Khidmat kepada Para Cendikia - Mabda Dzikara
oleh Mabda Dzikara
Dalam dua minggu ini saya diberikan kesempatan untuk bisa berpartisipasi menjadi panitia dalam acara dialog lintas agama bersama Habib Umar bin Hafidz. Persiapan acara ini begitu singkat, sehingga sempat terbersit kekhawatiran bahwa capaiannya tidak maksimal. Pertemuan dengan pembicara utama pun demikian dekat dengan hari pelaksanaan, sehingga lagi-lagi kekhawatiran akan tidak maksimalnya bobot acara menjadi sebuah hal yang terus terpikirkan.
Acara dialog ini menurut saya sangat strategis dalam membangun proses dialektika keberagamaan yang lebih baik khususnya di Indonesia. Dialog bersama Habib Umar bin Hafidz dengan tokoh lintas agama kaliber nasional ini diharapkan menjadi titik awal dialog tokoh lintas agama dengan sebuah komunitas keislaman yang terkesan selama ini memang eksklusif seperti para Habaib. Hal ini seperti disampaikan oleh Pdt. Martin Sinaga kepada saya saat bertemu beliau di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, bahwa sejauh ini perbincangan antar agama yang beliau hadiri kebanyakan memang masih terbatas pada kalangan akademisi kampus atau para 'kiyai-kiyai tradisionalis'. Adapun dengan komunitas Habaib adalah sesuatu yang sama sekali baru buat beliau. Hal serupa juga disampaikan oleh Bikkhu Dammasubho Mahatera yang merupakan sahabat baik Gus Dur tentang dinamika dialog lintas agama yang selama ini berjalan di Indonesia.
Walaupun sesungguhnya Habib Umar sendiri sudah sering sekali bertemu dengan para tokoh lintas agama dunia dalam forum-forum internasional, namun di Indonesia, sependek apa yang saya pahami, dialog lintas agama dengan format acara level nasional juga merupakan sesuatu yang baru buat beliau. Sebab itu dari semua rangkaian kegiatan di Indonesia, dialog lintas agama inilah yang paling beliau apresiasi.
Bisa berkhidmat kepada Habib Umar bin Hafidz, bagi saya adalah sesuatu yang luar biasa. Namun yang tidak kalah luar biasa adalah pertemuan saya dengan para tokoh lintas agama yang begitu berkesan. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat ramah, egaliter dan sangat Inspiratif. Saya bertemu dengan Pak Uung Sendana selaku Ketua Majlis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, berkunjung ke kantor Parisadha Hindu Darma, berdialog dengan Bikkhu Dammasubho Mahatera, Romo Setyo Wibowo, Romo Magnis, dan Pdt. Martin Sinaga.
Bersama Bikkhu Dammasubho Mahatera saya diajak untuk makan siang dan melihat bagaimana proses seorang Bikkhu memperlakukan hidangan serta mengizinkan saya untuk satu ruangan bersama beliau saat menyantapnya. Sesuatu yang sebenarnya dalam etika para Bikkhu bukan hal yang biasa. Beliau bercerita tentang sosok Gus Dur yang beliau katakan sangat dihormati para rohaniawan Budha. Saya sempat bertanya apa sesungguhnya rahasia Gus Dur sampai beliau begitu dihormati? Karena Gus Dur berpikir dengan hati dan berbicara dengan rasa, jawab Bikhhu.
Bertemu dengan Romo Franz Magnis juga sangat kebetulan. Saat berada di Wisma Mahasiswa STF, selepas mengundang dan bertemu Romo Setyo Wibowo, secara kebetulan Romo Magnis baru saja pulang dari sebuah acara. Melihat undangan dari kami, beliau langsung menyanggupi untuk hadir dan menjadi pembicara dalam dialog itu dengan pertimbangan yang sangat sederhana; siapapun dan lembaga manapun yang memberikan undangan pertama kepada beliau, beliau akan hadir. Dan kami beruntung sebab tanggal 13 Oktober 2018 undangan dan surat dari kamilah yang pertama yang beliau terima. Tidak ada protokoler dan macam-macam administrasi lainnya; sangat egaliter untuk sekaliber tokoh besar yang karya-karya filsafatnya mendunia.
Dengan Pdt. Martin Lukito Sinaga pun demikian. Setelah perbincangan mengenai acara ini, beliau bahkan sampai mengantarkan saya sampai ke depan pintu mobil di halaman parkir Kampus Sekolah Tinggi Teologi dan memberikan saya buku karangan beliau; Beriman dalam dialog, esai-esai tentang Tuhan dan Agama.
Hal-hal semacam itu bagi saya luar biasa dan menunjukkan bahwa sesungguhnya semua kepercayaan dan agama berdiri pada satu pondasi yang sama, yaitu akhlak dan etika. Dalam islam sendiri pun kita diajarkan bahwa intisari dari agama sesungguhnya adalah akhlak. Dan yang kita pahami dari term akhlak secara umum adalah sama; tidak mencaci; tidak memfitnah; saling menghormati; tidak kasar dalam nasehat; dan tentu saling asah, asih dan asuh.
Saat hari H, acara dialog berjalan dengan sangat hangat dan interaktif. Saya perlu akui memang terkesan masih agak normatif, tapi ini adalah sebuah awal yang baik bagi terciptanya persatuan dan kedamaian di Indonesia yang sedang terancam dengan isu-isu sara, hoax, ujaran kebencian dan politisasi agama. Praktisnya, dialog-dialog semacam ini, khususnya yang melibatkan para Habaib yang santun dan menyejukkan akan menjadi konter narasi yang cukup efektif dalam melawan orang-orang yang tidak menginginkan Indonesia rukun dan damai.
Terakhir, sebagai tahadduts bi anni'mah saya memang perlu banyak bersyukur dan berterima kasih atas kesempatan khidmat yang diberikan oleh panitia, para guru, kiyai serta habaib di Majelis al-Muwasholah Baina Ulama al muslimin, PBNU dan Majelis Dzikir Hubbul Wathon yang telah menggagas acara ini, khususnya juga kepada seseorang guru dan sahabat yang mungkin tidak mau disebutkan namanya tapi sangat berjasa untuk acara ini. Jazakumullah khairal jaza. Yakinlah bahwa sebaik-baiknya khidmat yang kita berikan adalah khidmat kepada para cendekia, ulama dan aulia.
نعمة الخدمة هي خدمة العلماء والأولياء.
Semoga Indonesia selalu rukun dan damai.
Tabik!
Dalam dua minggu ini saya diberikan kesempatan untuk bisa berpartisipasi menjadi panitia dalam acara dialog lintas agama bersama Habib Umar bin Hafidz. Persiapan acara ini begitu singkat, sehingga sempat terbersit kekhawatiran bahwa capaiannya tidak maksimal. Pertemuan dengan pembicara utama pun demikian dekat dengan hari pelaksanaan, sehingga lagi-lagi kekhawatiran akan tidak maksimalnya bobot acara menjadi sebuah hal yang terus terpikirkan.
Acara dialog ini menurut saya sangat strategis dalam membangun proses dialektika keberagamaan yang lebih baik khususnya di Indonesia. Dialog bersama Habib Umar bin Hafidz dengan tokoh lintas agama kaliber nasional ini diharapkan menjadi titik awal dialog tokoh lintas agama dengan sebuah komunitas keislaman yang terkesan selama ini memang eksklusif seperti para Habaib. Hal ini seperti disampaikan oleh Pdt. Martin Sinaga kepada saya saat bertemu beliau di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, bahwa sejauh ini perbincangan antar agama yang beliau hadiri kebanyakan memang masih terbatas pada kalangan akademisi kampus atau para 'kiyai-kiyai tradisionalis'. Adapun dengan komunitas Habaib adalah sesuatu yang sama sekali baru buat beliau. Hal serupa juga disampaikan oleh Bikkhu Dammasubho Mahatera yang merupakan sahabat baik Gus Dur tentang dinamika dialog lintas agama yang selama ini berjalan di Indonesia.
Walaupun sesungguhnya Habib Umar sendiri sudah sering sekali bertemu dengan para tokoh lintas agama dunia dalam forum-forum internasional, namun di Indonesia, sependek apa yang saya pahami, dialog lintas agama dengan format acara level nasional juga merupakan sesuatu yang baru buat beliau. Sebab itu dari semua rangkaian kegiatan di Indonesia, dialog lintas agama inilah yang paling beliau apresiasi.
Bisa berkhidmat kepada Habib Umar bin Hafidz, bagi saya adalah sesuatu yang luar biasa. Namun yang tidak kalah luar biasa adalah pertemuan saya dengan para tokoh lintas agama yang begitu berkesan. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat ramah, egaliter dan sangat Inspiratif. Saya bertemu dengan Pak Uung Sendana selaku Ketua Majlis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, berkunjung ke kantor Parisadha Hindu Darma, berdialog dengan Bikkhu Dammasubho Mahatera, Romo Setyo Wibowo, Romo Magnis, dan Pdt. Martin Sinaga.
Bersama Bikkhu Dammasubho Mahatera saya diajak untuk makan siang dan melihat bagaimana proses seorang Bikkhu memperlakukan hidangan serta mengizinkan saya untuk satu ruangan bersama beliau saat menyantapnya. Sesuatu yang sebenarnya dalam etika para Bikkhu bukan hal yang biasa. Beliau bercerita tentang sosok Gus Dur yang beliau katakan sangat dihormati para rohaniawan Budha. Saya sempat bertanya apa sesungguhnya rahasia Gus Dur sampai beliau begitu dihormati? Karena Gus Dur berpikir dengan hati dan berbicara dengan rasa, jawab Bikhhu.
Bertemu dengan Romo Franz Magnis juga sangat kebetulan. Saat berada di Wisma Mahasiswa STF, selepas mengundang dan bertemu Romo Setyo Wibowo, secara kebetulan Romo Magnis baru saja pulang dari sebuah acara. Melihat undangan dari kami, beliau langsung menyanggupi untuk hadir dan menjadi pembicara dalam dialog itu dengan pertimbangan yang sangat sederhana; siapapun dan lembaga manapun yang memberikan undangan pertama kepada beliau, beliau akan hadir. Dan kami beruntung sebab tanggal 13 Oktober 2018 undangan dan surat dari kamilah yang pertama yang beliau terima. Tidak ada protokoler dan macam-macam administrasi lainnya; sangat egaliter untuk sekaliber tokoh besar yang karya-karya filsafatnya mendunia.
Dengan Pdt. Martin Lukito Sinaga pun demikian. Setelah perbincangan mengenai acara ini, beliau bahkan sampai mengantarkan saya sampai ke depan pintu mobil di halaman parkir Kampus Sekolah Tinggi Teologi dan memberikan saya buku karangan beliau; Beriman dalam dialog, esai-esai tentang Tuhan dan Agama.
Hal-hal semacam itu bagi saya luar biasa dan menunjukkan bahwa sesungguhnya semua kepercayaan dan agama berdiri pada satu pondasi yang sama, yaitu akhlak dan etika. Dalam islam sendiri pun kita diajarkan bahwa intisari dari agama sesungguhnya adalah akhlak. Dan yang kita pahami dari term akhlak secara umum adalah sama; tidak mencaci; tidak memfitnah; saling menghormati; tidak kasar dalam nasehat; dan tentu saling asah, asih dan asuh.
Saat hari H, acara dialog berjalan dengan sangat hangat dan interaktif. Saya perlu akui memang terkesan masih agak normatif, tapi ini adalah sebuah awal yang baik bagi terciptanya persatuan dan kedamaian di Indonesia yang sedang terancam dengan isu-isu sara, hoax, ujaran kebencian dan politisasi agama. Praktisnya, dialog-dialog semacam ini, khususnya yang melibatkan para Habaib yang santun dan menyejukkan akan menjadi konter narasi yang cukup efektif dalam melawan orang-orang yang tidak menginginkan Indonesia rukun dan damai.
Terakhir, sebagai tahadduts bi anni'mah saya memang perlu banyak bersyukur dan berterima kasih atas kesempatan khidmat yang diberikan oleh panitia, para guru, kiyai serta habaib di Majelis al-Muwasholah Baina Ulama al muslimin, PBNU dan Majelis Dzikir Hubbul Wathon yang telah menggagas acara ini, khususnya juga kepada seseorang guru dan sahabat yang mungkin tidak mau disebutkan namanya tapi sangat berjasa untuk acara ini. Jazakumullah khairal jaza. Yakinlah bahwa sebaik-baiknya khidmat yang kita berikan adalah khidmat kepada para cendekia, ulama dan aulia.
نعمة الخدمة هي خدمة العلماء والأولياء.
Semoga Indonesia selalu rukun dan damai.
Tabik!