Pancasila Dibaca Orang Swiss - Sigit Susanto
Oleh Sigit Susanto
St.Gallen: Gedung Casa Sant Antonio di Jalan Heimatstrasse 13, 9008, St. Gallen, Switzerand perlahan dikerumuni warga Indonesia dan Swiss. Ada apa di sana? Pada pukul 10.00-17.00 Sabtu, 13 Oktober 2018, diadakan ulang tahun ke 10 komunitas diaspora Indonesia yang bernama Indonesia Swiss Club (ISC).
Baru kali ini hajatan tahunan warga perantau Indonesia ini dihadiri oleh duta besar Indonesia Prof. Dr. Muliaman Dharmansyah Hadad. Acara dibuka dengan pemotongan kue tar oleh dubes yang baru bertugas sejak 8 bulan di Swiss dan dilanjutkan pemberian kue kepada Agung Irianto, sebagai senior di komunitas.
Pembawa acara cilik bernama Fiorella membacakan susunan acara dan dengan senyum renyah, ia panggil satu per satu orang yang harus tampil ke depan.
Menjelang pukul 11.00 Ronny Oetama, salah satu pendiri yang juga mantan dosen bahasa Jerman IKIP Surabaya membuka acara sekaligus menceritakan sejarah berdirinya ISC. Wadah ini berawal dari pertemuan biasa sambil minum kopi di sebuah kafe perpustakaan kota Zürich (Stadt Bibliothek). Pada waktu itu hadir 5 teman, 2 remaja bernama Anggun dari SMA di Malang dan Raisa dari SMA di Aceh. Keduanya ikut program pertukaran pelajar dari American Field Service (AFS), Zainal Nur Arifin, mahasiswa program Doktor di Engineering Teknik Hochschule (ETH) Zürich dari universitas Indonesia (UI) Jakarta, Ronny dari Surabaya, Usep Hamzah dari Cianjur dan Sigit Susanto dari Kendal.
Pertemuan spontan itu melahirkan wadah yang sampai sekarang masih bertahan. Adapun tujuan wadah ini yang utama adalah membuat pertemuan rutin beberapa minggu sekali dengan tema tertentu yang terkait dengan isu politik, sosial, ekonomi, agama dan budaya paling aktual di tanah air. Mereka sepakat menyebut pertemuan itu Bincang Santai. Dimaksudkan bahwa pertemuan bisa di kafe-kafe maupun di rumah warga Indonesia, namun harus ada satu tema khusus yang bisa dibahas secara santai. Meskipun santai, tetapi tetap sudah diputuskan terlebih dahulu, tema apa dan siapa yang bersedia berbicara serta tak lupa setiap Bincang Santai selalu dicatat untuk diunggah di blog di internet.
Mengingat usia wadah ini sudah memasuki tahun ke 10 (2008-2018), maka sudah terkumpul lebih dari 50 kali pertemuan dan berhasil dibukukan dalam buku berjudul Sepotong Indonesia di Negeri Alpen.
Sambutan dilanjutkan oleh duta besar Indonesia untuk negara Swiss dan Fürstentum Liechtenstein. Dubes mengatakan, dirinya sangat senang bisa bertemu muka langsung dengan warga Indonesia di Swiss. Ia harapkan, baik warga Indonesia yang masih memegang status kewarganegaraannya maupun yang sudah berganti menjadi warga negara Swiss, tetaplah mengingat untuk Indonesia. Menurutnya, Swiss merupakan negara investor ke tiga terbesar dari Eropa di Indonesia. Ditambahkan presiden Swiss Schneider Amman sekarang sedang menghadiri pertemuan IMF dan World Bank di Bali dan minggu depan dijadwalkan akan bertemu presiden Joko Widodo di istana Bogor. Terakhir ajakan dubes, agar warga perantau Indonesia di Swiss tetap menjaga kerukunan dan persatuan dan nama baik sebagai bangsa yang berasal dari berbagai lintas etnik dan agama.
Usai dua sambutan berturut-turut dilanjutkan dengan makan bersama. Dari deret meja menu makanan, tertata nasi kuning, nasi putih, bakmi goreng, ayam goreng, telur rebus, rendang, ikan bumbu semur, bakwan goreng, sate ayam, kikil kambing, dan kerupuk. Pada seberang menu makanan tersedia dessert atau hidangan penutup seperti kue tape, onde-onde, bolu, kue wajik, bronies, dan berbagai kue lain.
Tepat di samping meja minuman yang menyediakan air putih dan minuman soft drink, terdapat Warung Konsuler, sebuah meja khusus dipakai Erwin, petugas konsuler dari KBRI Bern. Ia membawa perangkat seperti printer, lap top dan berbagai brosur bertema perlindungan bagi warga negara Indonesia. Erwin mengatakan, sudah banyak warga yang mendatangi mejanya dan berkonsultasi.
Sedianya Titik Nahilal Hamzah, kepala konsuler hendak datang, namun pada hari yang sama ada turis Indonesia di kota Lucern yang kehilangan paspor, untuk itu ia harus segera menguruskan dokumen perjalanan secara kilat, guna bekal perjalanan turis Indonesia tersebut.
Budi Super asal Surabaya membuka lapak di sudut dengan menjual berbagai asesoris, seperti buku bekas bahasa Indonesia dari tema sosial, politik dan budaya, serta dijual buku Bincang Santai, stiker dan kaus.
Di pintu masuk gedung sebelah kiri terpampang poster besar berisi foto berwarna kegiatan Bincang Santai selama 10 tahun dilengkapi dengan tema yang sedang dibahas.
Di depan gedung berkibar bendera Indonesia merah putih. Di sebelah kiri dan kanan depan gedung berderet puluhan puisi dalam potongan kertas kecil. Puisi yang kebanyakan bahasa Indonesia itu berasal dari berbagai penyair muda di tanah air. Sigit Susanto sebagai kordinator gantungan puisi dan menawarkan ke hadirin untuk membacakan puisi.
Sementara makanan disantap dari waktu ke waktu, lagu Koes Plus melantun di panggung dipimpin musikus Agung Irianto, pemain gitar Usep Hamzah dan Rosidi serta Magdalena Elviera, pemain Ukulele.
Wajah-wajah rindu kampung halaman sepertinya bisa diobati hanya dengan mendengarkan lagu-lagu nostalgia, apalagi semua makanan adalah khas Indonesia. Lengkap sudah aroma Indonesia diboyong ke negeri gunung Alpen ini.
Pancasila Beraksen Bahasa Prancis
Pembawa acara mengumumkan kepada hadirin, akan segera dibacakan teks Pancasila oleh Jean-Francois Bessire, salah satu warga Swiss wilayah bahasa Prancis. Maria Ronnie Sri Rohanah, sang istri asal Rangkas Bitung sudah mengajari suaminya beberapa hari sebelumnya membacakan teks Pancasila dengan tepat.
Dengan percaya diri, Jef panggilan akrabnya maju membawa selembar kertas. Ia mengenakan pakaian khas batak dengan lantang dan keras ia membacakan teks Pancasila. Untuk meyakinkan hadirin, setiap nomor dalam Pancasila, ia tunjukkan jari-jarinya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang kertas.
Saat membaca sila pertama, ia tak lupa menunjukkan satu telunjuk sebagai tekanan nomor satu. Juga saat dia membacakan sila kedua, ia pun tunjukkan dua jari kiri. Namun ada insiden kecil, saat ia membaca kata “kemanusiaan,“ agak tersendat, maka sila ke 3, 4, dan 5 tak lagi ia tunjukkan jari kirinya. Menurut istrinya ia grogi, sehingga tak berani menatap hadirin lagi.
Tentu saja setiap kata dengan diksi bahasa Indonesia yang tak pernah ia pelajari itu terdengar menjadi unik, apalagi aksen bahasa Prancisnya terdengar jelas. Pembacaan sedikit tersendat, tapi justru mengundang tawa, hingga sampai sila ke lima, ia lalui dengan penuh semangat dan menggelora.
Tamat pembacaan teks Pancasila, tepuk tangan membahana dari penonton. Panitia segera menyiapkan hadiah bukan sepeda seperti dilakukan presiden Jokowi di berbagai kunjungan di daerah, namun sepeda diganti minyak gosok dari Sumbawa dan buku tema pencak silat.
Uci Bill, penyanyi serba bisa dari berbagai aliran lagu, tampil di panggung dengan suara mencakar langit. Seketika hadirin dibuat tertegun dan bisik-bisik di sana sini, ini Anggun dari Swiss. Seperti sudah banyak orang tahu bahwa penyanyi Anggun sempat kariernya moncer di Paris dan bersuami orang Prancis, pun Uci sama jejaknya, bersuami orang Swiss.
Mendekati pukul 12.00 dubes beserta istri undur diri, karena ia masih harus menghadiri sebuah acara di universitas Lugano, ada mahasiswa Indonesia mengambil program doktor dengan mengambil study tentang batik.
Setelah musik LIVE berdendang, dilanjutkan dengan tari Tobelo yang ditarikan oleh Christine Wüillemin, Utami dkk. Tak lama lagi hadirin dipersilakan bergabung dan menari bersama dengan irama sendu riang merayu-rayu. Tarian daerah Maluku bernama Tobelo ini mirip ritme tarian Goyang Maumere. Cuma nama Tobelo sendiri bagi orang yang tinggal di Swiss teringat permen cokelat Toblerone.
Sementara suasana ruangan semakin penuh orang, hampir 120 kursi ditempati hadirin. Para hadirin mayoritas warga Indonesia, sebagian warga Swiss dan blasteran, juga ada juru potret asal Belanda yang sudah lama tinggal di St. Gallen. Diperkirakan lebih dari 100 orang hadir di saat matahari memayung terang.
Suasana santai sejenak. Siapa saja boleh menambah makanan maupun penutup hidangan dan minuman. Saatnya digelar wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci oleh Ki Sigit Susanto. Ketika suara gamelan dari CD menguasai ruangan, beberapa hadirin maju untuk menikmati cerita dan sabetan wayang lebih dekat.
Ki Sigit menjelaskan secara singkat dalam bahasa Jerman, bahwa Dewa Ruci itu semacam eksistensialisme dari timur yakni manunggaling kawulo gusti. Setelah itu pagelaran dimulai dalam dialog dan narasi bahasa Jawa. Ki Sigit juga menyebut gunung Agung yang meletus, juga keprihatinan gempa bumi di Lombok dan Sulawesi. Mengingat ada beberapa wayang yang kurang, seperti Dewi Kunti dan Brotoseno, maka dalang dari PTRI Jenewa, Ki Sri Joko Wiyono jauh-jauh datang membawakan kekurangan wayang itu.
Hiburan demi hiburan berlalu, kini manggung Boncel, pemuda asal Bukit Lawang, Medan dengan suara khas serak-serak basah. Agus Sagita, Rosidi, Usep lagi-lagi mengiringinya.
Seorang lelaki Swiss maju membacakan puisi terjemahan bahasa Jerman berjudul Zu Hause karya Iswadi Pratama, sedang versi aslinya bahasa Indonesia berjudul Pulang dibacakan oleh Sigit Susanto.
Grup rasta pemain Reggae Band asal Indonesia dari Zürich tampil di panggung. Mereka adalah Joe, Otep, Udet dan Opot. Suasana semakin semarak dan beberapa hadirin maju ke depan berdansa. Seolah-olah mereka sedang berada di Yamaika bersama Bob Marley.
Ketika acara semakin menyusut, datang seorang ibu Swiss bernama Pascale dan Amandine Mareschi, anaknya. Mengetahui Amandine pintar berbahasa Indonesia dan sebagai penari Bali, maka ia ditawarkan membacakan puisi berjudul Desa-Desa yang Tertidur karya Aharys Koeartz. Rupanya ia bersedia dan maju membacakannya dengan percaya diri.
Agung Irianto mengiringi dengan petikan gitar. Nyaris Amandine membaca teks bahasa Indonesia itu dengan sempurna tanpa kesalahan berarti. Lagi-lagi ia memanen tepuk tangan.
Tak lama setelah itu, ia didaulat naik panggung menyanyikan lagu berjudul Syantik karya Siti Badriah. Lantunan musik dan lagu mendayu-dayu itu mengundang hadirin untuk melantai lagi.
Sore sudah semakin tua, walau langit di musim gugur ini tetap terang. Acara ditutup dengan lagu kapan-kapan dan lagu nostalgia lainnya. Tampak aneka hidangan sudah habis, bersama perut-perut yang membuncit. Yang paling penting bahwa keriangan ini bukan hanya pada jenis hiburan, namun juga cara para perantau mengurusnya yakni dengan cara gotong-royong khas adat Indonesia. Baik hidangan maupun hiburan semua dengan sistem saweran, siapa membawa apa dan dinikmati bersama. Tak ada pekerjaan yang dibayar.
Segenap panitia ISC mengucapkan banyak terima kasih atas kerja sama dan bantuan apapun demi menjaga budaya dan kerukunan sesama perantau.
Zug : 15 Oktober 2018.