Bola Lampu - Asrul Sani
oleh Asrul Sani
Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat menceritakan cerita sebagai berikut kepada saya:
Pernah sekali saya memperoleh penyakit cinta lampu dan cinta matahari. Cinta matahari ini tidak berapa lama, hanya seminggu, yaitu sewaktu saya masih bekerja antara pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Kalau pukul 1 memperoleh waktu beristirahat seperti untuk makan tengah hari, terlebih dahulu saya memandang mengap-mengap ke langit seperti ikan di daratan, baru saya pergi makan. Penyakit cinta ini demikian mendalamnya, sehingga sesudah seminggu saya tidak tahan lagi, lalu minta berhenti. Sekarang saya mengeluh kepanasan kalau berjalan dalam cahaya matahari. Lagi pula ia tidak memberi akibat apa-apa kepada saya.
Penyakit cinta lampu saya lebih berat: Dan saya tidak menyangka-nyangka bahwa ia akan berkesudahan dengan kecewa, geram, malu. Begini jalannya.
Saya tinggal pada suatu keluarga orang baik-baik yang bercita-cita masuk surga dan yang suka menolong orang supaya mendapat balasan jasa. Karena baiknya mereka ini, maka saya telah dianggap anggota keluarga — moga-moga Tuhan merahmati mereka dengan jalan memberi mereka rumah yang lebih besar, lebih banyak kursi dan meja, tempat tidur, dan sebagainya. Nah, karena saya telah masuk anggota keluarga, sudah tentu saja harus ikut sakit senang.
Sekali datang seorang anak muda hendak membayar makan. Ini adalah suatu celaka buat saya. Karena anak muda ini — ia perlente — memerlukan lampu untuk melancung dan untuk tidur (ia tidak memerlukan lampu antara pukul 6 dan pukul 12 malam). Akibatnya ialah lampu yang ada dalam kamar saya harus diperkecil, diperkecil lagi, hingga jadinya terlalu amat kecil. Sudah itu timbul pula semacam kemauan yang tidak tertahan-tahan: hendak membaca, hendak menulis, hendak mengarang, pendeknya hendak segala-galanya, asal saja untuk itu diperlukan lampu yang terang. Nah, sejak itulah saya mendapat penyakit cinta lampu. Ada-ada saja.
Waktu itu, kalau saya melihat lampu terang, terus timbul rasa sentimentil, agak-agak rindu dendam dalam hati saya. Kepada orang saya tanyakan, kalau-kalau mereka ada yang mempunyai lampu yang terang di rumah. Kalau dijawab ada, saya terus iri hati. Inilah orang yang paling berbahagia. Saya maklum apa sebabnya orang-orang yang tinggal di Jalan Madura misalnya berbahagia besar kelihatannya. Semata-mata karena mempunyai lampu yang terang, paling kurang 60 lilin. Filsafat hidup saya berputar sekeliling lampu. Lampu mengenakkan makan, menyehatkan otak, dan barangkali juga memperenak tidur.
Dalam pada itu saya berkenalan dengan seorang gadis yang baik, yang cantik, dan yang menurut sahabat saya tidak begitu "dingin". Perkenalan ini baik jalannya, sehingga saya berjanji akan datang sekali-sekali ke rumahnya.
Rumahnya baik, lampunya besar hingga saya katakana kepadanya bahwa saya iri hati benar melihat kebahagiaannya. Lalu ia bertanya mengapa begitu benar. Saya katakan bahwa saya tidak mempunyai lampu sebesar punya mereka. Ayahnya berkata: "Datang-datanglah kemari kalau begitu. Di sini lampu terang."
Sesudah itu saya datang sekali seminggu. Gadis itu makin lama makin cantik kelihatannya, makin banyak aksi, makin "panas".Saya makin kerap kali datang, sampai tiap malam. Setiap datang saya membawa buku untuk dibaca — sampai sekarang belum juga tamat. Akhimya saya rasa bahwa saya datang ke rumah itu bukan karena melihat lampu terang. Saya datang karena dia ada di situ. Tetapi meskipun begitu, setiap, saya datang saya berkata: "Ah, alangkah senangnya hati jika mempunyai lampu seterang itu."
Ia tersenyum mendengar perkataan saya. Apa maksudnya, entahlah. Penyakit saya tidak hilang. Dahulu saya berpenyakit "cinta lampu". Sekarang nama penyakit saya cinta "bola lampu".
Suatu kali saya mendapat kiriman dari gadis sahabat saya itu. Bungkusannya besar dan bagus dan di sampingnya ada lagi sepucuk surat bersampul biru. Waktu bungkusan itu saya buka, saya temui di dalamnya bola lampu 60 lilin. Hilang akal saya melihat bola lampu itu, Apa maksudnya?
Dalam suratnya tertulis, "Sahabat senang benar hati saya, dapat mengirim engkau bola lampu ini".
Sekarang saya tahu maksudnya. Mereka di sana telah bosan melihat tampang saya yang datang setiap malam. Sekarang dikirimkannya bola lampu, supaya saya jangan lagi "rindu lampu". Sebetulnya kalimat itu harus berbunyi,
"Sahabat ..senang benar hati saya dapat mengirim engkau bola lampu ini, sehingga engkau. tidak punya alasan lagi untuk menyatakan senang hati melihat lampu dan mulai saat ini tidak usah lagi engkau datang-datang". Nah, ini dia. Celaka tiga belas telah datang.
Semenjak itu tidak pernah lagi saya datang ke rumah gadis itu. Kamarsaya tetap gelap. Bola yang 60 lilin itu juga tidak saya pasang, karena jumlah watt untuk menghidupkannya tidak cukup.
Demikianlah, karena tak ada lampu, saya beroleh penyakit cinta lampu. Lalu saya beroleh kiriman bola lampu. Karena kiriman ini saya kehilangan "bola lampu" yang lain, yang menurut pikiran saya tidak akan kurang dari 200 lilin cahayanya. Dalam cahaya yang besar ini rasanya akan dapat saya mengarang sebuah cerita yang 300 halaman tebalnya.***
Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat menceritakan cerita sebagai berikut kepada saya:
Pernah sekali saya memperoleh penyakit cinta lampu dan cinta matahari. Cinta matahari ini tidak berapa lama, hanya seminggu, yaitu sewaktu saya masih bekerja antara pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Kalau pukul 1 memperoleh waktu beristirahat seperti untuk makan tengah hari, terlebih dahulu saya memandang mengap-mengap ke langit seperti ikan di daratan, baru saya pergi makan. Penyakit cinta ini demikian mendalamnya, sehingga sesudah seminggu saya tidak tahan lagi, lalu minta berhenti. Sekarang saya mengeluh kepanasan kalau berjalan dalam cahaya matahari. Lagi pula ia tidak memberi akibat apa-apa kepada saya.
Penyakit cinta lampu saya lebih berat: Dan saya tidak menyangka-nyangka bahwa ia akan berkesudahan dengan kecewa, geram, malu. Begini jalannya.
Saya tinggal pada suatu keluarga orang baik-baik yang bercita-cita masuk surga dan yang suka menolong orang supaya mendapat balasan jasa. Karena baiknya mereka ini, maka saya telah dianggap anggota keluarga — moga-moga Tuhan merahmati mereka dengan jalan memberi mereka rumah yang lebih besar, lebih banyak kursi dan meja, tempat tidur, dan sebagainya. Nah, karena saya telah masuk anggota keluarga, sudah tentu saja harus ikut sakit senang.
Sekali datang seorang anak muda hendak membayar makan. Ini adalah suatu celaka buat saya. Karena anak muda ini — ia perlente — memerlukan lampu untuk melancung dan untuk tidur (ia tidak memerlukan lampu antara pukul 6 dan pukul 12 malam). Akibatnya ialah lampu yang ada dalam kamar saya harus diperkecil, diperkecil lagi, hingga jadinya terlalu amat kecil. Sudah itu timbul pula semacam kemauan yang tidak tertahan-tahan: hendak membaca, hendak menulis, hendak mengarang, pendeknya hendak segala-galanya, asal saja untuk itu diperlukan lampu yang terang. Nah, sejak itulah saya mendapat penyakit cinta lampu. Ada-ada saja.
Waktu itu, kalau saya melihat lampu terang, terus timbul rasa sentimentil, agak-agak rindu dendam dalam hati saya. Kepada orang saya tanyakan, kalau-kalau mereka ada yang mempunyai lampu yang terang di rumah. Kalau dijawab ada, saya terus iri hati. Inilah orang yang paling berbahagia. Saya maklum apa sebabnya orang-orang yang tinggal di Jalan Madura misalnya berbahagia besar kelihatannya. Semata-mata karena mempunyai lampu yang terang, paling kurang 60 lilin. Filsafat hidup saya berputar sekeliling lampu. Lampu mengenakkan makan, menyehatkan otak, dan barangkali juga memperenak tidur.
Dalam pada itu saya berkenalan dengan seorang gadis yang baik, yang cantik, dan yang menurut sahabat saya tidak begitu "dingin". Perkenalan ini baik jalannya, sehingga saya berjanji akan datang sekali-sekali ke rumahnya.
Rumahnya baik, lampunya besar hingga saya katakana kepadanya bahwa saya iri hati benar melihat kebahagiaannya. Lalu ia bertanya mengapa begitu benar. Saya katakan bahwa saya tidak mempunyai lampu sebesar punya mereka. Ayahnya berkata: "Datang-datanglah kemari kalau begitu. Di sini lampu terang."
Sesudah itu saya datang sekali seminggu. Gadis itu makin lama makin cantik kelihatannya, makin banyak aksi, makin "panas".Saya makin kerap kali datang, sampai tiap malam. Setiap datang saya membawa buku untuk dibaca — sampai sekarang belum juga tamat. Akhimya saya rasa bahwa saya datang ke rumah itu bukan karena melihat lampu terang. Saya datang karena dia ada di situ. Tetapi meskipun begitu, setiap, saya datang saya berkata: "Ah, alangkah senangnya hati jika mempunyai lampu seterang itu."
Ia tersenyum mendengar perkataan saya. Apa maksudnya, entahlah. Penyakit saya tidak hilang. Dahulu saya berpenyakit "cinta lampu". Sekarang nama penyakit saya cinta "bola lampu".
Suatu kali saya mendapat kiriman dari gadis sahabat saya itu. Bungkusannya besar dan bagus dan di sampingnya ada lagi sepucuk surat bersampul biru. Waktu bungkusan itu saya buka, saya temui di dalamnya bola lampu 60 lilin. Hilang akal saya melihat bola lampu itu, Apa maksudnya?
Dalam suratnya tertulis, "Sahabat senang benar hati saya, dapat mengirim engkau bola lampu ini".
Sekarang saya tahu maksudnya. Mereka di sana telah bosan melihat tampang saya yang datang setiap malam. Sekarang dikirimkannya bola lampu, supaya saya jangan lagi "rindu lampu". Sebetulnya kalimat itu harus berbunyi,
"Sahabat ..senang benar hati saya dapat mengirim engkau bola lampu ini, sehingga engkau. tidak punya alasan lagi untuk menyatakan senang hati melihat lampu dan mulai saat ini tidak usah lagi engkau datang-datang". Nah, ini dia. Celaka tiga belas telah datang.
Semenjak itu tidak pernah lagi saya datang ke rumah gadis itu. Kamarsaya tetap gelap. Bola yang 60 lilin itu juga tidak saya pasang, karena jumlah watt untuk menghidupkannya tidak cukup.
Demikianlah, karena tak ada lampu, saya beroleh penyakit cinta lampu. Lalu saya beroleh kiriman bola lampu. Karena kiriman ini saya kehilangan "bola lampu" yang lain, yang menurut pikiran saya tidak akan kurang dari 200 lilin cahayanya. Dalam cahaya yang besar ini rasanya akan dapat saya mengarang sebuah cerita yang 300 halaman tebalnya.***