Maaf untuk Secangkir Kopi - A. Dardiri Zubairi
Oleh A. Dardiri Zubairi
Di tengah sesaknya garam yang
mengasini imagi kemaduran, adakah tempat untuk secangkir kopi di Madura?
Jangan keliru. Meski Madura bukan
penghasil kopi, tapi kopi telah menghitami tradisi madura. Selama berabad-abad,
kopi telah menyambungkan jiwa dan raga orang Madura. Mewujud dalam ruang yang sangat sederhana: di
langgar, mushalla, atau di meja-meja di beranda dimana sanak saudara dan tamu
diterima oleh hitam pekatnya secangkir kopi.
Di acara resmi seperti pernikahan
sekali pun minumannya juga kopi. Tentu perisitiwa ini bisa disaksikan di desa, lokus
yang setia merawat tradisi Madura. Di kota karena kehidupannya serba instan
suguhan minuman sudah diganti minuman kemasan. Bukan sekedar urusan agama, dalam urusan minuman pun orang kota ternyata
tak kalah puritannya.
Jika ada kopi siapapun tentu malas untuk segera pergi. Secangkir
kopi akan membuka ruang-ruang obrolan dan wacana datang silih-berganti. Dan
penikmat kopi akan menghadirkan informasi hangat sehangat kopi. Soal-soal berat
dan ringan diperbincangkan dalam bahasa pinggiran, bahasa keseharian rakyat.
Jangan kaget, jika misalnya
kebijakan pejabat publik digugat.
Orang-orang yang selama ini berada di pinggiran, balik menjadi subyek.
Seandainya pejabat publik hadir, obrolan
orang pinggiran akan menampar, menyayat, dan menguliti kebijakannya. Ternyata
orang pinggiran pinter menggoreng isu, membolak-balik, bahkan membiarkan
gosong. Semua itu, salah satunya karena kopi yang mengikat banyak orang setia
bercengkerama dan berbagi gagasan.
Sebagai pulau penghasil tembakau,
rokok menjadi teman setia kopi. Tetapi rokok seolah tak memiliki makna apa pun,
tanpa kopi. Sebuah pantun begitu populer di Madura, "bhede songkok bhede
kalambhi, bhede rokok bhede kobhi" (ada songkok ada kalambhi (baju), ada
rokok ada kopi). Sering ketika dalam pertemuan muncul goyunan satir terhadap
tuan rumah, "bhede songko' keng tadha' kalambhina" (sayang ada rokok
cuma tak ada kopinya), maka buru-buru tuan rumah meracikkannya kopi.
Begitu menyatunya kopi dalam
tradisi orang Madura, kopi bahkan merasuk menjadi etika pergaulan terutama
dalam menerima tamu. Pembicaraan penting tak akan dimulai sebelum kopi
disuguhkan oleh tuan rumah. "Laon gallu ja' molae parembhaganna, ngantos
kobhi gallu" (sebentar, jangan mulai pembicaraan kita, nunggu kopi dulu),
begitu ucap si tuan rumah. Karena bagi orang Madura sebelum meminum kopi
"dunnya ta' terrang " (dunia gelap gulita), jadi dunia pikiran pun
tidak terang.
Problem etik kembali muncul jika
tuan rumah tak mampu menyuguhkan kopi kepada tamunya. Tuan rumah akan merasa
bersalah, karena kopi telah menjadi minuman resmi bagi para tamu. Maka tuan
rumah buru-buru akan bilang, "maaf bhedena gun aeng" (maaf yang ada
cuma "air"). Meski teh yang disuguhkan, orang Madura tetap akan
bilang "air". Hal itu sejenis pemakluman bahwa yang disuguhkan bukan
kopi.
Di desa-desa yang disuguhkan bukan
kopi instan. Orang Madura menyangrai sendiri biji kopi kemudian menumbuknya
sendiri. Biji kopi itu tidak selalu dibeli, kadang merupakan kiriman atau
oleh-oleh dari sanak famili yang tinggal di Jember, Banyuwangi, Bondowoso, dan
Situbondo. Oleh-oleh itu tidak hanya kopi, tapi lengkap dengan gulanya. Di sini
kopi ternyata mampu mendekatkan ikatan kekeluargaan antara orang Madura
"negeri" yang tinggal di pulau Madura dan Madura "swasta"
yang tinggal di luar Madura. Kopi ternyata mampu merekat daerah tapal kuda, di
samping juga rekatan kultural sebagai sesama etnis Madura.
Di sinilah permohonan maaf orang
Madura untuk secangkir kopi menemukan
maknanya, melampaui kopi itu sendiri. Dalam kopi ada citra penghormatan,
keakraban, dan gelora untuk sekedar saling bercengkerama, mendialogkan
kekonyolan hidup, termasuk menertawakan diri sendiri. Di titik ini, kopi
terkadang menampilkan dua wajah kita, lebih manis atau juga lebih pahit dari
hidup itu sendiri.
Matorsakalangkong
Pulau Garam l 29 Juni 2016