Tujuh Penyebab Berlebihan dalam Beragama - Shaifurrokhman Mahfudz
oleh Shaifurrokhman Mahfudz*Kesalahan dalam memahami doktrin agama berakibat pada pilihan pendekatan dakwah yang sesat. Mereka salah ketika mengoreksi kekeliruan, faktor-faktor penyebabnya tidak dikaji secara mendalam. Hal ini berdampak pada membengkaknya sikap berlebihan (al-ghuluw) dalam menyikapi permasalahan. Sebagian mereka menafsirkan sumber-sumber hukum Islam secara rigid dan literal dan sebagian lagi terlalu bebas menyandarkan argumentasi agama yang berasaskan akal manusia semata. Sikap ini dapat mengantarkan pada sebuah prinsip liberal: “Cara pandang umat Islam pada agamanya harus sebagaimana cara Barat atau Timur memahami agama mereka”, yakni mereka memandang agamanya dengan mendahulukan keraguan akan authenticity teks-teks agama tersebut.
Keadaan ini boleh jadi menunjukkan dinamika positif dengan kemajemukan khazanah fikriyah umat dan adanya semangat kuat dalam mendalami ajaran agama. Tetapi, tidak dapat dielakkan adanya implikasi lain, yakni perpecahan umat dengan makin maraknya golongan yang menonjolkan klaim kebenaran (truth claim) sehingga mengganggu hubungan persaudaraan di antara umat yang sepatutnya terjalin harmonis, meskipun wasilah dan kaifiyyah (cara) dalam beragama boleh saja berbeda.
Secara umum, faktor-faktor yang menyebabkan sebagian umat ini terjebak dalam kesalahan sikap berlebihan dalam beragama dan masih terus berkembang dengan segala kekuatannya, antara lain:
Pertama; sebagian umat Islam tidak mengambil ilmu dari ahlinya, tetapi berdasarkan pemahaman dan tafsiran pribadi dari buku-buku yang dibaca. Tindakan ini melahirkan sikap ‘arogansi intelektual’, sehingga mereka merasa bisa mengkritik semua persoalan agama, meskipun tidak dibekali perangkat ijtihad dan struktur keilmuan yang memadai. Bahkan, ada juga yang mencari-cari kelemahan dan kesalahan para ulama kemudian menjelek-jelekkannya di depan publik. Mereka tidak hanya menolak syarat-syarat ijtihad, tetapi juga tidak memperhatikan nasakh dan mansukh serta ikhtilaf dalam memahami berbagai ayat dan hadis.
Membaca nas tanpa pemahaman menyebabkan orang terjebak dalam hukum-hukum yang sembrono. Karena itu, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang Allah kehendaki kebajikan baginya, maka Allah memahamkannya dalam agama".[1] Inilah sebabnya mengapa ulama memiliki keutamaan, sebab mereka dilimpahi karunia untuk bisa memahami nas-nas dan menangkap rahasia-rahasianya. Bisa dibayangkan, jika seseorang yang membaca buku-buku kedokteran padahal ia belum belajar kedokteran, lalu ia salah memahami isi kandungannya, maka berapa puluh nyawa akan melayang, atau berapa ratus gedung akan runtuh jika seseorang membaca buku-buku arsitektur bangunan tanpa ada dasar dan pemahaman terhadap ilmu tersebut, apalagi ia sebarkan kepada orang lain.
Kedua; sebagian umat ini terjebak dalam ketergesaan mengeluarkan fatwa halal dan haram. Mereka tidak berhati-hati memberikan fatwa tentang berbagai hukum, malah mereka bangga dan gembira bisa berfatwa. Padahal Allah SWT mengingatkan; "Dan janganlah kamu mengatakan apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta"ini halal dan ini haram" untuk mengada-adakan kebohongan kepada Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung"[2].
Alangkah bijaknya jika mereka mengetahui keteladanan para sahabat Rasulullah SAW yang suka bertanya dan bermusyawarah satu sama lain. Mari kita lihat keagungan Imam Malik. Ketika beliau ditanya oleh seseorang tentang 40 masalah, ternyata beliau hanya mampu menjawab beberapa masalah saja. Orang tersebut kemudian berkata, "Bagaimana saya harus menjawab kepada kaum saya?". Imam Malik berkata, "Katakanlah kepada mereka bahwa Malik bin Anas tidak tahu apa-apa." Karena itu, ada sebuah ungkapan, "Barangsiapa lebih cepat mengungkapkan fatwa, ia lebih cepat masuk neraka". Tidak hanya itu, fatwa yang terburu-buru akan menyebabkan ketergesaan mengklaim orang lain kafir, fasik dan sesat.
Ketiga; sebagian umat ini masih mengutamakan emosi daripada akal sehat dalam menyikapi doktrin amar makruf nahi munkar. Ketika melihat kemungkaran dan kemaksiatan, mereka ingin merubahnya dengan caranya sendiri yang terkadang juga merupakan kemungkaran, karena telah menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Sedangkan amar ma'ruf nahi munkar itu sendiri bertingkat-tingkat, dan dalam penerapannya diperlukan pemahaman dan kajian secara khusus. Kekeliruan dalam memahami metode ishlah (perbaikan), lebih dikarenakan kelemahan mereka yang tidak memahami Fikih Dakwah.
Ada baiknya kita baca kembali sejarah hidup Rasulullah SAW bersama kaum Quraisy. Apakah beliau menghancur-leburkan berhala ketika beliau masih di Mekkah. Apakah beliau menyuruh para sahabat untuk membunuh musuh-musuh Islam dari tokoh-tokoh kaum musyrikin seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, 'Utbah, dan lain-lainnya. Rasulullah SAW bersabda: "Tahanlah tangan kalian dan dirikanlah salat."[3] Bukankah para sahabat dan tabiin bersabar atas kezaliman Yazid bin Mu'awiyah di Madinah dan di tempat-tempat lainnya, demikian pula dengan Hajjaj dan segala tindakannya. Hal itu dilakukan karena para sahabat ingin memelihara darah, kehormatan dan persatuan kaum muslimin yang penting dari segalanya yang hanya berbau emosi.
Sejarah telah menjelaskan kepada kita tentang apa yang telah menimpa Husein bin Ali bin Abi Thalib RA dalam keingkarannya terhadap Yazid bin Mu’awiyah dan bagaimana beliau meninggal secara syahid dan keluarganya turut dibantai. Juga apa yang menimpa atas diri Ibnu Zubair dan Tsaurah bin al-'Asy'ats. Suatu ketika, Imam Ahmad ditanya tentang Yazid setelah ia menjelaskan perihal kehidupan Yazid kepada putranya, Abdullah. "Mengapa ayah tidak melaknatnya?" Beliau menjawab "Apakah pernah kamu lihat ayahmu melaknat seseorang?".
Demikian halnya dengan Imam asy-Syafii yang dipersempit geraknya, Imam Malik dipecut, Imam Abu Hanifah dipenjarakan, Imam Ahmad dianiaya. Akan tetapi mereka tidak menunjukkan reaksi negatif dan cara-cara yang emosional. Karena sesungguhnya, fungsi mereka sebagai pelaksana syariat menahan mereka untuk berbuat itu.
Keempat; sebagian umat ini telah mengangkat diri mereka sebagai hakim yang bisa memvonis manusia, bukan sebagai orang yang memperbaiki dan menyeru kebaikan masyarakatnya. Sebagai pemegang risalah dakwah, para nabi telah memberikan keteladanan yang diungkapkan dalam sebuah prinsip; "Aku hanya menghendaki perbaikan semampuku, dan berdakwahlah kepada Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, debatlah mereka dengan yang lebih baik". Ketika Allah mengutus Nabi Musa AS untuk menyeru Firaun yang mengaku Tuhan, Dia berfirman: "Dan katakanlah kepadanya dengan perkataan yang halus."[4]
Kelima; sebagian dari kelompok umat ini berupaya untuk memonopoli kelompok muslim lainnya. Mereka menafsirkan ayat-ayat dan hadis menurut selera mereka untuk menguasai kaum muslimin. Mereka menganggap fasik orang-orang yang berbeda paham dan tidak puas dengan ide mereka. Hal ini tentu saja menjadi kendala untuk sampai pada sikap saling mengerti (tafahum) di antara elemen umat ini, dan yang pasti akan melelahkan para penyeru kebajikan yang menghendaki persatuan umat dalam bentuk dialog dan toleransi. Fanatisme buta, kegemaran debat kusir dan hawa nafsu tak terkendali telah mengikis habis segala upaya dakwah dan membahayakan kelangsungan kebangkitan Islam (ash-shahwah al-islamiyah) itu sendiri.
Permasalahan ini kerapkali menjauhkan umat dari ajaran Allah, sebab orang akan melihat Islam dari contoh yang jelek. Fakta dan jarak ini tentu memberi keuntungan bagi ‘musuh-musuh’ Islam, seperti antek-antek Barat, atheis, orientalis, atau ekstrimis kiri untuk memasukkan asumsi buruk ke dalam benak masyarakat luar bahwa Islam tidak layak dijadikan pijakan hidup. Jika manusia mengikuti Islam, maka kondisi umatnya sangat hina dan memalukan.
Keenam; sebagian umat ini tidak menganggap penting kajian terhadap realitas (fikih al-waqi') dan kesadaran sejarah (al-wa'yu at-tarikhi). Padahal kajian terhadap dua hal itu mempunyai peranan penting dalam meluruskan berbagai perkara. Manusia harus melihat realitas, sejarah dan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalamnya. Sejarah merupakan sumber pengetahuan tentang pengalaman-pengalaman di masa lalu. Karena itu, umat ini juga sebaiknya memiliki daya kritik terhadap informasi sejarah yang termaktub (history as written) yang sering mengandung distorsi dan penyimpangan-penyimpangan fakta di lapangan. Seharusnya, sejarah yang tertulis merupakan cerminan dari peristiwa yang terjadi (history as actually happened).
Ketujuh; Sebagian umat Islam memiliki taraf pendidikan yang rendah serta wawasan agama dan sosial yang sempit. Sehingga mudah dipahami, jika mereka sulit melakukan dialog dan tidak memahami etika berselisih paham. Hal ini merupakan penyakit buruk di kalangan mereka. Mereka lupa, bahwa para sahabat Rasulullah SAW menempuh jalan dialog dengan orang-orang yang berselisih dengan mereka untuk mencapai hakikat kebenaran. Hal ini pulalah yang menyebabkan Imam Syafii merubah prinsipnya setelah ia berdialog dengan penduduk Kufah. Mereka berdialog untuk sampai pada suatu kebenaran dan bukan dari asumsi bahwa kebenaran berada di pihak mereka sendiri.
Paparan di atas menegaskan kepada kita bahwa pemahaman agama yang tidak komprehensif dapat memicu sikap berlebihan (al-ghuluw) yang seringkali merugikan Islam sebagai ajaran mulia. Sikap berlebihan tersebut identik dengan ekstrim, dan setiap yang ekstrim lebih dekat pada penyimpangan. Maka, keseimbangan dalam beragama mutlak diperlukan. Rasulullah SAW bersabda: "Celakalah orang yang berlebihan dalam beribadah bukan pada tempatnya (al-mutanathiūn)"[5]. Disebutkan bahwa pernyataan Rasulullah SAW ini diulangi tiga kali. Imam an-Nawawi ketika menyebutkan hadis di atas memberikan judul: Bab al-Iqtishad fi al-‘Ibadah (mengambil sikap tengah dalam beribadah). Ini semua mengindikasikan bahwa mengambil sikap pertengahan (wasathiyah) dalam segala hal, termasuk ibadah, merupakan elemen ber-Islam yang sangat penting dan menentukan.
Sebab Islam adalah agama fitrah, maka yang diharuskan adalah mentaati Allah sesuai kemampuannya secara maksimal dan sebatas tuntutan fitrah, bukan memaksakan diri. Allah SWT berfirman: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu."[6] Dalam ayat lain ditegaskan bahwa hal yang demikian adalah untuk memudahkan: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."[7]
Demikianlah doktrin Islam yang mengajarkan umatnya agar berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama dalam beragama tanpa harus lepas dari arus modernisasi dunia serta menghindari sikap berlebihan yang mendorong lahirnya perilaku-perilaku fanatik yang justru membatasi potensi umat yang besar ini. Seorang sosiolog agama, Ernest Gellner, mengatakan; "Di antara berbagai agama yang ada, Islam adalah satu-satunya yang mampu mempertahankan sistem keimanannya dalam abad modern ini, tanpa banyak gangguan doktrinal. Dalam Islam, dan hanya dalam Islam, pemurnian dan modernisasi di satu pihak, peneguhan kembali identitas umat di pihak lain, dapat dilakukan dalam satu bahasa dan perangkat yang sama. Dunia Islam memang tidak begitu gemilang menerobos dan mempelopori umat manusia memasuki abad modern. Tetapi karena watak dasar Islam itu sendiri, kaum muslimin justru menjadi kelompok manusia yang memperoleh manfaat terbesar dari kemodernan dunia. Dengan kata lain, kunci keberhasilan Islam memasuki abad kegemilangannya terletak pada peneguhan kembali warisan Syariat yang tak pernah lapuk.”
Oleh karena itu, umat Islam perlu mempertahankan nilai-nilai agung agama ini dan mengevaluasi sikap keberagamaan yang keliru, sehingga kebangkitan Islam dan umatnya benar-benar menjadi sesuatu yang pasti terwujud dan mampu memberi pencerahan bagi semua.@
___
Shaifurrokhman Mahfudz, kerap dipanggil “ shaif”, lahir di Cirebon dari pasangan Hj. Runiyati Satri dan H. Mahfudz Syarika. Pendidikan menengah diselesaikan di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Pesantren Darussalam Ciamis pimpinan (alm) ajengan KH. Irfan Hilmi. Sebelumnya, ia pernah 'nyantri' di Tebu Ireng yang didirikan KH. Hasyim Asyari dan Pesantren Pacul Gowang Jombang yang diasuh KH. Abdul Aziz Manshur, disamping ikut pengajian kitab kuning sorogan di beberapa pesantren klasik sekitar Jawa Timur.
Setelah lulus dari Faculty of Islamic Law and Jurisprudence Al-Azhar University Cairo tahun 1999, ia memilih menjadi entrepreneur dengan bekerja sebagai Marketing Executive di TRISNA Group; perusahaan yang bergerak di bidang chemical & fertilizer industry sampai tahun 2001.
Jenjang akademik ia lanjutkan di program Master of Human Science in Sociology and Anthropology di International Islamic University Malaysia (IIUM) selama satu tahun. Baru pada akhir 2006, gelar Master of Sharia (M.Sh) bidang Islamic Political Science dapat diraihnya dari Academy of Islamic Studies University of Malaya, Kuala Lumpur.
Selama tinggal di Malaysia, ia berkesempatan mengajarkan ilmu-ilmu syariat pada Institute Technology of Ibnu Sina, Kuala Lumpur. Sejak 2002, ia juga dipercaya menjadi dosen tetap di Muhammadiyah Islamic College, Singapura; sebuah perguruan tinggi Islam pertama yang resmi di negeri itu, sekaligus penulis teaching materialsPerguruan Az-Zuhri dan Darul Andalus Singapura.
Pengembangan dakwah ekonomi syariat digelutinya sejak awal 2007 bersama Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec (Chairman Tazkia Group). Diantara karya tulis utama yang telah dihasilkan bersama beliau adalah Ensiklopedia Leadership dan Manajemen Rasulullah SAW (8 Jilid) dan Ensiklopedia Peradaban Islam (10 Jilid). Sampai hari ini, masih mengemban amanah sebagai Secretary General Andalusia Islamic Centre, Sentul City Bogor serta Lecture di Tazkia University College of Islamic Economics Bogor yang mengampu mata kuliah Fikih Muamalah.Saat ini ia tengah berusaha menyelesaikan program doktoral (Ph.D) bidang Islamic Banking & Finance di University College of Insaniah, Malaysia disamping sebagai Chairman Madani Sharia Consulting (MSC) dan Executive Director Al-Mahfudz Foundation.
____
[1] HR. Bukhari, No. 71, Kitāb Al ilmi, Bāb Man yuridillahu bihī khairan yufaqihu fi dīn.
[2] QS. an-Nahl: 116.
[3]HR. An Nasā’i, No. 3086, Hadis ini Sahih dalam Shahīh Wa Dha’īf Sunan An Nasā’i, No.3086. adapun lengkapnya redaksi hadis ini adalah “ Wahai Rasulullah, dulu ketika kami dalam keadaan musyrik kami adalah orang-orang yang mulia, namun ketika kami beriman kami menjadi orang-orang yang hina.” Beliau bersabda kepadanya: ”Aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian memerangi, tatkala kami telah berada dimadinah lalu turunlah ayat untuk berperang, setelah ituhal tersebut lalu dalam hadis disebutkan turunlah QS An Nisā :77“ Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" ...
[4] QS. Thaha: 44
[5] HR. Abu Dāwūd, No. 4610, Kitāb As sunnah, Bāb Fī luzūmi As sunnah, Hadis ini Sahih dalam Shahīh Wa Dha’īf Sunan Abu Dāwud No. 4608
[6] QS. Ath-Thalaq: 16.
[7] QS. al-Baqarah: 185.