Jalur Solidaritas Sosialisme: Kuba – Vietnam – Birma – China – Swedia (Syarkawi Manap)
Pulau Sumatera
Pulau Sumatera yang amat kucinta,
Tanah
kami
Tempat
kami diam, siang serta malam
Satu
bahagian Indonesia
Pulau
Sumatera pulau tempat saya
Di
lahirkan
Tempat
tumpah darah, tempat ibu ayah
Engkau
tiada pernah kulupakan
0o0
Paket itu datang
dengan prangko ekspres dari Swedia. Segera aku buka dan langsung aku baca.
Aku tak mengenal
Syarkawi Manap yang bereksil di Swedia. Namun beberapa teman eksil yang disebut
di buku ini pernah kubaca karyanya dan bertukar informasi di media internet.
Mereka antara lain Sobron Aidit, Umar Said, Kohar Ibrahim, bahkan dengan JJ
Kusni sudah pernah bertemu dua kali di Restoran Indonesia di Paris.
Usep Hamzah,
teman asal Cianjur yang berdomisili di Swiss ini yang mengenalkanku dengan
Syarkawi. Ia bilang, Syarkawi membaca bukuku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 3 dan mencari jilid 1 yang ada
kisah Kuba, mengingat ia dikirim Soekarno untuk belajar di Kuba. Lewat WA akhirnya
aku bertukar kabar dan sekaligus barter buku. Aku kirim ke dia 2 buku, Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 1 (Fotokopian,
karena tak punya aslinya) dan Kesetrum
Cinta. Aku mendapat kiriman Kisah
Perjalanan terbitan Ultimus tahun 2009.
Biasanya kalau
aku ke Bandung, selalu tidur di Ultimus. Bilven sering memberi buku aku
terbitan terbaru, seperti Das Kapital 3 jilid juga beberapa buku terjemahan
pengarang Rusia. Tapi buku ini belum dikasih Bilven.
Bertemu Mister Samsir
Aku terhibur juga
karena pengantar buku ini Samsir Mohamad. Aku mengenal lelaki gaek ini beberapa
tahun dan biasanya terlibat diskusi sampai pagi di ruangan pengap Ultimus. Ia
suka merokok dan minum kopi. Samsir ini berpikiran maju dan suka berdiskusi
dengan anak-anak muda. Ia tidak mau dipanggil Pak Samsir atau Mbah Samsir.
Panggilan tersebut dianggap feodal. Maka dengan berkelakar aku sering panggil
Mister Samsir dan ia tak menolak.
Pada April 2008
aku membedah bukuku Menyusuri Lorong-Lorong
Dunia Jilid 2 di Ultimus bersama Anwar Holid dan Puthut EA. Puthut EA
hendak mewawancari Mister Samsir, tapi lupa karena terlibat debat seru. Bilven
membisiki aku, kalau Samsir itu orang bekas anggota Konstituante dan pernah
bertemu Mao Tze Tung di China.
Ultimus berjasa
sekali menyediakan tempat tidur dan diskusi untuk Mister Samsir. Karya puisinya
pun juga diterbitkan Ultimus. Pertemuanku terakhir dengan Mister ini pada subuh
gelap, April 2008, ketika aku pamit meninggalkan Ultimus menuju stasiun kereta
api. Ia keluar dari kamar tidur gelap dekat WC dan salling mendekap ibarat
kakek dan cucu.
Pengantar Mister
Samsir di buku ini agak kurang tepat. Ini kisah orang klayaban yang terhalang
pulang dengan setting cerita dominan
di luar negeri. Barangkali jika buku ini dikasih pengantar Pak Ibrahim Isa atau
JJ Kusni, sebagai pelaku sendiri, mungkin akan lebih punya ruh.
Kisah pilu
sebagai orang klayaban di negeri orang ini sudah sering aku baca di internet pada
tulisan Sobron Aidit bertajuk Serba-Serbi
secara bersambung. Kebetulan dulu kami satu komunitas di mailing list sastra. Lebih lengkap lagi aku baca buku terbaru
berjudul Tanah Air yang Hilang
karangan Martin Aleida. Kisah para eksil PKI di berbagai negara di Eropa.
Untuk itu aku tak
akan membahas lagi tragedi 65 beserta liku-liku perseteruan politik. Kekejaman
Orde Baru dan perpecahan di tubuh PKI. Aku lebih tertarik melacak jejak
Syarkawi selama di Havana, Hanoi dan Stockholm. Mengingat aku pernah
mengunjungi ke 3 kota itu, tentu hanya sebagai pelancong.
Dua Tahun di Kuba
Syarkawi
meninggalkan tanah air menuju Kuba dengan satu tujuan, belajar. Pada 5 Mei 1965
ia naik pesawat Rusia Aeroflot dari Halim Perdana Kusuma, lewat Kolombo (Sri
Lanka), Karachi (Pakistan), Moskow (Rusia), Praha (Cheko), Shanon (Inggris),
Gender (Kanada), Havana (Kuba). Dalam setiap perhentian di bandara itu,
Syarkawi selalu ditemui perwakilan dari Indonesia. Perjalanan dari Jakarta ke
Havana ditempuh selama 2 hari, tepatnya pada 7 Mei 1965 ia tiba di negeri Paman
Castro itu.
Ia dari Jakarta
tidak sendirian, tetapi ada 4 teman lain, seluruhnya berlima. Ketika mereka
tiba di Havana, langsung menginap di Hotel Habana Libre. Namun ketika Bung
Karno berkunjung ke Kuba menginap di hotel nasional.
Di sekolah mereka
satu kelas dengan pemuda lain dari Mongolia, Korea, China, Bulgaria, dan Aljazair.
Seluruhnya ada 10 mahasiswa. Sebagai modal pertama mereka diwajibkan belajar
bahasa Spanyol, sebelum belajar ilmu lain.
Baru dua bulan di
Kuba, mereka harus periksa gigi, itu kewajiban setiap setahun sekali, baik
sakit gigi atau tidak.
Pada sebuah ruang
tanpa lampu, dubes A.M Hanafi membocorkan kepada 5 mahasiswa adanya tragedi 30
September 1965 di tanah air. Sementara
pihak staf KBRI belum ada yang tahu. Sedianya mereka akan belajar selama 5
tahun, praktis baru 5 bulan sudah buram jalan ke depan.
Apa yang
diceritakan A.M Hanafi kemudian menjadi kenyataan. Insting A.M Hanafi
cemerlang, ia mulai dengan menurunkan sendiri gambar besar Bung Karno di kantor
KBRI. Pertimbangannya, akan lebih sakit hati, jika yang menurunkan gambar Bung
Karno dari pihak lawan yang sudah pro Soeharto.
Satu kalimat A.M
Hanafi kepada Syarkawi dan teman-teman seperti sebuah sabda sakti, “Keadaan
kita seperti ini akan berlangsung lama.“
Mereka awalnya
tak begitu paham dengan kalimat dubes A.M Hanafi. Belakangan mereka sadari
bahwa mereka akan menjadi manusia stateless
yang kehilangan tanah air tercinta. Otomatis mereka akan tinggal di negeri
orang pada waktu yang tak tentu.
Dengan begitu
berantakanlah rencana anak-anak muda Indonesia untuk belajar di Kuba. Sebab PKI
sudah dinyatakan sebagai partai dilarang di Indonesia. Bung Karno perlahan
lengser dan Soeharto tampil sebagai Yang Maha Penguasa Baru.
Dubes A.M Hanafi
di Kuba mulai lengser dan digantikan pejabat KBRI pro penguasa baru. Lalu ke
mana Syarkawi dan teman-teman hendak berlabuh? Ternyata solidaritas antarnegara
komunis sangat tinggi. Meskipun PKI sudah ambruk di dalam negeri, namun
utusan-utusan anak muda PKI yang sudah berada di luar negeri untuk belajar,
mereka dibantu.
Pada buku ini
disebutkan, bahwa Soebandrio membeberkan 4 tahap strategi Soeharto. Pertama, menghabisi saingan-saingan
utamanya dalam tentara. Kedua,
membubarkan dan melarang PKI serta ajaran-ajarannya. Ketiga, menangkapi para menteri pendukung Bung Karno. Keempat, menyingkirkan Bung Karno
sepenuhnya dari kekuasaan negara.
Terpetik berita
ketua PKI Aidit dibunuh di Boyolali, reaksi Mao Tze-Tung dengan menuliskan
sajak yang diterjemahkan oleh Kohar Ibrahim.
Belasungkawa untuk Aidit
Di jendela dingin berdiri reranting jarang
beraneka bunga di depan semarak riang
apa hendak dikata kegembiraan tiada
berlangsung lama
di musim semi malah jatuh berguguran
Kesedihan tiada bandingan
mengapa gerangan diri mencari kerisauan
Bunga telah berguguran di musim semi nanti
pasti mekar kembali
simpan harum wanginya
sampai di tahun mendatang
0o0
Sebelum Syarkawi dan teman-teman meninggalkan Kuba, mereka dikirim untuk
berlibur ke pantai Varadero. Sebuah pantai pasir putih yang agak terisolasi
seperti area pantai Nusa Dua di Bali.
Pada akhir Oktober 1966 Syarkawi meninggalkan Kuba. Di Bandara Jose
Marti mantan dubes A.M Hanafi sempat mengantarkan sambil membelikan tas untuk
menaruh buku-buku pelajaran Syarkawi dan teman lain. Mengingat buku-buku itu
hanya dipegang di tangan.
Syarkawi tak lupa mengirim surat singkat kepada keluarganya di kampung
halamannya di Sumatra. Celakanya surat yang tak sampai 3 kalimat itu menjadi
petaka keluarganya. Pihak keluarga menjadi berurusan dengan kodim dan harus
melaporkan secara berkala sampai lama.
Yang membuat Syarkawi jengkel, karena yang melapor ke kodim itu temannya
sendiri yang menjadi tentara. Sebab itu ketika Syarkawi berkesempatan mudik
setelah tiga puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1995, ia berhasrat menemui
teman lamanya itu. Tapi keluarganya melarang, karena temannya itu juga sudah
sakit-sakitan.
Syarkawi dengan teman-temannya meninggalkan Kuba menuju Vietnam, atas
undangan pemerintah Vietnam guna belajar kemiliteran. Adapun rute perjalanannya
persis seperti saat berangkat, yakni berhenti di beberapa negara dan bertemu
para aktivis PKI yang bernasib sama.
Akan tetapi jumlah orang yang sedianya cuma 5, sesampai di Moskow
ditambah 4 lagi dan kelak tambah 1 lagi di China, jadi total 10 orang.
Kuba 36 Tahun
Kemudian
Syarkawi berada di Kuba selama 2 tahun dan aku bersama istri berada di
Kuba selama 2 Minggu. Itupun ia sebagai seorang pelajar yang dikirim pemerintah
Soekarno, sedang aku hanya sebagai pelancong.
Secara waktu, tentu juga sangat berbeda. Ia datang di saat Kuba masih
berjaya tahun 1965, sedang aku datang tahun 2001 Kuba sudah mulai bangkrut
ekonominya. Akibat embargo Amerika selama 40 tahun lamanya, nyaris kebutuhan
makan rakyat Kuba dirasionalisasi. Di super mercato gang-gang sempit di Havana
yang aku datangi, warga hanya boleh membeli roti beberapa gram saja, agar warga
lain punya kesempatan.
Meski waktu yang jauh berbeda, namun aura sosialisme tetap masih
membara. Ada tiga tempat yang sama-sama Syarkawi dan aku datangi.
Pertama, Havana Old Town dengan gedung-gedung kolonialis dan mobil-mobil
tua.
Kedua, pantai Babi, sebuah pantai bersejarah, tempat serdadu Amerika
diringkus saat mendarat. Cemerlangnya Castro, tahanan Amerika itu dibarter
dengan obat-obatan untuk menambah logistik kesehatan Kuba.
Ketiga, pantai Varadero. Zaman pascarevolusi Kuba memang pelancong dari
sesama negeri komunis datang ke Kuba. Di Kuba saat itu sedang gencar promosi
wisata sosial, yakni mengunjungi tempat-tempat berbasis sosial. Tetapi saat aku
datang dan tinggal selama seminggu di pantai Varadero sudah menjadi kompleks
kaum borjuis. Makanan di hotel
bintang diimport, sebaliknya infrastruktur Kuba diembargo oleh Amerika. Sebuah
dunia paradoks.
Saat aku berada
di Kuba, Raul Castro belum gantikan Castro. Sayang waktu aku ke Kuba belum
banyak informasi tentang keberadaan Syarkawi dan teman-temannya. Tapi aku sudah
mengira, bahwa pasti ada kegiatan solidaritas antara PKI atau pemerintah
Soekarno dengan Castro di Kuba. Apalagi Che Guevara pernah bertandang ke Indonesia
bertemu Soekarno dan mengunjungi candi Borobudur.
Kuba bagiku
sebagai negara kecil yang punya pengaruh besar di dunia. Sebagai orang yang
tinggal di Swiss, aku merasakan pemberitaan Kuba tentang keteguhannya memegang
sosialisme selama Castro masih hidup sangat dominan. Tak ada negara di Amerika Latin yang
diberitakan secara historis maupun gerakan, sebesar Kuba.
Che Guevara punya
sopir pribadi di Swiss bernama Profesor Jean Ziegler, jika Che berkunjung ke
kantor PBB di Jenewa. Bahkan Ziegler dari Partai Sosial Swiss ini juga menjalin
hubungan dengan keluarga Che di Kuba sampai saat itu. Che mencuat namanya
menjadi ikon gerakan dunia, juga karena di Kuba.
Ha ke Negeri Ho
Kembali
melanjutkan jejak Syarkawi dan kawan-kawannya menuju Vietnam. Mereka memasuki
Vietnam lewat China dengan naik kereta api. Ada kejadian unik, saat di kereta
api Syarkawi kebetulan bertemu perempuan cantik. Tak disangka, ketika Syarkawi
menonton film layar lebar di Vietnam, perempuan cantik di kereta api itu
ternyata bintang film yang di bioskop.
Sesampai 10
delegasi PKI di Ha Noi, mereka namanya diganti semua hanya dengan 2 suku kata.
Syarkawi punya nama baru Vietnam yaitu Ha yang artinya sungai. Teman lain bernama; An,
Cao, Bac, Lang, Thai, Thuyen, Thanh, Thien, Binh, Tri, Nghe, Tinh, dan Ha.
Bagi telinga Indonesia, lucu juga ya, nama orang cuma satu suku kata Ha.
Sebagai orang yang pernah mengunjungi negeri Paman Ho, maksudnya Ho Chi Min,
dengan mudahnya aku sebut Syarkawi dengan Ha saja, seperti orang Vietnam
memanggilnya.
Syarwani alias Ha
berada di negeri Paman Ho bersama teman-temannya untuk belajar kemiliteran.
Hampir mirip dengan buku Tanah Air yang
Hilang karya Martin Aleida, ada kisah tokoh seperti Ha ditempatkan di hutan
Vietnam. Ha dan teman-teman harus waspada menyalakan lampu di malam hari, bisa
jadi sasaran tembak oleh pasukan Amerika.
Yang menarik
ternyata Ha mendapati warga Vietnam juga takut hantu dari orang yang sudah
mati. Ia sejenak membandingkan, ternyata bangsa yang takut hantu tidak hanya
Indonesia, Vietnam juga.
Peserta sekolah
militer dan warga setempat terbiasa memakai sandal dari bekas ban mobil. Hal
ini mengingatkanku ketika aku di Kenya, menyaksikan suku Massai dan Samburu
memakai sandal dari bekas ban mobil. Menurut mereka sandal ban mobil ini memang
kuat. Aku jadi ingat kampung halamanku di Jawa, sampai kini masih ada orang
jual sandal dari ban mobil di pasar.
Apa yang masih membekas di ingatanku tentang Ha Noi, ada tiga:
Pertama, saat aku menyaksikan 2 pohon kelapa kembar berdiri di depan
rumah kayu Paman Ho. Kedua kelapa itu adalah oleh-oleh Paman Ho dari
kunjungannya di Indonesia.
Kedua, Sartre dan Simon de Beauvoir pernah mengunjungi Paman Ho di
rumahnya Ha Noi. Kenapa Paman Ho dianggap begitu penting buat dua tokoh
eksistensalisme ini ? Jika dilacak jejak Paman Ho di Paris, sangat berbeda
dengan Pol Pot di Paris. Paman Ho ternyata pernah kecewa dengan Partai Sosialis
Prancis, karena beberapa kali ia hadiri pertemuannya, lebih banyak diskusi. Paman Ho hengkang keluar dan bersama kaum
revolusioner di Paris mendirikan Partai Komunis Prancis. Tercatat dalam sejarah
berdirinya Partai Komunis Prancis, Paman Ho ikut membidani. Untuk itu di kartu
pos yang aku beli di Ha Noi, tampak Sartre, Simon dan Paman Ho foto bertiga.
Ketiga, meja
kursi menulis Paman Ho di kebun dekat rumahnya. Paman Ho punya kebiasan menulis
di luar. Ia biasa menulis sambil menghadap alam terbuka. Kolam ikan di samping
rumahnya, menjadi kegiatan tersendiri. Ketika ia hendak memberi makan ikan,
seperti sudah menjadi ritual para ikan, cukup Paman Ho bertepuk tangan dan
ikan-ikan itu mendekat, baru diberi makan. Dan jangan lupa sebelum Vietnam
bersatu, kelompok dari yang masih pro Amerika, sering datang dan diberi ikan
peliharaan Paman Ho. Musoleum Paman Ho setaraf dengan musoleum Lenin di Moskow
dan Mao di Beijing.
Lagi-lagi Ha
bersama rombongannya harus meninggalkan Vietnam dan berpindah ke China. Mereka
berada di Wunan dan Nan King. Kali ini mereka tidak di daratan, tetapi dengan
kapal di laut untuk belajar menjadi nahkoda.
Ha mengisahkan, sempat jatuh cinta dengan gadis China yang cantik. Sialnya,
ia tersandung 2 rintangan. Menurut sang ayah gadis itu, kalau orang Indonesia
suka poligami. Ha meyakinkan, bahwa ia sungguh mencintai anaknya dan tak akan
kawin lagi. Kedua, sang ayah anggap orang Indonesia rata-rata hidupnya tidak lama,
karena iklimnya panas. Ha meyakinkan lagi, bahwa dirinya sudah sejak muda
berada di luar negeri.
Masih terkait kawin
cara China ini aku menemukan sumber lain tentang perkawinan Kamerad Mao. Ia
disarankan oleh orang tuanya untuk kawin dengan perempuan yang usianya lebih
tua, karena adat China menganggap perempuanlah yang lebih dewasa daripada
laki-laki.
Ketika rombongan Ha
yang berjumlah 11 orang itu tiba di Shang Hai bertambah seorang, hingga menjadi
12 orang. Ia adalah wakil komandan batalyon Cakrabirawa. Saat pecah tragedi
30S, ia sedang mengawal rombongan MPRS yang dipimpin Chairul Saleh. Terbetik berita
meninggalnya Bung Karno pada 21 Juni 1970 atas tahanan rumah oleh Soeharto.
Berikutnya
bertambah lagi rombongan Ha ini menjadi 18, setelah ditambah teman-teman dari
laut Birma. Ibrahim Isa mengantar 2 orang bernama Than Mien dan Than Thien. Keduanya
adalah putri-putri D.N. Aidit.
Ia dan
kawan-kawan bertugas di Ku Han, Teritorium Timur Laut Birma. Pada 10 Maret 1978
diperingati 10 tahun berdirinya wilayah itu di Pang San. Pada 1 Agustus 1978 Ha
melangsungkan pernikahan dengan perempuan Birma bernama Salwiana dari marga
Han. Upacara perkawinan dibiaya pemerintah, karena Ha hidupnya juga masih
kekurangan. Selain Ha masih ada 6 teman Indonesia yang kawin dengan perempuan
Birma.
Di Pan San tinggal beberapa orang Indonesia saja. Sebagian teman sudah
pergi ke China, ke Macau atau ke Eropa barat. Jika akan mudik pun tertutup,
pada tahun itu 1981, pemerintah Soeharto masih berkuasa.
Ha termasuk orang Indonesia pertama dan terakhir yang kerasan sampai 6 tahun
tinggal di Pang San, Birma. Sebelum
Ha bersama anak dan istri meninggalkan Birma, mereka berpamitan dulu dengan
beberapa orang di kampung halaman sang istri di Ku Han.
Sweetdia
Sungai Bengkuang
jangan dilayar,
Sungai Musi tetap
menanti.
Hutang uang sudah
dibayar,
Hutang budi kubawa
mati.
Ha dan teman-temannya diundang ke China untuk ikut merayakan 30 tahun
berdirinya negara China yang jatuh pada 1 Oktober 1979. Pada perayaan itu
hadir pula kepala negara Kamboja Norodom Sihanuk. Juga ada Deng Xiao Ping. Ia
merasa perayaan itu mewah, sementara selama dia dan keluarganya tinggal di
Birma dengan rumah ilalang dan dinding tanah.
Ha beserta keluarga
dan teman-teman lain dipindah ke China dan menempati perumahan 510. Tempat ini sangat
terkenal di antara para eksil PKI di China. Ada 2 peristiwa yang terjadi di
perumahan 501.
Pertama, anak Ha
mulai masuk sekolah taman kanak-kanak. Diketahui oleh Ha
ternyata orang China sering menanam sayur dengan pupuk kotoran manusia. Suatu
hari dia pernah belanja sayur kangkung di pasar dan ternyata di dalam ikatan
sayur itu terselip ada kotoran manusia.
Kedua, ada penjahit langganan Ha yang dianggap bagus jahitannya, harus
didepak keluar, gara-gara si penjahit sering usil jika mengukur pakaian
perempuan.
Mengingat hubungan Indonesia makin dekat dengan China dan Soeharto
mensyaratkan kepada China agar para eksil PKI di China tidak diberi tempat
lagi. Sementara itu PKI di tanah air sudah dianggap dilarang, maka tak ada
jalan lain, ketua PKI di China, Yusuf Ajitorop membubarkan diri.
Sejak peristiwa itulah para eksil PKI di China di rumah 501 mencari
suaka ke negara-negara Eropa.
Sampai di sini aku ingat karya Utuy Sontani yang terkenal dengan judul Di Bawah Langit Tak Berbintang. Kisah
Utuy sungguh membetot naluri.
Ha pun mengikuti teman-temannya yang sudah duluan mencari suaka politik
ke Eropa. Swedia, Sweet dia akan memanen kepedihan selama di negara-negara
komunis lain akibat terhalang pulang.
Sepertinya Ha mendapat penghormatan yang cukup dari pemerintah China.
Tak hanya surat-surat dipersiapkan, namun ongkos pesawat untuk keluarga dan
uang sakupun dibekali.
Kali ini perjalanan Ha dan keluarga cukup mendebarkan, selain
harap-harap cemas, apakah ia dan keluarganya akan diterima hidup di negeri
kapitalis? Selama ini ia berpindah ke negeri komunis semua, dari Kuba, Vietnam,
Birma, China, tapi Swedia negerinya Pak Nobel, perakit bom?
Bagi Ha sudah mengantongi banyak pengalaman ke negara Eropa saat
pesawatnya transit di Praha, London bahkan Moskow, tapi buat istrinya yang asli
Birma dan kedua anaknya yang belum pernah ke Eropa?
Nasib baik berpihak padanya. Ia dan keluarga masuk Swedia dengan
diperlakukan sangat sopan. Itu ia paparkan detil sekali sejak dari bandara,
tempat penampungan pengungsi, sampai mendapatkan pekerjaan.
Nila masuk sekolah dan mendapat julukan sebagai murid yang pandai.
Terbukti ketika Ha mendatangi undangan ke sekolahnya, guru berseloroh, ”Bapak
dari anak yang pandai itu sudah datang.”
Setelah Ha mendapatkan pekerjaan dan hidup cukup, kini jatuh pada situasi
yang salit, yakni selama 26 tahun berstatus stateless alias tanpa paspor, untuk
mengambil paspor Swedia. Tanpa punya paspor Swedia, ia tak akan bisa leluasa
bergerak. Sebab dalam surat izin tinggal sementara disebut, bahwa ia boleh
bepergian ke mana saja, kecuali negerinya sendiri yang dicintai yaitu
Indonesia.
Pada 17 Juli 1991, ia resmi berwarga negara Swedia. Setahun berikutnya,
pada Juli 1992 ia mudik setelah 27 tahun tidak tengok kampung halamannya di
Sumatra. Disusul tahun 1995 pertama kalinya ia mudik membawa anak istri.
Sebagai anggota PKI biasa dan seorang muslim, ia merasa wajib
menjalankan rukun Islam ke 5, yakni beribadah haji ke Mekkah. Ia lakukan bersama
rombongan dari Stokholm pada 8 April 1997. Sementara pada 1998 Salwiana beserta
Nila dan Stella anaknya mudik ke Birma.
Pada 17 Agustus 2004 Ha mendapat undangan pertama ikut upacara
peringatan HUT RI ke 59 di KBRI Stockholm. Atas uluran tangan pihak dubes RI,
HA diundang lagi tahun 2005 pada perayaan HUT RI ke 60 bahkan mendapat
penghormatan untuk membacakan pembukaan UUD`45.
Ia beserta teman-teman eksil Swedia lain, termasuk Tom Ilyas mendirikan
wadah Rukun Keluarga Indonesia di Stockholm (RKIS). Sebuah wadah berjejaring
sosial antarwarga RI di Stockholm.
Pada 1 Juli 2007 Ha resmi memasuki masa pensiun, atas permintaan sendiri
karena alasan kesehatan. Atas ketelitiannya, ia anggap hutang kepada pemerintah
Swedia sudah dibayar lunas. Ia menyimpan semua kwitansi santunan sosial sebelum ia
mendapatkan pekerjaan dan semua kwitansi pajak yang ia bayarkan selama bekerja.
Ini merupakan kalkulasi logis humanis yang dipaparkan Ha. Secara materi ia
tidak punya hutang dengan Swedia, tetapi secara budi, ia akan bawa mati,
seperti pantun di atas.
Ha menuliskan pada hal 209; Saya berkeyakinan bahwa tanpa PKI,
rakyat Indonesia pasti mampu menemukan cara-cara baru, menemukan jalannya
sendiri, yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang, untuk mengubah sistem
masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern, mengubah kehidupan
rakyat yang miskin menjadi rakyat yang cukup makan, cukup pakaian, memiliki
tempat tinggal yang layak, mendapat pelayanan kesehatan yang mudah dan murah, serta
pendidikan yang cuma-Cuma sebagaimana yang dicita-citakan dan diperjuangkan
oleh PKI.
Buatku Stockholm, sebuah kota pelabuhan yang punya kekhasan indah.
Gugusan pulau kecil berserakan di mulut kota. Pak Nobel menghibahkan bunga bank
dari coyprightnya atas temuan alat peledak untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Sisi
lain mungkin ia akan menebus dosanya, atas temuan yang bisa melumatkan hajat
hidup manisia itu. Saat aku masuk museum Nobel di Stockholm, ada diaroma yang
menggambarkan di mana Pak Nobel pernah mendirikan pabrik perakit alat ledak di
seluruh dunia. Yang membuat aku kaget, di zaman kolonial Belanda itu ada pabrik
bahan peledak di kepulauan Sunda, sekitar NTT. Mungkinkah Pak Nobel dan Belanda punya kepentingan di
sana ? Allahualam.
Buku ini ditutup dengan semacam flash-back, kisah kegiatan HA semasa
masih di tanah air.
Begitulah kisah HA yang tampak gamblang, bahwa pasca G30 S itu meskipun
ia terhalang pulang, uluran tangan dari negara-negara komunis lain, sebagai
bentuk solidaritas sosialisme. Jalur yang Ha lalui, Kuba, Vietnam, Birma, China
yang end-station di Swedia, sebagai bukti bahwa solidaritas itu murni.
Kelebihan pada buku ini:
Beberapa kisah orang terhalang pulang yang pernah aku baca, biasanya
dimulai dari China kemudian langsung bereksil ke Eropa. Kisah mereka di China
hanya ditulis sepintas dan sedikit buram. Namun buku ini sebuah buku yang
dengan sabar mengisahkan perjalanan Ha berawal dari Kuba, Vietnam, Birma,
China, dan berakhir di Swedia. Dalam kurun waktu 26 tahun hidup menggelandang
tanpa paspor Indonesia. Buku ini merupakan kisah tunggal diri sendiri, seorang
Ha yang juga menyinggung keluarga dan teman-temannya, tapi porsi cerita tentang
dirinya sendiri lebih dominan.
Kritik:
Nama-nama kota di swedia, hematku, tidaklah penting untuk disebut. Toh,
pembaca yang berada di tanah air akan susah membayangkan. Berbeda, kalau kita
sebut kota Yogya, Klaten, dan Bandung, misalnya, pembaca mudah meraba suasana
kota. Apalagi jika kota-kota di Swedia itu tidak ada yang spesifik untuk
diungkapkan.
Ciri khas tulisan Travel Writing
adalah moving, lekas bergerak dari tempat ke tempat lain. Pada buku ini aku
baca begitu banyak flash-back
kecil-kecil yang mengganggu pembaca sedang menikmati kisah baru. Seolah penulis
akan menumpahkan semua yang ia alami secara paralel. Pembaca harus dibawa ke
kisah lampau ke belakang jauh yang kadang hanya penulisnya saja yang secara
pribadi mengalami. Pada umumnya pembaca tidak mau berlama-lama di suatu tempat,
kecuali ada kisah yang sangat membetot suspense.
Sebagai pembaca aku mengalami kesulitan untuk fokus pada tempat yang
sudah diceritakan. Dalam pikiranku, mungkin Ha terbiasa menuliskan laporan
kerja yang detil, sehingga laporan detil teknis itu memang diperlukan sekali.
Travel writing punya karakter traveling atau bergerak, baik penulis maupun
pembacanya.
Zug, Switzerland: 30 Agustus 2018.