Dari, Bersama, dan Kepada-Nya Jua, Sayang Tersampang - Griven H. Putera
oleh Griven H. Putera
Bismillahirrahmanirrahim.
Horatius, kritikus Romawi
mengatakan bahwa puisi haruslah indah dan menghibur (dulce), sekaligus berguna
untuk mengajarkan sesuatu (utile).
Abdul Qahir
al-Jurjani, ahli estetika Arab-Persia abad ke-12 M, benar ketika mengatakan
bahwa puisi – betapapun ringkas dan bersahajanya – adalah makna yang menurunkan
makna-makna. Ini karena puisi menggunakan bahasa figuratif atau majaz yang
dalam kodratnya sarat dengan fiksionalitas dan nuansa. Melalui bahasa figuratif
itulah bangunan ruhaniah puisi yang begitu terstruktur dibentuk. Bangunan ini
menurut Ibnu ‘Arabi, merupakan kias atau perupaan simbolik dari apa yang
disebut ‘alam misal’. Membaca ungkapan esetetik puisi adalah ibarat melihat
manusia. Kita sebaiknya tidak berhenti melihatnya sebagai sebuah sosok lahir,
tetapi sebagai badan halus, yaitu refresentasi pengalaman dan visi keruhanian
penyair. (Abdul Hadi W. M., 2007).
Untuk membangun
‘dunianya sendiri’ penyair mengungkapkannya dengan bahasa yang khas, estetis,
dan penuh imaji. Untuk meraih pencapaian estetis, penyair memainkan efek rima,
aliterasi, asonansi, konotasi, dan simbol. Pemanfaatan secara optimal rima,
aliterasi, asonansi, konotasi, dan simbol ini menjadikan sastra, juga puisi
memiliki tiga sifat, yaitu framing
‘penciptaan kerangka seni’, disinterested
contemplation ‘kontemplasi objektif’, dan aestetic distance ‘jarak estetis’. Sifat sastra yang framing menjadikan setiap individu
penyair mempunyai ciri tersendiri yang dapat membedakannya dengan penyair lain.
Sifat yang disinterested contemplation
berarti sastra merupakan wujud ekspresi dari hasil renungan sastrawan atas berbagai hal atau obyek yang
menstimulasi jiwanya. Sebuah obyek yang sama pada dua orang penyair atau lebih
akan melahirkan hasil kontemplasi yang berbeda. Dan, saat dibaca oleh pembaca
akan melahirkan kontemplasi yang berbeda pula dalam tiap pembaca. Sedangkan aestetic distance mengakibatkan sentuhan
estetis yang berbeda antara sastrawan satu dengan yang lain sekaligus
menimbulkan efek estetis yang berbeda pada tiap-tiap pembaca. (Tjahjono
Widarmanto., 2007)
Menurut Wellek dan Austin Warren,
salah satu bentuk penciptaan kerangka seni adalah pemakaian bahasa, termasuk
pilihan kata. Begitu pentingnya pemanfaatan bahasa ini sehingga seringkali
bahasa disebut sebagai bahan mentah sastrawan. Keterhubungan bahasa dengan
sastra adalah berupa lingkaran bahasa yang diterobos oleh lingkaran sastra di
berbagai wilayah bahasa (Sudiri Satoto., 1995). Bagaimana dengan puisi-puisi
Musa Ismail dalam buku ini?
***
Penyair merupakan guru kehidupan. Penanya menaburkan wangi hikmah bagi alam
yang mengantarkan cahaya agar anak manusia memetik bintang dan menimang bulan,
mengajari arti kemerdekaan, menunjukkan bagaimana mengukir peradaban agar
menjadi bangsa bermarwah, agar menjadi manusia, hamba yang tak lupa asal
penciptaannya. Untuk itu jangan hidup dalam timbunan dosa, jangan kemaruk harta
dan kuasa, hidup dalam pura-pura. Perut gendut bagai badut. Jangan jadi keledai
dungu. Hiduplah penuh kejujuran. Hidup jangan jadi Abu Lahab yang terbakar di
apinya sendiri. Gunakan kalbu, mata, dan pikiran jernih agar punya rasa dan
perisa dalam menerabas gelombang kehidupan yang penuh tipu daya dan nafsu hawa
diri hingga sampai ke pantai kebahagiaan. Berhijrahlah. Kata Musa Ismail, “jangan
jadi pelaut yang karam dihempas waktu...”
Seperti penyair atau pemuisi lainnya, Musa Ismail sang sastrawan merupakan
manusia terluka, risau, dan amat peduli pada lingkungannya akibat berbagai hal,
tersebab berbagai masalah dalam meniti dan menyelami laut kehidupan. Ketika
teori tak sepadan dengan kenyataan, di saat manusia melawan fitrahnya dan
melawan kehendak Tuhan serta alam maka
pada saat itulah nyanyian hati yang lara, cuca rindu yang sunyi dan sepi, serta
tangis pilu menyayat jadi senjata, dan kata-kata pun berhamburan bagai peluru
rindu yang memuntal dan siap ditembakkan dalam puisi, yang tumpah ruah serupa
tombak hujan di kala laut dihempas badai. Ya, tembak menuju ‘lamat. Humban mengintai tangkai.
Musa adalah guru, dia juga penyair.
Karena ia guru maka ia mafhum bahwa guru katanya merupakan suluh di
setiap keluh: “...adalah pelita di remang
malam/ dari seragam sekolah hingga safari berdasi/ duduk tenang di kursi-kursi/
di perusahaan dan di dewan-dewan/ pahlawan berjasa itu tersenyum berseri/ telah
berhasil menyemai mimpi...”
Puisi juga baginya merupakan nyanyian tanah airnya. Lagu sendu tentang
bendera. Ia amat mencintai negaranya, banyak puisi ditulis tentang Indonesia
tercinta. Rasa cinta yang sampai mati. “...jangan
tinggalkan merah putih dalam malam badai, kata Musa. Gantung kuat-kuat pada tulang kita,
katanya lagi.
Puisi juga mantra penggugah ihwal sejarah, percakapan senja tentang agama,
tentang ihwal cinta yang tak sudah atau tentang yang ada dan bergejolak di dada
serta alam sekitarnya. Maka tak hentinya ia bertutur, berdodoi, meringis,
geram, menggugat, menyentak dan menghentak tentang Melayu, tanjak, lempeng
sagu, lendot, batu, sungai, laut, Selat Malaka, Siak, Bengkalis, Karimun,
Sungai Selari, Tanjung Samak, Teluk Belitung, Batam, Selatpanjang,
Sungaipakning, Padang Panjang, Pekanbaru, perahu, kapal, kolek, sampan, sultan,
Ramadan, kemerdekaan, air mata, istana, Kakbah, Rakhine, Palestina, Rohingya,
Jakarta, dan sesuatu yang bersangkut kait dengan ihwalnya sendiri.
Sebagai zuriat Melayu-Islam, tentang Allah Subhanahuwataala dan Muhammad Sallallahu
alaihi wasallam tak lekang dari aroma munajatnya. Banyak puisi bertema
ibadah dan dimulai dengan bismillah
serta dikhatam dengan alhamdulillah.
Banyak luahan dan ekspresi yang berkisah tentang Tuhan dan Rasul pilihan.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Semua dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Seluruh langkah kehidupan akan dipertanggungjawabkan. Kaki, mata, telinga,
pikiran, dan lain sebagainya suatu ketika akan diperhitungkan. Suatu saat akan
dipertanyakan. Maka kajilah diri, siapa dia, di mana kini dan akan ke mana
nanti.
Puisi Kita; “Mari kita baca!/ Dedaunan kering jatuh ke
tanah, menjadi lumut/ Mengapa kita juga yang menghabiskannya?/Sudah beribu abad
kita berlagak dalam kaca hampa/ Tertimbun tanah juga kita akhirnya.”
Puisi Segumpal Tanah: ”... Langkah-langkah yang menjejaki tanah-Mu/ adalah dari segumpal
tanah dari tangan-Mu/ menjadi putih, menjadi hitam/ lalu, kembali dalam kekosongan/
Diam”
Dunia kampung singgah.
Akhirat baka adanya. Allah Ar-Rahman nyata wujud-Nya, Ar-Rahim sifat luas-Nya,
Al-Ahad tempat kita menuju akhirnya. “Sebab kita mengalir dari telaga kasih
yang sama,” kata Musa dalam puisi di Telaga Kasih.
Kalau begitu, tentu ke mana lagi sayang dan cinta hendak kita sampangkan, rindu
penuh seluruh hendak kita labuhkan? Puisi Merajut
Rindu-Mu: “Tak perlu kautumpahkan
rindu pada bisu yang panjang/ Sebab, sunyi ’kan merajuk di pelupuk waktu/ Bunga
kasih yang ’lah tumbuh pada pohon hati/ Akarnya ’kan lapuk membusuk dimamah
sepi/ Marilah kita rajut rindu pada kembang-kembang di taman Tuhan”
Manusia makhluk lemah, tempat berhimpun pepat papa-kedana. Kepada Tuhan ia
bergantung, kepada Nabi Muhammad Saw ia berjunjung dan menanam rindu yang bukan
semu. Kata Musa Ismail dalam Rinduku
pada Rasul: “...Tunggu! Suatu saat nanti/ Akan kubawa setangkai melati/
Sebagai tanda rinduku tak pernah berbagi...
Musa Ismail juga tak pernah lupa pada ayah-bunda. Ibu merupakan mata air kebahagiaan, juga
angin yang meniup layar kehidupan. Di keluasan samudera hati ibu dan ayah
ditemukan hamparan Surga indah milik Yang Kuasa. Dan ia siap menjadi puisi bagi
sang ibu. Kata Musa; “Bunda, ada
cinta seluas surga, air mengalir di bawahnya/ Merayap dari pintu-pintu rahimmu/
Lalu, membawaku terbang laksana elang/ Menguasai gelombang-gelombang/ di lepas
lautan...” Atau
puisi Dari Rahim Ibu; “Ibu,
munajatmu mengalahkan serapahmu/ dekapmu penuh hangat, pembalut lukaku/
Ibu, Ibu, Ibu!/ Akulah puisimu”
Dalam
Purnama 15: “...dari bilik-bilik ilmu, Guruku, Ayahku/ Air mata ini adalah salam
takzim/’kan kujaga purnama 15 darimu di ceruk hatiku...”
Selain
ayah-bunda, permata dunia bagi manusia adalah anak cucunya. Musa pun berpesan
kepada mereka dalam Terbanglah, Anakku
Sayang: “Anakku sayang, hari-hari adalah perubahan
dan pembaharuan, tak pernah resah/ Bergelayutlah pada mimpi dan langkah
bermarwah/ Jangan pasung dirimu dengan tumpukan sampah-sampah//Terbanglah
tinggi, Anakku sayang/ Memetik bulan, memetik bintang/ Jangan lupa kembali
pulang//Di sudut sekolah dan rumah ini, tak ada
lelah/ Abah, Emak, dan guru-guru menanti/ Ingin bersama, terbang kelilingi
matahari”
Sebagai zuriat Melayu, maka Melayu dengan segala ihwalnya menjadi alat
(bukan diperalat), dan media untuk menyampaikan sisi luhur, telus, dan agung
dari elemen kemanusiaan, sejarah, ketuhanan, dan berbagai persoalan transenden
dalam puisi-puisinya. Musa menyadari bahwa menjadi manusia Melayu merupakan
menepati takdir jadi insan terpilih (baca: insan pilihan), dan ia amat bangga
dengan itu karena dengan Melayu dan segala khazanahnya, dengan Melayu dan
sejumlah kekayaannya, semua yang dilihat, dibaca, dipelajari, dicecap dan
dititi menjadi diri, terang bak bersuluh matahari; nyala bak bulan dibasuh.
Maka ia pun membuat nubuat; Tak Malu Kita
Jadi Melayu.
Walaupun begitu, demi cintanya pada Melayu dan segala perniknya, tak
sedikit pula puisi-puisi yang menggugat dan mempertanyakan tentang Melayu, Riau,
dan segalanya. Dalam puisi Barelang,
Tangisan Khianat yang Belum Terurai Musa mempertanyakan: “Ya Tuhan, mengapa aku
begitu terasing di rumah sendiri?” Dalam puisi Sungaipakning, Pelabuhan Peluh: “...Selat menjadi getir melewati pipa
yang berkarat/ Nyala api di pipa itu pun meredup, bukan karena hujan/ Tersebab
cinta yang mulai mati di simpang hati,/ Sunyi”
Bahasa Melayu yang rancak, sasa, dan gemulai, rasa bahasa Melayu yang dalam
dan berperisa menjadi wadah dan saluran air dari pucuk gunung kreativitasnya,
dari sumur dalam imajinasinya. Semua dibancuh dengan harapan, semangat dan
keilmuan. Sebagai guru bangsa
dan penyair, Musa tak jemu membangkitkan semangat anak zaman. Musa bukan
hanya guru di ruang kosong yang berisi bangku anak sekolah yang belajar
angka-angka dan huruf-huruf lahir. Ia menjadi guru bagi kampus besar kehidupan.
Ia berdiri sebagai pengkhotbah yang
menyala-nyala, bukan hanya di mesjid, sinagog, pura, gereja, dan
mushalla, yang siap membakar semangat anak bangsa untuk bangkit, berlari, dan
berlayar jauh menembus badai menuju pantai harapan. Ia berteriak lantang
melalui puisi, bersyair melalui sabda pujangga, melukis lewat sebatang kalam.
Kata Musa, ’’Kita adalah air. Kita
adalah angin. Kita adalah hutan. Kita adalah sungai. Kita adalah pikiran dan
perasaan yang berjabat tangan. Deru badai, deru gelombang, deru topan. Setajam
keris, setajam peluru, setajam kalam. Lalu, bangkit deru-menderu, bergegas
mencabik kegagalan, mengoyak-ngoyak halangan.’’
Puisi Kepada Pewaris Masa Depan: “Di
angkasa dunia,/ Belajarlah membaca langit/ Mencintai alam, sayangi keindahan/
Tak perlu takut pada malam/ Sebab, pagi segera menjelang
Di samudera, lautan terbuka/ Berlayarlah menembus gelombang/ Teguhlah
laksana karang/ Pulau harapan ada di hadapan/ Dada kobarkan api kebenaran.”
Musa juga menggugat kebiadaban, kesal, dan geram pada berbagai ketimpangan, ketika tak ada lagi manusia dengan profesi, julukan, dan jabatan mulia apapun yang dapat membawa dan mengaplikasikan nilai ketuhanan dan kemanusiaan dalam diri ke tengah arus kehidupan. Ketika di mana-mana hanya ada gelap yang mengepung, cuma kelam yang membelam, maka Musa bercuca dalam puisi Kepada Langit: “mengapa kaulemparkan julatan api dari serpihan orang-orang/ j a h a n n a m !// membakar-laratkan kalbu-kalbu jadi kerontongan/ pun hangus melegam dalam tawa miang segelintir orang, bertingkah dengan serakah/ juga dengan dayang-dayang lerah yang terlentang pasrah/ mengangkang di ranjang panjang beralaskan sejadah kubang// laratkan gubuk-gubuk, masjid-masjid,/ pesantren-pesantren, vihara-vihara, gereja-gereja/ kuil-kuil, juga Ka’bah/ sehingga embun-embun jadi lanar sampai ke celah hijau/ tiada sisa setitik pun menitik-nitik di ceruk sukma/ ada secebis, tetapi bergelantungan pada hujung lalang/ sementara angin kencang sudah datang menjelang di tengah padang// sumur-sumur cuma memeras air mata/ karena tiada lagi mata air yang mampu sejukkan bara kalbu/ K E R O N T A N G !//
Oh, aku menyeru langit!/ kenapa tak kauperintah kepada awan-awan/
mencurahkan jalinan salju tikar sembahyang panjang/ biar menimpa serpihan api
pada hati orang-orang/ j a
h a n
n a m !// walau
kutahu, julatan api/ jahannam tak ‘kan padam/ tetap menyesak pada sekeping
hati”
Terlepas dari semua hal di atas, baik ia bicara tentang riak-riak kehidupan, dialog sunyi dengan alam lingkungan, menggugat kesewenang-wenangan, marah, dan kesal pada penindasan dan ketidakadilan, merenungi perjalanan nisbi yang segera bingkas, kontemplasi terhadap rihlah diri, refleksi, dan koreksi terhadap istana, kekuasaan dan harga diri, mempermasalahkan perjalananan peradaban yang kadang kala sungsang, maka seluruh yang didedahkan Musa Ismail dalam puisi-puisinya adalah bermula dari-Nya, dan kepada-Nya juga sayang itu tersampang. Ya, dalam bingkai menggali, mencari, menimba, menegak, mempertahankan dan mengajak kepada al-Haq (kebenaran); menuju ke jalan yang lurus; mengikuti takdir diri, menjadi khalifah fi al-ardh agar tak sesat dari amanah Ilahi dalam rangka wujud al-‘abd (hamba) yang jati kepada Allah Swt, Tuhan Ilahi Rabbi. Atau seperti kata Musa Ismail, untuk merajut rindu pada kembang-kembang di taman Tuhan...
Pesan Musa dalam Sri Laksmana, Suatu Persinggahan: “...Persinggahan ini adalah senda gurau/ Taman bermain di ujung senja/ Kita semua pasti ke sana/ Suatu persinggahan di ujung keabadian”
Apa yang diluahkan Musa tentu bagai setitik air di laut ma’rifatullah, dan sebagai manusia, ia dan kita tetap merasa apa yang dipersembahkan kepada-Nya dan alam semesta mungkin tidak atau belum berarti.
“T U H A N,/ maafkanlah aku/ karena menarah
huruf-huruf-Mu/ hingga jadi timbunan puisi/ yang mungkin tiada arti” (Puisi Mengeja Huruf-hurufMu)
Umpama seorang penyelam di lautan dalam, mungkin hanya sebutir dua mutiara yang dapat beta kutip atau lihat di samudera bahari luas ini, padahal mungkin ada ribuan atau jutaan intan berlian yang lain bersemerak di dalamnya. Kepada sidang pembaca jua pulangnya. Bacalah. Merenunglah. Ingatlah. Semakin banyak mutiara rasa ditemukan dalam buku ini maka semakin indah dan berperisa jua perjalanan spiritual diri di lautan jiwa yang penuh ombak dan gelombang ini. Begitulah sastra, ia ada dan selalu ada serta mengada untuk menuju kepada yang indah. Dan semoga suatu ketika, kita kembali juga kepada Yang Maha Indah dengan senyum dan tawa canda.
Demikian sekelumit bacaan beta terhadap suara jiwa Musa Ismail dalam bentuk puisi di buku ini. Seperti sebagian puisi Musa Ismail yang dimulai dengan bismillah, begitu juga refleksi bacaan beta ini, dan sahaya tamatkan dengan alhamdulillahi Rabb al ‘alamin.
Wallahu a’lam.
Pekanbaru, Selasa, 3 Jumadil Awwal 1440 H / 08 Januari 2019 M