Guru Mengalir Jauh - A. Dardiri Zubairi
Oleh A. Dardiri Zubairi
Parman tampak sedang membongkar
lemari kitabnya. Hampir semua kitab dibuka, lembar demi lembar dipelototinya.
Setiap kitab selesai dibuka, ia menarik nafas dalam-dalam. Dari wajahnya muncul
gurat kekecewaan. Sudah ratusan kitab dibukanya, yang dicarinya tak juga
ketemu.
Di hadapannya tinggal satu kitab
lagi, Ta'lim Muta'allim. Satu kitab yang mengajarkan etika bagi pencari ilmu,
kitab wajib wabil khusus bagi kaum santri.
Dari kitab inilah ia mengenal bagaimana seharusnya seorang santri menghormat dan memuliakan
guru.
Diraihnya kitab itu. Tiba-tiba air
matanya meleleh. Dengan sangat emosional, diciuminya kitab itu sambil berusaha
menghadirkan wajah guru di hadapannya. Guru lahir bathin baginya yang tepat
setahun lalu wafat. Suasana makin emosional. Tangis pun pecah.
Dibukalah kitab yang sudah mulai
lusuh itu. Sekali buka, tepat pada halaman yang terganjal sebuah foto. Dengan
suara berbisik ia berkata, "Alhamdulillah, tuntas sudah. Ini yang aku
cari". Rupanya parman selama
berjam-jam membongkar lemari kitab dan lembar demi lembar membukanya, hanya
untuk mencari foto gurunya. Foto kyainya.
Ia pandangi foto gurunya. Foto itu
seakan bercerita. Memutar kembali ingatannya 5 tahun lalu saat ia pamit untuk
kembali ke kampung halamannya. Pesan terakhir yang beliau sampaikan sangat
singkat, "pulanglah, sampaikan ilmumu secara arif kepada masyarakat di
desamu".
Mengingat pesan gurunya, parman
kembali menangis. Dengan suara lirih ia berbisik, "maafkan kami
guru". Ya, parman merasa bersalah karena bukan-bulan terakhir ini ia
justru mencampakkan guru sejatinya. Ia malah terhipnotis sama ajakan kawannya
untuk mengidolakan "guru" jauh. Guru yang tak pernah ia bersila untuk
mengaji di hadapannya. Kecuali ia tonton di TV atau di video android milik
temannya.
Setiap parman mendengar ceramah
"guru jauh" seolah ia terkesiap. Takjub. Terpana. Teriakan takbir
serta semangat keislaman yang menyala-nyala mampu menggelorakan semangat
keberagamaannya. "Ini baru Islam", batinnya.
Karena terpukau, Parman pun
berangkat ke kota untuk ikut aksi 433. Ia memaknai aksi sebagai jihad, membela
agama. Di lokasi aksi, darah mudanya makin bergelegak. Jutaan peserta aksi yang
berkumpul telah memindahkan cara pikir bahkan ideologi, dan menghapus hampir
seluruh tradisi keilmuan yang ia peroleh di pesantren. Ia pun sering meniru
ucapan sang "guru jauh" itu, Takbirrr.
Selepas ikut aksi, parman makin
intens terlibat mendirikan organ dari jauh itu. Bahkan parman rela merogoh
kocek sendiri membuat banner dengan foto-foto "Guru Jauh" dan
kemudian dipancang depan masjid dekat rumahnya.
Saat semangat jihadnya memuncak,
tak disangka ia bertemu teman pondok ketika sama-sama di pesantren dulu.
Sahabatnya itu membuka kenangan parman terhadap sosok guru di pesantrennya yang
dengan arif mendidik parman. Bahkan sang guru tak jarang memberi parman makan
dan uang untuk biaya pendidikannya di pondok, di saat orang tua parman angkat
tangan tak mampu mengirim biaya.
Parman terkesiap. Wajah gurunya
selalu menghantuinya. Seolah gurunya rindu sama parman, meski hidup di tempat
yang berbeda. Sejak itu parman mulai mengambil jarak dengan guru jauhnya.
Sebagai gantinya, foto gurunya yang dicarinya selama berjam-jam itu diperbesar
ke studio foto dan kemudian dibungkus pigura cantik. Foto itu dipasang di
tembok di serambi rumahnya.
Baru selesai memasang foto
gurunya, tiba-tiba terdengar suara riuh depan rumahnya.
"Keluar....Keluar.....", terdengar suara tak bersahabat. Parman pun
keluar rumah. Ia pandangi orang yang datang tak diundang ke rumahnya. Jumlahnya
tak lebih 15 orang, hanya 0,2 % dari penduduk desanya. Tapi suara kerasnya
seakan mengalahkan suara semua penduduk desa.
"Siapa yang menurunkan baliho guru
kami", tanya seseorang di antara mereka dengan garangnya. "Kami
dengar kabar, kamulah yang menurunkan? Bagaimana mungkin?"
"Ya, saya", kata parman.
Kemudian ia ambil foto guru yang baru digantungnya. "Saya punya guru
sejati, jadi tak perlu kalian usik lagi," dengan bangga memamerkan foto
gurunya. "Dan ini ambil banner yang saya turunkan, tapi tolong jangan
dipancang di desa ini", kata parman sambil menyerahkan bungkus plastik
kresek berisi banner.
Parman malangkah memasuki rumah.
Baru saja melangkah, tiba-tiba sebuah benda melayang mengenai tengkuknya. Parman tersungkur.
Pingsan.
Matorsakalangkong, 1.04.2017