Rindu itu Puisi dan Doa - Sofyan RH. Zaid
oleh Sofyan RH. Zaid
“Cinta seperti penyair
berdarah dingin yang pandai menorehkan luka.
Rindu
seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.”
Joko
Pinurbo
Pembuka
Ashley
Montagu, seorang antropolog Inggris-Amerika,
mendefiniskan cinta sebagai perasaan yang memerhatikan, menyayangi, dan menyukai
secara khusus yang disertai dengan rindu dan hasrat kepada suatu objek,
misalnya lawan jenis. Cinta di antara lawan jenis ibarat komedi putar antara rindu,
cemburu, nafsu, dan patah hati. Itulah sebabnya, Chairil Anwar menamai cinta yang
seperti itu sebagai “bahaya yang lekas pudar”.
Di antara urusan cinta, rindu adalah
yang paling banyak menyita waktu. Rindu benar-benar ‘anak nakal’ hasil
perkawinan antara cinta dan jarak yang terus mendesak menagih perjumpaan. Rindu
juga ibarat luka yang tak pernah sembuh, darahnya saja yang kadang berhenti
menetes sebentar. Rindu bisa mendatangi siapapun pencinta, apalagi penyair.
Apa yang dilakukan seorang penyair
ketika sedang merindukan kekasihnya yang jauh tak terjangkau? Menulis puisi dan
mendoakan. Dalam buku puisi Semiotika Langit karya Nila Munasari ini,
salah satunya menampung hal itu begitu kuat. Nila sendiri mengartikan rindu
pada puisi “Rindu” sebagai ‘rasa pedas’ yang melebihi cabai dan pabrika.
Tentu saja, cinta dan rindu tidak
bisa dipisahkan. Keduanya selayak dua sisi mata uang yang bisa membeli apa saja
di dunia: suka atau duka. Sebagai pencinta, Nila pun menyadari bahwa rindu itu berderak
sebab jarak, misalnya pada puisi:
JARAK
Menemukanmu,
seperti mencari
secarik sinyal di belantara hutan itu
Lambaikan tanganmu
atau teriaklah lebih jauh, kasih
Agar kelak ku tahu
seberapa jauh jarakku dan jarakmu.
Bila terlalu jauh aku
pasrah
Bila dekat
kan kusapamu dengan kidung gemuruh yang melembah.
2017
Dua Jenis Rindu
Ada dua jenis rindu yang ditulis Nila
dalam buku ini, yaitu (1) perasaan merindukan, dan (2) perasaan dirindukan. Dua
hal tersebut saling terkait. Kadang dia merasakan kerinduan pada sang kekasih
begitu kuat, kadang juga dia merasa dirindukan oleh sang kekasih begitu bahagia. Perasaan merindukan
bisa kita baca pada puisi:
JURANG
Di tengah bibir
udara,
ada wangi langit yang
tumbuh memekar.
Dihimpit antara
jurang dan belukar;
sama seperti
merindumu yang belum usai.
Dapat kupastikan,
merindumu yang belum
usai adalah jurang
antara kenikmatan dan
penderitaan.
Gn Munara, 26 Juni
2017
Selain merasakan rindu, dia juga merasakan
bagaimana rasanya dirindukan oleh sang kekasih, seperti pada puisi:
RISALAH
RINDU
Risalah-risalah
itu masih kususun rapih, bahasa-bahasamu pun masih kekal di kepalaku. Kadang
sesekali aku membuka lembaran itu, sihir apa yang menyihirmu hingga kau hobi
sekali mengirimkanku sebidang kata yang selalu tabah menunggu balasanku.
Risalah-risalah itu
masih kususun rapih, namun apa daya kisah sudah seharusnya letih. Biarkan kata
rindumu kumuseumkan menjadi puisi, sesekali dan kesekian
kali.
2018
Dua Jenis Puisi Rindu
Selain dua jenis rindu, Nila juga
menulis dua jenis puisi rindu dalam buku ini, yakni (a) puisi rindu yang menggunakan
kata ‘rindu’, dan (b) puisi rindu yang tidak menggunakan kata ‘rindu’. Itulah
salah satu unsur menariknya buku ini. Mari kita baca puisi rindunya yang
menggunakan kata ‘rindu’:
BERHENTILAH KASIH
O, kasih
Berhentilah
mengipaskan bayangmu di kedua mataku
Menyanyikan lagu lama
pada deburan ombak
Merampas embun pada
aurora yang mulai mengendap
Menginap-nginap di
kantung kepalaku yang terkoyak-koyak
Lalu menyedot siluet yang
kerapkali tumbuh merangkak
Berhentilah
kasih!
Biarkan
rindu ini menjerit
Di atas
kidung kalbu yang kian memekik
2016
Sementara itu, Nila juga menulis
puisi rindu tanpa kata ‘rindu’ pada puisi:
BAIT KE BAIT
Dari bait ke bait
Namamu tak pernah
lupa kuketik
Juga sari-sari tawamu
Yang kerapkali
hilangkanku dari pelik
Meski ku paham bahwa kau tak paham perihal itu
Kalamku tak pernah
kau tahu
Kau boleh caci maki
rasaku
Tapi jangan harapku!
Kudus, 2018
Rindu Berubah Doa: Semoga!
Dalam buku ini, Nila tidak hanya
asyik mengungkapkan perasaan merindukan dan dirindukan. Namun dia juga sampai
pada kesadaran bahwa puncak (dari) rindu adalah doa. Kesadaran tersebut, bisa
kita rasakan betul pada puisi “Kembali”, dia menulis: Dahsyatnya
semesta rindu / Bertahta
pada sajadah panjangku. Doa adalah harapan. Apakah harapan Nila dari kerinduannya
itu? Mari kita intip pada puisi:
SAMAWA
Tak ada obat rindu
yang paling mujarab selain menikahi
Ketika akad
berkumandang
Ada sebuah kelegaan
yang tak tergambarkan
Akad ibarat sebuah
salam menuju jenjang kedewasaan
Menyatukan hati yang
berbeda pandangan
Tuhan Maha Romantis
Membolak-balikan rasa
yang tak pernah habis
Tuhan Maha Baik
Semoga sakinah
mawaddah beserta rahmah takkan naif dan menipis
12 Desember 2017 .
Setelah rindu menjadi doa, doa
menjadi harapan, dan harapan pun menjadi kepasrahan. Sebagai manusia, Nila
menyadari batasannya. Pada puisi di bawah ini kita bisa rasakan kepasrahannya:
RENJANA TAK BERNAMA
Embun dan Senja
Kita adalah sepasang
ada dan tiada
yang bersemayam di
garis metamorfosa
Kita adalah rangkuman
kisah yang terbelah
Kita perlu melempar
arah
Juga perlu
menyembelih waktu yang pernah ragu
Kita perlu memangkas
tegas rasa takut
pada harapan yang
lepas
Kita tak perlu
gelisah perihal renjana
Biar Tuhan yang
menertawakan doa
dan kita yang
mengamini bersama
Sebab kita setuju
Bahwa bahagia tak
mesti bernama
Tangsel, 29 Maret
2018
Rindu, Doa, Harapan, dan
Kepasrahan yang Bersyarat
Dasar penyair! Ternyata Nila tak
berhenti sampai di sini. Di antara semua rangkaian itu, dia memberikan sebuah
syarat yang unik pada kekasihnya. Apa itu?
SEUTUHNYA AKU
Cintai dulu puisiku
Sebelum kelak
Kau cintai
Seutuhnya aku
2017
Penutup
Demikianlah rindu dalam buku ini.
Rindu -yang sebagaimana- diyakni al-Ghazali sebagai ‘kecenderungan jiwa yang
terus menguat pada sesuatu yang bisa mendatangkan manfaat’. Sampai di sini, Nila
mengerti benar apa itu cinta –mencintai atau dicintai- dan bagaimana rindu yang
menyita waktu. Hal itu terungkap dalam pengakuannya:
KETIKA AKU DICINTAI
Ketika aku dicintai
Aku laksana sebuah
kamus yang banyak dicari kosakatanya
Tentang kembangbiak
maknanya
Tentang perubahan dan
tata bahasanya
Ketika aku dicintai
Aku laksana
selebritis yang sering diincar kabarnya
Juga laksana air yang
selalu dinanti sejuknya
Ketika aku dicintai
Duri-duri berubah
menjadi mawar putih
Kemacetan jalan
berubah menjadi lenggang
Ketika aku dicintai
Gadget akan bekerja
lebih lama dari biasanya
Dan ponsel akan lebih
sering bergetar bak frekuensi jiwanya
2017
Pada akhirnya, membaca puisi-puisi
rindu dalam buku ini mengantarkan kita pada apa yang juga diyakini Helvy
Tiana Rosa,
bahwa dalam cinta, jarak hanya mampu memisahkan raga, bukan jiwa. Jarak tak
bisa menjauhkan mimpi, imaji, dan kenangan dari seorang pencinta yang diam-diam menjelma menjadi rindu paling dalam.
Jakarta, 22 November 2018
___
*Prolog untuk buku puisi Semiotika Langit karya Nila Munasari, Harasi, Kalimantan Tengah, 2018
___
*Prolog untuk buku puisi Semiotika Langit karya Nila Munasari, Harasi, Kalimantan Tengah, 2018