Singkat Memikat, Sedikit Banyak - Sofyan RH. Zaid
(Seni Konversi Teks Sejarah ke Naskah Monolog)
oleh Sofyan RH. Zaid
Pengantar
Menonton pertunjukan panggung atau pentas merupakan tradisi masyarakat nusantara sejak awal. Kita mengenal beberapa jenis seni panggung tradisi, seperti lundruk, topeng, wayang, dan lain sebagainya. Belakangan kita juga mengenal seni pertunjukan lain, semisal drama, teater, dan juga monolog. Semua jenis pertunjukan tersebut masuk pada kategori seni peran atau lakon.
Setiap seni pertunjukan di atas panggung, misalnya monolog, selalu dimulai dari tulisan yang disebut naskah, yakni teks yang menjadi dasar pertunjukan. Naskah ditulis oleh seorang penulis yang ahli di bidangnya. Naskah tidak serta merta menjadi pertunjukan dengan sendirinya, ia membutuhkan seorang sutradara. Bagaimana menerjemahkan teks naskah ke dalam pertunjukan di atas panggung, itulah tugas sutradara. Terkadang, penulis naskah dan sutradara adalah orang yang sama.
Dari mana seorang penulis naskah menuliskan naskahnya? Dia bisa mendapat sumber inspirasi dari mana saja sesuai tema yang ingin diangkatnya. Bisa dari masalah pribadi dan orang lain, bisa juga dari alam dan kehidupan sehari-hari, bisa dari buku dan naskah yang telah ada, atau juga dari teks sejarah. Menulis naskah monolog dari teks sejarah berarti mengubah bentuk teks ke bentuk teks yang lain. Proses perubahan itulah yang disebut konversi.
Pengertian
Apa itu konversi? Anda masih ingat program pemerintah ‘konversi dari kompor minyak tanah ke gas’? Konversi adalah perubahan sesuatu ke sesuatu yang lain, baik bentuk atau sistemnya.
Apa itu teks sejarah? Teks sejarah adalah informasi berbasis data dan fakta tentang suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau dan memiliki nilai kesejarahan. Dari teks sejarah inilah kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah untuk menempuh kehidupan yang lebih baik.
Apa pula itu monolog? Monolog secara bahasa berasal dari kata bahasa Yunani, yakni ‘mono’ (sendiri), dan ‘logos’ (ilmu). Ada juga yang mengatakan bahwa monolog berasal dari kata ‘mono’ (sendiri) dan ‘legein’ (berbicara). Namun apapun itu, monolog secara istilah bisa disebut ‘ilmu cara berbicara sendiri’.
Monolog dalam konteks seni peran merupakan pertujukan solo (tunggal) seorang aktor yang memerankan satu atau lebih karakter. Monolog pada dasarnya adalah memadukan antara ‘suara’ dan ‘gerak’ sendirian di hadapan banyak orang sebagai penonton untuk memberikan ‘hiburan pencerahan’.
Sejarah Monolog
Monolog diperkenalkan pertama kali di Hollywood pada tahun 1964. Saat itu, produser belum mengenal tehnik dubbing atau pengisian suara dalam produksi film atau acara televisi. Seorang aktor harus berlatih berbicara sendiri secara langsung dengan gerak, suara, dan emosi yang berubah-ubah sebelum melakukan syuting, misalnya sebuah film. Cara seperti itu, dikenal dengan istilah monolog. Charlie Chaplin merupakan salah satu tokoh yang dikenal sebagai pioner monolog di dunia.
Namun sumber lain menyebutkan, mislanya Encyclopædia Britannica (1998), monolog merupakan istilah untuk menyebut seseorang yang berpidato panjang dalam pertunjukan teater, baik menjelaskan sejumlah karakter tokoh, atau sekadar salam pembuka pada penonton sebagaimana MC di awal acara.
Monolog terus berkembang sebagai seni peran tersendiri sampai ke Indonesia. Tidak ada catatan yang final, siapa yang menjadi pioner monolog di Indonesia. Akan tetapi kita megenal sejumlah tokoh monolog, seperti Putu Wijaya, Butet Kertajasa, Afrizal Malna, Naning Pranoto, dan sebagainya.
Cara Konversi
Mengkonversi teks sejarah menjadi naskah monolog adalah menceritakan ulang sejarah melalui monolog berdasarkan gaya dan bahasa tersendiri. Bahasa teks sejarah berbeda dengan bahasa naskah monolog. Teks sejarah –misalnya- dituliskan secara panjang lebar dan rinci, sedangkan naskah monolog ditulis secara singkat, tetapi memikat. Bagaimana cara mengorvensi teks sejarah menjadi naskah monolog? Berikut persiapan yang harus dilakukan:
1. Tentukan teks sejarah mana yang ingin Anda konversi, misalnya surat-surat R.A. Kartini;
2. Bacalah dengan saksama teks sejarah tersebut sampai Anda benar-benar paham;
3. Tandai atau catat hal-hal penting dari teks tersebut, misalnya: surat itu ditujukan kepada siapa? Dalam rangka apa surat itu ditulis? Apa isi suratnya? Tanggal berapa surat itu ditulis?
Ketika Anda mencatat hal-hal penting dari surat tersebut, cobalah mencari tahu melalui berbagai sumber yang ada, baik buku atau internet:
1) Siapa orang yang dituju Kartini dalam surat tersebut?
2) Apa rangka surat tersebut, balasan atau surat pertama?
3) Apa inti isi surat tersebut dan kaitannya dengan peristiwa sekarang?
4) Pada tanggal surat ditulis, peristiwa apa yang sedang terjadi di wilayah Kartini atau wilayah orang yang dituju?
Setelah itu, mulailah Anda menulis naskah monolog dengan memperhatikan beberapa hal:
1. Naskah monolog adalah menceritakan kembali isi teks sejarah, misalnya surat Kartini.
2. Bila terdapat tokoh atau penulis surat, seperti Kartini, Anda bisa ganti dengan kata ganti orang pertama; aku atau saya.
3. Anda boleh menyebut nama orang yang dituju Kartini dalam surat tersebut secara jelas.
4. Bahasa yang digunakan dalam menulis naskah monolog, haruslah bahasa yang bisa dimengerti oleh penonton, misalnya bahasa Indonesia.
5. Naskah monolog harus ditulis sesingkat mungkin. Singkat, tetapi memikat. Sedikit, tetapi bermakna banyak.
6. Anda boleh mengubah ejaan lama ke ejaan yang baku sesuai PUEBI.
7. Struktur naskah monolog secara sederhana terdiri dari intor (awal), inti (tengah), dan ending (akhir). Intro berfungsi untuk menarik perhatian penonton, inti berfungsi sebagai fokus utama penampilan, dan ending berfungsi sebagai kesan terakhir yang mendalam, atau bisa juga disebut klimaks.
Fungsi Monolog
Apa fungsi monolog sebagai seni peran? Monolog setidak-tidaknya memiliki dua fungsi utama, yakni (a) bagi aktor, ia bisa menjadi proses katarsis atau proses pembersihan diri dari hal-hal negatif di dalam diri melalui pelepasan emosi suara dan gerak; (b) bagi penonton, ia bisa menjadi hiburan yang mencerahkan dengan memperoleh wawasan baru atas suatu hal atau berakhir sebagai renungan hidup. Akan tetapi, monolog juga berfungsi sebagai sarana menyampaikan kritik terhadap suatu target, atau propaganda politik.
Penutup
Pertunjukan monolog termasuk seni peran dan pertunjukan, tetapi penulisan naskah monolog merupakan bagian dari karya sastra. Itu sebabnya, naskah monolog harus memperhatikan kaidah sastra, yaitu indah dan bermanfaat. Penulisan sastra itu sendiri menurut Melani Budianta, bisa menyelamatkan remaja dari pendidikan buruk.
Bekasi, 17 April 2019
___
Disampaikan pada Workshop Reusing dan Writing: Surat-Surat Kartini menjadi Monolog, Maura – Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Utara, Aula Sudin PKJU, 18 April 2019, 09.00 – 14.00 WIB
oleh Sofyan RH. Zaid
“Memahami orang lain adalah kebijaksanaan,
memahami diri sendiri adalah pencerahan.”
Lao-Zu
Pengantar
Menonton pertunjukan panggung atau pentas merupakan tradisi masyarakat nusantara sejak awal. Kita mengenal beberapa jenis seni panggung tradisi, seperti lundruk, topeng, wayang, dan lain sebagainya. Belakangan kita juga mengenal seni pertunjukan lain, semisal drama, teater, dan juga monolog. Semua jenis pertunjukan tersebut masuk pada kategori seni peran atau lakon.
Setiap seni pertunjukan di atas panggung, misalnya monolog, selalu dimulai dari tulisan yang disebut naskah, yakni teks yang menjadi dasar pertunjukan. Naskah ditulis oleh seorang penulis yang ahli di bidangnya. Naskah tidak serta merta menjadi pertunjukan dengan sendirinya, ia membutuhkan seorang sutradara. Bagaimana menerjemahkan teks naskah ke dalam pertunjukan di atas panggung, itulah tugas sutradara. Terkadang, penulis naskah dan sutradara adalah orang yang sama.
Dari mana seorang penulis naskah menuliskan naskahnya? Dia bisa mendapat sumber inspirasi dari mana saja sesuai tema yang ingin diangkatnya. Bisa dari masalah pribadi dan orang lain, bisa juga dari alam dan kehidupan sehari-hari, bisa dari buku dan naskah yang telah ada, atau juga dari teks sejarah. Menulis naskah monolog dari teks sejarah berarti mengubah bentuk teks ke bentuk teks yang lain. Proses perubahan itulah yang disebut konversi.
Pengertian
Apa itu konversi? Anda masih ingat program pemerintah ‘konversi dari kompor minyak tanah ke gas’? Konversi adalah perubahan sesuatu ke sesuatu yang lain, baik bentuk atau sistemnya.
Apa itu teks sejarah? Teks sejarah adalah informasi berbasis data dan fakta tentang suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau dan memiliki nilai kesejarahan. Dari teks sejarah inilah kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah untuk menempuh kehidupan yang lebih baik.
Apa pula itu monolog? Monolog secara bahasa berasal dari kata bahasa Yunani, yakni ‘mono’ (sendiri), dan ‘logos’ (ilmu). Ada juga yang mengatakan bahwa monolog berasal dari kata ‘mono’ (sendiri) dan ‘legein’ (berbicara). Namun apapun itu, monolog secara istilah bisa disebut ‘ilmu cara berbicara sendiri’.
Monolog dalam konteks seni peran merupakan pertujukan solo (tunggal) seorang aktor yang memerankan satu atau lebih karakter. Monolog pada dasarnya adalah memadukan antara ‘suara’ dan ‘gerak’ sendirian di hadapan banyak orang sebagai penonton untuk memberikan ‘hiburan pencerahan’.
Sejarah Monolog
Monolog diperkenalkan pertama kali di Hollywood pada tahun 1964. Saat itu, produser belum mengenal tehnik dubbing atau pengisian suara dalam produksi film atau acara televisi. Seorang aktor harus berlatih berbicara sendiri secara langsung dengan gerak, suara, dan emosi yang berubah-ubah sebelum melakukan syuting, misalnya sebuah film. Cara seperti itu, dikenal dengan istilah monolog. Charlie Chaplin merupakan salah satu tokoh yang dikenal sebagai pioner monolog di dunia.
Namun sumber lain menyebutkan, mislanya Encyclopædia Britannica (1998), monolog merupakan istilah untuk menyebut seseorang yang berpidato panjang dalam pertunjukan teater, baik menjelaskan sejumlah karakter tokoh, atau sekadar salam pembuka pada penonton sebagaimana MC di awal acara.
Monolog terus berkembang sebagai seni peran tersendiri sampai ke Indonesia. Tidak ada catatan yang final, siapa yang menjadi pioner monolog di Indonesia. Akan tetapi kita megenal sejumlah tokoh monolog, seperti Putu Wijaya, Butet Kertajasa, Afrizal Malna, Naning Pranoto, dan sebagainya.
Cara Konversi
Mengkonversi teks sejarah menjadi naskah monolog adalah menceritakan ulang sejarah melalui monolog berdasarkan gaya dan bahasa tersendiri. Bahasa teks sejarah berbeda dengan bahasa naskah monolog. Teks sejarah –misalnya- dituliskan secara panjang lebar dan rinci, sedangkan naskah monolog ditulis secara singkat, tetapi memikat. Bagaimana cara mengorvensi teks sejarah menjadi naskah monolog? Berikut persiapan yang harus dilakukan:
1. Tentukan teks sejarah mana yang ingin Anda konversi, misalnya surat-surat R.A. Kartini;
2. Bacalah dengan saksama teks sejarah tersebut sampai Anda benar-benar paham;
3. Tandai atau catat hal-hal penting dari teks tersebut, misalnya: surat itu ditujukan kepada siapa? Dalam rangka apa surat itu ditulis? Apa isi suratnya? Tanggal berapa surat itu ditulis?
Ketika Anda mencatat hal-hal penting dari surat tersebut, cobalah mencari tahu melalui berbagai sumber yang ada, baik buku atau internet:
1) Siapa orang yang dituju Kartini dalam surat tersebut?
2) Apa rangka surat tersebut, balasan atau surat pertama?
3) Apa inti isi surat tersebut dan kaitannya dengan peristiwa sekarang?
4) Pada tanggal surat ditulis, peristiwa apa yang sedang terjadi di wilayah Kartini atau wilayah orang yang dituju?
Setelah itu, mulailah Anda menulis naskah monolog dengan memperhatikan beberapa hal:
1. Naskah monolog adalah menceritakan kembali isi teks sejarah, misalnya surat Kartini.
2. Bila terdapat tokoh atau penulis surat, seperti Kartini, Anda bisa ganti dengan kata ganti orang pertama; aku atau saya.
3. Anda boleh menyebut nama orang yang dituju Kartini dalam surat tersebut secara jelas.
4. Bahasa yang digunakan dalam menulis naskah monolog, haruslah bahasa yang bisa dimengerti oleh penonton, misalnya bahasa Indonesia.
5. Naskah monolog harus ditulis sesingkat mungkin. Singkat, tetapi memikat. Sedikit, tetapi bermakna banyak.
6. Anda boleh mengubah ejaan lama ke ejaan yang baku sesuai PUEBI.
7. Struktur naskah monolog secara sederhana terdiri dari intor (awal), inti (tengah), dan ending (akhir). Intro berfungsi untuk menarik perhatian penonton, inti berfungsi sebagai fokus utama penampilan, dan ending berfungsi sebagai kesan terakhir yang mendalam, atau bisa juga disebut klimaks.
Fungsi Monolog
Apa fungsi monolog sebagai seni peran? Monolog setidak-tidaknya memiliki dua fungsi utama, yakni (a) bagi aktor, ia bisa menjadi proses katarsis atau proses pembersihan diri dari hal-hal negatif di dalam diri melalui pelepasan emosi suara dan gerak; (b) bagi penonton, ia bisa menjadi hiburan yang mencerahkan dengan memperoleh wawasan baru atas suatu hal atau berakhir sebagai renungan hidup. Akan tetapi, monolog juga berfungsi sebagai sarana menyampaikan kritik terhadap suatu target, atau propaganda politik.
Penutup
Pertunjukan monolog termasuk seni peran dan pertunjukan, tetapi penulisan naskah monolog merupakan bagian dari karya sastra. Itu sebabnya, naskah monolog harus memperhatikan kaidah sastra, yaitu indah dan bermanfaat. Penulisan sastra itu sendiri menurut Melani Budianta, bisa menyelamatkan remaja dari pendidikan buruk.
Bekasi, 17 April 2019
___
Disampaikan pada Workshop Reusing dan Writing: Surat-Surat Kartini menjadi Monolog, Maura – Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Utara, Aula Sudin PKJU, 18 April 2019, 09.00 – 14.00 WIB