Dari Hikayat ke Puisi - Ary Sastra
:Analisis Intertekstualitas Puisi “Jebat” karya Rida K. Liamsi
oleh Ary Sastra
Nama Hang Jebat bagi masyarakat Melayu tentulah tidak asing lagi. Tokoh yang sudah melegenda dalam Hikayat Hang Tuah ini, ternyata di tangan Rida K. Liamsi menjadi berbeda. Dalam puisinya, berjudul “Jebat” dalam buku kumpulan puisi Rose, Rida K. Liamsi tidak lagi mempersoalkan tentang perseteruan antara Hang Tuah dan Hang Jebat. Di tangan Rida K. Liamsi, Jebat hanyalah sebagai media instrospeksi diri, kesadaran bangsa Melayu atas eksistensinya selama ini.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan Rida K. Liamsi dalam pandangan sastra perbandingan adalah sesuatu yang wajar. Mazhab ini berpendapat, tidak satu pun karya sastra di dunia ini yang betul-betul murni. Sebuah karya sastra lahir, pastilah ada pengaruh dari karya lain, baik itu dilakukan secara sadar atau tidak oleh penulisnya. Pengaruh tersebut bisa saja dalam bentuk formal, seperti tokoh, alur, latar, atau dalam bentuk abstrak, ide, maupun wacana suatu teks yang meresap ke dalam teks lain.
Jelas, antara puisi “Jebat” Rida K. Liamsi dan tokoh Hang Jebat dalam Hikayat Hang Tuah mempunyai hubungan secara interteks. Namun, dalam hubungan interteks tersebut telah terjadi modifikasi yang berupa pengubahan, penyesuaian, perbaikan, dan pelengkapan terhadap teks yang ditransformasikan.
Artinya, Rida K. Liamsi tidak semata-mata mengadopsi tokoh Hang Jebat. Namun, Rida K. Liamsi secara piawai telah mentransformasikannya dalam nilai-nilai kekinian, termasuk sikap dan pandangannya terhadap eksistensi bangsa Melayu itu.
Pada tiga baris bait pertama puisinya, Rida K. Liamsi tetap menggambarkan konflik antara Hang Tuah dan Hang Jebat. Namun, Rida K. Liamsi seolah mempertanyakan pembunuh Hang Jebat. Padahal, dalam hikayat jelas diceritakan bahwa Hang Jebat mati dibunuh oleh Hang Tuah, sahabatnya sendiri.
Telah kau hunus keris
telah kau tusuk dendam
telah kau bunuh dengki,
tetapi siapakah yang telah mengalahkan mu
telah kau tusuk dendam
telah kau bunuh dengki,
tetapi siapakah yang telah mengalahkan mu
Kemudian pada bait selanjutnya, tergambar sikap dan pandangan Rida K. Liamsi sebagai orang Melayu yang hidup pada masa kekinian.
Kami hanya menyaksikan luluh rasa murka mu
celup cuka cemburu mu
kubur rasa cinta mu
di bayang-bayang harimu
Kami hanya menyaksikan waktu menghapus jejak darah mu
angin menerbangkan setanggi mimpimu
ombak menelan jejak nisan mu
di balik cadar mimpi-mimpi mu.
Bahkan, setelah
Kami semua telah mengasah keris
telah menusuk dendam
membunuh dengki meruntuhkan tirani
sekalipun. Oleh karena itu, dalam ketidaktahuannya,
masyarakat pun bertanya
Tapi siapa yang telah mengalahkan kami
menumbuhkan khianat
melumatkan sesahabat
mempusarakan sesaudara.
Menurut Rida K. Liamsi, pemberontakan yang dilakukan Jebat terhadap raja adalah perbuatan yang sia-sia, tidak mendatangkan manfaat.
Menurut Rida K. Liamsi, pemberontakan yang dilakukan Jebat terhadap raja adalah perbuatan yang sia-sia, tidak mendatangkan manfaat.
Kami hanya menyaksikan
waktu yang berhenti bertanya
waktu yang berhenti bertanya
sejarah yang berhenti ditulis
kita hanya membangun sebuah arca
kita hanya membangun sebuah arca
Pada bait penutup pusinya jelas tergambar kekhawatiran Rida K. Liamsi terhadap perkembangan budaya etnis Melayu, membangun arca, yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
Apa yang telah dilakukan Rida K. Liamsi dalam puisi “Jebat” dan hubungan dengan Hikayat Hang Tuah merupakan bagian dari upaya transformasi nilai-nilai tradisi masyarakat Melayu. Menurut pandangan kaum intertekstualitas, transformasi itu dapat dijelaskan secara estetis, ideologis, dan kultural.
Secara estetis, perubahan tersebut terjadi apabila ungkapan estetis yang dominan dianggap tidak lagi memadai atau dianggap usang. Adanya eksplorasi estetis dan interpretasi baru yang berbeda ini memunculkan inovasi untuk pencapaian estetis tertentu. Adapun dari segi ideologis, perubahan itu terjadi apabila bentuk yang sudah ada perlu diubah karena tidak sejalan lagi ideologi yang dianut. Ideologi dalam pengertian ini meliputi nilai, norma, filsafat, kepercayaan, religi, sentimen, etos, atau wawasan tentang dunia.
Persoalan transformasi sebagai wujud dari sambutan teks seperti yang dikemukakan di atas, sesungguhnya, sejalan dengan gagasan kaum intertekstualitas. Intertekstualitas adalah himpunan atau kombinasi berbagai teks dalam sebuah teks. Dalam keadaan tertentu, hasil karya yang ditulis itu melahirkan lagi sebuah genre atau bentuk yang baru.
Bentuk baru itu mungkin merupakan percobaan atau eksperimen penyambutnya dalam menghasilkan karya yang berbeda dari apa yang pernah ditulis pengarang sebelumnya. Sebuah karya sastra menjadi dasar intertekstualitas karena karya sastra itu pada prinsipnya tidak pernah hanya mempunyai makna yang satu, tetap, dan tidak berubah. Dengan demikian, kajian intertekstualitas bukan saja memberi makna yang berbeda, tetapi dapat juga melahirkan makna baru.****