Bukan sebuah Kebetulan - Mahar Alima
oleh Mahar Alima
Aku yakin semua manusia percaya waktu berarti. Bukan apa-apa, ini perkara yang banyak tidak disadari selama ini. Waktu berarti karena manusia sendiri yang menyadari adanya. Aku tidak bermaksud kalau ada orang yang tidak sadar waktu lantas mereka bukan manusia. Mereka tetap manusia. Hanya saja kemanusiaannya tidak lengkap. Mungkin saja masih ada di tempat yang belum dikunjungi. Atau boleh jadi ada pada waktu lain. Mungkin juga tidak sama sekali.
Kesadaranku pada waktu terjadi begitu saja. Saat sekonyong-konyong aku menoleh dan melihat perempuan berdiri di sampingku. Di antara banyak orang yang hadir pada acara bedah buku siang ini, hanya perempuan itu yang membuatku tertarik. Aku merasa pernah melihatnya. Tapi aku juga tidak begitu yakin. Hanya aku masih penasaran.
Seketika itu juga ruangan penuh sorak-sorai. Orang-orang berteriak dan tepuk tangan. Aku kaget. Sontak aku pun ikut tepuk tangan dan tanpa sadar kakiku menendang kakinya. “Maaf!” ucapku sesal. Perempuan itu menoleh sambil tersenyum. Tidak salah lagi, perempuan itu benar orang yang pernah kutemui di sebuah lapak toko buku bekas beberapa waktu lalu. Aku sangat yakin ia juga merasa seperti apa yang ada dalam pikiranku. Ketika menoleh tadi, senyumnya yang lama memberikan isyarat bahwa ia merasa ada yang aneh. Dan tentu ia sedang menerka.
Kuberi ia jeda untuk kembali tepuk tangan bersama yang lain. Semua orang tersenyum, termasuk perempuan itu. Tetapi aku tidak. Aku masih mengumpulkan keberanian untuk menyapanya lebih dulu. Kira-kira kata apa yang pantas kudahulukan atas pertemuan ini. Eh. Ah, itu sepertinya kurang sopan setelah tadi aku melakukan kesalahan padanya. Mungkin hai. Ya, hai terdengar lebih berbobot.
“Hai!” ucapku. Tapi perempuan ini tidak juga menoleh. Suara pembicara di depan lebih mengusai pendengarannya. Rupanya ia masih tersenyum. Sungguh aku melihatnya cantik sekali. Senyum yang tidak dibuat-buat, pikirku.
Aku sempat berpikir untuk menendangnya lagi. Sebagai usaha untuk bisa langsung mengalihkan pandangannya. Terus terang saja, aku sudah tidak sabar untuk melihatnya lagi. Syukur-syukur dikasih senyum lalu mengenalnya lebih jauh. Plok! Plok! Plok! Gemuruh tepuk tangan kembali bergema. Tapi sebentar saja. Namun saat itulah aku tepuk tangan sendiri. Sangat nyaring. Semua orang sempat menoleh mencari sumber suara. Tapi aku langsung menghentikannya.
Perempuan itu tertawa sambil menutup mulut dengan kedua lengannya. Sepintas ia menoleh, dan itulah saatku mengutarakan maksudku. “Sepertinya kita pernah bertemu, hei!” tegurku terbata-bata.
Ia kembali menoleh dan melihatku yang duduk santai di sampingnya. Matanya masih seperti tadi, terlihat menerka sebuah kejadian yang barangkali sudah dilupakannya. “Kita bertemu di toko buku bekas. Dan kau saat itu sedang cari buku bacaan sastra. Tepatnya kita bertemu di Blok M,” terangku untuk meyakinkan bahwa kita memang pernah bertemu.
“Oooh. Iya iya. Baru inget, sorry!” jawabnya singkat. Mendengar itu aku merdeka. Sebuah perasaan bebas untuk lalu menikmatinya lagi. Lagi. Dan lagi.
Akhirnya kami berbicara sedikit panjang tapi tidak sampai melebar. Setelah dirasa obrolan cukup, perempuan itu memberiku kontaknya. Barangkali butuh, katanya.
###
Ini hanya basa-basi. Kau boleh percaya. Boleh juga tidak. Tapi tolong dengarkan dulu ceritaku ini. Nanti kau akan tahu, kalau cerita ini berguna bagimu. Kumulai saja bercerita, kau jangan kemana-mana. Ceritanya begini:
Dua hari yang lalu aku bertemu dengan perempuan manis di toko buku bekas. Kuyakinkan ini kepada kolegaku si Bai, lelaki si rambut setengah pirang itu. “Sungguh, Bung! Perempuan itu cantik sekali,” kataku malam rabu itu.
“Saya percaya ucapanmu. Tapi sudah kau dapat kontaknya?”
“Soal itu saya belum berani. Nanti dianggap lancang.”
“Sekarang saya jadi ragu terhadap kecantikan perempuanmu itu.”
“Apa katamu? Perempuanmu? Yang benar saja!”
“Kau ini lelaki. Seharusnya keberanianmu mengalahkan perasaan burukmu itu.”
“Tapi, Bung. Saya masih yakin akan bertemu lagi” ucapku mantap. Memang, di dunia ini keyakinan mutlak sudah disepakati hampir seluruh manusia bahwa cukup Tuhan satu. Lebihnya dari selain itu, boleh mengumpulkan banyak keyakinan untuk kemaslahatan hidup. Seperti keyakinanku bertemu perempuan itu.
“Lalu apa yang kalian lakukan selama pertemuan singkat itu?” tanya Bai penasaran.
Kuceritakan bahwa pada kios ke sekian, tanpa sengaja tentunya aku melihat seorang perempuan mendongak ke rak atas melihat entah judul, pengarang, penerbit atau bahkan sampul jajaran buku. Tentu niatnya ke sana untuk membeli buku. Tapi sebelum membeli, jika tidak membawa daftar yang mau dibeli sudah pasti mencari-cari buku bagus buat bahan bacaan. Sama sepertiku.
“Cari buku apa?” tanyaku dari belakang.
Ia tampak terkejut melihatku. “Eh. Nggak. Apa, Cuma cari buku bacaan aja sih. Kamu?” tanyanya kemudian barangkali untuk membuang rasa kagetnya
“Sama,” jawabku pelan. “Ngomong-ngomong suka genre apa? Sastra, agama, atau apa?” tanyaku lagi sok akrab.
“Lebih kepada sastra. Tapi kesini bukan buat cari buku sendiri sih. Beliin titipan doang!”
“Tapi intinya sama kan? Cari buku.”
Lantas perempuan itu tertawa gembira. Aku bahagia juga melihatnya. Senyum perempuan memang selalu menarik. Dapat dipastikan, penciptaannya tidak sembarangan. Apalagi perempuan ini. Dengan penampilan sederhana, dan tak kulihat ada polesan bedak di pipinya. Sungguh aku masih ingin lama-lama bersamanya.
###
Dan seperti yang kuduga, sederhananya perempuan itu membuatku tertarik untuk mengenalnya lebih. Malam ini, aku yang memulai obrolan melalui pesan media sosial. Tidak disangka pembicaraan kami bukan hanya panjang, tapi juga mulai melebar. Awalnya kami hanya tanya perkara identitas masing-masing. Lambat laun kemudian pembicaraan mulai kemana-mana. Tanpa tema. Asal suka saja. Obrolan pun mengalir adanya.
Dalam sejarah perkenalan, ada satu pertanyaan yang jarang bahkan kalau perlu tidak pernah ditanyakan. Kukira pertanyaan ini lebih penting daripada status hubungan diri, hubungan sosial atau pun agama. Pernah kau bertanya pada orang yang baru kau kenal pertanyaan ini: untuk apa kau mengenalku? Atau alasan apa aku harus mengenalmu? Pasti tidak kan. Dan aku coba tanyakan pada perempuan itu.
“Kalau salah, apa kita tidak berteman lagi?” tanya lainnya sebelum menjawab.
“Kita tetap berteman. Ini bukan ujian kelas, tidak ada hukuman.”
“Bingung jawabnya. Karena pertanyaan itu seharusnya dariku.”
“Kau tak perlu menjawabnya sekarang. Kuberi kau waktu berpikir untuk menjawabnya dengan baik.”
“Aku bisa menjawabnya sekarang kalau kamu mau. Aku juga bisa menjawabnya kapan pun kalau aku mau,” jawabnya tegas. “Beri waktu lima menit!” pintanya dalam balasan cepat.
Aku cekikikan mendengarnya. Kuduga ia akan menjawab takdir. Sebab demikian kuatnya keyakinan masyarakat terhadap agama. Bukan salah, tapi bagaimana takdir itu dijelaskan untuk memperoleh pemahaman. Karena dengan menjawab takdir, seakan sudah selesai. Takdir tidak bisa dijelaskan, bisanya diterima begitu saja. Tanpa penolakan.
Cling! Suara nada pesan dari ponselku. Perempuan itu sudah berpikirnya, “Kita bertemu karena kebetulan. Kebetulan kau menegurku di toko buku bekas itu,” jawabnya polos.
“Takdir?”
“Iya takdir.”
“Apa kau bisa menjelaskan dari takdir pertemuan kita?” tanyaku nakal.
“Tapi kenapa kau bertanya soal ini?”
“Nanti aku juga akan menjawabnya sendiri.”
“Cukup aku percaya takdir. Takdirlah yang mempertemukan kita!”
Malam semakin malam. Waktu berjalan begitu saja. Aku belum memberikan jawaban atas pertanyaanku sendiri. Aku juga tidak tahu apa perempuan itu masih menunggu. Kubiarkan ponselku tergeletak begitu saja di sampingku. Layarnya masih menyala, sinarnya menerangi jangkauan mata.
“Aku nggak mau tidur dengan rasa penasaran,” balas lagi perempuan itu pada jam 22.30 WIB.
“Hahaha,” tulisku. “Jawabannya hanya satu kata,” aku masih mengambil nafas untuk menuliskannya di ponsel. “Keterkaitan,” tulisku akahirnya.
“Aku butuh penjelasan!” pintanya.
“Perempuan memang selalu butuh kepastian. Hahaha,” jawabku penuh canda.
“Baiklah. Dengarkan ini! Bagiku keterkaitan itu berhubungan dengan dua sisi. Seperti sisi aku dan kamu. Ada ‘dan’ sebagai penghubungnya. Itu juga termasuk salah satu keterkaitan. Karena tidak mungkin jika sesuatu itu tidak memiliki keterkaitan lantas akan bertemu secara kebetulan. Sama halnya dengan simbol plus dan minus, keduanya diciptakan untuk melengkapi satu sama lain. Sama halnya dengan kutub utara dan kutub selatan, keduanya juga diciptakan untuk melengkapi satu sama lain. Baik kutub utara maupun kutub selatan, keduanya sama-sama memiliki daya tariknya masing-masing. Kurang lebih demikian,” jawabku melalui pesan suara.
“Jadi kita saling bertemu karena keterkaitan, bukan kebetulan semata?”
“Kalau kebetulan, tidak akan ada tindak lanjut lebih jauh semisal menukar kontak demi sebuah percakapan yang panjang. Kebetulan menciptakan keengganan, sedangkan keterkaitan membuat kita tanpa dirasa mendapatkan hal lain yang menambah kenyamanan dalam hidup. Sehingga kita akan melakukan penyesuaian tanpa disadari,” terangku lagi.
“Jadi sebenarnya nggak ada kata kebetulan dalam hal apa pun?”
“Kebetulan ada ketika kita menolaknya untuk kebetulan kedua bahkan ketiga, karena jika kita menerima kebetulan kedua itu artinya bukan lagi kebetulan tetapi keterkaitan atau kau boleh juga menyebutnya keterikatan.”
“Menarik!”
Itulah saat aku merasa kemerdekaan seutuhnya milikku. Waktu yang berjalan begitu saja, ingin kunikmatinya lagi. Lagi. Dan lagi!
22.45 WIB
Jakarta, 21 Januari 2018
Mahar Alima lahir di Sumenep pada akhir Orde Lama. Kini tercatat sebagai mahasiswa aktif di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sesekali menulis, namun untuk sementara lebih suka membaca sambil menikmati macetnya Jakarta. Tinggal di Jakarta, kontak +6282298137482