Nakalnya Remy Sylado Ketika Menyentil Orang yang Suka Menyingkat Kata dan Mental Orang Indonesia melalui Puisi Mbeling-nya - Indra Intisa
oleh Indra Intisa
Remy
Sylado adalah salah seorang seniman Indonesia yang mempunya bakat dan keahlian
yang luar biasa banyak. Ia mampu menulis karya sastra puisi, novel, esai,
hingga naskah drama. Ia juga berkecimpung dalam seni musik, seni rupa, seni
lukis dan terutama seni teater, tentunya aktor juga. Bakat dan keahliannya ini
tentu menjadikannya sebagai salah seorang aset bangsa yang banyak dijadikan
panutan.
Tahun
70-an, Remy Sylado bersama kawan-kawan, melalui majalah Aktuil yang dipimpinnya
mampu menghentak dan menggemparkan dunia perpuisian Indonesia. Ia menawarkan
bentuk dan gaya baru dalam berpuisi. Gaya yang terkesan nyeleneh, main-main,
tidak serius dan nakal. Konsep yang dianutnya adalah sebagai bentuk perlawanan
dari puisi mapan yang terkesan serius yang didewa-dewakan orang para sastrawan.
Puisi seperti ini mampu menarik banyak perhatian anak muda. Dan sampai sekarang
banyak seniman yang mencintai gaya puisi yang terkesan urakan ini.
Bagi
penyair serius dan mapan, puisi ini, yang dinamakan puisi Mbeling, adalah
ancaman serius. Sebagian dari catatan sejarah perpuisian Indonesia, puisi
mbeling justru tidak dicatat dan disampaikan dalam bentuk kegembiraan. Seolah
puisi ini bukan bagian dari prestasi besar dari bangsa ini. Saya pikir, ini
hanya sebagai bentuk kebencian terkait populernya puisi yang bernama lain puisi
lugu dan awam ini. Kita bisa saja tertawa ketika Remy Sylado beranggapan bahwa,
"... Puisi harus diletakkan di telapak kaki. Orang tidak perlu terlalu
serius dalam soal puisi. Menulis sajak tidak perlu dipandang sebagai pekerjaan
yang sukar. Baik buruk puisi yang dihasilkan merupakan hal yang relatif sifatnya
..." Dan tentunya sastrawan mapan tidak akan tertawa dalam bentuk
kesetujuan. Ada banyak sindiran dalam memandang sebuah puisi yang tentunya
mampu membuat mereka menjadi gerah.
Puisi
mbeling banyak dipakai sebagai sarana untuk menyindir. Baik dalam kehidupan
berbangsa, berpolitik, berbudaya dan beragama. Seperti pada puisi Remy Sylado
berikut ini:
MENYINGKAT KATA
karena
kita
orang indonesia
suka
menyingkat
kata wr. wb.
maka
rahmat
dan berkah ilahi
pun
menjadi
singkat
dan
tidak utuh buat kita.
Puisi
Menyingkat Kata adalah puisi yang terkesan diafan, yang ditulis secara lugas,
adalah puisi yang memotret kebiasaan masyarakat Indonesia. Sekilas puisi tsb.,
tidak mempunyai sesuatu yang luar biasa. Biasa saja. Seperti sebuah jepretan
kamera, terjadi sekilas saja. Orang bisa saja berpikir ini bukan sebuah karya
sastra yang luar biasa. Dan Remy Sylado pun tidak menghiraukan
tanggapan-tanggapan miring itu. Tetapi coba kita simak dengan saksama, Remy
dengan cerdasnya mampu menyindir kebiasaan buruk dengan sebuah puisi yang
terkesan main-main, urakan, yang mampu membuat kita tersenyum dan tertawa.
Bentuk humor; wadah humor merupakan sebuah jebakan dari makna sebenarnya. Puisi
itu bisa menjangkau sudut-sudut lain yang lebih luas. Kebiasaan orang Indonesia
yang malas, ingin mendapatkan sesuatu yang besar, tanpa perjuangan yang
maksimal, dan lebih suka mencari jalan pintas tanpa usaha yang benar dan besar,
tentu bagian dari potret yang ingin disindir. Kita boleh saja tersenyum dan
tertawa dari cara puisi mbeling tsb., ditulis. Tanpa sadar kita telah
menertawakan kebiasaan kita sendiri.
Remy
Sylado tidak menulis puisi dengan metafor-metafor berbunga yang membuat orang
berpikir serius, kening berkerut, dst., yang mampu membuat kepala orang semakin
botak. Ia cukup menyisipkan majas-majas sindiran, seperti: ironi dan sarkasme.
Tentunya dengan cara yang nikmat dan unik. Mari kita simak puisinya yang lain:
MENTAL ORANG INDONESIA
doa
kala
sadar
dosa
kala
lupa.
Pendek
dan kena. Itu simpulan sederhana dari puisi mental orang Indonesia. Mental
orang yang tidak bersyukur. Ada merasa lupa. Tiada baru terjaga. Padahal kita
memiliki SDA yang sangat melimpah. Ketika tiada, kita baru menangis dan meraung
tidak mempunyai apa-apa. Merasa tidak diperhatikan pemerintah. Dan tentunya
kepada Tuhan. Tuhan ada saat kita terjepit dan membutuhkan. Sebuah sindiran
yang menikam tubuh kita sendiri.
Pulau Punjung, 20 Maret
2017
***
Indra Intisa, Penikmat dan
Pemerhati Puisi.
Baca juga:
Remi Sylado: Denni JA Memperalat Para Penyair
Denny JA Bagai Tupai Tergelincir
Ilusi Denny JA Menyangkut Puisi Esai
Baca juga:
Remi Sylado: Denni JA Memperalat Para Penyair
Denny JA Bagai Tupai Tergelincir
Ilusi Denny JA Menyangkut Puisi Esai