Lampu Merah - Ruly R
Kami—aku, ibu, dan adikku setiap
pagi selalu berangkat bersama kecuali saat hari libur. Tapi sampai perempatan
jalan, kami berpisah dan bersiap dengan kesibukan masing-masing. Aku dan adikku
pergi ke sekolah, sementara ibuku berangkat kerja. Sekali waktu ibu berkata
padaku bahwa dia harus bekerja lebih rajin daripada biasanya, karena di pabrik
sedang ada PHK besar-besaran. Aku sepenuhnya percaya pada ibu, bagiku tidak
mungkin ada seorang ibu yang tega membohongi anaknya, apapun alasannya.
Kupikir, seorang ibu akan selalu terbuka pada anaknya, terlebih ibuku. Mustahil
ibuku berbohong padaku, aku anak pertamanya, dan dia juga sering membagi keluh
kesah padaku. Semua itu karena aku anak perempuan dan yang paling tua, jadi
bisa saling memahami perasaan sesama perempuan. Mungkin terlalu berlebihan
ketika aku bilang seperti ini karena aku masih duduk di kelas dua sekolah
menengah pertama, tapi dari yang kudengar dari orang-orang sekitarku, baik
guru, teman, terlebih ibuku, aku memang terlalu cepat untuk tumbuh dewasa.
Bagiku,
kedewasaan mungkin dibentuk dari apa yang kualami sehari-hari. Menjadi dewasa
bukanlah pilihan, itu tak ubahnya semacam keadaan yang terbentuk dari
kebiasaan, menurutku. Setiap hari aku selalu melakukan pekerjaan rumah: mencuci
pakaian, menyapu halaman rumah, atau menyiapkan makanan untuk adikku yang baru
duduk di kelas empat sekolah dasar, dan berbagai pekerjaan rumah lainnya
setelah aku pulang dari sekolah dan sebelum ibu pulang dari pabrik. Semua tak
ubahnya tanggungjawabku sebagai anak tertua. Aku tak tega jika semua beban dan
pekerjaan rumah harus dikerjakan ibu. Di rumah, ibu sudah merangkap tugas, baik
sebagai kepala rumah tangga, maupun kepala keluarga, sejak ayahku yang buruh
bangunan mengalami kecelakaan kerja. Apalagi sebulan belakangan ini, ibu selalu
terlihat lebih lelah dari sebelumnya, hampir setiap malam aku selalu memijati
tangan dan kakinya, hal itu kulakukan agar barang sedikit rasa lelah ibu bisa
berkurang.
“Ibu
kelihatannya capek banget?” tanyaku sewaktu kali sembari tanganku memijati
telapak kaki ibu.
“Ya,
tadi di pabrik banyak kerjaan. Ibu tidak mau kalau sampai dipecat. Nanti biaya
sekolah dan biaya makan kita darimana?” tanya ibu sembari melenguh kecil di
atas kasur ketika pijatanku terlalu keras.
Mulutku
terkunci. Tak ada kata yang keluar dari mulutku jika ibu sudah berkata tentang
kebutuhan kami. Aku berpikir ada baiknya setelah lulus sekolah menengah pertama
mencari kerja. Bagiku tidak penting lagi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang
atas. Kerja di pabrik atau merantau menjadi pembantu di Jakarta, kupikir tidak
masalah asal bisa meringankan beban ibu.
Jujur
aku tak tega melihat ibu bekerja di pabrik dan sampai rumah kelelahan. Jika
saja rasa lelah seperti sepotong roti yang bisa dibagi, aku mau menanggung
kelelahan ibu. Setiap aku melihat ibu, tekadku untuk lekas kerja semakin
menggebu. Apalagi sebulan belakangan ini, ibu selalu membawa tas besar ketika
berangkat dan pulang kerja, aku sedikit heran, kenapa ibu tidak seperti
bulan-bulan sebelumnya. Kejanggalan seakan sebuah belati, menusuk dan terus
menusuk tiada henti. Ibu selalu berdandan menor ketika berangkat kerja. Aku
tidak tahu kenapa dia melakukan itu. Mungkin dia ingin mencari pengganti ayah,
dan jika demikian aku tidak mau. Bukan maksudku egois, tapi bayangan ayah tidak
mungkin lepas dariku, meski dia sudah tiada, kupikir ingatan tak pernah bisa
dijeda, apalagi kenangan tentang ayah. Kenangan bak sebuah gelembung-gelembung
sabun yang melayang lembut ditiup angin kemudian meletus, dia akan terus ada,
dan aku terus menciptakan kenangan lain dalam kehidupan. Mungkin sedikit
berlebihan tentang yang kupikirkan, tapi aku tidak mau punya ayah tiri.
Aku
tahu ibu sering dandan menor di pagi hari, dia juga sering menari sembari
mulutnya menggumam sesuatu yang tidak terlalu jelas kudengar.
“Buat
hiburan,” ucap ibu jika aku melihatnya menari. Aku sepenuhnya percaya pada
kata-kata ibu, meski kulihat dalam dua bola mata ibu ada hal yang seakan
ditutupinya dengan rapat.
***
Magrib
telah berlalu, tapi ibu belum juga sampai rumah. Aku berpikir ibu mungkin hari
ini lembur di pabrik. Ah, jika mendengar kata lembur, aku menjadi semakin
kasihan pada ibu. Dia sangat bersusah payah mencari uang untuk biaya sekolah
aku dan adikku. Aku ingin menangis jika ibu pulang larut malam, tapi aku sadar
bahwa air mataku mungkin juga membuat ibu sedih.
Angin
berkesiur lembut. Lamunanku tentang ibu seketika buyar ketika suara sepeda
motor berhenti di jalan depan rumah. Ibu yang masih dalam balutan seragam
pabrik lengkap, turun dari motor itu sembari menjinjing tasnya yang besar.
“Ibu
tadi lembur, Nak. Dadakan.” Seketika aku ingin menangis ketika kata-kata
ibumasuk ke dalam gendang telingaku. Kulihat wajah ibu yang tampak sangat
lelah.
“Ayo
masuk!” ajak ibu.
“Biar
kubawakan saja tasnya.”
Wajah
ibu sontak berubah. Dengan nada yang meninggi dia melarangku untuk membawakan
tasnya. Aku hanya diam, ketika ibu marah besar karena tas itu. Aku berpikir
mungkin memang tas itu penting bagi ibu dan aku dilarang untuk menyentuhnya.
Mungkin beberapa hal memang bersifat privasi, dan aku dilarang mencampuri hal
yang bersifat pribadi bagi ibu.
***
Ibu
pulang kelewat Magrib lagi. Aku berpikir mungkin di pabrik sedang banyak
lemburan. Di ambang pintu rumahku, aku berdiri menunggu ibu. Sedikit di
kejauhan aku melihat ibu berjalan sempoyongan, tangannya terus memegang
keningnya. Aku langsung berlari menyambut ibu. Kupapah ibu, sembari kubawakan
tasnya. Sampai di kamar, ibu langsung berbaring di atas kasurnya.
“Nak,
tolong ambilkan balsem di tas!” perintah ibu dengan suara parau.
Aku
bergegas membuka tas dan kulihat di dalam tas ada selendang, berbagai bedak
serta perias wajah dan pakaian.
Lamunanku
seketika buyar ketika ibu memanggilku. Tak kupikirkan lagi apa yang ada di
dalam tas. Aku tidak ingin egois menemukan jawaban atas rasa penasaranku,
bagiku yang terpenting saat ini adalah kesehatan ibu.
***
Pagi,
saat aku dan adikku bersiap pergi ke sekolah, terdengar ketukan pintu dan salam
yang dihaturkan. Seorang tetangga mencari ibu.
Mereka—ibu
dan tetanggaku berbicara serius.
“Kemarin
pak guru menagih uang sekolah, kalau sampai hari sabtu tidak bayar, aku tidak
bisa ikut semesteran, Bu,” ucap adikku yang masih duduk di sekolah dasar.
Ibu
hanya mengangguk sembari bibirnya menyunggingkan senyum tipis dan berlalu masuk
kamar.
“Sebaiknya
ibu tidak usah masuk pabrik dulu, kan belum sembuh,” ucapku ketika ibu keluar
dari kamar dan kulihat mengenakan seragam pabrik dan menjinjing tas.
Ibu
seakan tidak menggubrisku. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut
ibu. Dia tetap saja bersiap berangkat kerja.
***
Sebuah
kabar duka membuat kelasku sedikit gaduh. Ibu dari salah satu temanku yang satu
kelas denganku meninggal dunia karena kecelakaan. Bersama wali kelas dan
beberapa guru telah diputuskan akan bertakiah usai pulang sekolah.
Sudah
lama aku tak melewati jalanan ini, perlimaan Kalisan namanya. Tempat ini cukup jauh jika diukur dari jarak rumahku.
Kami—aku dan rombongan sekolah memutuskan naik bus untuk sampai ke rumah duka.
Suasana dalam bus yang kutumpangi menuju ke sana sedikit gaduh, baik saat awal
keberangkatan dari sekolah maupun ketika di perlimaan Kalisan. Lampu merah
seakan tidak juga menjeda kegaduhan yang ada di dalam bus, justru kegaduhan dan
obrolan dari teman-teman semakin beragam ketika kami sampai di lampu merah
perlimaan Kalisan. Detik-detik terasa melambat ketika kulihat seorang perempuan
meliukan tubuhnya sembari menengadahkan sebuah toples kepada pengendara yang
berhenti menunggu lampu hijau. Aku hapal tinggi perempuan itu, aku hapal bentuk
bibir dan hidung perempuan itu meski dia memakai riasan. Detik ke detik lampu
merah untuk sampai pada warna hijau, membawaku pada penderitaan dan suratan
nasib yang bisa kukatakan jauh dari keberuntungan secara materi. Mataku tak bisa
lepas dari perempuan itu, dari balik kaca bus, aku bersyukur dia tak melihat ke
arahku.
***
Ibu
pulang dari kerjanya, air mukanya tampak riang. Dia masuk kamarnya sembari
menjinjing tasnya. Sesaat dia keluar sembari membawa handuk dan lantas
melangkah ke belakang rumah. Mataku menitikan air, aku tahu ibu menutupi
segalanya dariku. Dia memasang rasa gembira yang palsu, yang membuatku semakin
sedih. Perjuangan ibu untukku dan adikku tak mungkin bisa diganti dengan
angka-angka atau nominal. Mungkin bagi ibu, kebahagiaannya adalah
kebahagiaanku.
Sebuah
salam dari luar rumah membuyarkan lamunanku.
“Ibumu
ada?” tanya tetanggaku. Dia adalah tetangga yang tadi pagi berbincang serius
dengan ibu.
Aku
lantas pergi ke belakang rumah, memanggil ibu dan menerangkan kalau tetanggaku
mencarinya.
“Barangnya
ada di tas, kamu ambil saja,” teriak ibu dari kamar mandi.
Mungkin
aku terlalu cepat tumbuh dewasa meski aku masih duduk di kelas delapan. Aku
sadar dan sepenuhnya yakin kalau kebahagiaan ibu untuk kebahagiaan anak-anaknya.
Begitu juga denganku, aku ingin kebahagiaanku kupersembahkan untuk ibu. Aku
menolak perintah ibu. Aku tidak ingin dia tahu kalau aku juga tahu bahwa dia
sudah tidak bekerja di pabrik lagi.