda”. Dalam puisi “Biarkan Kami, Aceh”, Fikar mengedepankan agar mereka janganlah diganggu dengan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan dan nurani. //Jangan paksa kami minum anggur/yang memabukkan ruh dan raga kami/ jangan paksa kami membangun tenda/ di tepi-tepi jurang menganga/ yang siap menelan kami lumat//. Di bagian penutup puisi “Biarkan Kami, Aceh”, Fikar dengan ketetapan hati ingin bebas merdeka menghirup udara. Dalam keadaan demikian, ia dapat membina dan mencipta apa yang diinginkan yakni kedamaian dan cinta.
Keprihatinan dan sekaligus kemarahan penyair pada ketidakadilan penindasan dan pemerkosaan tampak pada puisi berjudul “Seperti Belanda”. Mula-mula, ia membayangkan bagaimana sifat yang licik dan penuh taktik yang pernah dilakukan oleh si penjajah Belanda terhadap Indonesia.
Kemudian, ternyata polah yang sama juga dilakukan oleh oknum suatu rezim berkuasa di Jakarta pada zaman kemerdekaan. Kata Fikar, //seperti belanda mereka suguhi kami anggur hingga kami mendengkur lalu dengan leluasa mengeruk perut kami gas alam, minyak, emas, hutan sampai akar rumput bumi seperti belanda mereka pun menghunus sangkur dengan senapan siap tempur rumahrumah digempur masjid, meunasah dibuat hancur//. Bahkan melebihi Belanda si penjajah, oknum tersebut di mata Fikar ternyata lebih kotor. Kata si penyair, //melebihi belanda/mereka perkosa istri-istri kami/ mereka tebas leher putera-puteri kami/ mereka bunuh harapan dan cita-cita kami. Puisi perlawanan ini ditutup dengan dua baris yang menonjok hidung, melebihi belanda/itulahjakarta//.
Ekspresi puitis Aceh tak hanya bercerita tentang kepedihan, kenestapaan, dan ketidakadilan, tetapi juga sampai pada penyerahan diri pada Sang Pencipta. A.A. Manggeng dalam puisi “Pengembara” memulai baris puisinya, //Tuhan/bawalah jiwaku dalam sungaiMu/hanyut dalam arus tenang dan bergelombang/singgahkanaku pada tebing-tebing rerumputan/agar aku bisa rebahkanletihku dalam embun maafMu//.***