Honeymoon di Surga - Norham Abdul Wahab
Oleh Norham
Abdul Wahab
“Baginda
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam terlihat segera berdiri dan tersenyum
malu, sembari membuang wajah dan pandangannya dari jasad Sayyidina Zahid
radhiallahu’anhu. Dan ketika ditanya, rupanya perilaku Baginda Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam itu disebabkan datangnya sesosok bidadari yang
cantik bermata jelita dari surga, yang diperintahkan Allah subhaana wata’ala
untuk menjemput ruh mulia pemuda itu.”
“MALAM ini kita akan bermudzakarah tentang
‘Pernikahan Surga’. Inilah pernikahan yang tinggi sekali nilainya di sisi Allah
subhaana wata’ala. Banyak sekali yang
bercita-cita mendapatkan hadiah dari Allah subhaana
wata’ala agar dapat menjalani ‘Pernikahan Surga’ ini,” ujar WakItam,
tiba-tiba. Padahal, ia masih berdiri dan belum lagi duduk di depan meja kecil
di hadapannya, yang biasa dijadikan tempat tumpukan kitab-kitab yang akan dimudzakarahkan.
Jemaah mustami’ Majelis ‘Kisah Wak’ di Surau
Abdul Wahab malam itupun tak ada yang membantah. Semua diam saja, bersetuju
saja. Hanya pikiran mereka saja yang terbang ke sana ke mari mendengar kata
‘Pernikahan Surga’ yang diucapkan WakItam tadi. Macam-macam terjemahan muncul
dalam pikiran: lain bayangan dalam kepala jemaah ikhwan, lain pula dalam
bayangan jemaah akhwat.
WakItam
memulainya:
Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu adalah seorang pemuda
yang tinggal di Suffah, Masjid Nabawi. Ia adalah sahabat yang sangat dikenal
oleh Baginda Nabi Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam. Dan ia adalah seorang ahli pedang yang selalu menyertai Baginda
Nabi shalallahu’alaihi wasallam
berperang, untuk membela agama Islam.
Dan ketika ia
sedang mengasah pedangnya di sekitar suffah
Masjid Nabawi, Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam melihat dan mendatanginya. Ketika itu, Baginda Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersama
beberapa sahabat radhialallhu’anhum
yang mendampinginya. Tentu saja, mendengar salam dari Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, Sayyidina
Zahid radhiallahu’anhu terlihat
terkejut dan gugup. Ia tak menyangka.
“Wahai Zahid, selama
ini engkau sendiri saja. Padahal, usiamu mungkin sudah tidak lagi muda,” tanya Baginda
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam,
ketika itu.
“Allahu bersamaku,
ya Rasulullah,” jawabnya, joss.
“Maksudku, kenapa
engkau masih membujang saja dan belum berumah-tangga. Apakah engkau tidak
hendak menikah, wahai Zahid?”
“Ya Rasulullah,
aku ini seorang buruk rupa. Wajahku tidak tampan. Dan aku seorang yang tidak
memiliki pekerjaan yang tetap. Siapalah yang mau bersuamikan aku, siapalah yang
mau bermenantukan aku, ya Rasulullah.”
“Asal engkau mau,
insyaallah akan menjadi mudah,” sabda Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, meyakinkannya. “Adakah seorang wanita
yang engkau sukai, wahai Zahid?” tanya Baginda Nabi shalallahu’alaihi wasallam, dengan suara perlahan dan senyum lembut.
Merah padamlah
wajah Sayyidina Zahid radhialallahu’anhu,
ketika itu. Betapa tidak, rupanya wanita yang diidam-idamkan menjadi istrinya
adalah seorang wanita yang sangat cantik jelita, dan dari keluarga bangsawan
yang kaya raya. Maka, dengan malu-malu setengah berbisik, ia menyebut sebuah
nama kepada Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam.
Karena ikut
mendengar, maka sahabat radhiallahu’anhum
yang ada di situ, bergumam bergemuruh. Sebab, nama wanita yang disebut
Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu
adalah seorang wanita yang betul-betul dikenal sangat cantik jelita, salah
seorang kembang Kota Madinah. Dan ia adalah anak seorang sahabat bangsawan dari
golongan anshar yang kaya raya.
Baginda Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam tersenyum
mendengar nama itu. Lalu beliau meminta salah seorang sahabat radhiallahu’anhu untuk membuat sepucuk
surat, yang isinya melamar wanita yang bernama Sayyidatina Zulfah binti Said radhiallahu’anha, untuk Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu. Dan ini tentu saja
membuat sahabat radhiallahu’anhum
kembali bergumam, sembari berkata, “Alangkah beruntungnya Zahid… Alangkah
beruntungnya Zahid…”
Setelah surat
tersebut selesai, Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam menyerahkannya kepada Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu, untuk dibawa kepada keluarga Sayyidina Said radhiallahu’anhu. Lalu, Baginda
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam
bersama sahabat radhiallahu’anhum
yang menyertainya menuju Masjid Nabawi. Sesekali, masih ada di antara mereka
yang berucap dengan suara perlahan, “Alangkah beruntungnya, engkau Zahid…
Alangkah beruntungnya, engkau Zahid…”
Tak selang lama,
setelah sedikit membersihkan diri, Sayyidina Zahid radhiallahu’anhupun tampak berjalan gembira menuju ke rumah Sayyidina
Said radhiallahu’anhu, untuk
mengantarkan surat dari Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam. Sesampai di sana, setelah pintu rumah terbuka dan Sayyidina Said radhiallahu’anhu menyambutnya di depan
pintu, ia berkata, “Wahai Said, aku diutus Rasulullah untuk melamar anakmu
Zulfah…”
Belum selesai
kalimat yang diucapkan, Sayyidina Said radhiallahu’anhu
sudah masuk kembali ke dalam rumah dan berkata, “Mulialah keluarga ini…
mulialah keluarga ini… Ketahuilah, bahwa Rasulullah telah meminang Zulfah.”
Maka, keluarga itupun menyambut berita tersebut dengan suka-cita yang tak
berhingga. Sementara, Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu
masih berdiri termangu terheran-heran di depan pintu, menyaksikan semua peristiwa
itu.
“Wahai Said, sesungguhnya
Rasulullah meminang anak engkau Zulfah, untuk dinikahkan dengan aku. Ini surat
dari Rasulullah untukmu,” ujar Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu, setelah Sayyidina Said radhiallahu’anhu kembali ke depan pintu, sembari menyerahkan
sepucuk surat dari Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam kepadanya.
Sayyidina
Said radhiallahu’anhupun mengambil
surat itu dan membacanya. Dan ia seperti tidak percaya. “Wahai saudaraku,
betulkah surat ini dari Rasulullah?”
“Wahai Said,
lihatlah itu, apakah aku berbohong?”
Sayyidina Said rahiallahu’anhu masuk kembali ke dalam
rumah, sembari membawa surat tersebut. Maka, keceriaan keluarga itu hilang
seketika, berganti kemurungan yang datang. Dan Sayydina Said radhiallahu’anhu jadi penuh kebimbangan.
Sebab, dalam tradisi bangsa Arab ketika itu, seorang bangsawan harus menikah dengan
keluarga bangsawan juga, dan yang kaya juga hendaknya menikah dengan orang dari
keluarga kaya.
Tentu saja,
awalnya keluarga ini berkeberatan untuk menikahkan anaknya yang cantik jelita
dengan seorang Zahid yang tidak tampan dan tinggal di suffah. Namun, karena yang melamar adalah Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, maka
Sayyidatina Zulfah radhiallahu’anha
segera berkata, “Wahai ayah, jika Rasulullah yang melamar aku untuk dia, maka aku
harus segera dinikahkan dengan pemuda itu. Karena ‘Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, jika mereka diminta Allah dan
Rasul-Nya, agar Rasul yang mengambil keputusan di antara mereka, ucapan yang
muncul hanyalah ‘Kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung’.” Sayyidatina Zulfah radhiallahu’anha
mengutip ayat 51 dari surat Annur.
Sedang Sayyidina
Zahid radhiallahu’anhu yang mendengar
ucapan Sayyidatina Zulfah radhiallahu’anha
itu merasa jiwanya melayang-layang ke angkasa. Kali ini ia merasa ada rasa
bahagia yang masuk ke relung hatinya, dan rasa itu nikmat tiada taranya. Ia seperti
sedang berada dan berjalan-jalan di sebuah taman bunga yang indah dan harum
baunya.
Ia lalu melangkah
pergi menemui Baginda Nabi Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam, untuk menyampaikan berita tersebut. Dan sesampai di Masjid
Nabawi, ia langsung bersujud syukur, dan itu membuat Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam menjadi
tersenyum cerah dan ikut gembira. Sedang sahabat radhiallahu’anhum yang juga ada di situ hanya bisa menelan senyum
saja.
“Alhamdulillah… Alhamdulillah…
lamaran engkau diterima, wahai Rasulullah,” ujarnya, dengan nada sangat
gembira.
“Apakah engkau sudah
ada persiapan, wahai Zahid?”
“Ya Rasulullah,
aku tidak memiliki apa-apa, selain pedangku yang selalu aku bawa ke medan peperangan.”
Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu
tertunduk malu.
Maka, Baginda
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam
memintanya untuk menemui Sayydina Abu Bakar Shiddiq radhiallahu’anhu, Sayyidina Ustman bin Affan radhiallahu’anhu dan Sayyidina Abdurrahman bin Auf radhiallahu’anhu. Sedang sahabat radhiallahu’anhum yang ada di situ,
langsung mengeluarkan bantuan untuk persiapan pernikahan Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu dengan Sayyidatina
Zulfah bin Said radhiallahu’anha,
malam nanti. Maka, beritapun menyebar di kalangan sahabat radhiallahu’anhum ketika itu. Dan hampir semua mereka berkata,
“Alangkah beruntungnya Zahid… Alangkah beruntungnya Zahid…”
Setelah mendapat
suntikan dana segar yang lumayan besar, Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu segera ke pasar untuk membeli keperluan pernikahan.
Dan selama di pasar, ia selalu mendapat ucapan selamat. “Malam ini engkau akan
berbulan madu, wahai Zahid. Alangkah beruntungnya, engkau Zahid…,” gurau mereka
kepadanya. Ia selalu menanggapinya dengan senyum tersipu-sipu malu.
Namun, ketika itu,
tiba-tiba datang seorang penunggang kuda yang memberi pengumumam untuk berjihad
membela dan menegakkan agama Allah subhaana
wata’ala. Hati Sayyidina Zahid radhiallahu’anhupun
bimbang dibuatnya. Maka, ia memutuskan untuk kembali ke masjid. Di sana, ia
melihat kaum muslimin sedang mempersiapkan diri untuk berjihad, bersiap menuju
ke medan peperangan. Tentu saja, jiwanya sangat terganggu. Dan akhirnya, ia
memutuskan batal membeli keperluan pernikahan, dan uang yang diperoleh
digunakan untuk membeli perlengkapan perang yang lengkap: baju besi dan kuda
yang kuat.
Maka, Sayyidina
Zahid radhiallahu’anhupun
menghamburkan diri ke kancah peperangan. Dengan tunggangan kuda terbaik dan
baju besi yang menyelubunginya, ia mengamuk sejadi-jadinya dalam medan pertempuran.
Banyak sekali musuh yang dapat dibunuh. Dan ini membuat sahabat radhiallahu’anhum banyak yang terkagum-kagum
melihat seorang pemuda dengan baju besi dan berkuda menyerang musuh Allah subhaana wata’ala dengan hebatnya.
Setelah petang datang,
dan perang dihentikan, Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam memeriksa tentara muslimin yang terluka dan syahid. Ketika itulah,
dari kejauhan tampak sosok seorang pemuda yang bersimbah darah akibat luka
sayatan pedang yang sangat banyak di tubuhnya, dari celah baju besinya. Dan
ketika didekati, tahulah Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam bahwa itu adalah Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu yang malam nanti seharusnya berbulan madu dengan
Sayyidatina Zulfah binti Said radhiallahu’anha
yang sangat diidam-idamkannya.
Airmata Baginda
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallampun
tak dapat ditahan, ia tumpah dan jatuh ke tanah. Namun, tak lama setelah itu,
Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam terlihat segera berdiri dan tersenyum malu, sembari membuang wajah
dan pandangannya dari jasad Sayyidina Zahid radhiallahu’anhu.
Dan ketika ditanya, rupanya perilaku Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam itu disebabkan datangnya sesosok
bidadari yang cantik bermata jelita dari surga, yang diperintahkan Allah subhaana wata’ala untuk menjemput ruh
mulia pemuda itu. Dan tak sengaja, gaun indah bidadari tersebut tersingkap,
membuat betisnya yang indah terlihat mengkilap. “Malam ini, Zahid berbulan madu
di surga, dengan bidadari cantik bermata jelita, lebih cantik dari Zulfah,”
sabda Baginda Nabi shalallahu’alaihi
waasallam.
“Alangkah
beruntungnya engkau, wahai Zahid… Alangkah beruntungnya engkau, wahai Zahid…”
gumam sahabat radhiallahu’anhum yang
ada di situ, dengan wajah tertunduk haru.
Kabar syahidnya
Sayyidina Zahid radhiallahu’anhupun
tersebar, hingga sampai ke rumah keluarga Sayyidina Said radhiallahu’anhu. Mendengar kabar itu, Sayyidatina Zulfah radhiallahu’anhapun berdoa, “Ya Allah,
alangkah bahagianya calon suamiku itu. Aku memohon, ya Allah, jika aku tidak
dapat mendampinginya di dunia, izinkanlah aku dapat mendampinginya di akhirat
kelak. Tolonglah, hamba, ya Allah…”
WakItam diam. Dan
semua jemaah juga ikut diam. Ada air yang tergenang di kelopak mata WakItam.
Mata jemaahpun demikian juga. Bahkan, sebagian jemaah akhwat banyak yang tak
tahan, dan menangis sesegukan. Membuat suasana menjadi penuh rasa haru yang
membiru. Dan WakItam tak suka suasana itu. Iapun segera menutup Majelis ‘Kisah
Wak’ malam itu, dan segera berlalu dari situ.***
___________
(Salah satu tulisan dalam naskah SERI KISAH WAK karya Norham Abdul Wahab yang akan diterbitkan oleh TareSI Publisher, November 2018)