Puisi-puisi Daviatul Umam
Suluk Ludruk
maka berkumpullah di lapangan terbuka
memangku malam manjakan usilan angin
tatkala kelir mendedah tarian suka-cita
susah dan letih terlempar ke langit asing
putri-putri jelmaan meliuk-liuk memabuk
selendang berkibar membakar kantuk
larungkan saja segala kelayuan bunga hati
pada kidung-gamelan pembelah batu sunyi
dan terbahaklah atas kejenakaan malam
terangi diri dari kejaran gelap yang menipu
biarkan perut bebas terguncang girang
biar paruh waktu tak melulu berkicau sendu
ada saatnya asap-asap pikir disingkir
sejenak lupa usia yang perlahan mencair
ketimbang hilang sadar dilahap api duniawi
enggan ingat pada tempat cacing menanti
kemudian renungkan di lembar pungkas
kisah kerajaan abad silam berlapis asmara
tindak penguasa yang melampaui batas
juga hasrat yang kadang semena-mena
dalam ria-lara kidung terus didengung
kendang ke bonang dan peking ke gung
bersahutan menegaskan cuaca sanubari
salah satu cara mewarnai hidup nan mati
Sumenep 2018
Rayuan Tayuban
ini hari pesta
menarilah bersama-sama
menari serupa riang goyangan bumi
memanaskan sukma
dan menguras hasil tetes peluh merah
ini panggung kemuliaan
gerah gelanggang butuh siraman uang
tak ada miskin-kaya
siapa terpasrah menghambur rupiah
dialah paling gagah
rasakan nikmat tabuhan gamelan
seruling mendengking
menenangkan degup
dari seluruh kemuraman hidup
yang terang di mata
cukup belahan dada sinden nan rekah
lupakan lika-liku pemburuan isi saku
petiklah kepuasan hati
dari ranting-ranting gending berahi
tak ada aroma derita
penyesalan hanya milik mereka
yang merasa kalah
Sumenep 2018
Jaran Goyang
ke sumur ke laut tak jarang aku ikut
kakek memandikan jarannya
dijunjung aku ke punggung hewan kesayangannya itu
laksana putra panglima menjelajah perkampungan
bocah-bocah lain memandang riuh
suatu ketika
sepeninggalku dari kelucuan bangku ingusan
jadilah aku pengantin kearab-araban
ramai-ramai diarak ke luas halaman kasih ibu guru
diiringi musik kentungan dan macan-macanan berbulu tebal
menakut-nakuti penonton perempuan
ke pulau-pulau seberang
ke pelosok-pelosok desa
jaran kakek mengaduk hati penduduk
menyemarakkan hari pora dengan goyang aduhai lincah
tubuh penunggang dibuat larut mabuk
dalam arus suara saronen yang menyebab getar cakrawala
berkat latihan yang gigih
ia bisa berdiri menggunakan dua kaki
mengangguk-angguk dalam simpuh serta sujud mengendus debu
pada saat hari pawaiku tahun penghabisan
sayangnya kakek sudah pergi jauh
dibawa lari jaran-jarannya ke negeri luar jangkau kepala
memenuhi undangan terakhirnya
Sumenep 2018
Daviatul Umam, lahir di Sumenep, 18 September 1996. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa ini pernah menjabat sebagai ketua umum Sanggar Andalas. Puisi-puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama serta media cetak dan online. Sesekali juga dinobatkan sebagai juara atau nominasi di antara sekian lomba cipta puisi, lokal maupun nasional. Berdomisili di Poteran Talango Sumenep, Madura. Email: petanipuisi@gmail.com
maka berkumpullah di lapangan terbuka
memangku malam manjakan usilan angin
tatkala kelir mendedah tarian suka-cita
susah dan letih terlempar ke langit asing
putri-putri jelmaan meliuk-liuk memabuk
selendang berkibar membakar kantuk
larungkan saja segala kelayuan bunga hati
pada kidung-gamelan pembelah batu sunyi
dan terbahaklah atas kejenakaan malam
terangi diri dari kejaran gelap yang menipu
biarkan perut bebas terguncang girang
biar paruh waktu tak melulu berkicau sendu
ada saatnya asap-asap pikir disingkir
sejenak lupa usia yang perlahan mencair
ketimbang hilang sadar dilahap api duniawi
enggan ingat pada tempat cacing menanti
kemudian renungkan di lembar pungkas
kisah kerajaan abad silam berlapis asmara
tindak penguasa yang melampaui batas
juga hasrat yang kadang semena-mena
dalam ria-lara kidung terus didengung
kendang ke bonang dan peking ke gung
bersahutan menegaskan cuaca sanubari
salah satu cara mewarnai hidup nan mati
Sumenep 2018
Rayuan Tayuban
ini hari pesta
menarilah bersama-sama
menari serupa riang goyangan bumi
memanaskan sukma
dan menguras hasil tetes peluh merah
ini panggung kemuliaan
gerah gelanggang butuh siraman uang
tak ada miskin-kaya
siapa terpasrah menghambur rupiah
dialah paling gagah
rasakan nikmat tabuhan gamelan
seruling mendengking
menenangkan degup
dari seluruh kemuraman hidup
yang terang di mata
cukup belahan dada sinden nan rekah
lupakan lika-liku pemburuan isi saku
petiklah kepuasan hati
dari ranting-ranting gending berahi
tak ada aroma derita
penyesalan hanya milik mereka
yang merasa kalah
Sumenep 2018
Jaran Goyang
ke sumur ke laut tak jarang aku ikut
kakek memandikan jarannya
dijunjung aku ke punggung hewan kesayangannya itu
laksana putra panglima menjelajah perkampungan
bocah-bocah lain memandang riuh
suatu ketika
sepeninggalku dari kelucuan bangku ingusan
jadilah aku pengantin kearab-araban
ramai-ramai diarak ke luas halaman kasih ibu guru
diiringi musik kentungan dan macan-macanan berbulu tebal
menakut-nakuti penonton perempuan
ke pulau-pulau seberang
ke pelosok-pelosok desa
jaran kakek mengaduk hati penduduk
menyemarakkan hari pora dengan goyang aduhai lincah
tubuh penunggang dibuat larut mabuk
dalam arus suara saronen yang menyebab getar cakrawala
berkat latihan yang gigih
ia bisa berdiri menggunakan dua kaki
mengangguk-angguk dalam simpuh serta sujud mengendus debu
pada saat hari pawaiku tahun penghabisan
sayangnya kakek sudah pergi jauh
dibawa lari jaran-jarannya ke negeri luar jangkau kepala
memenuhi undangan terakhirnya
Sumenep 2018
Daviatul Umam, lahir di Sumenep, 18 September 1996. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa ini pernah menjabat sebagai ketua umum Sanggar Andalas. Puisi-puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama serta media cetak dan online. Sesekali juga dinobatkan sebagai juara atau nominasi di antara sekian lomba cipta puisi, lokal maupun nasional. Berdomisili di Poteran Talango Sumenep, Madura. Email: petanipuisi@gmail.com