Ketika Antar Waktu Dirapat dan Direkat - Taufik Ikram Jamil
oleh Taufik Ikram Jamil
*Pengantar untuk Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang karya Rida K Liamsi
I
PASTI bukan Anda, tetapi saya.
Ya, berjam-jam sosok Mur yang disebut dalam novel ini masih bergelayut di dalam
pikiran saya setelah karya tersebut selesai saya lahap. Mengapa Mur, apa
hubungannya dengan sosok-sosok yang disebut di dalam cerita. Di mana Mur,
bahkan bagaimana suasana hatinya setelah membaca surat-surat panjang lebih
kurang selama tiga bulan, coba saya reka.
Dalam pesan pendek kepada sahabat
saya, Abdul Wahab, tak hanya hal itu yang saya tulis. Saya juga membayangkan
bagaimana musim dingin di sebuah benua lain dengan berbagai peristiwa yang tak
kenal musim tersebut. Mengapa dimulai dengan musim dingin, mengapa tidak musim
panas, musim gugur, bahkan musim semi sekalipun. Cerita selesai disuratkan
menjelang musim semi, ketika bunga-bunga kembali mekar yang biasanya memang
jatuh pada bulan Maret.
Juga mengapa Belanda, ya mengapa
surat itu dikirimkan kepada seseorang di Belanda? Mengapa tidak ke Inggris yang
juga dominan mewarnai isi cerita, bila perlu Portugis bahkan Jepang. Mungkin
juga keempat-empat negara yang pernah memiliki catatan khusus terhadap daerah
asal surat. Belanda memang lama, tetapi Inggris harus dicatat khusus karena
berbagai tatanan kenegaraan wujud saat mereka menancapkan kuku di kawasan asal
surat seperti adanya Traktat London 1824. Portugis pula boleh dikatakan sebagai
bangsa asing pertama yang coba menguasai wilayah asal surat, ditutup oleh
Jepang.
“Siapa pun si Mur tersebut,
pertanyaan tetap dapat diajukan. Cuma dalam salah satu surat yang menjelang
berakhirnya buku ini, memang Mur diminta membayangkan sesuatu sebagai
perempuan, ditandai dengan pertanyaan, bagaimana perasaanmu sebagai perempuan
saat berhadapan dengan kisah perempuan dalam surat—dipinang, gagal menikah
karena calon suaminya tertarik kepada adiknya sendiri, lalu anggota keluarganya
terbunuh dan kekuasaan terampas,” tulis saya kepada Wahab yang berada di
kawasan Selat Melaka sana.
Apakah si penulis surat hanya
menjadikan Mur sebagai tempat luahan, saya pikir tidak seluruhnya benar. Ada
harapan di sana bukan sekadar Mur mengetahui, tetapi mengambil tindakan. Dalam
surat ketiga misalnya disebutkan, mungkin saja Mur menggulati catatan-catatan
dalam perpustakaan di tempat ia berada untuk mencocokkan bahkan melengkapi data
yang ditulis dalam surat itu:
Mur,
Apa kabar Amsterdam,
sudah berakhir musim dingin? Rasanya sudah 3 bulan aku terus mengirimkan
ceritaku ini. Apakah kau sudah sempat mengunjungi museum atau menyelongkar
arsip-arsip lama yang ada
di Universitas Leiden yang katanya banyak menyimpan dokumen dan bukti sejarah
kerajaan Riau Lingga?
II
MUR muncul di awal surat-surat.
Cuma pada suatu bab VI atau Jejak Tun
Irang dan Tahun Penuh Sesal, imbauan kepada Mur muncul beberapa kali. Hal
ini terjadi saat penulis surat menandai tahun teramat penting pada sisi sejarah
yang hendak diceritakannya yakni sejak tahun 1806. “Tahun darimana dimulainya perjalanan sejarah
kerajaan Riau menuju ke titik kelam. Nasib yang tak pernah diperkirakan oleh
pihak Melayu maupun Bugis, terhadap kerajaan yang mereka bangun bersama melalui
Sumpah Setia Melayu-Bugis tahun 1722 itu. Melalui jeling mata Tengku
Tengah untuk menaklukkan hati para pendekar Luwuk yang gagah berani itu, dan
kinja Daeng Marewa ketika mengaruk dan bersumpah setia, di Ulu Sungai Riau,”
tulisan si penulis surat.
Mur kembali disapa pada bab
serupa ketika penulis menceritakan Sultan
Mahmud sedang dalam perjalanan eksodus memindahkan ibu kota kerajaan Riau dari
Ulu Riau ke Lingga, sebagai strategi menghindari kerajaan dan juga rakyatnya
dari ancaman dan balas dendam Belanda (VOC), karena awal tahun 1787, dia telah
menghancurkan garnizum VOC yang ada di Pulau Bayan dan Tanjungpinanang dengan bantuan para
lanun dari Tempasok. Dia telah memaksa Residen Belanda David Ruhde yang
bermarkas di Pulau Bayan untuk pulang ke Melaka, dengan nyaris hanya
sehelai sepinggang.
Ada beberapa kali sapaan kepada
Mur setelah itu sehingga saya bertanya-tanya dalam hati, mengapa terjadi
demikian? Barangkali ini semacam puncak kegaduhan dengan
pengulangan-pengulangan, sehingga menimbulkan kesan membatin. Bab berikutnya,
memang semacam suatu kesimpulan, katakanlah semacam antiklimaks. Bagian awal
pada bab terakhir (VII) Andaikata di
Pulau Basing, tertulis, “Ketika aku mencoba menelaah hari-hari terakhir Kerajaan Riau itu, aku
seakan kehilangan jejak Tun Irang dengan “Selak Bidai, dan Lepak Subang”nya di
pusat terakhir Kerajaan Melayu ini”
Kenyataan itu semakin tegas
ketika muncul paragraf ini:“.... bahwa yang akan menamatkan riwayat
perjalanan sejarah kerajaan itu, bukan Raja Kecik, dan bukan perseteruan
politik antara pihak Melayu dan Bugis, tetapi justru sesuatu yang bernama kontrak-kontrak
politik. Musuh tinta dan kertas, tanpa bedil, tanpa meriam, kecuali kepiawaian
berhujah dan berdiplomasi. Perjanjian-perjanjian politik yang dipaksa secara
licik dan berat sebelah, yang tiap kali pena para Sultan dan Yang Dipertuan
Muda-nya dicecahkan ke
atas kertas yang bersegel itu, tiap kali pula jengkal demi jengkal kerajaan
mereka ditelan dan dirampas oleh para penjajah itu.
III
PASTI bukan Anda, tetapi saya.
Ya, saya sempat “diganggu” oleh kehadiran Mur yang disebut dalam novel itu
mulai dari awal. Begitu saja saya
teringat Murparsaulian yang menurut hemat saya, memang akrab dengan saya.
Kebetulan sekali kami satu almamater dan perkenalan memang diawali karena
sekampus dan sama-sama menyukai sastra. Beberapa kali pernah dalam suatu acara.
Saya dan juga kawan-kawan, biasa memanggilnya Mur.
Maafkan bila sekilas saya
sebutkan bahwa kesan saya, Mur adalah adik yang baik, santun, cerdas, dan
manis. Akan selalu saya ingat bagaimana ia
menanggapi pernyataan saya bahwa seharusnya sastrawan dari Riau mengambil
sejarah tempatan sebagai titik pijak, “Kalau begitu, tidakkah karya kita akan
menjadi seragam Bang?”
Wahab membalas pesan pendek saya
melalui telepon genggam dengan menulis, “Sampai di sini, engkau juga tidak bisa
melupakan sosok Murparsaulian sebagai seorang wartawan Riau Pos, kemudian pindah ke Riau
Tv, yang kedua-duanya di antara media dalam “genggaman” Rida K Liamsi.“
Dengan demikian, lanjut Wahab,
antara penulis novel ini dengan Murparsaulian, ada hubungan kerja bahkan antara
atasan dengan bawahan, dengan pemilik dan pekerja. Sebagai pimpinan yang baik,
tentu Rida K Liamsi mengenal pasti sosok Murparsaulian—demikianlah yang saya
perhatikan, Murparsaulian selalu mendapat tugas khusus dari Rida K Liamsi,
khasnya berkaitan dengan sastra. Jika demikian, bukankah Rida K Liamsi,
benar-benar mengirim surat kepada seseorang yang bernama Murparsaulian itu.
Cuma saja patut lagi ditanyakan
apakah Mur di dalam suratnya itu adalah memang Murparsaulian? Kalau memang iya,
mengapa Rida tak gunakan nama Mur yang lengkap yakni Murparsaulian tersebut. Mengapa
hanya nama panggilan? Kalau Mur yang
dimaksud bukanlah Murparsaulian, berarti Rida K Liamsi, bisa memakai nama
lain—misalnya Rose, sebuah nama yang begitu hidup dalam sajak-sajak Rida K
Liamsi dan disukai banyak orang itu—suatu nama yang kiranya menjadi salah satu
perlambang dalam karya-karya Rida K Liamsi. Jelas, bahwa Mur yang disebut dalam
surat pada novel ini, bukanlah Murparsaulian yang saya kenal.
Saya dan Wahab pada gilirannya
setuju bahwa “mempersoalkan” Mur atau
bukan maupun mungkin Murparsaulian, sampai juga kita bertanya ihwal materi yang
disuratkan itu. Tetapi sebelum pertanyaan mengenai hal ini menjadi ke
mana-mana, “nikmatilah” apa yang disebut dengan daftar pustaka di halaman pada
dua halaman terakhir. Sumber-sumber kelas satu dalam pembicaraan Melayu klasik
diwujudkan yang menyebabkan kita tak perlulah meragukannya, apalagi pembacaan
terhadap karya ini, bukan dalam pendekatan sejarah, tetapi karya sastra.
Cuma berbeda dengan sumber-sumber
tersebut, buku ini membicarakan seorang sosok perempuan, bukan aktivitas
kolektif. Tapi buku ini hampir senafas
dengan buku yang ia tulis sebelumnya yakni Bulang
Cahaya dan Megat, sebuah novel, Yayasan Sagang,
Pekanbaru , 2007 serta 2016.
Sebaliknya, secara sifat materi,
hal ini boleh dikatakan sejajar dengan buku
Aswandi Syahri bertajuk Temenggung Abdul Jamal, Pemko Batam,
2007. Juga dengan buku Hasan Junus, Engku Puteri Raja Hamidah, Unri
Press, Pekanbaru, 2002. Sejajar dalam pengertian bagaimana suatu bagian dari
sejarah disorot dengan mengangkat seorang tokoh sebagai subjek. Kedua buku tersebut tercantum dalam daftar
pustaka dari novel yang dibaca ini.
IV
DARI paparan di atas, buku Salak Bidai Lepak Subang Tun Irang sejak
awal seperti hendak memperlihatkan bahwa bagaimana tidak ada sesuatu yang omong
kosong dalam sebuah karya sastra termasuk novel. Imajinasi harus dipandang
bukan sebagai rekaan tanpa dasar, tetapi adalah upaya membangun kembali suatu
ingatan dalam tataran tertentu. Novel ini wujud karena telah ada wujud-wujud
yang lain dalam suatu jalinan sesuai kehendak penulisnya.
Dalam konteks itu, Mur bisa siapa
saja sepanjang ia perempuan. Sebab mungkin di bawah alam sadar, penulis ingin
mendengarkan tanggapan perempuan dari kisah perempuan yang juga bisa saja tidak
musti Tun Irang selagi tokoh tersebut memiliki kisah demikian. Jika kemudian
ada pembaca yang merasa dirinya adalah si Mur atau Tun Irang yang disebut-sebut
dalam novel ini, hal tersebut merupakan suatu “risiko” dari kenyataan tadi; kemungkinan suatu
sosok dapat merujuk kepada sosok mana pun sepanjang sifatnya setara.
Jelas terlihat, novel ini
merapatkan dan merekatkan antar waktu. Juga sifat, bahkan di sana-sini terkesan
keluar masuk antara yang lewat, sedang terjadi, bahkan terbayang pula masa-masa
di muka. Tun Irang misalnya berasal dari masa lalu, tetapi Mur yang ditujukan
oleh surat dalam novel ini adalah masa sekarang, yang memiliki pemikiran
sendiri untuk berada di masa muka. Surat itu kan tidak ditujukan kepada penjual
roti, tetapi pasti kepada seseorang dengan latar belakang intelektual, sehingga
kepadanya patut digantungkan harapan suatu masa depan.
Begitu juga saat tempat, ketika
jaraknya bukanlah suatu persoalan. Kita dapat memastikan bahwa surat tersebut
dikirim dari suatu kawasan khatulistiwa, diterima seseorang di Belanda.
Khatulistiwa itu mungkin Asia Tenggara, bahkan mungkin dari suatu kota di
provinsi di Indonesia yakni Kepulauan Riau. Surat ini dikirim dengan cara yang
tidak konvensional, misalnya pos yang pasti memakan waktu lama. Medianya pasti
menggunakan jasa internet yang bisa berarti surat elektronik (surel) atau mungkin bentuk
teknologi komunikasi lain.
Patut juga disebutkan hubungan
antar kawasan. Tun Irang dilatarbelakangi dari sebuah negeri yang senantiasa
terjajah, sedangkan Mur berada di negeri yang menjajah. Sampai di sini harus
pula dicatat bahwa tampaknya Mur berasal dari negeri yang sama dengan Tun Irang
yakni kawasan yang sempat terjajah, tetapi sedang berada di negeri penjajah
tersebut. Bandingkan dengan si penulis surat yang sama-sama berada di kawasan
asal Tun Irang dan Mur, tetapi tidak lagi terjajah.
Akan dapat diperpanjang hal-hal
semacam ini dengan umur masing-masing sosok yang terlibat, sehingga diketahui
situasi hati yang membangun cerita secara keseluruhan. Media yang dipakai
adalah sesuatu yang menjadi keniscayaan bagi generasi milenial, sedangkan
sosok-sosok di dalam bangunan cerita, tampaknya berasal dari generasi lebih
awal. Tun Irang jelas, tetapi Mur dan aku lirik patut ditelusuri. Cuma paling
tidak, mereka bukan asing dalam pergaulan milenial.
Di sisi lain, kenyataan itu
patutlah dipahami sebagai suatu keadaan bagaimana keberadaan apa yang disebut
milenial itu, tidak bisa dihindari, bahkan harus dimanfaatkan. Penghantaran
suatu peristiwa dari masa lampau ke masa kini, menandai adanya suatu upaya
melibatkan generasi terbaru dalam alam masa lalu sebagai kekayaan yang patut
diwarisi.
V
TERUS-terang, kepada Abdul Wahab,
saya menulis bahwa saya menyukai keadaan
merapatkan dan merekatkan berbagai hal dalam novel ini seperti waktu,
jarak, tempat, bahkan jenis kelamin sebagaimana disebutkan pada bagian III dan
IV di atas. Dengan demikian, persoalan kemanusiaan di mana dan kapan pun tidak
musti mengenal daftar urut kepentingan.
Apa yang terjadi di Riau, sama nilainya apa yang terjadi di Belanda di
sisi kemanusiaan, termasuk berkaitan dengan ihwal waktu dan jarak atau
elemen-elemen apa yang dirapatkan tadi.
Pembeda dari hal-hal di atas
hanya terletak pada bagaimana mengekspresikannya. Tidak semua perempuan akan
bertindak seperti Tun
Irang dalam menghadapi kenyataan yang dihadapinya, juga saat dihadapkan dengan
jenis kelamin dan asal seseorang. Oleh karena itulah, tindak-tanduknya harus
dijelaskan meskipun hasilnya bukan sesuatu yang diharapkan, bahkan oleh dirinya
sendiri. Sebaliknya, apapun hasilnya, patut diduga bahwa orang akan dapat
menerimannya, sekurang-kuranya bisa memahami munculnya suatu keadaan tertentu.
Tak salah lagi, pengrapatan
berbagai elemen yang disebutkan di atas hanya bisa terjadi ketika sejarah
dihadirkan sebagai tapak penceritaan sebagaimana dipilih oleh novel ini. Sebab
sejarah memang bersifat menemukan elemen-elemen kehidupan manusia. Dalam pandangan Muhammad Yusof Hashim
melalui bukunya Pensejarahan Melayu
(1992) misalmya, disebutkan bahwa sejarah adalah catatan-catatan peristiwa dan
peristiwa-peristiwa itu sendiri, saling mempunyai pertalian yang relatif.
Sesuatu peristiwa yang terjadi itu dicatatkan dan jadilah peristiwa tersebut
sebagai sejarah. Dalam fenomena ini, peristiwa dan catatan peristiwa berkembang
dan membentuk perkara-perkara selanjutnya.
Melalui novel ini, Rida K Liamsi
membuat suatu cabang sejarah baru, ketika aku lirik menulis surat kepada Mur
yang menuturkan suatu rentetan peristiwa. Dalam wacana lain, dapat disebutkan bahwa kemungkinan cabang lain dari sejarah itu
adalah wujud dari bentukan Johor maupun Riau sekarang, tetapi Rida K Liamsi,
menambahkannya dengan peristiwa surat-menyurat dari satu benua ke benua lain,
dari seorang lelaki kepada seorang perempuan, dari suatu masa ke masa lain, dan
seterusnya.
Di sisi lain, patut disebutkan
bahwa Rida sangat cerdik memilih sosok penceritaan. Ketika sejarah cenderung
memaparkan kesatria dengan kemenangannya, Rida menghadirkan seseorang sebagai
pusat penceritaan yang di dalam sejarah Melayu hanya dipandang sekilas. Barangkali,
di sini, Rida memainkan kepekaan jurnalistiknya untuk melihat sisi lain dari
peristiwa yang sebenarnya mendalam.
Tidak seperti pada cerita Hang Tuah, Megat,
bahkan peristiwa yang dianggap besar dalam alam Melayu, novel ini tidak saja
mengangkat perebutan kekuasaan, tetapi juga masalah perempuan, s3ks dan
ketajaman kata-kata. Saya jadi teringat suatu pandangan bahwa ternyata, tanpa
mengecilkan arti korban jiwa, berita terbesar abad ke-20, bukanlah pengeboman
Hiroshima dan Nagasaki, tetapi tewasnya Lady Diana.
Jelas kan, bagaimana dalam novel ini, kata-kata
Tun Irang telah membakar lima Bugis bersaudara untuk menyerang Raja Kecik
seperti dicuplik Rida pada awal novel ini. Malahan dalam versi lain, Tun Irang
sampai mengatakan sanggup menjadi nasi yang dikunyah-kunyah kelima orang
tersebut. Apakah permintaan Tun Irang bebas dari rasa cemburu yang membara
setelah Raja Kecik yang akan menikahinya, mengalihkan cinta kepada adiknya
sendiri T. Kamariah?
Bersamaan dengan hal itu, novel
ini menyisakan banyak keinginan. Misalnya, diharapkan Mur akan menelusuri kisah
yang dituturkan penulis surat, membolak-balik naskah di Universitas Leiden yang
menyimpan berbagai informasi. Tentu akan ditunggu hasilnya yang menjadi kisah
tersendiri lagi. Mungkin saja akan terungkap hal-hal lain. Mana tahu pula, ada
hubungan Mur dengan kesejarahan itu bukan hanya sebagai pewaris secara
spritual, tetapi biologis.
Tampaknya Rida K Liamsi
membiarkan hal-hal semacam itu hidup di dalam pikiran pembacanya. Tetapi
menilik karyanya terdahulu, tak mustahil bahwa novel yang sedang kita baca ini
memiliki kelanjutannya. Saya merasa setidak-tidaknya, proses penciptaan Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang,
memiliki helaan satu nafas dengan Megat. Sebab tokoh sejarah Megat dalam novel berjudul
nama Laksamana itu sebagai punca ketika ia membunuh Sultan Mahmud. Dari sinilah
ayah Tun Irang memegang tampuk kekuasaan yang kemudian direbut Raja Kecik.
Sosok yang disebut sebagai anak Sultan Mahmud tersebut tak jadi menikahi Tun
Irang, kemudian terusir oleh penyerangan yang diapi-api oleh perempuan itu.
VI
PADA gilirannya, saya harus
menulis bahwa di tangan Rida K Liamsi, ia ingin sejarah bukan sebagai sesuatu
yang beku, suatu rentetan masa lalu, tetapi memiliki kaitan langsung dengan
masa kini. Kaitan tersebut tidak musti bersifat fisik atau nyata, tetapi pasti
sekurang-kurangnya adalah rohnya. Surat dengan penulis dan pembacanya,
seolah-olah menjadi jambatan antara masa lalu dan kekininan. Waktu yang
sebelah-bersebelahan itu dihadirkan secara bersamaan.
Wahab kemudian menyambut hal itu
dengan menulis, “Selalu kita baca, usahlah disebut judul dan pengarangnya,
prosa dengan latar belakang sejarah, dihadirkan ke masa kini sebagai museum.
Sejarah dipaparkan dengan pemotongan suatu waktu tertentu, ketika apa yang
disebut sejarah itu berakhir, misalnya pada periode tertentu. Tak ada upaya
untuk menyambungnya dengan kekinian selain harapan agar orang dapat mengambil
iktibar dari apa yang terjadi sebagai pelajaran. Tentu hal ini tidak salah,
tetapi dalam suatu proses penciptaan karya sastra, hal tersebut terasa
mengganjal.”
Wahab tampaknya tak keberatan
ketika saya katakan bahwa penghadiran dua masa yang membias kehadiran masa di
depannya itu dalam suatu buku, menawarkan konsep bahwa sejarah mengalir dan
bekerja seperti roda gerigi. Suatu peristiwa tidak berdiri sendiri, tetapi
disebabkan peristiwa lain dan menghasilkan peristiwa lain pula. Hal ini boleh
dikatakan menjadi pegangan Rida K Liamsi bilamana kita membandingkan buku ini
dengan novelnya yang terdahulu semacam Bulang
Cahaya dan Megat. Dalam novel
terakhir ini, peristiwa masa lalu dan masa kini dalam ukuran novel itu sendiri
terasa saling berkaitan dan saling isi, sehingga menimbulkan adanya dialog
peradaban masa lampau dengan kekinian untuk masa depan.
Saya kira, begitulah hendaknya
novel dengan latar belakang sejarah atau prosa fiksi secara umum bekerja. Ia
muncul sebagai pengorganisasian data untuk dijadikan simbol secara
abstrak—kalau puisi, data diorganisir untuk dijadikan simbol secara konkrit. Ia
menguraikan sesuatu dalam beragam perspektif, bahkan waktu sebagai inti dari
sejarah.
Cuma patutlah dijelaskan sedikit
bahwa sejarah yang dimaksudkan dalam pembacaan novel ini adalah ketika fakta
dan mitos bukanlah bagian yang dapat dipisahkan. Hal semacam inilah yang
tertanam dalam pandangan tradisi. Untuk
diingat saja, agaknya karena begitu kuat kondisi ini wujud, kajian sejarah
modern tidak lagi memandang remeh terhadap mitos maupun dongeng sebagai bagian
dari sejarah walaupun dengan syarat sebagai suatu ingatan kolektif—beberapa
kelompok masyarakat berpandangan sama terhadap suatu subjek. Sejarah pun pada
hakikatnya diingat-ingat, dicari-cari, bahkan diciptakan.
Terlepas dari hal di atas, Wahab
mungkin tidak salah ketika ia mengatakan bahwa proses merapatkan sekaligus
merekatkan semua elemen yang disebutkan di atas baik menyangkut soal waktu,
jarak, tempat dan tokoh, sebagai pembeda antara novel sejarah dengan sejarah. Meskipun demikian sesungguhnya novel sejarah
memungkinkan untuk menjadi sumber sejarah.
Soal pembuktian sejauh mana novel
sejarah menginformasikan data yang valid, memang sesuatu yang lain. Jangankan
novel sejarah, sebuah kajian sejarah yang paling ilmiah sekalipun tidak musti
langsung dapat dibuktikan. Tak mengherankan jika suatu subjek sejarah akan
menghasilkan beberapa versi. Pusat Kerajaan Sriwijaya misalnya, setengah pakar
mengatakan berada di Muara Takus, Kampar Riau, tetapi di pihak lain berpendapat
di Palembang.
Bukankah hal itu merupakan suatu
kenyataan bahwa berbagai kemungkinan dari suatu teks memang menjadi
keniscayaan. Mana yang akan dipakai, memang tergantung pada si pemakai. Sile....
*Pengantar untuk Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang karya Rida K Liamsi