Merah Yang Meremah: Antara Puisi Sekadar dan Puisi - Sutan Iwan Soekri Munaf
Oleh Sutan Iwan Soekri Munaf
Aku telah sodorkan pengertian
penyair (bagiku), dan beberapa tahun lalu dimuat di Pikiran Rakyat. Penyair Itu Binatang Apa? Itulah
judulnya. Di sana ada batasan-batasan penyair yang kumaksudkan. Jelas bukan kucing buduk dan bukan pula
binatang
jalang. Dan yang jelas, penyair itu bukan binatang, sayang. Kamu boleh bilang
kucing itu binatang. Dan binatang jalang adalah masa lalu, yang terkubur di buku
cetak-buku cetak. Kini, penyair itu produsen dan produknya adalah syair alias
puisi alias sajak.
jalang. Dan yang jelas, penyair itu bukan binatang, sayang. Kamu boleh bilang
kucing itu binatang. Dan binatang jalang adalah masa lalu, yang terkubur di buku
cetak-buku cetak. Kini, penyair itu produsen dan produknya adalah syair alias
puisi alias sajak.
Kemudian : ... Penyair merupakan profesi. Dan selain sebagai produsen, seyogianya
dia itu adalah investor. .....Penyair tak memiliki, maka berhentilah sebagai
penyair. Penyair
harus memiliki. Dengan kepemilikannya, penyair dapat melakukan investasi yang
pada gilirannya akan melahirkan produknya, tentu ujung-ujungnya akan
melipatgandakan kepemilikannya, dan akan memberi manfaat bagi dirinya dan atau
kepada orang lain.
harus memiliki. Dengan kepemilikannya, penyair dapat melakukan investasi yang
pada gilirannya akan melahirkan produknya, tentu ujung-ujungnya akan
melipatgandakan kepemilikannya, dan akan memberi manfaat bagi dirinya dan atau
kepada orang lain.
Dan : Penyair yang investor punya portofolio investasinya. Boleh saja
kepemilikannya dia letupkan pada puisi-puisi cinta, misalnya. Lain kali pada
puisi-puisi jenis lainnya. Atau boleh saja penyair yang investor akan
menginvestasikan kepemilikannya pada puisi realis, atau puisi postmodernisme,
atau bentuk lainnya.
http://groups.yahoo.com/group/sastera_sarawak/message/1556
Penyair yang merupakan produsen puisi,
maka dia harus memproduksi puisi. Saat memproduksi puisi, ada yang jadi, ada yang cacat, dan ada yang
gagal. Sebagai produsen yang baik dan memperhatikan pengawasan kualitas
(quality control), maka yang cacat (aku lebih suka menyebutnya puisi setengah
jadi) dan yang gagal (aku lebih suka menyebut puisi yang bukan puisi) tidak
akan dipasarkannya. Artinya, dia akan dikuburkan atau dia reka ulang, sehingga
dia akan lahirkan puisi jadi yang lulus pengawasan kualitas (kendali mutu),
tentu bisa masuk ‘pasar’ atau dipublikaskan.
Kelahiran puisi itu hasil
‘persetubuhan’ perasaan, pengalaman, pemikiran, pengetahuan, penglihatan,
pengamatan dari penyair, yang menghasilkan suatu pesan atau gagasan, yang
kemudian dengan bahan baku kata, dituliskannya dengan puitikal.
Ya. Tentu berbeda puisi dengan
prosa, kendati genre ini sulit
dipisahkan. Misalnya pada karya Sapardi Djoko Damono. Lantas, jadi apa puisi
itu?
Ada seseorang mengatakan, tuliskan satu kata pada masing-masing
kertas. Boleh jadi ada seratus kata. Kemudian kertas itu masing-masing
digulung. Dan dikocok seperti dalam arisan. Lantas, setiap kata yang keluar
dituliskan di selembar kertas. Setelah semua kertas keluar dan dituliskan, maka
jadilah puisi, kata orang itu.
Betulkah itu puisi? Betapa gampangnya menulis puisi. Tapi, apa betul itu puisi?
Boleh jadi ya, boleh jadi tidak,
kataku.
Namun bahan baku kata memang tak
dapat dilepaskan dari puisi. Kata bagi penyair seperti
tanah lempung bagi pematung. Pematung yang sudah akrab dengan tanah lempung,
maka dia dapat melekuk-lekukan tanah lempung itu, sesuai gerak rasanya, untuk
menghasilkan karya patung yang indah.
Begitu juga kata bagi penyair. Kata
harus jinak, sehingga penyair dapat menggembalakan kata-kata agar menjadi alat
penyampaian pesan dan gagasannya!
Tahap selanjutnya, bahasa dalam
puisi cenderung menggetarkan kepuitikalan, sebagaimana dinyatakan di atas.
Getar kepuitikalan itu, seperti idiom ‘keroncongan’
cenderung puitikal dibanding mengatakan sudah
lapar. Atau juga seorang lelaki mengatakan pada seorang perempuan: Aku cinta padamu. Terasa biasa saja. Dan
getar puitik terasa manakala pemuda itu menyerahkan setangkai mawar merah
kepada perempuan itu, untuk menyatakan rasa hatinya.
Dalam menyampaikan ungkapan-ungkapan
yang puitis, cenderung penyair menggunakan citra atau lambang-lambang. Biasanya
lambang yang telah dikenal masyarakat banyak. Misalnya: Aku merenangi hidup. Bukanlah tokoh aku berenang seperti di kolam
renang atau di sungai atau pun di pantai. Namun dia menjadikan ungkapan merenangi untuk menyatakan proses
hidupnya.
Kebanyakan penyair melupakan hal
mendasar ini, terutama ketika dia mementingkan pesan. Seyogianya hal mendasar
ini harus menyatu dalam jiwa penyair, sehingga akan meluncur begitu saja
pencitraan atau lambang yang melahirkan puitis.
Aku petikkan satu tulisan seorang
kawan di facebook:
rasa sesal senantiasa menggelayut di benang angan
mengapa biarkan diri hanyut terlalu jauh
mengejar mimpi yang tak pasti, memburu fatamorgana
hingga perjalanan waktu merejam dan menggiring jiwa
pada nikmat duniawi nan bermuara pada kesia-sian
dalam menggapai ridho-Mu ... ya Rahman
Kita coba ungkapan yang kuberi bold pada
petikan puisi tersebut. Penyair ini mencoba masuk ke arah pencitraan. Dia
gunakan lambang-lambang. Namun penyair ini tak konsisten. Di lain baris dia
pakai kata lambang gelayut yang
sepadan dengan benang. Pada lain
baris lagi dia pakai hanyut; pada baris
lainnya mengejar dan memburu; mau pun perjalanan, merejam, menggiring, bermuara serta menggapai.
Apakah ini puisi? Sah-sah saja bila
orang mengatakan puisi. Namun sebagai pembaca, aku melompat-lompat pada enam
baris sajak itu. Imaji baris pertama sampai dengan ke enam memaksa aku untuk
berjumpalitan. Lain lagi bila penyair konsisten dalam perlambangannya, maka
akan mudah bagi pembaca masuk ke dalam puisi dan lebih nyaman menikmati puisi.
Kendati begitu, pembaca ikut
menentukan puisi itu ‘berbicara’ kepada dirinya. Paling tidak, jika kita percaya pada pendapat Sapardi Djoko Damono
bahwa membaca karya sastra sepenuhnya tergantung dari pembacanya. (Bakdi
Sumanto: SAPARDI DJOKO DAMONO KARYA DAN DUNIANYA, Grasindo, Jakarta, 2006:
vii). Tentu, pembaca yang mempunya latar pengalaman, latar pengetahuan, latar
perasaan dan sebagaiya; ikut menentukan komunikatifnya sebuah pesan pada puisi
yang ditulis penyair.
Dan di hadapanku ada 100 pusi dari sepuluh penyair
yaitu Faradina Idzhihary, Dewi Maharani, Helga Worotijan, Nona Muchtar, Kwek Li
Na, Pratiwi Setyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K dan Weni Suryandari.
Dan mereka mengaku sbagai facebooker, kendati ada yang sudah punya latar
penulis sebelum jadi facebooker.
Cukup menarik peryataan Kurniawan Junaedhie yang
memilih, dan mengeditori buku kumpulan yang diberi tajuk Merah Yang Meremah. Jika
Chairil Anwar mengatakan, ‘yang bukan penyair tidak boleh ambil bagian’
dijadikan acuan, maka saya kira, kita pun boleh saja berpendapat: ‘yang bukan
penyair juga boleh ambil bagian’. Hemat saya, biarlah mereka’ yang bukan
penyair’ ini ambil bagian, agar taman kesusastraan Indonesia lebih colorfull.
(Merah Yang Meremah, iv). Sah saja pendapat Kurniawan ini.
Bahkan Kurniawan mengatakan: Tapi benarkah mereka bukan
penyair? Bagi mereka sendiri, sebutan penyair atau bukan penyair, tampaknya
bukan perkara yang penting benar. Bahkan sedikit pun saya tidak melihat niat
mereka untuk membuat angkatan tersendiri, boro-boro menyerang Sastra Koran
(Merah Yang Meremah, iv). Jadi para penyair ini
tidak peduli apakah mereka disebut penyair atau tidak. Namun sayangnya,
Kurniawan kurang jeli sebagai pengamat sastra maya, karena dalam catatan
kakinya: Pada tahun 2001 muncul Cybersastra, situs online yang menampilkan
puisi, dengan tokoh-tokohnya antara lain Medy Loekito, Ahmadun Yosi Herfanda
dll.(Merah Yang Meremah, iv). Dalam hal ini, sepanjang
sepengetahuanku, Ahmadun Yosi Herfanda, yang Redaktur Harian Republika, disebut
sebagai tokoh Cybersastra. Sampai dengan ‘matinya’ Cybersastra.net, karena
situs itu tak ada yang mengurusinya lagi, setelah aktivisnya punya kesibukan
masing-masing, nama Ahmadun tidak termasuk tokoh Cybersastra.net. Ini Cuma
koreksi!
Kemudian Kurniawan memberikan alasannya tentang mengapa dia menyebut
sepuluh perempuan ini penyair. : Penilaian
saya sendiri praktis-praktis saja: pertama, sebutan penyair adalah sebutan yang
pas untuk mereka yang menulis syair, dan kedua, ke-10 teman ini sudah
jelas-jelas menulis puisi, bukan cerpen atau wartaberita. (Merah Yang
Meremah, v). Padahal dalam bacaanku, sepuluh permpuan ini tidak menulis syair
yang belakangnya aaaa… Namun
kesepuluh orang ini mencoba menulis puisi.
Aku mencoba masuk ke puisi-puisi mereka.
Sebelumnya ingin kupetik pendapat Robert Frost : ...A poem begins with a hump in the throat, a homesickness or a
lovesickness. It is a reaching-out toward expression; an effort in find
fulfiment. A complete poem is one where an emotion has found in thought and the
thought has found the words ... My
definition of poetry (if I were to give one) would be this: words that have
become deeds...(Robert Frost A Collection of Critical essays, editor James
M Cox, Prentice-Hall, Englewood Clifs, NJ, 1962: 16).
Aku merasakan puisi kesepuluh penyair ini,
membenarkan tentang apa yang dikatakan Frost saat kebrangkatan sseorang ingin
menulis puisi. Namun seringkali keinginan itu tak diikuti pernyataan Frost : A complete poem is one where an emotion has
found in thought and the thought has found the words. Hal mana melahirkan
: words
that have become deeds..
Hal ini, umumnya karena pemahaman hal-hal mendasar
tentang puisi tak mereka dapatkan. Bahkan tak aneh jika Ahmadun Yosi Herfanda
mengatakan: “Menulis puisi tanpa
orientasi kesusastraan -- tanpa pretensi untuk menjadi penyair atau mencapai prestasi
estetik yang tinggi -- tentu akan lebih banyak melahirkan sajak-sajak yang
bersahaja,
ala kadarnya, yang 'pokoknya puisi' – yang kadang-kadang gagap dalam
pengucapan.” (Merah Yang Meremah,
vi)
Kita simak karya Faradina Idzhihary.
TENTANG KAU DI HATIKU
lelakiku....
sudah
lama aku ingin ceritakan
tentang
sebuah ladang yang kau cipta di hatiku
ladang
itu kini merimbun
setiap
kau tatap mataku
bunganya
bermekaran
buahnya meranum hingga
melandai ke tanah
namun, tanganmu dengan kukuh
menjaganya
agar tak runtuh
sebab buah dan bunga
terlalu penuh
lelakiku....
aku tak tahu apakah kau
menyadari
bahwa senyum yang kau beri
setiap saat
hangat yang kau dekapkan
pada dadaku yang sering
kerontang
menyuburkan lahan di hatiku
menuaikan mimpi-mimpi manis
meski ketika gerimis
terlalu besar mengguyur
hujan air mata di jantungku
melebihi tangis alam bulan
desember
selalu kusembunyikan
diam-diam
aku tak ingin kau hanyut
dalam banjir dukaku
karena kau lelakiku
tak ingin aku, sedikit pun
membuat gagahmu goyah
karena padamu
kusandarkan akar
kehidupanku
agar menjadi teduh
lelakiku,
aku tahu hanya padaku
kau cucurkan peluh
siang ketika harus bersaing
dengan kejamnya dunia
malam ketika padaku kau
sandarkan lelah
semua resah, kesah, dan
gairah
begitu deras kau pancarkan
hingga darahku meletup
menyuburkan lahan yang kau buka dulu
dengan pinangan dan janji kesetiaan
lelakiku, padamu aku harap
sepanjang usia kan merimbun
kasih dan bahagia
karena bagiku
takkan lagi ada yang kedua
selamanya. (Merah
Yang Meremah, 16)
Penyair sudah mencoba meraih
metaforanya. Konsitensi lambangnya dibangun pada tiap bait (jika boleh kuanggap
setiap kata lelakiku sebagai awal bait). Di mana ladang dan semua kaitan dengan
ladang, menjadi simbolnya. Namun pada puisi bertajuk KEMISKINAN, justru lebih
menonjolkan pesan sosialnya. Kendati begitu, getar puitikalnya masih terasa: Kemiskinan adalah anugerah bagi
kami/menghindarkan dari rasa sombong dan kejahatan.
Sedangkan Dewi Maharani, kita simak pada puisi
betajuk MAAF, JIKA TERNYATA DIA SUAMIMU,
mengguratkan puisinya dengan keliaran batinnya. Keapaadaannya dalam kata-kata,
justru menguatkan puisinya. Dan kata kunci dari puisi ini terdapat pada
baris-baris terakhir yang mengagetkan pembacanya: ma'af, jika ternyata dia suamimu/ karena baru semalam seekor gagak
hitam memberi/ khabar itu padaku ...
Hal ini, mungkin, karena
penyair yang juga buruh migran di Singapura, melakukan protes terhadap realitas
hidupnya.
MAAF, JIKA TERNYATA DIA SUAMIMU
dia menyapaku dengan senyum
ah, bukan hanya senyuman
ada kerlingan dari hatinya
mencoba mengetuk kebekuan
gerbang bergembok karatan
dengan syairsyair kearifan
...
dia tawarkan bahu bahkan
dadanya
untuk membaringkan hati
lelahku
yang terlena oleh detak
waktu
saat jantungnya bekerja meluluhkan
batu
berjuntai mutiara rindu
adalah menu utamaku
seikat mawar berdaun surga
kuterima darinya setiap
waktu
menikmati malam dengan
guyuran cintanya tak perlu
kutunggu
aku terjatuh, mengaduh pada
tatapan matanya yang
teduh!
ma'af, jika ternyata dia suamimu
karena baru semalam seekor
gagak hitam memberi
khabar itu padaku ...
spore, 131009 (Merah Yang Meremah, 23)
Kekuatan Dewi Maharani pun terlihat pada puisi HATIKU BUKAN PUALAM, yang judulnya mirip novel popular yang pernah dilayarperakan.
Penyair ini mencoba memanfaatkan keterampilan mendasar puisi, yaitu
lambang-lambang yang melahirkan metafora, yang pada gilirannya mengantarkan
pembaca pada imajinasinya: jika sudah kau
genggam sebuah mainan sejak wanita tua/ itu melahirkanmu,/ mengapa masih harus
kau rebut boneka bernyawa di/ dalam tubuhku?/ bukankah semua yang ada telah
kupersembahkan untuk/ perjamuanmu?
Teknik pemotongan baris pun memperkuat kebradaan puisi, sesuai pesan
yang akan disampaikan.
Sementara bila kita melirik kepada
puisi Helga Worotijan, yang menggali intensitas hubungan sebadan antara dia dan
lawannya. Bagi penyair, senggama bukan kata yang tabu dan dilukiskannya : betapa malamnya cinta/ betapa paginya rindu
dalam puisi.
HARI SENGGAMA
Mari berpeluh bersamaku
dan akan kutunjukkan padamu
betapa malamnya cinta
betapa paginya rindu
sedang siang dan sore kurendakan di pinggir-pinggir
keduanya
agar ada sebuah hari
yang bernama senggama
: taut kita berkali-kali hingga mati sebagai setali (Merah Yang Meremah (35)
Namun idiom-idiom keperempuanan
tetap menyertai kata-katanya. Lihat saja: sedang
siang dan sore kurendakan di pinggir-pinggir/ keduanya
Walau pun Helga mcoba bereksperimen
dengan judul panjang, namun isi puisiya hanya sebaris. Namun belum menghasilkan
getar puitik!
SEWAKTU MATA ANAK BUNGSUKU MASIH
TERENTANG LEBAR-LEBAR DI DEPAN TV,
MENYIMAK KARTUN SALURAN KABEL YANG
TAK BERLUCU SAMA SEKALI, MALAH
MENEMPELKAN KESAL DI PARASKU KETIKA
KUCERMATI ANAKKU TERTAWA HINGGA
MATANYA JUGA IKUT TERBAHAK SEMENTARA
WAKTU SUDAH MENUNJUKKAN PUKUL SATU
DINIHARI
DAN WAKER-WAKER KOMPLEK MULAI
MEMUKUL
TIANG LISTRIK DEPAN RUMAH
TIDAK
BERKALI-KALI LAGI
Ini sudah jam kecil Nak !
Bontang, 14 April 2009
(Merah Yang Meremah, 37)
Jika kita menyimak pada puisi Nona
Muchtar, maka kita merasakan penyair ini mencoba mencari daya ucapnya.
Pencarian itu ditekuninya. Dia mencoba menuliskan getar-getar yang
dirasakannya, bukan sekadar. Dia berusaha mencari perumpamaan, yang terkadang
mengingatkan kita pada lagu populer.
DIAMMU
Sebegitu lamanya kau diam, aku jadi lupa cara mengeja
namamu
Bahkan tak ingat lagi bagaimana rasaku bekerja,
Menempa akal dan pikiran untuk selalu merinduimu.
Mungkin seperti cara ulat berubah, melewati masa
kepompong untuk menjadikannya kupu kupu,
Aku tak pernah ingat.
Pun ketika rindu ini berubah kopong dan kosong sejak
kau
tak kembali menemui malam. (Merah Yang Meremah, 52)
*
Masuk ke puisi Kwek Li Na, yang bermukim
di Taiwan. Penyair ini menukilkan keagungan cinta.
Dalam menuliskannya, penyair mencoba mengusung lambang-lambang. Namun belum
lancar sekali. Kendati luapan perasaannya bisa memberikan getar puitik.
Dan pada puisi ini cukup menarik:
CINTA ABADI
Aku ingin masuk ke sangkar
cintamu
Jadikan aku tawanan hatimu
Cambuklah aku dengan rindu
akanmu !
Bilur-bilur menetes darah
rasa
Pedih dan nikmat ajari aku
makna
Sumbang dan merdu, luapan ekspresi jiwa
Akan kucinta engkau dengan segala puja
Kusayangi engkau dengan segala laku
Untuk setiap musim, kuingin jadi berarti
Hingga waktu tak mau lagi bersekutu
Kau dan aku melebur menjadi satu
Dan kembali menjadi debu
Cinta ini akan menjadi, tutup peti matiku
Taiwan, 230909
(Merah Yang Meremah, 66)
Memang, menurut pengakuan penyair,
bahwa : “Menulis membuatku bisa mengungkapkan segala rasa. Di saat sepi memeluk
dan kerinduan yang tak terbendung akan tanah air dan keluarga menyelimuti, di
puisi dan cerpenlah tempatku mencurahkan
segala aksara imajinasi dan nyata,
yang kupungut saat anganku berkelana.”. Mudah-mudahan!
Sementara itu, memperhatikan puisi
Pratiwi Setyaningrum, tampaknya kematangannya terasa dibanding kawan-kawan
terdahulunya. Walau dia mencoba menuliskan puisinya beraroma prosaik. Kta simak
puisinya:
GADIS KECIL LINCAH TAWANYA
MUSIM SEMI
Lentur halus suara bedug
memecah sepi
ditingkah jantan kokok ayam
yang gagal menyaingi
Tak lama sang surya pun
melongokkan diri
Sinarnya semburat kampungku
terlihat
"Hari ini kita kemana
embun?"
-tanya gadis kecil lincah
tawanya musim semi,
Berdenting lengking
suaranya musik di telingaku
Rambut hitam meliuk nakal
bikin gatel pipinya merah
wortel
"Ah, hallo semilir
angin?! hihi belaimu menggelikanku!"
"Hayo olah raga!
angin! lari! kukejar kamu! kyaahaha!"
Kuning lembut rok panjang
menggelembung dia bak
melayang
Gadis kecil lincah tawanya
musim semi
Laksana terbang melintas sepanjang tegal dan pematang
Burung-burung emprit ribut
berceruwit menyemangati
Berloncatan riang dari runggutnya tanaman padi
dari
bulir ke bulir, dari batang ke batang, lompat, loncat
Derai
tawanya mencerahkan pagi
dari
sawah dekat petak kebun kami
jauhnya tak sampai seratus
pedang
Saat mentari tlah lelah dan
pamit
Saat angin malam mendesau
dingin
Saat bedug kembali lirih
berdegup sampai di hati
di
antara perdu ilalang tak jauh dari pematang
terbaring
kaki melekuk aneh sekali
Rok
panjang di sekitar tubuhnya, masai
dan hitam kecoklatan.
Bukan, bukan kuning lembut
Rambutnya layu memahkotai
wajahnya
lengket semu darah. Bukan,
bukan hitam meliuk nakal
Matanya kelam wajahnya pasi
senyumnya musim salju
Gadis kecil lincah tawanya
musim semi
Terlihat tergelak riang
bersama pria berdasi necis
siang tadi
12-08-2009 (Merah Yang Meremah, 79)
Penyair menukilkan keterpesonaannya terhadap sosok kesahaajaan
gadis, namun kesahajaan itu dinodai, dan kemudian meninggalkan suasana
kesahajaan menuju suatu realitas urban ( pria
berdasi necis).
Sedangkan Shinta Miranda menuliskan
puisinya berupa catatan-catatan yang merupakan permasalahan sehari-hari, namun
berbenturan dengan noma-norma. Ingn melakukan protes, namun realitasnya
menohok. Simak puisinya:
APA YANG MESTI KUKATAKAN
apa yang mesti kukatakan
ketika anakku perempuan
berkata
"bunda, aku
mengandung.,..!"
apa yang mesti kukatakan
ketika anakku perempuan
berkata
aku tak pernah tau jahanam
yang mana
apa yang mesti kulakukan
ketika anakku perempuan
berkata-kata tanpa terbata-bata
menggantung seraut wajah lesu yang pasi
lalu mengangkat kepala menatap kosong lewati mataku
apa yang mesti kubayangkan
tentang sebuah peristiwa
ketika anakku perempuan
terkulai tanpa daya
tanpa suara rintih atau
jerit tangis
di lantai apartemen ia
berdiam
di pagi buta bulan mei
sembilan delapan (Merah Yang Meremah, 89)
Shinta pun menyikapi permasalahan
itu dengan tanya-tanya yang menggugah.
*
Memang menyimak karya Susy Ayu,
terasa narasi prosaik. Bahkan terkadang filmis. Susy sudah menjinakkan kata,
kendati dia tak mempedulikan tetang kaidah kaidah puisi. Baginya yag pentig
kepuitikalan yang lahir dari puisinya.
Kita simak:
SETIAP KALI KEMARIN
Sanggupkah kita menghitung kata-kata barusan?
Jika kau lupa kita bisa mengitari lagi jalan yang
melingkar ini
Tentu akan kita temui cinta yang tak sengaja terserak
Ketika kau menciumku buru-buru
Waktu cepat sekali menguncup
Lampu jalanan seperti petir yang sesekali singgah
Wajahku terang gelap bergantian
Seperti matamu yang menyambar ketika terang
Dan berpaling ke jalan
ketika gelap
Ingin kulepaskan ragu dalam
mencatat kesungguhanmu
Tapi putaran jarum di arloji tidak bisa kuajak kompromi
Dia terus menegaskan makna jika cintamu padaku
bergantung pada jumlah putarannya di setiap pertemuan
Kau menciumku lagi dengan terburu
Maka kuletakkan hatiku di jok mobil
Bawalah pulang, isi dengan cintamu penuh penuh
Aku takut jika kita jarang
bertemu (Merah Yang Meremah, 106)
Tentu cumbu mencumbu yang merupakan
perwujudan dari cinta, tampaknya mejadi keahlian penyair ini. Dia sudah mencoba
keluar dari pertabuan. Namun getar puitiknya terasa. Coba simak lagi:
USAI BERCINTA
ketika kita usai
kekosongan di telapak tanganku masih terasa penuh
serupa dirimu
pada rambutmu yang sempat kujambak
pada dadamu yang kusinggahi
pada tamanmu yang buas namun indah
sebelum kedua tangan ini bersembunyi
di punggung
lehermu
aku sempat cemas
kupikir cintaku semata pada geletar matamu
sinar yang mendambai penyerahan
namun lewat rasa hangat yang terpapar telanjang
kau antar aku mencapai keyakinan cintai seluruhmu
ketika kita usai
kekosongan di seluruh tubuhku masih terasa penuh
serupa tubuhmu
aku cinta padamu
170809
(Merah Yang Meremah, 107).
Menukik ke puisi Tina K,
kemampuannya memanfaatkan kata untuk kebutuhan penyampaian pesan pada puisinya
amat terasa. Kejujurannya dalam menuliskan baris-baris puisiya, dengan kelntura
kata, menggiring pembaca ke arah yang diinginkannya. Kita simak puisinya:
PARTHENON
wajahmu tersembunyi di antara seribu
dewa, yang
memandangku
dari tempatnya yang tinggi.
ibakah
itu yang kulihat
ketika
mereka tahu, kau kucari
sampai ke ujung bumi?
2004 (Merah Yang Meremah, 117)
Berbeda dengan penyair terdahulu, permpuan ini tidak menunjukkan keperempuanannya.
Kejujurannya memandang permasalahan, menjadi modal untuk menuliskannya. Lihat
saja pada sajaknya berjudul PEDIH : dalam gereja yang sesak/ saat hosti
dibagikan/ alangkah masak kesedihan./ 2009. (Merah Yang Meremah, 118).
Tampak sekali Tina mencoba
mengeksplorasi, walaupun bereksperimen, puisi pendek seperti haiku. Dan,
penyair ini akan memupus anggapan penyair facebooker tak berkualitas.
Dan akhirnya, masuk pada karya Weni Suryandari, terasa ada
pembrontakan. Ada nafas gerakan feminis pada karyanya. Dia ingin meletakan
kesejajaran antara lelaki dan perempuan, kendati dalam pengertian yang
proporsional. Dan pembrontakan itu digambarkannya lewat idiom-idiom yang khas.
Kita simak:
PEREMPUAN DAN KALIMAT AZIMAT
Aku perempuan yang telapak tangannya
menangguk air mata dan bulir keringat
demi menyiram benih pada nyawanyawa sejiwa
rontokkan kalimat azimat
kitab suci teragung
Yang dipujapuji dan
dikeramatkan
Langit tak mampu memindah
bola matanya
Ia tahu dengusku meletih
perih
Saat suara lelaki berteriak
pongah “Hei, nak. Laki laki
tak boleh pegang sapu!”
(ia lihat seorang balita
lelaki memegang sapu di sebuah
teras)
Darah mancur dari ubunubunku
“Siapa katakan itu? Jika
perempuan bisa kumpulkan
rupiah
Mengapa lelaki tak boleh
pegang sapu?”
Langit menangis tersedan
bukan di musimnya
Petir menyambar lalu apinya
didihkan salju
Sementara lelaki itu terbahak mengipas pongah
sambil main burung satusatunya
yang ia miliki dan
banggakan
Ia tak sadar bahwa ia makan
dari keringat perempuan
yang buah dadanya terbitkan
syahwat lelaki?
Teladan Nabi Muhammad mana yang kau ambil jadikan
pegangan?
Pintu kemarahan,Jelang
akhir September 2009 (Merah Yang Meremah, 130)
Dan penekanan itu terasa: Saat suara lelaki berteriak pongah “Hei,
nak. Laki laki/
tak boleh pegang sapu!” Kemudian dikuti dalam baris-baris selanjutnya: Darah mancur dari ubunubunku/ “Siapa katakan itu? Jika perempuan bisa
kumpulkan/ rupiah/ Mengapa lelaki tak boleh pegang sapu?”
Pendobrakan itu menggelegar. Dan
terasa.
Weni bukan saja mahir menggeletarkan
pendobrakan, namun memainkan kata yang jinak itu, untuk mengantarkan imajinya
kepada kita:
PURNAMA NAMAMU
DI DINDING DADAKU
Kau tahu tak selamanya aku
bisa menggambarmu di atas
kanvas
pada setiap lekuk wajahmu
bahkan bulu bulu halusmu
Dan bau nafasmu menyandu
seperti awan sesekali pekat
lalu mengurai dan menyatu
lagi. abstrak. terus ulang
kuletakkan wajahmu di dada
kiriku
agar jeli kau dengar detak
jantungku
yang menggaungkan namamu
Sajak-sajak suci yang kau
larungkan untukku
kusimpan di ruang puja kepalaku
bersama setanggi nafas dan aliran darahku
agar purnama ingatan tentangmu
dan tak lagi menyabit
sementara kau
kubiarkan terbang lepas kupu kupu dan kumbang
di antara mawar-mawar merangkai
sambil sesekali kau munajatkan rindu cium harum
parfumku
Dan pada kening yang pernah kau kecup. malam itu
kau bisikkan, “segeralah buka pintumu,
akan kulihat namaku di dinding dadamu. Terukir.”
Agustus-September 2009 (Merah Yang Meremah, 131)
*
Jika saja meminjam pendapat Cunong Nunuk
Suraja, Sastra Kutu selalu menggelitik
kepala untuk “menggaruk”nya karena selalu mengganggu imaji yang kadang sedang
terkonsentrasi pada kebiasaan penulis untuk bermeditasi, mencari ilham,
menangkap pikiran penulis lain untuk ditanggapi, ataukan mengibarkan bendera
polemik yang kadangkala hanya berbicara hal tak begitu pelik tapi sangat mudah
untuk mengutak-utik menjadi setitik percakapan-percakapan kecil (semisal
tulisan tentang Sastra Kutu ini!) (http://www.facebook.com/note.php?note_id=329997995539&comments=#!/note.php?note_id=483249215013); maka puisi dari sepuluh orang penyair
ini bisa dimasukkan kategori penyair kutu atau sastrawan kutu. Puisi-puisi mereka ada, membikin
terasa kepala digelitik, dan tangan ‘menggaruk’nya.
Secara keseluruhan, penyair dalam buku ini. Memang perlu belajar lagi (eh, belajar itu sampai mati) dan aku berharap besar, pada masa mendatang mereka akan menjadi penyair, bukan penyair sekadar, tentu!
Secara keseluruhan, penyair dalam buku ini. Memang perlu belajar lagi (eh, belajar itu sampai mati) dan aku berharap besar, pada masa mendatang mereka akan menjadi penyair, bukan penyair sekadar, tentu!
Bekasi, Peb
2010.
--Sebuah pengantar dalam peluncuran buku Merah Yang Meremah
di PDS HB Jassin, 20 Pebruari 2010