Teknologi dan Hoax - Pramono Pido
oleh Pramono Pido
KAWACA.COM ~ Teknologi adalah ikon sebuah bangsa, bahkan tidak keterlaluan jika menyebut simbol kamajuan sebuah negara dapat di lihat pada banyaknya teknologi yang dimilikinya. Naskah kuno yang menjadi koleksi Kesultanan Bacan berisi tentang pelajaran agama Islam. Pada umumnya berisi tentang pelajaran fikih Islam yang biasa disebut Kitab Bajuri
Kita
menikmati warisan intelektual yang begitu kaya dari masa silam. Dipermudah
dengan perkembangan teknologi yang pesat, sehingga semua arsip pengetahuan
tersebut terdokumentasi rapi dalam perpustakaan maya. segalanya nampak terkesan
instan. Kita tidak perlu berfikir keras, merenungkan, kemudian merumuskan
pikiran kita secara mandiri sebagai produk pengetahuan. Kita akan lebih nyaman
mengamankan diri pada alrogaritma mesin pencari di internet seperti google.
Kenyamanan
inilah yang membawa beberapa dilema. Orang yang merasa nyaman tentu akan enggan
untuk meninggalkan comfort zone
tersebut. Kesenangan pada informasi – informasi siap saji, melumpuhkan
kebiasaaan membanding-bandingkan, menelusuri, mencari akar dari sebuah
pemikiran. Lihat saja apa yang terjadi hari – hari ini. Negeri ini seakan di buat
berantakan hanya dengan kesalahan memilah dan memilih informasi. Adagium ilmu
komunikasi memang sangat manjur di terapkan di negeri ini. “Tak perlu senjata
untuk menghancurkan negara ini. Cukup dengan mengacaukan arus informasi, maka
dengan sendirinya negeri ini kacau dan satu sama lain saling menghancurkan.” Bahkan
lebih mencengangkan lagi orang dapat menjadi siapa saja didalam pintalan cahaya
dunia maya, kita akan sangat mudah menemukan filsuf, ilmuwan,agamawan serta
sastrawan dalam media sosial khususnya facebook. Apa susahnya mencari sepotong
kalimat plato melalui google? Tentu fenomena ini tidak untuk dikutuk, namun
menimbulkan persoalan baru tersendiri jika, apa yang diungkapkan dalam dunia
maya tersebut tidak dihayati, dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Kita
menjadi bijaksana sebatas tampilan layar gadget.
Persentuhan
masyarakat dengan teknologi adalah hal yang niscaya, kita tidak bisa melarang
orang untuk jangan menggunakan teknologi, apalagi membatasi expresi yang ingin
ia lakukan. Semua itu memang tujuan dibuatnya teknologi, untuk membebaskan
manusia. Namun kebebasan memiliki dua makna. Pertama, kemungkinan untuk
memilih, kedua, kemampuan atau hak menentukan kemauannya sendiri. Kebebasan
yang seharusnya di arahkan untuk semakin mematangkan manusia justru berbalik
menjadi belenggu.
Publik memberi bobot lebih pada kredensial daripada
seharusnya bila seorang akademisi berpendapat di luar bidang keahliannya. Salah satu alasannya adalah
kecenderungan untuk membesar-besarkan tingkat di mana manusia tertentu adalah
satu kesatuan, kepribadian yang konsisten yang perilakunya mengikuti pola yang dapat diprediksi. Dia "baik" atau
"buruk", "baik hati" atau "kejam,"
"bijak" atau "bodoh," seorang "jenius" atau “intelektual”
dan sebagainya. (Sokal, 2008) . Kita seolah
mengkandangkan diri kita sendiri dalam informasi yang terlalu cepat diterima,
tanpa sempat mengambil nafas pemikiran yang panjang untuk sekedar mengecek
bagaimana informasi itu bisa disusun dan di sebarluaskan. Padahal kuriositas
kita, sudah ada sejak kita masih kanak-kanak. Seorang anak yang baru
menginjakan kakinya di sekolah dasar misalnya, senang sekali mempertanyakan
apapun. Bahkan bila diberikan jawaban dia masih akan terus mempertanyakan
kembali jawaban itu, hingga kadangkala orang tua harus menakut-nakuti untuk
menghentikan hujan pertanyaan yang ia lontarkan. Namun seiring bertambahnya
usia dan makin tinggi jenjang sekolah, kemampuan nalar kekanak-kanakan itu
seakan menjadi lumpuh. Pertanyaan terbentur jawaban mutlak, entah karena
otoritas atau kultur yang sangat feodalistik. Naluri yang sebenarya menjadi filter
kita yang di sediakan secara alami oleh pencipta itu, terbengkalai. kehilangan
fungsinya.
Monopoli
informasi oleh satu pihak memang menimbulkan keamanan namun sering menutupi
kebenaran, karena itu kecurigaan sangat diperlukan. Terlalu banyak kebenaran
dipromosikan berarti ada kebohongan yang sedang disembunyikan (Gerung, 2017) . Kecurigaan yang
dimaksud adalah sikap kehati-hatian untuk tidak terburu-buru menyimpulkan
sesuatu yang kita sendiri belum mengkonsepsikannya secara teliti. Hal ini
mencegah kita untuk secepat kilat melontarkan komentar bahkan ketika informasi
itu belum terbaca sepenuhnya, juga penting agar kita menjadi sangat sabar untuk
langsung menilai sebuah informasi tanpa ditakar terlebih dahulu.
Denyut nadi pikiran adalah pertanyaan,
tidak ada yang dapat berpikir tanpa terlebih dahulu bertanya. Bertanya adalah
permulaan dari aktivitas berpikir. Hal yang seharusnya terasah dan dijaga dalam
suasana sekolah. Apalagi dengan ditemukannya situs-situs tertentu yang dengan
sengaja dan teroganisir menyebarkab isu – isu yang menjadi bibit kebencian dan
permusuhan terhadap kelompok lain yang berbeda baik suku maupun agama. Di
tengah suasan seperti itu rasanya menjadi penting untuk bertanya. Kritisisme
merupakan organ vital dalam mengembang-biakan ilmu pengetahuan dan sekaligus
memberi kearifan kepada kita agar tidak terhasut menilai bahkan menghakimi sesuatu
sesuka hati dan semaunya saja.
Bahan Bacaan
Gerung, R. (2017, januari jum'at).
Hoax dan Demokrasi . Koran Tempo .
Mansyur, S. ( 2007 ). Peninggalan
Arkeologis Di Kepulauan Bacan. Kapata
Arkeologi , 74-99.
Sokal, A. (2008). Beyond The Hoax . New York: Oxford
University Press Inc.
________
Pramono Pido adalah Pegiat Bengkel Baca Tektonik, tinggal di Gorontalo