Sok Paling Aswaja? - A. Dardiri Zubairi
Oleh A. Dardiri Zubairi
Saya sering mendengar sebutan
"sok paling NU", sok paling Aswaja, sok paling NKRI" yang
dialamatkan kepada nahdliyin yang mencoba mendudukkan NU pada khittahnya.
Stigma sok ini ingin mendelegitimasi nahdliyin yang mencoba menjadi NU total. Dengan
kata lain, stigma sok ini nyasar pada totalitas berNU yang justru
dijungkirkanbalikkan maknanya oleh outsider sebagai sikap sombong. Luar biasa
stigma ini. Dimainkan untuk membungkam.
Sok berarti mau menang sendiri,
merasa paling benar, tak mau mengakui kebenaran lain di luar dirinya. Itu
kira-kira pesan yang dikirim outsider atau 1/2 outsider kepada warga nahdliyin
yang total berNU. Saya tak sempat buka kamus untuk mengetahui makna sok, cuma
yang saya tangkap kira-kira begitu maksudnya.
Dengar stigma ini saya jadi mau
tertawa. Bagaimana mungkin nahdliyin dibilang sok hanya karena garang membela
NU yang dicatut, dipojokkan, dilecehkan, dsb, sesuai kehendak outsider?
Bagaimana mungkin dianggap sok ketika nahdliyin mengajukan wacana tanding atas
NU yang diplintir namanya, organisasinya, dan pengurusnya untuk kepentingan
outsider?
Tentu jika mau jujur pasti akan
jawab tidak. Ibarat seorang pemilik rumah yang garang kepada orang yang
meloncati pagarnya, kemudian peloncat pagar menyebut pemilik rumah sok? Begitu?
Ya, tidak dung. Ini menyangkut haybah organisasi.
Sekali lagi ini bukan soal sok
atau tidak. Ini adalah soal NU yang begitu mudahnya dipreteli, diserang, dan
dipojokkan. Jika warga nahdliyin sangat berapi-rapi membelanya ya wajar dong.
Karena ini bagian dari ikhtiar berNU sebagaimana dawuh kyai Hasyim Asy'ari,
"masuklah ke dalam NU dengan penuh cinta dan kasih.........lahir bathin,
bi arwaahin wa ajsaadin".
Kedua, sok paling Aswaja. Setahu
saya, orang nu beraswaja tidak sampai mengatakan di luar nu bukan aswaja.
Silahkan klaim aswaja itu. Tetapi satu yang perlu diketahui, bahwa sejak dulu
NU lah yang memiliki brand itu di saat ormas lain tidak menggunakannya.
Baru belakangan kelompok lain
menjadikan Aswaja jadi brandnya, misalnya seperti Laskar Ahlussunnah Waljamaahnya
Ja'far thalib umar yang dulu ikut memperkeruh kerusuhan poso. Makanya kemudian
NU menambahkan "annahdliyah" di belakang aswaja untuk membedakan
dengan aswaja yang lain. Jadi tak ada dalam pandangan bahwa aswaja hanya milik
NU, cuma Aswaja di luar NU tidak sama dengan Aswaja annahdliyah. Kecuali bagi
kelompok-kelompok yang secara doktrin memang tidak sesuai dengan ciri Aswaja,
ya NU tegas. Tetapi tegasnya NU tidak sampai mengkafirkan.
Soal penambahan annahdliyah di
belakang aswaja itu akan dipahami jika ditempatkan dalam konteks historis dan
sosial-budaya masyarakat Indonesia, dimana Islam menemukan pijakannya yang
khas. Salah satunya misalnya tentang penerimaan terhadap pancasila dan
keputusan bahwa NKRI final. Atau tentang trilogi ukhuwah; ukhuwah islamiyah,
ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariah. Ini yang membedakan aswaja
annahdliyah dengan aswaja lainnya, termasuk di negara lain sekalipun.
Jadi, tak ada monopoli tafsir
aswaja di sini. Silahkan tafsiri sendiri atau klaim aswaja itu. Cuma ya dimaklumi,
aswaja kami dibubuhi tambahan "annahdliyah" di belakangnya. Ini bukan
dimaksudkan untuk menutup diri atau ekslusif, tetapi untuk menegaskan bahwa
aswaja yang sudah demikian cair maknanya perlu dikentalkan lagi oleh kami
dengan kata "annahdliyah", setidaknya kental buat kami tentunya.
Yang terakhir soal "sok
paling NKRI". Jawaban atas ledekan ini juga butuh panjang. Tetapi kalau
dipersingkat, NU, meski tak tercatat
dalam sejarah resmi yang diajarkan di bangku-bangku sekolah, memberikan saham
yang besar bagi tegaknya bangsa ini. Sejak dulu, NU selalu pasang badan dalam
mempertahankan bangsa ini. Mulai masa kolonialisme, era transisi kemerdekaan,
era Pak Karno, era Orde Baru Pak Harto (meski dipinggirkan), hingga era
reformasi bahkan hingga sekarang. Kalau kita baca perjalanan NU, suaranya sama
: bangsa ini terlalu mahal untuk dirobohkan.
Jika NU selalu berada di depan
ketika bangsa ini sedang menghadapi masalah kebangsaan, tentu harus dilihat
dari sejarahnya, ya NU memang begitu. Bagi NU, bangsa ini adalah tenunan indah
dimana Islam bisa bersenyawa dengan peradaban Nusantara. Maka lahirlan
Pancasila yang membingkai keanekaragaman yang indah. Ini tidak sekali jadi,
tapi tenunannya membentang sejak Islam hadir ke Nusantara sejak abad ke 7 dan
menemukan puncaknya pada abad 13/14 di tangan para wali songo. Makanya para
wali songo dan para ulama setelahnya dijadikan sanad keilmuan, perjuangan, dan
harakahnya oleh NU. Di atas sanad inilah NU berjejak, termasuk kegarangannya
membela bangsa ini.
Betul bahwa bangsa ini sudah
sedemikian akut masalahnya. Di samping banyak gerakan keagamaan yang tak ramah
budaya bermunculan, kekayaan bangsa terkeruk habis oleh sistem kapitalisme
sebagai anak kandung kolonialisme. Harapan kita, NU ke depan juga wajib garang
dan pasang badan terhadap sistem dan ideologi yang rakus dan mencekik rakyat
kecil ini. Dengan demikian, "NKRI harga mati" akan makin bergairah
dan menyegarkan. Semoga.
Pulau Garam I 19 Juli 2017