Bukan Perkara Takhta - Niswahikmah
oleh Niswahikmah
“Tuh, lihat, sok agamis banget programnya. Malah
ngabis-ngabisin duit aja. Mending kan dimasukin kas.”
Astina
menggerutu lagi. Ini sudah kesekian kalinya dia ngomel-ngomel setelah pulang
dari acara pertemuan RT atau RW atau justru kelurahan. Selalu ada saja yang
mengganjal di hatinya, seolah semua orang tidak pernah bisa memuaskannya. Atau
memang seperti itu. Padahal, saya yang jadi suaminya saja tidak pernah banyak
omong dengan kopinya yang kadang terlalu banyak ampas atau kemanisan. Saya
telan saja semuanya, soalnya kalau saya ngomel akan balik terkena semprotan
macam begini: Sudah bagus dibuatin kopi,
mau enak bikin sendiri sana!
Saya
juga lupa sejak kapan Astina seperti itu. Dulu dia gadis yang ramah saat kali
pertama saya mengenalnya. Dia juga tidak banyak cakap sampai saya
mempersuntingnya. Mungkin tabiat mulut besarnya hadir ketika anak-anak kami
semakin sulit dikendalikan, atau karena dia kehilangan pekerjaan. Saya sudah
bilang saya lupa.
“Mas,
kamu kok diem aja, sih? Nggak ada rencana buat bikin skor sama, gitu?”
Menoleh
pada wajahnya yang berkerut-kerut seperti baju belum disetrika, saya bertanya,
“Memangnya aku lagi main bola? Butuh cetak skor?”
Semakin
bersungut-sungutlah dia menatap saya. Kalau sudah begini, kopi yang sudah pahit
ini malah jadi lebih pahit di lidah saya. Jadi, lebih baik saya mengalihkan
diri pada ponsel untuk membalas pesan-pesan Whatsapp
dari teman-teman lama. Namun, ternyata, itu tak mengurungkan niat Astina
untuk lanjut bercerocos.
“Mbok ya kamu itu ngerti kalo aku ini juga
kepingin jadi pengurus di kampung. Pendapatku ini mana didengar kalo nggak jadi
ibu RW? Lihat tuh, pengurus sekarang, hambur-hamburin uang doang bisanya.”
“Ya
mana ada bikin program nggak pakai uang?” saya bertanya lagi. Alis saya
terangkat naik, heran dengan jalan pikiran Astina yang semakin hari semakin
ruwet.
“Ah,
kamu ini, Mas. Nggak bisa diandelin banget, sih. Minum aja tuh kopimu!”
Inginnya
saya berseru di depan mukanya, “Kopinya nggak enak, Tin!” tapi saya tidak tega
melihat bahunya yang melorot kecewa disusul dengan cebikan di bibirnya ketika
membalikkan badan meninggalkan saya di beranda sendirian. Maka, saya biarkan.
Asyik tenggelam dengan chat dari
teman-teman di grup alumni sekolah lagi.
***
Tapi,
ternyata Astina tidak berhenti sampai di situ. Waktu itu, kebetulan saya sedang
mengajari anak sulung kami pelajaran Matematika. Baru setengah jalan, dia
datang dengan gerutuan seperti biasa. Saya sudah memelototi menyuruh diam, tapi
saya baru ingat dia punya mata yang jauh lebih bulat dibanding saya. Jadi, dia
balas melotot, dan karena sekeliling bingkai matanya pakai eyeliner, saya jadi jeri.
Mengalah
lagi, saya tanya, “Kenapa, sih, Tin? Setiap pulang kumpul-kumpul, bukannya
senang, malah uring-uringan terus.”
Anak
sulung saya melanjutkan operasi hitungnya dengan cara yang sudah saya ajarkan,
tidak peduli dengan pembicaraan kami—atau setidaknya pura-pura tidak peduli.
Lagipula, dia sudah kenyang dengan tabiat ibunya yang semakin dia besar justru
semakin menjadi.
“Bu
Anton tuh, cari gara-gara terus. Kemarin-kemarin sok ramah sok baik sama
anggota kelurahan. Akrab-akraban. Bikin program baru di sana. Terus bikin
pengajian nyedot dana kas sama urunan individu pula. Sekarang malah mau naikin
tarif dana sosial buat lawatan kalau ada yang mati. Itu ‘kan jadinya nggak
sukarela. Tadi aja banyak yang mukanya langsung kusut, kok.”
“Kalo
banyak yang nggak sepakat, ‘kan nggak mungkin digarap, Tin, programnya. Kamu
bisa unjuk suara di sana. Jangan ngomel di rumah terus, percuma,” sahut saya
tenang.
Astina
mendengus. “Masa aku terus, Mas? Pak RW juga ‘kan mempertimbangkan suara
laki-laki. Nah laki-lakinya itu sukanya iya-iya terus, nggak ada inovasi. Nggak
kreatif. Kayak kerbau dicocok hidungnya.”
“Bukan
dicocok hidungnya, Tin. Emang programnya bagus buat lingkungan, kenapa enggak?
Lagian kalau iuran buat orang meninggal ditambah, kita pasti masih bisa bayar.
Nggak sampai semahal uang masuk sekolah juga, ‘kan? Itung-itung sedekah.”
Tidak
rela, Astina mengabaikan pendapat saya. Dia mengipas-ngipaskan buku ke wajahnya
untuk meredakan amarah, kemudian tatapannya beralih lagi pada saya. Kali ini
dengan pandangan penuh harap. Saya langsung merinding melihatnya. Kalau sudah
melayangkan tatap seperti itu, biasanya ada saja permintaannya yang aneh-aneh.
“Kamu
sudah bisa, Nak?” saya mengalihkan perhatian pada anak sulung saya lagi.
Astina
baru bicara setelah anak saya mengangguk-angguk karena paham. “Mas, aku yang
bakal gerak. Kamu tinggal nyalon aja. Pasti menang. Aku bisa kumpulin
suaranya.”
“Tin,
aku nggak pernah berambisi—”
“Tua
aku kalo nunggu ambisi kamu,” pangkas Astina ketus. Dia beranjak menuju kamar,
mengabaikan saya yang menghela napas putus asa dengan tingkahnya. Seperti
remaja yang baru masuk pubertas—ataukah memang dia baru masuk masa pubertas
kedua?
***
Jadi,
ketika dua bulan berikutnya foto saya terpajang bersama bakal calon RW
lainnya—total ada empat—saya tidak begitu terkejut. Idealnya, saya harusnya
marah-marah karena Astina bahkan tidak mengabari saya sebelum itu. Dua bulan
terakhir dia berhenti ngomel-ngomel, jadi lebih baik pada saya, dan tiba-tiba
kopinya jadi lebih enak. Saya pikir dia sudah sadar dan mulai berubah, namun
nyatanya saya tidak menyangka punya istri seorang penjilat. Tapi bagi saya,
penjilat tidak seburuk itu, karena masing-masing dari kita pernah menjadi jenis
orang seperti itu. Terutama di waktu-waktu kepepet.
Mungkin Astina juga terjepit—dijepit tepatnya. Dijepit oleh kemarahan dan
ambisi sendiri.
Boleh
dibilang saya suami yang tidak ideal. Sudah telanjur diceburkan ke sumur oleh
istri sendiri, saya justru menenggelamkan diri. Terpaksalah saya mengikuti
rangkaian acara, mulai dari kampanye—ya Tuhan, ini hanya pemilihan RW, bukan
Presiden—sampai ke hari pemilihan.
“Tin,
emang gajinya jadi RW berapa, sih?” tanya saya malam itu. Astina masih sangat
antusias menyimak perolehan poin, meski saya sudah tahu hasil akhirnya tidak
akan membuatnya tidur nyenyak nanti.
“Nggak
banyak, Mas. Tapi kita bisa dapat kredibilitas dan loyalitas dari warga,”
balasnya dengan mata berseri-seri. Selanjutnya dia kembali memerhatikan papan
perolehan suara sambil menangkupkan tangan di depan dada.
Saya
tidak paham dengan jalan pikirannya. Hanya untuk mendapat loyalitas, bukankah
ada lebih banyak cara yang bisa ditempuh? Apakah cuma nyalon yang bisa membuat saya jadi kredibel? Bahkan, menjadi orang
yang ramah dan bekerja dengan baik di kantor saja sudah membuat predikat itu
bisa disandang secara cuma-cuma.
“Mas.
Kamu tadi milih dirimu sendiri kan?” suara Astina tiba-tiba terdengar panik.
Buru-buru
saya mengangguk menjawabnya. “Sesuai sama arahan kamu.”
“Tai
anjing,” gumamnya, “pasti ada yang curang.” Matanya memindai papan perolehan
skor dengan kobaran emosi. Saya mengusap lengannya untuk menenangkan, tapi dia
tidak bisa dibuat lega.
Saya
kalah malam itu. Astina mengusir saya dari kamar. Samar-samar saya dengar dia
menangis. Suaranya teredam oleh sesuatu, tetapi hati saya teriris mendengarnya.
***
Paginya,
seperti baru mendapat wangsit dari
mimpi semalam dan punya stamina baru, Astina memasak dengan semangat. Dia
membersihkan rumah dan menyiapkan setelan baju kerja saya dengan tersenyum.
Ketika saya terus-menerus menguliti tingkahnya dengan skeptis, barulah dia
mulai berbicara. Dia tidak peduli bahkan jika itu waktunya sarapan dan ada anak-anak
di samping kami.
“Takhta
itu bisa dikudeta. Pak Harto yang presiden saja turun karena dilengserkan.
Apalagi hanya RW,” katanya percaya diri. Dia melahap nasi goreng buatannya
dengan air muka bahagia.
Anak
sulung saya memutar-mutar sendoknya, seperti tidak berselera. Sedangkan anak
bungsu saya kebalikannya, cuma peduli dengan rasa nasi goreng dan segarnya air
putih. Masa bodoh dengan ucapan ibunya.
“Tin,
ada baiknya kamu berhenti saja sampai di sini.” Saya menyentuh jemarinya sambil
menatapnya lembut. Dulu, tatapan ini juga yang membuatnya tak berkutik dan
segera menjawab ‘iya’ untuk lamaran saya.
Tapi,
sepertinya kini itu tak lagi mempan. Dia malah berontak. “Mas, kamu mau
diatur-atur sama orang kayak gitu? Nggak peduli sama kepentingan orang banyak?
Egois dan semaunya sendiri.”
“Kita
bicara lagi nanti, ya.” Saya melirik jam tangan, kemudian meminta anak-anak
segera bersiap untuk berangkat. Mereka dengan patuh mengikuti saya ke mobil.
Sedangkan Astina hanya mencium tangan saya tanpa mengantarkan kami ke gerbang.
Sudah biasa, tabiat buruknya keluar kalau perasaannya tidak baik.
Saya
menunggu sampai anak-anak tertidur waktu membicarakan persoalan ini dengan
serius. Waktu itu, lagi-lagi Astina menata kasur sambil ngomel-ngomel. Dia
bilang, dia sudah keluar banyak uang untuk ibu-ibu kompleks supaya mau memilih
saya sebagai RW. Dia juga sudah tahajud bermalam-malam, minta restu ke
orangtuanya (bahkan saya tidak tahu dia melakukan ini), dan juga minta dukungan
dari Ibu Lurah. Tapi, masih saja saya gagal.
“Kamu
itu kredibel, loh, Tin. Dan aku ingin sekali jadi suami loyal di mata kamu,”
potong saya sambil mencekal tangannya. Dia berbalik dan matanya bertanya
mengenai maksud saya.
“Maksudku,
kamu nggak perlu pengakuan kredibel dari mereka. Dan, mereka akan sangat loyal
sama kamu kalau kamu berbuat baik pada mereka,” jelas saya. Ketika Astina mau
menyahut, untuk kali pertama saya menyelanya. “Aku ini suami kamu, Tin. Sampai
kapan kamu mau membantah dan merasa pendapatmu paling benar?”
Netranya
menyala, namun kemudian dia menunduk. Diam-diam saya rindu dengan Astina yang
begitu pendiam, jauh di masa lalu. Maka, malam itu saya bertekad untuk
mengembalikan dia, setidaknya menjadikannya jauh lebih baik. Tidak lagi nyinyir
sana-sini dan ngomel untuk hal yang tidak berfaedah.
“Tin,
kita hidup di dunia ‘kan cuma sekali. Apa enaknya sih, bikin ribut terus?
Memangnya nggak bisa dibicarakan baik-baik? Kita kan nggak bisa bermusuhan
dengan keluarga Pak Anton hanya karena perkara kursi RW. Kalo kata orang Jawa, gak ilok. Nggak pantes, Tin.” Saya
mengusap kepalanya, berusaha memberikan sugesti agar dia melunak.
Dia
terdiam. Lama. Kemudian saya sadar kalau dia mulai menangis. Malam itu,
kalaupun keesokan harinya dia tetap tidak berubah, saya tidak peduli. Saya
memeluknya dan menangkap semua kesedihannya untuk dipantulkan keluar, supaya
kotoran-kotoran dalam sanubarinya terangkat pergi. Barangkali tangis itulah
pelepasan yang dibutuhkannya, yang saya kurang pahami selama ini.
Di
sela tangis, dia berbisik, “Aku cuma mau dihargai. Pendapatku didengar. Diakui.
Aku nggak pernah dapet itu dari siapa pun. Kenapa dari mereka juga enggak?”
Saya
seperti dihantam gada. Bahkan ketika Astina masih pendiam, tak banyak cakap,
dan penurut, saya sangat jarang memujinya. Saya jarang berdiskusi dengannya
mengenai sesuatu. Kalau kami saling berbeda pendapat, saya cenderung tak ingin
memperbincangkannya lebih panjang. Saya tidak mau berterus terang hanya untuk
menambah masalah. Ternyata itulah poin penting kesalahan saya selama ini. Keteledoran
saya dalam mendidik istri.
Dugaan
saya salah. Bukan Astina haus kredibilitas, takhta, kekuasaan, atau
mengharapkan loyalitas berlebih dari orang lain. Ia hanya menginginkan
pengakuan, penghargaan atas apa yang sudah dia lakukan.
Saya
pun langsung bilang, “Maafin aku, Tin.”
Jadi,
besok paginya, Astina berhenti mempermasalahkan soal kekalahan saya jadi RW.
Dia melayani anak-anak dengan baik, terkadang berbincang akrab lagi dengan
mereka. Saya melihat sinar matanya yang dulu telah kembali. Astina telah
kembali.
Tapi,
pagi di hari Minggu itu, tiba-tiba Bu Dharma, tetangga dari blok depan rumah,
datang sambil marah-marah di depan pagar saya. Saya kira ini urusan Astina
lagi. Langkah saya berkejaran, hanya untuk menemukan pipi Astina sudah ditampar
oleh wanita bertubuh tambun itu.
“Kamu
kalau urus anak yang benar, dong! Lihat dia udah mukul anak saya ini!”
O,
ya, selalu ada konsekuensi dari setiap kesalahan orangtua, terlepas bahwa kami
sudah memaafkan diri masing-masing. Saya mendekat, melindungi Astina, kemudian
mulai berperan menjadi seorang ayah. Dalam hati saya berdoa, tolong
jangan buat saya gagal menjadi seorang ayah seperti saya sempat gagal menjadi
suami, ya Tuhan.
___
Niswahikmah, seorang mahasiswa prodi Bahasa Arab yang juga aktif
menulis dan mengirimkan karyanya ke berbagai media. Di usianya yang kesembilan
belas, ia telah menerbitkan dua buku tunggal dan sepuluh antologi bersama.
Kini, ia aktif berkiprah di Forum Lingkar Pena (FLP) Sidoarjo sebagai kadiv
kaderisasi.