Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Novel Jatisaba yang Cerewet - Sigit Susanto

Novel Jatisaba yang Cerewet - Sigit Susanto

(Sebuah review dalam Puisi)
oleh Sigit Susanto


Prosa terlalu dominan. Entah, karya drama atau puisi pada akhirnya selalu dibuat review dalam bentuk prosa. Bagaimana kalau aku balik, sebuah prosa dalam bentuk novel, aku coba buat review dalam bentuk puisi?

Pada teras penerbit EA di Yogyakarta setahun silam
Seorang perempuan berkulit terang diantar Lik Ban mengulurkan: Jayasaba
Tertulis barisan kata di halaman muka : Buat Mas Sigit Susanto, tanda tangan: Ramayda Akmal
Jayasaba menyusup dalam kopor bersama keripik tempe titipan teman
Melesat ke barat dan ia tertindih buku-buku berdebu lain di lantai 
Dari sekian kali lalu lalang kakiku
Dari sekian kali buku-buku diambil dan dilempar, tertekuk sampulnya
Tiba Jayasaba aku pinang di atas pangkuanku
Sesekali ia masuk ransel, terhimpit buku Kafka, Ulysses
Sesekali aku taruh pantat di bangku menyuntuki di mulut danau

Jayasaba berhuruf kaligrafi Jawa, tak mudah dieja
Halaman demi halaman menumpuk talkative penulisnya
Cerewet benar novel ini
Bayanganku berpulang ke Akmal, ia pendiam saat itu
Kadang aku membayangkan penulis pendiam, Eka Kurniawan
Aku lebih suka, ternyata efek novelnya bicara tak mengumbar omongan
Apakah teks hasil transfer dari kebiasaan penulisnya?
Umar Kayam pernah cerita, ia dikenal di tengah keluarga sebagai pendongeng
Jika aku harus menuliskan kembali setelah khatam novel ini; 
maka aku hanya bisa bilang dua tema: pilkades dan calo TKW
Dua tema itu dibenturkan bertubi-tubi
Awalnya Pilkades dengan segala bumbu dan intrik politik ala pedesaan
Disusul calon TKW yang sembunyi-sembunyi mencari mangsa
Bumbu itu beraneka ragam, ada cinta masa lampau, jatilan, erotika dan ninja

Aku menyuntuki novel Ulysses selama 12 tahun (2006-2018) 
Aku menerjemahkan novel Proses – Kafka selama 2 tahun
Dua buku itu sungguh aku cintai dan terus membayang di benakku
Kafka dan Joyce aku anggap sebagai dewa sastraku
Ketika aku membaca novel baru, maka berkelindan dua novel di atas
Ingin sekali membentur-benturkan, entah dari sudut mana
Yeah, guru ngajiku Ulysses Pak Kiai Fritz Senn berpesan:
Baca Ulysses bisa kecanduan, tapi kecanduan intelektual
Buatku justru semakin tak berminat membaca novel lain selain dua itu

Jatisaba sudah aku lipat di benak
Seperti pohon gadung melilit di bambu kering, sayang lilitannya tak kuat
Novel ini sungguh mudah mengumbar bicara, seperti orang-orang di pasar
Small talk, photoshot, bicara apa saja, seperti celotehan sambil lalu di gardu ronda
Dialog dan narasinya sama banyak
Sayang hambar terbang ke udara
Seperti kliping koran dari berita keseharian
Tak ada unsur kejut yang membuat otot bereaksi untuk bersaksi
Seperti penjual obat di pasar yang lupa komposisi dan fungsi obat yang dijualnya sendiri
Tokoh muncul satu persatu tak mengakar dan tumbang tanpa pesan
Sampai di sini aku teringat Josef K pada novel Prosesnya Kafka
Meski Josef K tak dikenalkan lebih detil oleh Kafka, namun gesture, luapan emosi Josef membekas
Ia orang yang bimbang, antara menunggu sarapan paginya atau mengusir orang asing yang hendak menangkapnya di ranjang
Ia bimbang mencari surat penting, malah menemukan surat izin naik sepeda
Belokan-belokan mendadak yang spontan itu begitu nakal dan tak dikenal
Emosional para tokoh di dusun Jayasaba memang membuncah, tapi tidak benar-benar tumpah
Kadang aku bayangkan, teks dalam prosa yang sulit, itu justru indah
Semakin sulit dipahami, pasti cara membacanya akan : pelan, mundur baca lagi, mundur lagi dibaca
Sehingga akan menyisakan memori lebih kuat, karena dibaca berulang-ulang pada frase sama
Tapi bukan pada novel Jayasaba
Sekali baca langsung paham, ketika bacaan pertama sudah khatam, muncul cerita baru lagi
Celakanya cerita yang baru itu sama datarnya dengan sebelumnya, akibatnya bertumpuk cerita

Ulysses lebih menonjol akrobatik bahasa. 
Ada review sebut bahwa protagonis Ulysses adalah bukan siapa-siapa, baik Leopold Bloom maupun Stephan Dedalus, tapi protagonisnya adalah bahasa itu sendiri
Pada Jayasaba, Akmal menyusupkan bahasa Jawa
Seperti khas akademikus, novel ini perlu pencerahan lewat catatan kaki
Ulysses menyusupkan bahasa Swaheli dari Afrika, dialeks bahasa dunia, slang, idiom dari bahasa Latin, Yunani, Prancis, Jerman, Inggris, Hindis, Hongaria, Spanyol, nihil catatan kaki
Sepertinya Joyce tak ingin memanjakan pembacanya
Novelis sudah bersusah payah memasukkan berbagai bahasa dunia
Pembaca jangan hanya duduk manis, carilah sendiri ungkapan-ungkapan yang tak tahu
Lahirlah Anotasi, Don Gifford, salah satu juru catat frase mahasulit Ulysses
Tebal buku Anotasi itu lebih tebal dari Ulysses itu sendiri
Nah,…what wrong with that?
Sekali-kali pembaca dikasih pelajaran, biar sedikit repot
Tolstoy, Thomas Mann, apalagi Joyce kemaruk menyelundupkan bahasa asing, no footnote at all

Ada dua bagan siapi-api dari dua keluarga Dulbur dan Legok
Pohon keluarga itu baru kulihat setelah cerita tamat
Entah, aku melaju saja menuju galengan basah
Tak peduli hendak bertemu siapa
Tokoh aku, si Mae, calo TKW
Malim, sang pembela
Orang menyandera
Mae diam
Sendiri

Dusun terguncang 
Perebutan suara pilkades
Warga digiring dalam bujukan materi
Orang-orang bayaran juragan bertutup kepala
Malim limbung dalam ketidakpastian yang membara
Gao, komandan pasukan misterius berhati bejat tak bermartabat
Mae dan Gao punya masa silam yang gelap dan terkubur lautan peristiwa
Kisah pilu perempuan-perempuan blending dari majikan sepulang dari negeri manca
Sitas, si pencuri berotak cahaya, penjudi, pedagang es krim menampungnya
Luapan emosi silam itu tumpah di pelataran rumah ibu
Dari rumah tetangga itu masa silam lebih sempurna
Mae mengoceh dalam genangan duka
Ketika Kim memperkosa dirinya
Ibu bicara dengan bunga
Bunga lebih berharga
Daripada susu
Dan aku
Tamat 
Ah 
Mayor gaek
Orang-orang Dulbur
Desa menyempit menjadi kuburan
Tukang becak seperti Beatrice mengantar Dante
Jompro, begundal berharta menawarkan barter suara dan berahi
Di atas kursi Mae dan Jompro melakukan kamasutra
Mae tak menolak, seolah itu bayaran misinya

Legok dengan hamparan sawah dan rumpun bambu
Ada dua gadis Musri dan Kusi pembuat klepon
Mereka teman  sebaya dengan Mae
Semburat mata Gae
Mengiris si calo
Tenggelam
Gae pengundang ruh kuda lumping, tak bisa mengusirnya
Anak-anak muda terpana dengan sihir playboy Gae
Cerita saling teranyam dalam awan mimpi
Bukan dalam kehidupan sehari-hari
Petasan nadi lebaran di jalanan
Mardi, kandidat lurah
Dengan segala cara
Mae digebuk
Sadar
Jago-jago pilkades menabur sogokan membeli suara warga
Lambang Padi untuk Mardi, Singkong untuk Jumpro dan Jagung untuk Joko
Si Bangkring tua menangis sedu minta Musri dibawa kerja ke luar negeri
Selimut kekar tubuh Malin di tubuh Mae yang kedinginan
Telanjang dalam fantasi untuk istri sendiri di rumah
Pekikan lagu kampanye Hidup padi dan Mardi 
Enyong pengin rika pada precoyo enyong
Wong Tiban bebotoh ke ebeg
Kethek mendhem kethek
Mendhem shuriken
Jompro merayu ibu-ibu
Gae mengurus surat-surat warga
Paspor di depan mata mereka yang bermimpi
Nini cowong pengendus hujan dengan mantra dan kemenyan
Ninja-ninja bergentayangan ya diringkus polisi desa
Pontu, suami Sitas mati di kubangan air
Gusti, gusti nyuwun ngapuro gih

Pilkades Jatisaba dimulai
Money politic beraksi
Gao dan Mae terbungkus napsu
Pudar dalam gubug sunyi
Berjaga selamanya
Larut sepi

Yasinan dan bungkusan
Calo TKW dan Pilkades 
Sekarang dan harapan
Jatisaba dan Hongkong

Saat review ini diakhiri
Jatisaba sudah dibungkus menuju Belgia
Mbak Alda Trisda menunggunya
Ia agen sastra Indonesia
Beda baca
Lain rasa 
Semoga 
0o0

Zug: 20 September 2018.


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.