Puisi Pilihan Norham Abdul Wahab
BACA PUISI DI
SURGA
:
scb
aku
lihat, dikau baca puisi
malam
tadi
di
surga
kapakmu
sebesar
seribu duga
sebuas
seribu singa
seberat
seribu dosa
kau
hayun,
menakik
hasratku yang luka
semburkan
darah murka ke dinding hari
yang
berlari ketakutan dikejar janji, dan
dikau
tertawa ha ha ha…
melihat
senyum rinduku merona
di
sebelah kiri,
bilal
mengetuk-ngetuk terompa
ke
hati kita
berlentang-lentung
berlengkang-lengkung
membangunkan
istirah hening bening
pemuda
ashhabul kahfi
membuat
telinga dajjal yang sebu seru
memimpikan
bisik rindu
aku
lihat, dikau baca puisi
malam
tadi
di
surga
arakmu
sebanyak
segala mau
sepuas
segala nafsu
sesedap
segala sesap
kau
teguk tanpa rasa malu
tak
memabukkan tentu tak
kau
sungam ke tekakku yang hilang rasa
sembari
berpeluk bidadari, setia nemani
bermandi-manda
di sungai madu
wangi
segala puji
di
sebelah kanan,
hamzah
meremas jantung
di
jantung kita
berdetak-detuk
berdegap-degup
menghujjah
fitnah, mariam
mulia
di kamar cinta
membuat
fir’un cemas,
memeluk
dekap kaki musa
aku
lihat, dikau baca puisi
malam
tadi
di
surga
sendiri,
ditemani
waktu yang berhenti
tapi,
aku
masih sempat melihat kelebat umar
sembunyi
di sebalik tiang layar
Mboro, 2017
DEDAP, MALIN
KUNDANG
dikaukah
yang dilokap waktu?
langkah,
tak meninggal jejak di tanah
darah,
pun tak tampak pernah singgah
namun,
tak
ada yang menjengah
tak
ada yang mendedah
tak
ada yang membantah
menjadi
cerita, dirupakan batu
menjadi
igau, dijelmakan pulau
hanya
kecipak ombak yang menggema
mengata,
malu-dara-harta sebab durhaka
hanya
asin air selat, di tekak ia lekat
melukiskan
kelatnya kerajaan khianat
selebihnya,
sangka menumpuk di dermaga
tak
ada tongkang bersedia mengangkutnya
sedari
kecil aku, dikau dah dicakap
cemas
hinggap, mak yang didekap
menitip
salam buah mempelam
sebelah
gula, sebelahnya masam
ya,
dikaulah yang dilokap waktu
raung
melolong ke langit kolong
ketika
tanjak dirampas beliung
ya,
dikaulah yang dilokap waktu
menjeritkan
sakit di waktu kasif
saat
sajadah hangus dibakar naif
ya,
dikaulah yang dilokap waktu
tak
dapat elak, jiwa tersedak
dipaksa
terbiar, tak
nampak
abah putar
dipaksa
bersabar, sebab
diri,
hati nan tengkar
:
menunggu
datang kiamat
kisah
penamat
tapi,
anak cucuku tak tahu
dikau
pernah hidup di situ
:
membuat
aku menggigil takut
membuat
aku cemaskan waktu
tapi
ah, biar sajalah
sebab,
di lembar perkabaran
nama,
tak pernah disebutkan
:
tak
ada difirmankan di alquran
tak
pernah tertulis di hadist
tak
pula tercatat di riwayat
pun
di kitab, ulama tak bermazdhab
hanya
asap, tempat ia meresap
melayang,
tak dapat digantang
dedap,
malin kundang
hanya
dikaukah yang dilokap waktu?
MBoro, 2018
KETIKA TUHAN
MEMANGGIL NAMAMU
:
mengenang kh uzairon thoifur abdillah
empat
tahun yang lalu, kita bertemu
berbincang
tentang cinta dan rindu
berdua
saja
di
ruang cahaya, harumnya bunga
dikau
bersila, aku melihat purnama
dikau
berkisah, aku mencium bau surga
sukakah
kamu, katamu
ulama
datang, membasuh ingatan
waktu
telah lelah, ingin segera istirah
“pagutlah
rindumu, gigit dan gerahamkan”
selembar
daun, berwarna kuning
terlempar
dari tangkai nan garing
senangkah
kamu, katamu
Baginda
bertamu, sematkan nasihat
ketaatan
telah sangkan, penuh keraguan
“makmumlah
kamu, aku imammu”
sebutir
putik jatuh, berukir wajah
dipetik
hari yang lesit berlari
bahagiakah
kamu, katamu
Tuhan
di situ, firmankan cinta
“Aku
sayang padamu. sebutmu satu,
Aku
seribu. berjalan kamu mendekat,
berlari
Aku songsong harap takutmu”
waktu
melompat, tak dapat dihambat
menunggu
panggilan pasti yang dijanji
tanpa
tanya, tanpa pengeras suara
tubuhmupun
luruh, ke dalam seluruh ruh
airmata
runtuh, menjelma peluh di tubuh
dan
aku, pemilik hati bernisan-batu
ingin
berdarah ditikam hikmahmu
terus,
tak henti tercurah
MBoro, 2017
KOPI SEKANAK
PENGHILANG SESAK
:
rdk
petang
nanti, kita minum kopi
di
nisan batu, tumpukan buku
ada
catatan gula di resap aroma
tertulis
manis di hirup pahitnya
bukalah
waktu, lipatan demi lipatan
marwah
kita pernah tersenyum di situ
memandang
raja-raja--permaisuri
melangkah
menari di taman surga
tanjak
selendang riuh berdendang
lalalaa…
lalalaa…
aduhai…
aduhai…
lihat,
kepul asap sekanak melangit
menjemput
dua malaikat pencatat
meluruskan
kabar-kabar mencelat
bukan
dendam kemarahan nak dilaungkan
namun,
kegeraman yang sembunyi simpan
meratap
dari bilik derit karat daun tingkap
dan
dikau menanaknya menjadi kata
aku,
menghirup sesap buih-buih sisa
bersama,
kita telan kelat kelodaknya
ya,
petang nanti, kita minum kopi
secangkir
saja, berbancuh airmata
:
kopi sekanak, penghilang sesak!
“sesaplah,”
katamu, “agar kita
tak
pernah melupakan sejarah!*
Mboro, 2018
* alinea terakhir
dikutip dari puisi Rida K Liamsi, “Secangkir Kopi Sekanak: Kepada Teja” (Sagang
Intermedia Pers, 2017, halaman 8)
LAUT 2
pada
laut kau titipkan debur
pada
gelombang menerjang
pada
angin yang garang:
bulan terkejut,
menggigil ketakutan
mendengar debarmu
yang gendang
pada
laut kau titipkan debur
pada
rawai bubu yang luka
pada
pengerih yang tertatih:
bintang takut,
disentak kecemasan
melihat tekadmu
yang genderang
di
laut,
nasibmu
tersangkut jala yang kau pasang
tak
dapat kau bawa pulang
di
laut,
hidupmu
tak sempat hanyut
direnggut
batu karang
Mboro, 2017
MENCARI NADIM
di
sini aku, pada limapuluhdua masa
tempat
todak melukiskan kematian
pada
kanvas batang pisang tumbang
bukan
wajahmu, pun wajahku
wajah
mereka, beraneka rupa
hilang
ruang, kehilangan bentuk
hilang
asma, kehilangan cahaya
kehilangan
kalimah penyanggah
ada
rindu memang, nama dipajang
ada
cinta memang, warna disulang
sonder
senyum, raut wajah gelisah
tapi
hati, butir-butir pasir mati
tempat
dikau ditikam fitnah diri
memercik
duga, memaling muka
pada
lampion malam, tergantung senyap
sepanjang
batam, sepanjang singapura
penuh
tumpat, semua sangka dan harap
tak
ada pelita, penerang
datuk
menimang marwah
tak
ada petromak, cermin
nenek
mematut wajah
hanya
sinar, lampu-lampu di taman kota
menyorot
kaki-tangan, penuh sangkaan
sembunyi
bayang, di sebalik siang terang
oh,
di mana dikau nadim, disurukkan waktu?
telah
kubuka semua lembaran
hanya
darah, kuning mengering
telah
kulapah onak rimba naskah
hanya
fitnah, tikam anak dan ayah
padahal,
matahari masih terbit
dan
bulan belum lari terbirit-birit
masih
sisakan sehelai kehendak
walau
tergeletak dilanggar todak
dan
dikau nadim, menyusun nada
kemarahan
laut yang mempesona
dan
aku nadim, masih mencari
di
batam di singapura, di celah
wangi
dan busuknya sandiwara
MBoro, 2018
________
NORHAM ABDUL WAHAB
Dulu dikenal juga dengan nama Norham Wahab. Sebuah nama yang tak dapat dipisahkan dari sejarah sastra kontemporer Riau. Ia, setelah menamatkan bangku kuliah di Ilmu Sastra FIB UGM Yogyakarta, pada pertengahan tahun 1990-an lalu, balik kandang ke Pekanbaru, dan langsung menjadi sumbu penyala gairah kesusastraan kala itu.
Lahir di Bengkalis, Riau, dari pasangan Haji Abdul Wahab dan Hajjah Siti Hawa, Norham dulu dikenal sebagai penanggungjawab halaman budaya “SAGANG”, yang disegani saat masih menjadi suplemen Harian “Riau Pos”, edisi Ahad. Dari tangan amatannya, lahir bejibun cerpenis dan penyair Riau, yang hari ini masih bertapak dengan kokoh. Sebutlah di antaranya Husnizar Hood, Ramon Damora, Syaukani Alkarim, Hang Kafawi, Murparsaulian, dan beberapa nama lainnya.
Beberapa karya cerpen dan puisinya pernah dimuat di Harian Pagi “Riau Pos”, Harian Pagi “Tanjungpinang Pos”. Karya cerpennya juga masuk dalam buku “Anugerah Sagang 2000, Kumpulan Cerita Pendek dan Puisi” (Sagang, 2000) dan buku “100 Tahun Cerpen Riau” (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, 2014). Buku kumpulan cerpen tunggal pertamanya adalah “Ulat Perempuan Musa Rupat”, diterbitkan Yayasan Sagang intermedia, Pekanbaru (Februari, 2018).
Sedang karya-karya puisinya juga dimuat dalam antologi bersama, di antaranya “The First Drop of Rain” (Antologi Puisi Banjar’s Rainy Day Literary Festival (2017); “Soekarno dan Wong Cilik dalam Puisi (2017); “Senyuman Lembah Ijen; Antologi Puisi Indonesia” (2018); “199 Penyair dari Negeri Poci 8, Negeri Bahari” (2018); dan beberapa lainnya. Sedang buku puisi “Preman Simpang” ini merupakan buku kumpulan puisi tunggalnya yang pertama. Selain itu, Norham juga dikenal sebagai seorang aktor dan sutradara, dalam berbagai pementasan teater.
Menghilang cukup lama, mantan jurnalis senior ini kini aktif di jalan dakwah, sambil menjalankan sejumlah perniagaan. Sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktu di sebuah desa kecil tidak jauh dari Gunung Lawu: Desa TeMboro, Kec. Karas, Kab. Magetan, Jawa Timur, bersama istri Yenita binti Buchari dan ketiga anaknya, Luthfiya Nadhifa Hamta, Muhammad Shidqi Rabbani, dan Annisa Zakirah Hamta. Ketika ditanya alasan hijrahnya, ia menjawab, “Kampung TeMboro adalah “Madinah Indonesia”. Sebuah kampung idaman yang indah dan nyaman untuk beribadah dan berkarya.” Kontak: +62811751800 / norhamabdulwahab@gmail.com
Baca juga:
Buku: Preman Simpang karya Norham Abdul Wahab
Baca juga:
Buku: Preman Simpang karya Norham Abdul Wahab